Thursday, April 13, 2023

EPISODE 22/22 ~ BELIEVE HIS PROPHETS ~ THE RELATIONSHIP BETWEEN THE FATHER AND THE SON ~STEPHEN BOHR

 

BELIEVE HIS PROPHETS

Part 22/22 - Stephen Bohr

THE HEAVENLY RELATIONSHIP BETWEEN THE FATHER AND THE SON

https://www.youtube.com/watch?v=FPtKQOhsffw&list=PLiwN1cixRap1J1tT0tO4vYHZ77zrnBmOb&index=22

 

Dibuka dengan doa,

 

 

The first thing that I want to deal with, you'll notice the title “The Heavenly Relationship Between the Father and the Son”. Before the creation of the angels, the inhabitants of other worlds, and the creation of man, God the Father and God the Son had a very unique and special relationship. What I would like to do is draw 10 points regarding this intimate relationship between the Father and the Son.

 

Hal pertama yang ingin saya bahas ~ kalian menyimak dari judulnya ~ yaitu “Hubungan Ilahi Antara Bapa dan Anak”. Sebelum penciptaan para malaikat, penghuni-penghuni dunia-dunia yang lain, dan penciptaan manusia, Allah Bapa dan Allah Anak memiliki hubungan istimewa yang sangat unik. Apa yang ingin saya lakukan ialah menunjukkan 10 poin mengenai hubungan intim ini antara Sang Bapa dan Sang Anak.

 

 

THE FIRST POINT

The first point that I would like to mention is that Jesus was a distinct Personality from the Father, with His own individuality. In other words, God the Father and God the Son are two separate Individuals,  They are two distinct Persons. We find this in the Bible as well as in the Spirit of Prophecy.

In John 17:5 we find these words,  “And now, O Father, glorify Me together with Yourself, with the glory which I had with You before the world was.” Obviously the Son cannot be with the Father and at the same time be the Father. And so you have two distinct Persons, two individualities.

 

POIN PERTAMA

Poin pertama yang ingin saya sebutkan ialah bahwa Yesus adalah Pribadi yang berbeda dari Bapa, dengan individualitasNya sendiri. Dengan kata lain, Allah Bapa dan Allah Anak adalah dua Individu terpisah, Mereka adalah dua Pribadi yang berbeda. Kita menemukan ini di Alkitab dan juga di Roh Nubuat.

Di Yohanes 17:5 kita menemukan kata-kata ini, Dan sekarang, ya Bapa, muliakanlah Aku bersama dengan DiriMu Sendiri dengan kemuliaan yang telah Kumiliki bersamaMu sebelum dunia ada…”  Jelas Sang Anak tidak bisa bersama dengan Bapa dan pada waktu yang sama juga adalah Bapa. Jadi ada dua Pribadi yang berbeda, dua Individu.  

 

 

In verse 22 of this prayer that Jesus raised to His Father we find these words, “22 And the glory which You gave Me I have given them, that they may be one just as We are one.” Now the apostles were twelve, Jesus prayed, “I want the twelve to be one, even as You and I are one.” So if twelve can equal one, two can equal one as well. So Jesus was not speaking numerically, Jesus was speaking as we'll see in terms of unity. As the disciples were twelve distinct persons or individualities, the Father and the Son are each an Individual, each a Person. 

Ellen White confirms this idea in Ministry of Healing page 422,  she stated, “The unity that exists between Christ and His disciples does not destroy the personality of either. They are one in purpose, in mind, in character, but not in person. It is thus that God and Christ are one.”

So the first point is, that the Father and the Son are two distinct Persons or individuals.

 

Di ayat 22 dari doa yang dinaikkan Yesus kepada BapaNya ini, kita menemukan kata-kata ini, Dan kemuliaan yang telah Engkau berikan kepada-Ku, Aku telah memberikan kepada mereka; supaya mereka boleh menjadi satu, sama seperti Kita adalah satu…”  Nah, para murid itu 12 orang, Yesus berdoa, “Aku ingin yang 12 itu menjadi satu, sama seperti Engkau dan Aku adalah satu.” Maka jika 12 bisa sama dengan satu, dua juga bisa sama dengan satu. Jadi Yesus tidak bicara tentang angka, seperti yang akan kita simak, Yesus bicara tentang kesatuan. Sebagaimana para murid itu 12 orang atau individu yang berbeda, maka Bapa dan Anak masing-masing adalah satu Individu, masing-masing satu Pribadi.

Ellen White mengkonfirmasi konsep ini di Ministry of Healing hal. 422, dia menyatakan,  “…Kesatuan yang ada antara Kristus dengan murid-muridNya tidak menghancurkan kepribadian masing-masing. Mereka itu satu dalam tujuan, dalam pemikiran, dalam karakter, namun tidak dalam pribadi. Seperti itulah Allah dengan Kristus satu adanya.”

Jadi poin yang pertama ialah, Bapa dan Anak adalah dua Pribadi atau Individu yang berbeda.  

 

 

THE SECOND POINT

The second point that I want us to notice is that even though the Father and the Son were two, the Bible describes Them as one, They are one in terms of character, and power. They are not one in terms of individuality. The Bible is very, very, clear that the Father and the Son are one in terms of unity, two Persons in unity.

Notice John 10:30 a very short verse. Here Jesus is speaking and He says, “I and the Father are one”.  That doesn't mean that They are the same Person, it means that They are in perfect unity even though They are two Persons.

 

POIN KEDUA

Poin kedua yang saya ingin kalian simak ialah walaupun Bapa dan Anak itu dua, Alkitab menggambarkan Mereka sebagai satu, Mereka itu satu dalam arti karakter, dan kekuasaan. Mereka bukan satu dalam arti individualitas. Alkitab itu amat sangat jelas bahwa Bapa dan Anak itu satu dalam arti kesatuan, dua Pribadi dalam kesatuan.

Simak Yohanes 10:30, ayat yang sangat singkat. Di sini Yesus sedang berbicara dan Dia berkata, “Aku dan Bapa adalah satu”.  Itu tidak berarti Mereka adalah Pribadi yang sama. Itu artinya Mereka berada dalam kesatuan yang sempurna walaupun Mereka itu dua Pribadi.

 

 

Ellen White corroborates and confirms this point. In Youths Instructor December 16. 1897 she had this to say, “From eternity there was a complete unity between the Father and the Son. They were two…”  see there?  “…They were two…” and I love the way she puts this, “…yet little short of being identical; two in individuality, yet one in spirit, and heart, and character.”

So she says two, yet  little short of being one, They were so similar.

 

Ellen White menguatkan dan mengkonfirm poin ini. Di Youth’s Instructor, 16 Desember 1897, dia mengatakan demikian, “…Sedari kekekalan, sudah ada kesatuan yang sempurna antara Bapa dan Anak. Mereka itu dua,…”  lihat itu?  “…Mereka itu dua,…”  dan saya suka cara Ellen White menyatakan ini, “…namun kurang sedikit lagi identitik. Dua dalam individualitas, namun satu dalam semangat, dan hati, dan karakter.…” 

Maka Ellen White mengatakan dua, namun nyaris sebagai satu, Mereka begitu serupa.

 

 

THE THIRD POINT

The third point that I want us to notice is that the Father and the Son are Both equally God. They are both 100% divine. Jesus is not a lesser God than the Father, He is equal to the Father. This is a vitally important point. The Son is not inferior to the Father, He is just as much God as the Father is. We find this for example in John 1:1-2, 1In the beginning was the Word, and the Word was with God, and the Word was God…”   who is that Word? It's Jesus. Because in verse 14 it says, 14 And the Word became flesh and dwelt among us…” So this is clearly telling us that Jesus the Word was God, Jesus is God.

 

POIN KETIGA

Poin ketiga yang saya ingin kita simak ialah Bapa dan Anak sama-sama Allah. Mereka keduanya 100% ilahi. Yesus bukan Allah yang lebih kecil daripada Bapak, Dia setara dengan Bapa. Ini sangat penting. Anak tidak lebih rendah daripada Bapa, Dia sama Allahnya sebagaimana Bapa adanya. Kita melihat ini misalnya di Yohanes 1:1-2, “Pada mulanya adalah Firman; dan Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah…”  siapa Firman itu? Itu Yesus. Karena di ayat 14 dikatakan,   “…14 Dan Firman itu telah menjadi daging dan diam di antara kita,…”  jadi ini dengan jelas mengatakan kepada kita bahwa Yesus, Firman itu, adalah Allah, Yesus itu Allah.

 

 

Ellen White of course confirms what we find in Scripture. In Counsels for the Church page 76 she stated this, “God is the Father of Christ; Christ is the Son of God. To Christ has been given an exalted position. He has been made equal with the Father. All the counsels of God are opened to His Son.” Equal to His Father.

 

Ellen White tentu saja menguatkan apa yang kita temukan di Kitab Suci. Di Counsels for the Church hal. 76, Ellen White menyatakan ini, “…Allah adalah Bapa Kristus. Kristus itu Anak Allah. Kepada Kristus telah diberikan kedudukan yang tinggi. Dia telah dibuat sejajar dengan Bapa. Semua pengetahuan Allah terbuka bagi AnakNya…” Setara dengan BapaNya.

 

 

In the book God's Amazing Grace page 160 we find another statement that basically has the same idea. “This Saviour was the brightness of His Fathers glory and the express image of His Person. He possessed divine majesty, perfection, and excellence.  He was equal with God. It pleased the Father that in Him should all fulness dwell’ (Colossians 1:19)....

Once again, equal with the Father.

 

Di buku God’s Amazing Grace hal 160, kita menemukan pernyataan lain yang pada dasarnya memiliki konsep yang sama. “…Juruselamat ini adalah terang dari kemuliaan BapaNya, dan gambar yang persis dari PribadiNya. Dia memiliki keagungan ilahi, kesempurnaan, dan keunggulan. Dia sederajat dengan Allah. Allah berkenan bahwa di dalam Dia terdapat segala kepenuhan’ (Col. 1:19). …” 

Sekali lagi, sederajat dengan Bapa.

 

 

In Patriarchs and Prophets pages 38-39 we find once again the same idea expressed the equality between the Father and the Son. It says there, “Christ was the Son of God; He had been one with Him before the angels  were called into existence. He had ever stood at the right hand of the Father…”   You'll notice that the Father is at the center of the throne, and the Son is at the right hand of the Father, in other words Jesus is the co-regent, He's the co-ruler, but the Father is the supreme ruler even though They are both God and equal.

 

Di Patriarchs and Prophets hal. 38-39, sekali lagi kita temukan konsep yang sama yang menyatakan kesetaraan antara Bapa dan Anak. Dikatakan di sana, “…Kristus adalah Anak Allah; Dia sudah satu denganNya sebelum para malaikat diciptakan melalui sabda. Dia selalu berdiri di sebelah tangan kanan Bapa…”  Kalian akan melihat bahwa Bapa yang ada di tengah-tengah takhta, dan Anak ada di tangan kanan Bapa, dengan kata lain Yesus adalah mitra penguasa, Dia memerintah bersama Bapa, tetapi Bapa adalah penguasa tertinggi walaupun Mereka sama-sama Allah dan setara.

 

 

THE FOURTH POINT

The fourth point that I want us to notice is that there is a special intimacy between the Father and the Son. The Bible tells us that the Son was in the bosom of the Father.  Notice what we find in John 1:18, 18 No one has seen God at any time. The only begotten Son, who is in the bosom of the Father, He has declared Him.” The Son is in the bosom of the Father.

 

POIN KEEMPAT

Poin keempat yang saya mau kita simak ialah ada keakraban yang istimewa antara Bapa dan Anak. Alkitab mengatakan kepada kita bahwa Anak berada di dada Bapa. Simak apa yang kita temukan di Yohanes 1:18, Tidak seorang pun yang pernah melihat Allah.  Satu-satunya Anak, yang ada di dada Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya…”  Anak ada di dada Bapa.

 

 

Ellen White always in harmony with Scripture confirms that point when she states in Review and Herald February 28, 1888, “He…” that is the Father “…permitted Him…” Jesus “…to leave…” where? “…the bosom of His love, the adoration of the angels to suffer shame, insult, humiliation, hatred, and death.”

Was Jesus in the bosom of the Father before He became incarnate according to this text? Absolutely! He was in the bosom of the Father before He came to this earth.

 

Ellen White, yang selalu serasi dengan Kitab Suci, mengkonfirmasi poin itu ketika dia menyatakan di Review and Herald 28 Februari 1888, “…Dia…”  yaitu Bapa   “…mengizinkan Dia…”  Yesus  “…meninggalkan…”  mana?  “…dada kasihNya, pemujaan para malaikat, untuk menanggung malu, penghinaan, direndahkan, kebencian dan kematian…” 

Apakah Yesus berada di dada Bapa sebelum Dia berinkarnasi menurut teks ini? Betul sekali! Dia berada di dada Bapa sebelum Dia datang ke dunia ini.

 

 

THE FIFTH POINT

The fifth point that I want us to notice is that Jesus is the express image of the Father's Person. Never in the Bible will you find that the Father is the image of the Son. The Son is the image of the Father. I want you to notice what we find in the book Lift Him Up page 24, “The Son of God was next in authority to the great Lawgiver…”  remember that! He was next in authority. So who was the supreme authority? The Father was the supreme authority even though They're equal. “…The Son of God was next in authority to the great Lawgiver…”   now notice, “…He was in the express image of His Father, not in features alone, but in perfection of character.”

So Jesus was the express image of His Father.

 

POIN KELIMA

Poin kelima yang saya mau kita simak ialah Yesus adalah gambaran yang persis dari Pribadi Bapa. Tidak pernah di Alkitab kita temukan bahwa Bapa adalah gambaran dari Anak. Anak itu yang gambaran Bapa. Saya mau kalian menyimak apa yang kita temukan di buku Lift Him Up hal. 24, “…Anak Allah adalah pemegang kekuasaan yang berikutnya setelah Pembuat Hukum yang Agung…” ingat itu! Dia adalah yang berikutnya yang punya wewenang. Jadi siapa autoritas tertingginya? Bapa adalah autoritas tertingginya walaupun Mereka itu setara. “…Anak Allah adalah pemegang kekuasaan yang berikutnya setelah Pembuat Hukum yang Agung…” sekarang simak, “…Dia adalah gambaran persis BapaNya, bukan hanya dalam raut wajah, tetapi dalam kesempurnaan karakter…”

Jadi Yesus adalah gambaran persis dari BapaNya.

 

 

Now, we need to understand something about that expression “express image”. In the New Testament there are several texts that say that we were created in the image of God and we are to be recreated in the image of God. The word that is used there is the word εἰκών [eikōn] where we get the word "icon" from.

But when the Bible speaks about Jesus being the image of His Father, a special word is used in Hebrews 1:3 it is the Greek word χαρακτήρ [charaktēr]. What word do we get from χαρακτήρ [charaktēr]? The word "character”. The express image of the Father means that Jesus is the express character of the Father.  He's the express image of the Father.

Both the Bible and the Spirit of Prophecy tell us that the Son is the image of the Father.

 

Nah, kita perlu memahami tentang ungkapan “gambaran persis”. Di Perjanjian Baru ada beberapa ayat yang mengatakan bahwa kita diciptakan dalam gambar Allah dan kita akan diciptakan ulang dalam gambar Allah. Kata yang dipakai di sana ialah kata εἰκών [eikōn]  dari mana kita memperoleh kata “ikon”.

Tetapi ketika Alkitab bicara tentang Yesus itu gambaran dari BapaNya, dipakai kata yang khusus di Ibrani 1:3, yaitu kata Greeka χαρακτήρ [charaktēr], kita memperoleh kata apa dari χαρακτήρ [charaktēr]? Kata “karakter”. Gambaran persis Bapa berarti Yesus adalah karakter yang persis dari Bapa. Dialah gambaran persis dari Bapa.

Baik Alkitab maupun Roh Nubuat mengatakan kepada kita bahwa Anak adalah gambaran dari Bapa.

 

 

THE SIXTH POINT

Point # 6. Jesus is the Father's second-self. Like Father like Son. John 14:9,  Jesus said to him…” He's talking to Philip,  “…‘Have I been with you so long, and yet you have not known Me, Philip? He who has seen Me has seen the Father; so how can you say, ‘Show us the Father’?” Is Jesus like the second-self of the Father, that whoever sees the Son is seeing the Father? Absolutely!

Ellen White in a statement that we read before confirms the same idea when she states in Youth’s Instructor December 16, 1897,   “From eternity there was a complete unity between the Father and the Son. They were two, yet little short of being…” what?  “…identical;…”   See? The Father's second-self,  “…two in individuality, yet one in spirit, and heart, and character.”

 

POIN KEENAM

Poin # 6. Yesus adalah diri kedua Bapa. Seperti Bapa seperti Anak. Yohanes 14:9, Kata Yesus kepadanya,…” Dia sedang bicara kepada Filipus, “…‘Telah sekian lama Aku bersama dengan kamu, namun engkau tidak mengenal Aku, Filipus? Dia yang telah melihat Aku, telah melihat Bapa; bagaimana engkau masih berkata, Tunjukkanlah Bapa kepada kami?’…”  apakah Yesus seperti diri kedua Bapa sehigga siapa yang melihat Anak itu seperti melihat Bapa? Tentu saja!

Ellen White dalam sebuah pernyataan yang sudah kita  baca sebelumnya mengkonfirmasi ide yang sama ketika dia menyatakan di Youth’s Instructor 16 Desember 1897,  “…Sedari kekekalan, sudah ada kesatuan yang sempurna antara Bapa dan Anak. Mereka itu dua, namun kurang sedikit lagi…”  apa?  “…identitik…”  lihat? Diri kedua Bapa,  “…Dua dalam individualitas, namun satu dalam semangat, dan hati, dan karakter.…” 

 

 

THE SEVENTH POINT

Point # 7. Because Jesus is the eternal Son of God, He is of the same substance as the Father. He's composed of the same stuff. Might it be an exaggeration to say that He has the same DNA as the Father? I don't think it would be a great exaggeration because in Philippians 2:6 we find that it tells us that Jesus was the same stuff as the Father. He was “in the form of God”. And that word “form” in the New Testament is not talking about the shape of something. The word “form” there refers to the substance or essence of which an individual is composed.

 

POIN KETUJUH

Poin # 7. Karena Yesus adalah Anak Allah yang kekal, Dia adalah dari substansi/unsur yang sama dengan Bapa. Dia adalah dari bahan yang sama. Apakah terlalu berlebihan mengatakan bahwa Dia memiliki DNA yang sama dengan Bapa? Saya rasa itu tidaklah terlalu berlebihan karena di Filipi 2:6 kita menemukan, dikatakan bahwa Yesus adalah dari bahan yang sama dengan Bapa. Dia dalam bentuk Allah”, dan kata “bentuk” ini di Perjanjian Baru tidak bicara tentang rupa sesuatu. Kata “bentuk” di sini mengacu kepada substansi (bahan) atau unsur yang membentuk individu itu.

 

 

Ellen White in harmony with Philippians 2:6 expresses it this way, Signs of the Times November 27, 1893, ’I and the Father are one’…” ~ she's going to comment on this verse. “…The words of Christ were full of deep meaning as He put forth the claim that He and the Father…” listened carefully “…were of...” what? “…of one substance, possessing the same attributes.”

 

Ellen White serasi dengan Filipi 2:6, menyatakannya demikian di Signs of the Times 27 November 1893, “’Aku dan BapaKu adalah satu’…”  Ellen White akan mengomentari ayat ini. “…Kata-kata Kristus dipenuhi makna yang dalam saat dia mengetengahkan klaim bahwa Dia dan Bapa…” dengarkan baik-baik, “…adalah dari…” apa? “…dari satu substansi, memiliki sifat-sifat yang sama…”

 

 

In Review and Herald April 5, 1906, we find this remarkable statement, “Christ was God essentially…” now when it says “essentially” it's not saying, well, He was essentially God. Not in that sense. The word “essentially” means in His essence or in His substance. So Ellen White is saying Christ was God essentially, in His essence   “… and in…” what? “…in the highest sense”.

 

Di Review and Herald 5 April 1906, kita mendapati pernyataan yang luar biasa ini,    “…Kristus adalah Allah secara esensi…”  nah, ketika dikatakan “secara esensi” ini tidak mengatakan, nah, Dia pada dasarnya adalah Allah. Bukan dengan pengertian itu. Kata “secara esensi” berarti dalam esensiNya atau substansiNya (bahanNya). Jadi Ellen White mengatakan Kristus adalah Allah secara esensi, dalam esensiNya    “…dan dalam…” apa?    “…dalam pengertian yang paling tinggi.”

 

 

THE EIGHTH POINT

Point # 8. It is the Father's glory that shines on the face of Jesus. Jesus is a reflection of the Father's glory. Notice Hebrews 1:3 there we are told that Jesus is the “brightness of the Father's glory”. You never find that the Father is the brightness of the Son's glory, it is always the Son who is the reflection of the Father's glory.

John 1:14 adds the same thought, it says,  “and the Word became flesh and dwelt among us and we beheld His glory, the glory as…” what? “…as of the only begotten of the Father full of grace and truth.”  So whose glory was the glory of Jesus? It was the glory of the Father.

In 2 Corinthians 4:6 we find this verse, “ For it is the God who commanded light to shine out of darkness, who has shone in our hearts to give the light of the knowledge of the glory of God in the face of Jesus Christ.” The glory of God in the face of Jesus Christ.

 

POIN KEDELAPAN

Poin # 8. Kemuliaan Allah-lah yang bersinar di wajah Yesus. Yesus adalah pantulan kemuliaan Bapa. Simak Ibrani 1:3 di sini kita diberitahu bahwa Yesus adalah terang kemuliaan Allah Bapa”. Kita tida pernah menemukan Bapa adalah sinar kemuliaan Anak, selalu Anak yang memantulkan kemuliaan Bapa.

Yohanes 1:14 menambahkan pemikiran yang sama, mengatakan, Dan Firman itu telah menjadi daging dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan sebagai…”  apa?   “…sebagai satu-satunya yang berasal dari  Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran…”  Jadi kemuliaan Yesus itu kemuliaan siapa? Itu kemuliaan Bapa.

Di 2 Korintus 4:6 kita mendapatkan ayat ini,    “…6 Sebab Allah yang telah memerintahkan  terang untuk bersinar dari kegelapan, yang telah bersinar dalam hati kita, untuk memberikan terang dari pengetahuan tentang kemuliaan Allah di wajah Yesus Kristus…”  Kemuliaan Allah di wajah Yesus Kristus.

 

 

Ellen White as usual confirms this same idea. The Christology of Ellen White is in harmony, perfect harmony with the Bible. She states in the book Medical Ministry page 19, “He was the brightness of…” whose glory?   “…of the Fathers glory, the express image of His Person.”

 

Ellen White seperti biasa mengkonfirmasi ide yang sama ini. Kristologi Ellen White itu serasi sempurna dengan Alkitab. Dia menyatakan di buku Medical Ministry hal. 19, “…Dia adalah terang kemuliaan…” siapa? “…kemuliaan Bapa, gambaran yang persis dari PribadiNya.”

 

 

In Christ’s Object Lessons page 115 she states, “In Him is gathered all the glory of…” whom?  “…all the glory of the Father, the fullness of the Godhead.  He is the brightness of the Fathers glory and the express image of His Person.”

 

Di Christ’s Object Lessons hal. 115, Ellen White menyatakan,  “…Dalam DiriNya terkumpul semua kemuliaan…”  siapa?    “…semua kemuliaan Bapa, kepenuhan Keilahian. Dialah terang kemuliaan Bapa, dan gambaran persis dari PribadiNya.”

 

 

In Testimonies for the Church Vol. 2 page 200 Ellen White repeats the same thought.  “This Saviour was the brightness of His Fathers glory and the express image of His Person. He possessed divine majesty, perfection, and excellence.  He was equal with God.”

 

Di Testimonies for the Church Vol. 2 hal. 200, Ellen White mengulangi konsep yang sama.   “…Juruselamat ini adalah terang dari kemuliaan BapaNya, dan gambar yang persis dari PribadiNya. Dia memiliki keagungan ilahi, kesempurnaan, dan keunggulan. Dia sederajat dengan Allah. …”

 

 

THE NINTH POINT

Point # 9. Even though Jesus and the Father are on a level of equality as Persons, the Son is subject to the Father's authority as His head. Is it possible for someone to be equal with someone else and to be under that someone else's authority? Absolutely! Notice what we find clearly revealed in 1 Corinthians 11:3. It says there basically that the head of Christ is the Father.  Christ is the head of the man; and the man is the head of the woman. So the Father is the head of Christ according to Scripture, in other words Christ is subject, is submissive to His Father's will, in eternity past, in the present, and in the future.  Both the Father and the Son have authority and dominion; but the Father has absolute authority and the Son has delegated authority. Never has the Son acted independently of the Father. He has ever been subject to His Father's authority and His Father's will. Before the creation of angels and man, Jesus was already subject to the Father's authority. And you say, “How do you know that?”

Well, let's read a couple of statements from the Spirit of Prophecy.

 

POIN KESEMBILAN

Poin # 9. Walaupun Yesus dan Bapa itu sederajat sebagai Pribadi, namun Anak itu tunduk kepada autoritas Bapak sebagai kepalaNya. Apakah mungkin bagi seseorang setara dengan orang lain dan tetap berada di bawah kekuasaan orang lain tersebut? Tentu saja! Simak apa yang kita lihat dinyatakan dengan jelas di 1 Korintus 11:3. Dikatakan di sana, pada dasarnya kepala Kristus adalah Bapa. Kristus adalah kepala laki-laki; dan laki-laki adalah kepala perempuan. Jadi menurut Kitab Suci Bapa adalah kepala Kristus, dengan kata lain Kristus itu tunduk, berserah kepada kehendak Bapa, dari kekekalan lampau, sekarang, hingga kekekalan masa depan. Baik Bapa dan Anak memiliki autoritas dan kuasa; tetapi Bapa memiliki autoritas yang mutlak, dan Anak memiliki autoritas yang didelegasikan. Tidak pernah Anak bertindak sendiri di luar Bapa. Dia selalu tunduk pada autoritas BapaNya dan kehendak BapaNya. Sebelum penciptaan malaikat dan manusia, Yesus sudah tunduk pada autoritas Bapa. Dan kalian berkata, “Dari mana kita tahu itu?”

Nah, mari kita  baca dua pernyataan dari Roh Nubuat.

 

 

The first one is found in the book Story of Redemption page 13. This is too clear to be misunderstood. It says there, “The great Creator…”  who's the great Creator? The Father. Notice “…The great Creator assembled the heavenly host, that He might…” that who might? God the Father “…might in the presence of all the angels confer special honor upon His Son…” Who was conferring honor upon whom? The Father on the Son.  “…The Son was seated on the throne with the Father, and the heavenly throng of holy angels was gathered around them. The Father then made known that it was ordained by Himself that Christ, His Son, should be equal with Himself; so that wherever was the presence of His Son, it was as His own presence…”  see, that's the idea of the other self of the Father. She continues writing, “…The word of the Son was to be obeyed as readily as the word of the Father…”   now notice this, “…His Son He had invested with authority…” who invested whom? The Father invested the Son with authority.  “…His Son He had invested with authority to command the heavenly host. Especially was His Son to work in union with Himself…”  and we know that because in Genesis the Father says to the Son, “Let Us make man in Our image”,  “…in the anticipated creation of the earth and every living thing that should exist upon the earth…”  now listen carefully, “… His Son would carry out His will…”  whose will does the Son carry out? The Father's will “…and His purposes…”  whose purposes would the Son carry out? The Father's purposes “…but would do nothing of Himself alone. The Fathers will would be fulfilled in Him.”

Was the Son subject to the authority of the Father. and to the Father's will? Unquestionable, according to the Spirit of Prophecy.

 

Yang pertama ditemukan di buku Story of Redemption hal. 13. Ini terlalu jelas untuk bisa disalahpahami. Dikatakan di sana, “…Sang Pencipta Agung…”  siapakah Sang Pencipta Agung? Bapa. Simak, “…Sang Pencipta Agung mengumpulkan balatentara surgawi, supaya Dia bisa…” supaya siapa yang bisa? Allah Bapa  “…bisa di hadapan semua malaikat, memberikan kehormatan istimewa ke atas AnakNya…”  Siapa yang memberikan kehormatan kepada siapa? Bapa kepada Anak.  “…Sang Anak duduk di atas takhta bersama Bapa, dan kumpulan besar surgawi yaitu para malaikat kudus mengelilingi Mereka. Lalu Bapa mengumumkan bahwa telah ditetapkan oleh DiriNya Sendiri bahwa Kristus, AnakNya, haruslah sederajat dengan DiriNya, sehingga di mana pun ada kehadiran AnakNya, itu sama dengan kehadiranNya Sendiri.…”  lihat, itulah konsep diri kedua dari Bapa. Ellen White melanjutkan menulis,   “…Perkataan Sang Anak harus siap dipatuhi sama seperti perkataan Sang Bapa…”  sekarang simak ini,  “…AnakNya telah diberiNya autoritas…”  siapa yang memberi siapa? Bapa yang memberi Anak autoritas.   “…AnakNya telah diberiNya autoritas

untuk memerintah atas balatentara surgawi. Khususnya AnakNya akan bekerjasama dengan DiriNya…”  dan kita tahu hal itu karena di kitab Kejadian Bapa berkata kepada Anak, “Mari Kita membuat manusia dalam gambar Kita’, “…dalam penciptaan bumi dan semua makhluk hidup yang akan ada di bumi, yang telah direncanakan…”  sekarang dengarkan baik-baik, “…AnakNya akan menjalankan kehendakNya…”  kehendak siapa yang dijalankan Anak? Kehendak Bapa, “…dan tujuan-tujuanNya…” tujuan-tujuan siapa yang akan dilaksanakan Anak? Tujuan-tujuan Bapa,  “…tetapi tidak akan melakukan apa pun sendiri. Kehendak Bapa akan digenapi dalam DiriNya…”

Apakah Anak tunduk kepada autoritas Bapa, dan kepada kehendak Bapa? Tidak diragukan lagi, menurut Roh Nubuat.

 

 

There's another statement that adds details. Patriarchs and Prophets page 36, “The King of the universe…” the other statement says “the great Creator” and we already studied this. In what sense is God the Father the great Creator? He's the One that devised the plan and by His will creation took place, but He does it through His Son.  “…The King of the universe summoned the heavenly hosts before Him, that in their presence He might set forth the true position of His Son and show the relation He sustained to all created beings…”  so who's giving the explanations here? The Father.  “…The Son of God shared the Fathers throne…”  but where was the Son sitting? We already noticed:  to the right hand. “…The Son of God shared the Fathers throne and the glory of the eternal, self-existent One encircled both. …. Before the assembled inhabitants of heaven the King declared…”   who is the king? The Father “…the King declared that none but Christ, the Only Begotten of God, could fully enter into His purposes, and to Him it was committed to execute the mighty counsels of His will…” of whose will? Of the Father's will.  “…The Son of God had wrought…”  now listen carefully, was the Son subject to the Father even before the angels were created? Listen to this, it says, “…The Son of God had wrought the Fathers will in the creation of all the hosts of heaven;…” He was subject to the Father even when He created the angels. She continues saying,  “…and to Him, as well as to God, their homage and allegiance were due. Christ was still to exercise divine power, in the creation of the earth and its inhabitants.  But in all this He would not seek power or exaltation for Himself contrary to Gods plan, but would exalt the Fathers glory and execute His purposes of beneficence and love.”

Was the Son subject to the authority of the Father even before the creation of the angels? I don't know how else you can read this.

 

Ada pernyataan yang lain yang menambahkan detail. Patriarchs and Prophets hal. 36, “…Raja alam semesta…”  di pernyataan yang lain dikatakan “Sang Pencipta Agung” dan kita sudah mempelajari itu. Dalam pengertian apa Allah Bapa itu Pencipta Agung? Dialah yang membuat rencana dan oleh kehendakNya penciptaan terjadi, tetapi Dia melaksanakannya melalui AnakNya. “…Raja alam semesta memanggil semua balatentara surgawi menghadapNya, supaya di hadapan mereka Dia bisa menempatkan kedudukan yang benar dari AnakNya dan menunjukkan hubungan yang dimilikiNya dengan semua makhluk ciptaan…”  Jadi siapa yang memberikan penjelasannya di sini? Bapa. “…Bapa berbagi takhtaNya dengan Anak Allah, dan kemuliaan Dia yang kekal yang selalu ada, menyelubungi Mereka berdua… Di hadapan penghuni surgawi yang sedang berkumpul, Sang Raja  mengumumkan…”  Raja itu siapa? Bapa, “…Sang Raja mengumumkan bahwa tidak ada yang lain kecuali Kristus, Satu-satunya yang berasal dari Allah, yang bisa sepenuhnya masuk ke dalam tujuan-tujuanNya, dan kepadaNya telah diserahkan untuk menjalankan rencana-rencana besar dari kehendakNya…”  kehendak siapa? Kehendak Bapa.  “…Anak Allah telah mengerjakan…”  sekarang dengarkan baik-baik, apakah Anak tunduk kepada Bapa bahkan sebelum malaikat diciptakan? Dengarkan ini, dikatakan,  “…Anak Allah telah mengerjakan kehendak Bapa pada penciptaan semua makhluk surgawi…”  Dia tunduk kepada Bapa bahkan sebelum Dia menciptakan para malaikat. Ellen White melanjutkan berkata, “…dan kepadaNya dan juga kepada Allah, harus mereka berikan penghormatan dan kesetiaan mereka. Kristus masih harus menjalankan kekuasaan Ilahi dalam menciptakan bumi dan isinya, tetapi dalam semua hal ini Dia tidak mencari kuasa atau meninggikan DiriNya sendiri bertentangan dengan rencana Allah, melainkan akan meninggikan kemuliaan Bapa dan menjalankan tujuan-tujuan kemurahanNya dan kasihNya…” 

Apakah Anak tunduk kepada autoritas Bapa bahkan sebelum penciptaan malaikat? Entah bagaimana lagi kita bisa membaca itu.

 

 

When I preached this sermon at GYC, a president of a whole division wrote a blurb  in the division paper saying that what had been presented at this convention ~ he didn't mention where it was, or who it was that was preaching ~ “don't believe that Jesus was subordinate to the Father in eternity past.”

But the fact is that Ellen White states that He was. And there are texts in the Bible that point the same thing: 1 Corinthians 8:6, Hebrews 1:3, Colossians 1:15-17, make it very clear that everything was created by the Father's will through the Son.

By the way, after His incarnation was Jesus still subject to the Father? Have you ever read Matthew 28:18? Well, that's what Jesus says, 18 And Jesus came and spoke to them, saying…” speaking to His disciples,  “…‘All authority…” excuse me,  “…All authority…”  what? “…has been given to Me in heaven and on earth.” Who gave it to Him? The Father.

 

Ketika saya mengkhotbahkan ini di GYC, seorang presiden dari seluruh divisi menulis sebuah uraian singkat di berita divisi bahwa apa yang telah disampaikan di konvensi itu ~ dia tidak menyebut di mana atau siapa yang mengkhotbahkannya ~ “jangan mempercayai bahwa Yesus tunduk kepada Bapa di kekekalan lampau.” Tetapi faktanya Ellen White menyatakan bahwa itu benar. Dan ada ayat-ayat di Alkitab yang menunjuk ke hal yang sama: 1 Korintus 8:6, Ibrani 1:3, Kolose 1:15-17, membuatnya sangat jelas bahwa segala diciptakan oleh kehendak Bapa melalui Anak.

Nah, setelah inkarnasiNya, apa Yesus masih tetap tunduk kepada Bapa? Pernahkah kalian membaca Matius 28:18? Nah, itulah yang dikatakan Yesus, 28 Dan Yesus datang  dan berkata kepada mereka, …”  bicara kepada para muridNya,  “…‘Segala kuasa telah diberikan kepada-Ku di sorga dan di bumi.’…”  Siapa yang memberikan kepadaNya? Bapa.

 

 

In fact you can read Philippians 2:9-11 it says, “ Therefore God (= the Father) also has highly exalted Him and given Him the name which is above every name, 10 that at the name of Jesus every knee should bow, of those in heaven, and of those on earth, and of those under the earth, 11 and that every tongue should confess that Jesus Christ is Lord, to the glory of God the Father’...” The Father highly exalts Him and the Father gives Him the name that is above every name.

Even after the resurrection He is subject to the authority of the Father.

 

Malah kalian bisa membaca Filipi 2:9-11, yang mengatakan, 9 Itulah sebabnya Allah ( = Bapa) juga telah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama. 10 supaya pada nama Yesus, setiap lutut akan sujud, dari mereka yang ada di langit, dan dari mereka  yang ada di atas bumi, dan mereka yang ada di bawah bumi, 11 dan setiap lidah akan mengakui ‘Yesus Kristus adalah Tuhan, bagi kemuliaan Allah, Bapa!’ …” 

Bapa sangat meninggikan Dia dan Bapa memberiNya nama yang di atas segala nama.

Bahkan setelah kebangkitan, Dia tunduk kepada autoritas Bapa.

 

 

Is Jesus going to be subject to the authority of the Father when all of sin is eradicated from the universe? Yes! 1 Corinthians 15:28, “ 28 Now when all things are made subject to Him, then the Son Himself will also be subject to Him who put all things under Him, that God may be all in all.” In eternity future the Son will be subject to the Father. 

And some people say, “Well, I don't like that.”  Well, I'm sorry, but we have our heads screwed on wrong because we think that subjection is inferiority, if you take orders from anyone, if you do anyone's will, then that person is superior to you. I'll tell you, surprise! Surprise! Jesus said that the servant is the greatest, the one who descends is the one who is higher. The problem is with our way of thinking that subjection is bad. But subjection existed before sin even came in the universe, because the Son subjected Himself to His Father's will. Are you with me?

 

Apakah Yesus akan tunduk kepada autoritas Bapa ketika semua dosa sudah dihapuskan dari alam semesta? Ya! 1 Korintus 15:28, 28 Nah, ketika segala sesuatu telah ditaklukkan di bawah Dia, maka Anak itu sendiri juga akan takluk kepada Dia yang telah meletakkan segala sesuatu di bawah-Nya, supaya Allah menjadi segalanya di dalam semua…”  Di kekekalan masa depan Anak akan tetap tunduk kepada Bapa.

Dan ada orang-orang yang berkata, “Wah, saya tidak suka itu.” Nah, maaf saja, tapi kepala kita terpasang terbalik karena kita menganggap bahwa penurutan itu inferior, jika kita melakukan perintah dari seseorang, jika kita mengerjakan kehendak seseorang, maka orang tersebut lebih tinggi daripada kita. Saya punya berita, kejutan! Kejutan! Yesus berkata bahwa yang melayani itu yang paling besar, dia yang turun ke bawah adalah dia yang lebih tinggi. Masalahnya terletak di cara berpikir kita bahwa kepatuhan itu buruk. Tetapi kepatuhan sudah ada bahkan sebelum dosa masuk ke alam semesta, karena Anak menempatkan DiriNya tunduk kepada kehendak Bapa. Apakah kalian paham?

 

 

THE TENTH POINT

Point # 10. It was a delight for the Son to subject Himself before His Father, because He knew that His Father loved Him. Is subjection quite simple when you know that the person you've subjected yourself to loves you? Absolutely! You can read in the Gospel of John several texts where Jesus says “the Father loves Me therefore I do what the Father tells Me, because I know that He loves Me.” So the Son is subject to the Father, not as a slave but it's a voluntary submission, because He knows that His Father loves Him.

 

POIN KESEPULUH

Poin # 10. Bagi Anak adalah suatu kesenangan menempatkan DiriNya tunduk kepada BapaNya, karena Dia tahu BapaNya mengasihiNya. Apakah penurutan itu cukup mudah bila kita tahu orang kepada siapa kita tunduk itu mengasihi kita? Tentu saja! Kalian bisa membaca di Injil Yohanes ada beberapa ayat di mana Yesus berkata, “Bapa mengasihi Aku, karena itu Aku melakukan apa yang disuruh Bapa, karena Aku tahu Dia mengasihi Aku.” Maka Anak itu tunduk kepada Bapa, bukan sebagai seorang budak tetapi itu adalah kepatuhan sukarela, karena Dia tahu BapaNya mengasihi Dia.

 

 

Now let's transition to the time that Adam and Eve were created. God worked the better part of six days and everything that He made was perfect and beautiful. As the crowning act of creation, God formed man from the dust of the ground, breathed into his nostrils the breath of life, and Adam became a living being. Adam then named the animals; as he did so, he noticed that each animal had its counterpart like itself, but he did not have a companion such as him. We find this in Genesis 2:20. 20… But for Adam there was not found a helper comparable to him.” So God then gives Adam the first general anesthesia of history. The Bible says that he falls into a deep sleep and God performed the first surgery and left no scar. God from one of the ribs created a woman, and He brought her to the man, God's gift to Adam. We find in Genesis 2:22, 22 Then the rib which the Lord God had taken from man He made into a woman, and He brought her to the man…” Now you can imagine what it was like when Adam opened his eyes from the general anesthesia that he had been under. Wow! His mouth falls open and he sees this beautiful woman. He says, “Wow! One just like me!”  And then the story tells us that God performed the first marriage of human history, the marriage of Adam and Eve.

 

Sekarang mari kita beralih ke masa ketika Adam dan Hawa diciptakan. Allah bekerja selama bagian terbesar dari enam hari itu dan semua yang dibuatNya itu sempurna dan indah. Sebagai karya penciptaan yang tertinggi, Allah membentuk manusia laki-laki dari debu tanah, mengembuskan ke lubang hidungnya nafas hidup, dan Adam menjadi makhluk yang hidup. Adam lalu menamai hewan-hewan. Saat dia berbuat itu, dia menyadari bahwa setiap hewan punya pasangannya yang serupa dengannya, tetapi dia tidak punya pendamping yang serupa dirinya. Kita temukan ini di Kejadian 2:20,20 Tetapi bagi Adam tidak ditemukan seorang  penolong yang sepadan dengan dia…”  Maka Allah kemudian memberi Adam anestesi penuh yang pertama dalam sejarah. Alkitab berkata Adam tertidur dalam tidur yang sangat lelap dan Allah melakukan tindakan bedah yang pertama tanpa meninggalkan bekas. Dari salah satu tulang rusuk laki-laki itu, Allah menciptakan seorang perempuan, dan Dia membawa perempuan itu kepada laki-laki itu, pemberian Allah kepada Adam. Kita temukan di Kejadian 2:22,  “…Lalu rusuk yang diambil TUHAN Allah dari laki-laki itu, dibuatnya menjadi seorang perempuan, dan Dia membawanya kepada laki-laki itu…”  Nah, bisa kalian bayangkan bagaimana ketika Adam membuka matanya dari anestesi yang tadinya dia alami. Wow! Mulutnya menganga, dan dia melihat perempuan yang cantik ini. Dia berkata, “Wow! Satu yang persis aku!” Kemudian kisah itu memberitahu kita bahwa Allah melakukan upacara perkawinan yang pertama dalam sejarah manusia, perkawinan Adam dan Hawa.

 

 

Now let's go to Genesis 1:26 and discover some very interesting details. I believe that as you study Genesis it is inevitable to reach the conclusion that God wanted the relationship of Adam and Eve to be an earthly reflection of the relationship between the Father and the Son. In other words, God wanted to show, He wanted to explain in a miniature way ~ just like He explained the heavenly sanctuary with a miniature ~ what the relationship was between He and His Son. Notice Genesis 1:26, 26 Then God…” who is this that is speaking here? It's God the Father, folks.  Early Writings 145,  “…26 Then God said,…” is He talking to Himself? No! Who is He talking to? To the Son, to Jesus.  “…26 Then God said, ‘Let Us…” that would be Father and Son, right? “…make man…”

Now I need to tell you something about the word “man”. In Genesis 1 and 2 the word “man” is always used with the definite article “the man” and it applies only to masculine except in this one case. The use of “man” here is a generic use, it does not have the definite article; in other words  “man” here includes man and woman, not only the masculine man, are you understanding what I'm saying? And I'll just reflect what the Hebrew says.

So He says, “…‘ Let Us…” Father and Son “…make man…” that is Adam and Eve, how?   “…in Our image, according to Our likeness;…” Now let me ask you, is the relationship between Adam and Eve a reflection of the relationship between the Father and the Son? Yes! Not only are they individually in the image of God, but the relationship between the two is a reflection of the relationship between the Father and the Son. That's why the Father says to the Son, “…Let Us…”,  both of Us “…make man…” generically man and woman “…in Our image…” in other words, they are going to reflect the relationship that exists between Us.

So it says, “26 Then God said, ‘Let Us make man in Our image, according to Our likeness; let them have dominion…”  let me ask you, did the Father and the Son both have dominion? Yes or No? Sure, but who had absolute dominion according to what we noticed? The Father is sitting on the center of the throne; the Son has dominion but it's the Father who is the head, and has absolute dominion. He's the great Creator, He is the King of the universe. According to what we read, and I mean they both have dominion, but let me ask you, who would be the head in this relationship? Not Jesus,  Adam. Now notice, “… ‘Let Us make man in Our image, according to Our likeness; let them have dominion over the fish of the sea, over the birds of the air, and over the cattle, over all the earth and over every creeping thing that creeps on the earth.’…” 

 

Sekarang mari kita ke Kejadian 1:26 dan menemukan detail-detail yang sangat menarik. Saya yakin saat kita mempelajari Kejadian tidak terelakkan kita akan tiba pada kesimpulan bahwa Allah menginginkan hubungan antara Adam dan Hawa menjadi pantulan duniawi dari hubungan antara Bapa dan Anak. Dengan kata lain, Allah ingin menunjukkan, Dia ingin menjelaskan dalam bentuk miniatur ~ persis seperti Dia menjelaskan Bait Suci surgawi dengan sebuah miniatur ~ bagaimana hubungan antara Dia dengan AnakNya. Simak Kejadian 1:26, 26  Lalu Allah…”  siapa yang bicara di sini? Ini Allah Bapa, Saudara-saudara. Early Writings hal. 145. “…26  Lalu Allah berkata,…” apakah Dia bicara sendiri? Tidak! Dia bicara kepada siapa? Kepada Anak, kepada Yesus, “…26  Lalu Allah berkata,Marilah Kita…”  ini berarti Bapa dan Anak, kan?  “…membuat manusia…” 

 Nah, saya perlu memberitahu kalian tentang kata “man”. Di Kejadian 1 dan 2 kata “man” selalu dipakai dengan kata sandang tentu “the man”( = laki-laki itu), dan itu diaplikasikan hanya kepada laki-laki, kecuali dalam satu kasus ini. Penggunaan kata “man” di sini, adalah penggunaan generik, karena tidak ada kata sandang tentunya (the). Dengan kata lain “man” di sini bicara tentang laki-laki dan perempuan, bukan hanya laki-laki. (Dalam bahasa Idonesia kita terjemahkan “manusia”).  Apakah kalian paham apa yang saya katakan? Dan saya hanya memantulkan apa yang dikatakan dalam bahasa Ibrani.

Maka Dia berkata,  “…26  Lalu Allah berkata,Marilah Kita…”  Bapa dan Anak “…membuat manusia…”  yaitu Adam dan Hawa, bagaimana? “…menurut gambar Kita, menurut keserupaan Kita,…” Sekarang, coba saya tanya, apakah hubungan antara Adam dan Hawa suatu pantulan dari hubungan antara Bapa dengan Anak? Ya! Bukan hanya mereka masing-masing dalam gambar Allah, tetapi hubungan antara keduanya adalah pantulan dari hubungan antara Bapa dan Anak. Itulah mengapa Bapa berkata kepada Anak,   “…‘Marilah Kita…” Kita berdua “…membuat manusia…” laki-laki dan perempuan, “…menurut gambar Kita,…”  dengan kata lain, mereka akan memantulkan hubungan yang ada di antara Kita.

Jadi dikatakan, “…26  Lalu Allah berkata,Marilah Kita membuat manusia menurut gambar Kita, menurut keserupaan Kita,  menurut keserupaan Kita, dan hendaknya mereka  berkuasa…”  coba saya tanya, apakah Bapa dan Anak keduanya punya kuasa? Ya atau Tidak? Tentu saja, tetapi siapa yang punya kuasa mutlak menurut apa yang kita simak? Bapa, yang duduk di tengah-tengah takhta; Anak punya kuasa tetapi Bapalah kepalanya, dan yang memiliki kekuasaan mutlak. Dialah Sang Pencipta Agung, Dialah Raja alam semesta. Menurut apa yang kita baca, dan maksud saya mereka berdua punya kekuasaan. Tetapi coba saya tanya, siapakah kepala dari hubungan ini? Bukan Yesus, tetapi Adam. Sekarang simak, “…26  Lalu Allah berkata,Marilah Kita membuat manusia menurut gambar Kita, menurut keserupaan Kita, dan hendaknya mereka  berkuasa  atas ikan-ikan di laut, dan ungags-unggas di udara, dan atas ternak, dan atas seluruh bumi, dan atas segala binatang merayap yang merayap di bumi.’…”

 

 

So what I want you to notice now is that the relationship between Adam and Eve was to be a small scale model of the relationship between the Father and the Son. So let's draw that parallel now.

1.   The creation story makes it absolutely clear that Adam and Eve were two distinct persons.

Is that true? Adam existed before Eve, so they cannot be the same person, they are two distinct persons just like the Father and the Son are two.

 

2.   But let me ask you, does the creation story ~ this is point # 2 ~ does the creation story state clearly that Adam and Eve were one? Yes.

In fact, God says they will no longer be two but they will be one, two persons but one. Does that begin to ring an interesting bell? The Father and the Son are two but They were also what? They were also one.

 

3.     Now let me ask you, Adam and Eve did they stand on a level of equality?

Were they both equally human? Are they both referred to with a generic word “man” just like the Son and the Father are called “God”? Yes! Was Eve a lesser order of humanity? No, she was a hundred percent “man” in the generic sense of the word. Were Jesus and the Father both God? Were they equal? Absolutely!

Patriarchs and Prophets page 46, Ellen White confirms this point. “Eve was created from a rib taken from the side of Adam, signifying that she was not to control him as the head, nor to be trampled under his feet as an inferior, but to stand by his side as…” what?  “…as an equal, to be loved and protected by him…” 

So was Eve equal with Adam? Absolutely!

 

Jadi apa yang saya mau kalian simak sekarang ialah bahwa hubungan antara Adam dan Hawa itu akan menjadi model skala kecil dari hubungan antara Bapa dengan Anak. Jadi mari kita menarik paralelnya sekarang.

1.   Kisah Penciptaan membuatnya sangat jelas bahwa Adam dan Hawa adalah dua pribadi yang berbeda.

Benarkah itu? Adam ada dulu sebelum Hawa, jadi mereka tidak mungkin orang yang sama, mereka adalah dua orang yang berbeda, sama seperti Bapa dan Anak juga dua.

 

2.   Tetapi coba saya tanya, apakah kisah Penciptaan ~ ini poin # 2 ~ apakah kisah Penciptaan dengan jelas menyatakan bahwa Adam dan Hawa itu satu? Ya.

Malah Allah berkata mereka tidak lagi dua melainkan menjadi satu, dua orang tapi satu. Apakah itu mulai mengingatkan sesuatu? Bapa dan Anak itu dua, tetapi Mereka juga apa? Mereka juga satu.

3.   Sekarang coba saya tanya, Adam dan Hawa, apakah mereka berdiri di tingkat kesetaraan yang sama?

Apakah mereka sama-sama manusia? Apakah mereka sama-sama disebut dengan kata generik “manusia”, sama seperti Bapa dan Anak sama-sama disebut “Allah”? Ya. Apakah Hawa jenis manusia yang lebih rendah? Tidak, dia 100% manusia. Apakah Yesus dan Bapa sama-sama Allah? Apakah Mereka setara? Tentu saja!

Patriarchs and Prophets hal. 46, Ellen White mengkonfirmasi poin ini. “…Hawa diciptakan dari sebuah rusuk yang diambil dari sisi tubuh Adam, menandakan bahwa dia tidak untuk mengendalikan Adam sebagai kepala, maupun tidak untuk diinjak-injak kaki Adam sebagai yang lebih rendah, melainkan untuk berdiri di sisinya sebagai…”  apa?    “…sebagai sederajat, untuk dikasihi dan dilindungi oleh Adam…”  Jadi apakah Hawa sederajat dengan Adam? Tentu saja!

 

 

4.     Was there a special intimacy between Adam and Eve?

Was she taken from a place close to Adam's bosom, close to his heart? Absolutely! In fact, Deuteronomy 13:6 calls the wife “the wife of thy bosom” interestingly enough, and that expression is used more than once in the Old Testament, “the wife of your bosom”, because the wife was to be very close to the bosom.

Was the Son close to the bosom of the Father? Absolutely!

Patriarchs and Prophets page 46 we just read this statement, let's read it again, “Eve was created from a rib taken from the side of Adam, signifying that she was not to control him as the head, nor to be trampled under his feet as an inferior, but to stand by his side as an equal, to be loved and protected by him…” 

 

4.   Apakah ada keintiman istimewa antara Adam dan Hawa?

Apakah Hawa diambil dari tempat yang dekat dada Adam, dekat jantungnya? Tentu saja! Bahkan, Ulangan 13:6 menyebut istri itu “istri yang di dadamu”, cukup menarik, dan ungkapan itu dipakai lebih dari satu kali di Perjanjian Lama, “istri yang di dadamu” karena istri itu haruslah sangat dekat ke dada.

Apakah Anak dekat di dada Bapa? Tentu saja!

Patriarchs and Prophets hal. 46, kita baru membaca pernyataan ini, mari kita  baca lagi, “…Hawa diciptakan dari sebuah rusuk yang diambil dari sisi tubuh Adam, menandakan bahwa dia tidak untuk mengendalikan Adam sebagai kepala, maupun tidak untuk diinjak-injak kaki Adam sebagai yang lebih rendah, melainkan untuk berdiri di sisinya sebagai sederajat, untuk dikasihi dan dilindungi oleh Adam…”

 

 

5.   A rib was taken, which is really where? In the chest, it's near to the bosom, it's near to the heart.

Lo and behold Eve was created to be Adam's second-self.

Notice what Ellen White had to say about this in Patriarchs and Prophets page 46

“A part of man, bone of his bone, and flesh of his flesh, she was his…” what?  “…second self,…” Adam could say “He who has seen Eve has seen me” and vice versa. So as  “…A part of man, bone of his bone, and flesh of his flesh, she was his second self, showing the close union and the affectionate attachment that should exist in this relation.”

 

5.   Sebuah rusuk diambil, yang sebenarnya ada di mana?

Di bagian dada, dekat dada, dekat jantung. Lihatlah, Hawa diciptakan menjadi diri kedua Adam.

Simak apa kata Ellen White tentang ini di Patriarchs and Prophets hal. 46, “…Bagian dari Adam, tulang dari tulangnya dan daging dari dagingnya, Hawa adalah…”  apanya? “…pribadinya yang kedua…” Adam bisa berkata, “Dia yang telah melihat Hawa, telah melihat aku” dan sebaliknya. Jadi sebagai  “…Bagian dari Adam, tulang dari tulangnya dan daging dari dagingnya, Hawa adalah pribadinya yang kedua, menunjukkan persatuan yang dekat dan ikatan kasih sayang yang seharusnya ada dalam hubungan ini.”

 

 

6.   Let me ask you, was Eve co-substantial with Adam?

Did she have Adam's DNA? She had only Adam's DNA. You know, we have the DNA of father and mother, but she had only the DNA of Adam.

Just like Jesus had only the “DNA” of His Father. Obviously I'm using “DNA” in quotation marks to emphasize that They were of the same substance.

Notice Genesis 2:23, “23 And Adam said: ‘This is now bone of my bones and flesh of my flesh; she shall be called Woman, because she was taken out of Man.’…"

 

6.   Coba saya tanya, apakah Hawa itu co-substantis dengan Adam?

Apakah dia memiliki DNA Adam?  Justru dia hanya memiliki DNA Adam. Kalian tahu, kita memiliki DNA dari ayah dan ibu, tetapi Hawa hanya memiliki DNA Adam.

Sama seperti Yesus hanya memiliki “DNA” BapaNya. Sudah jelas saya memakai kata “DNA” dalam tanda kutip untuk memperjelas bahwa Mereka adalah dari substansi yang sama.

Simak Kejadian 2:23,  23 Dan Adam berkata, ‘Ini sekarang tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.’…”

 

 

7.   Do you know that the Bible says that man was created the glory of God, but the woman was created to be the glory of man?

Just like the Father has His glory, the Son is to reflect the Father's glory. You say, now where does the Bible say such a thing? 

Notice under point # 8 the apostle Paul explains, For a man indeed ought not to cover his head, forasmuch as he is the image and glory of God: but the woman is the…” what?  “…the glory of the man.” (1 Cor. 11:7)

So you say, “I don't like that. I want my own glory.”

That's not what Jesus said. Jesus is perfectly happy reflecting the glory of His Father.

 

7.   Tahukah kalian bahwa Alkitab berkata laki-laki diciptakan sebagai kemuliaan Allah, tetapi perempuan diciptakan menjadi kemuliaan laki-laki?

Sama seperti Bapa memiliki kemuliaanNya, Anak memantulkan kemuliaan Bapa. Kalian berkata, nah, di mana di Alkitab dikatakan seperti itu?

Simak di bawah poin # 8, rasul Paulus menjelaskan, 7 Sebab seorang laki-laki tidak seharusnya menudungi kepalanya, karena ia adalah gambaran dan kemuliaan Allah; tetapi perempuan adalah…”  apa?   “…kemuliaan laki-laki.” (1 Kor. 11:7).

Maka kalian berkata, “Saya  tidak suka itu. Saya mau kemuliaan saya sendiri.”

Bukan begitu kata Yesus. Yesus sangat puas memantulkan kemuliaan BapaNya.

 

 

8.   And so when God created Adam and then created Eve, Eve was to be the glory of whom? She was to be the glory of Adam.

And by the way, the apostle Paul does not mention that Eve was created in the image of God, because man was created in the image of God, and Eve derived the image of God through Adam, a very important point. That also is in 1 Corinthians 11:7.

 

8.   Maka ketika Allah menciptakan Adam, lalu menciptakan Hawa, Hawa itu harus menjadi kemuliaan siapa? Dia menjadi kemuliaan Adam.

Dan ketahuilah, rasul Paulus tidak mengatakan bahwa Hawa diciptakan dalam gambar Allah, karena Adam diciptakan dalam gambar Allah, dan Hawa mendapatkan gambar Allah melalui Adam, suatu poin yang sangat penting. Ini juga ada di 1 Korintus 11:7.

 

 

9.   Point # 9, let me ask you even though Adam and Eve were equal was Adam the head of Eve?

Was Eve supposed to be subject to the authority of Adam? Yes! We're told in 1 Corinthians 11:3,But I want you to know that the head of every man is Christ, the head of woman is…” whom? “… man, and the head of Christ is God.”

 

9.   Poin # 9, coba saya tanya, walaupun Adam dan Hawa itu setara, apakah Adam kepala Hawa?

Apakah Hawa harus tunduk kepada autoritas Adam? Ya! Kita diberitahu di 1 Korintus 11:3, 3 Tetapi aku mau kamu tahu bahwa Kepala dari setiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah…”  siapa?   “…laki-laki, dan Kepala dari Kristus ialah Allah.

 

 

10. Let me ask you this, is it a bad thing that the Father is the head of Christ?

Is that a bad thing? Is it a bad thing that Christ is the head of the man? No! But it is a bad thing that the man is the head of the woman. It's absurd, there's no problem that the Son considers the Father as head, the man has no problems with Christ being his head, so the woman should have no problem with the man being the head. The problem is, we don't like that today in this egalitarian world. In this world where culture dictates that all roles are equal and interchangeable, we don't like the idea that the man is the head, and the woman is to be subject to the authority of the man, but clearly that's what the Bible says. The apostle Paul says, “wives be subject to your own husbands” (Col. 3:18), but then the interesting thing is, wives would have no problem being subject to their husbands if their husbands love their wives because the apostle Paul says, wives be subject to your husband's, in Ephesians 5:22-24 but then it says “husbands love your wives”,  that's a reflection of the relationship between the Father and the Son, the Father loves His Son and the Son says I have no problems subjecting Myself to My Father.

 

10. Coba saya tanya, apakah Bapa kepala Kristus itu hal yang buruk?

Apakah itu hal yang buruk? Apakah Kristus kepala laki-laki itu hal yang buruk? Tidak! Tapi kalau laki-laki itu kepala perempuan itu hal yang buruk. Itu aneh. Tidak ada masalah Anak menganggap Bapa kepalaNya, laki-laki juga tidak punya masalah dengan Kristus menjadi kepalanya, maka perempuan seharusnya tidak punya masalah dengan laki-laki menjadi kepalanya. Masalahnya di zaman sekarang kita tidak suka itu, di dunia yang egalitarian ini. Di dunia ini, di mana kebudayaan yang menentukan semua peranan itu sejajar dan bisa dipertukarkan, kita tidak suka konsep bahwa laki-laki adalah kepalanya, dan perempuan haruslah tunduk kepada autoritas laki-laki. Tapi jelas itulah yang dikatakan Alkitab. Rasul Paulus berkata, 18 Hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu sendiri…(Kol. 3:18) tetapi hal yang menarik adalah istri-istri tidak akan punya masalah tunduk kepada suami-suami mereka jika suami-suami mereka mengasihi mereka. Karena rasul Paulus berkata, istri-istri tunduklah kepada suami-suami kalian, di Efesus 5:22-24 dikatakan, “suami-suami kasihilah istri-istrimu” itu adalah suatu refleksi dari hubungan antara Bapa dengan Anak. Bapa mengasihi AnakNya, dan Anak berkata, Aku tidak punya masalah menempatkan DiriKu tunduk kepada Bapa.

 

 

Incidentally have you ever noticed in 1 Corinthians 11:3 that there's One who has no head? The Father has no head. I'm not talking about physical head now. The Father has no head, and the woman is head of no one because the chain ends at the woman.

ü  The Father is the head of Jesus,

ü  Jesus is the head of the man

ü  and the man is the head of the woman

ü  the woman is head of no one

ü  and the Father has no head

that's the chain of command that God has established. Is that point clear?

 

Nah, pernahkah kalian memperhatikan di 1 Korintus 11:3 bahwa ada Satu yang tidak punya kepala? Bapa tidak punya kepala. Nah, saya tidak bicara tentang kepala fisik. Bapa tidak ada yang mengepalai, sedangkan perempuan bukanlah kepala siapa pun karena mata rantainya berhenti pada perempuan.

ü  Bapa itu kepala Yesus,

ü  Yesus kepala laki-laki,

ü  dan laki-laki kepala perempuan,

ü  peremuan bukan kepala siapa pun,

ü  dan Bapa tidak ada yang mengepalai.

Itulah mata rantai komando yang ditetapkan Allah. Apakah poin ini jelas?

 

 

Now let's talk about Eve's sin. This is going to become very, very, interesting. Eve committed two great sins, and obviously when I say sins, I know that the great sin was eating from the tree, that was actually the act of sin, but there are two things actually that ultimately led her to eat.

v   first of all she acted independently of Adam, doing her own thing.

v   and secondly even though she had a human nature, she wanted to ascend to a higher position, she wanted to ascend to the position of God.

Two points. She acted independently of her head, Adam; and wanted to ascend to a higher position than what God had given her. Her sin was primarily selfishness.

Notice Patriarchs and Prophets pg 53-54, here's the separation part. “The angels had cautioned Eve to beware of…” what?   “…separating herself from her husband while occupied in their daily labor in the garden. With him she would be in less danger from temptation than if she were alone, but absorbed in her pleasing task she unconsciously…” what?   “… wandered from his side…”  She became independent of Adam, her head.

 

Nah, mari kita bicara tentang dosa Hawa. Ini menjadi amat sangat menarik. Hawa melakukan dua dosa besar, dan sudah jelas bila saya mengatakan dosa, saya tahu bahwa dosa besarnya adalah makan dari buah pohon (pengetahuan), itulah tindakan dosanya; tetapi ada dua hal yang sesungguhnya membuatnya makan buah itu.

v   pertama, Hawa bertindak sendiri tanpa Adam, melakukan perbuatannya sendiri.

v   dan kedua, walaupun Hawa punya kodrat manusia, dia ingin naik ke posisi yang lebih tinggi, dia ingin naik ke posisi Allah.

Dua poin. Hawa bertindak sendiri, tanpa kepalanya, Adam; dan mau naik ke posisi yang lebih tinggi daripada yang telah diberikan Allah kepadanya. Dosanya terutama adalah keegoisan.

Simak Patriarchs and Prophets hal. 53-54, inilah bagian keterpisahannya. “…Para malaikat sudah mengingatkan Hawa supaya waspada…” terhadap apa? “…jangan memisahkan dirinya dari suaminya selagi sibuk dalam pekerjaan sehari-hari mereka di taman; bersama suaminya Hawa akan lebih aman dari pencobaan daripada jika dia sendirian. Namun terbenam dalam tugasnya yang menyenangkan, secara tidak sadar dia…” apa?    “…mengeluyur dari sisi Adam…”  Dia menjadi mandiri dari Adam, kepalanya.

 

 

We find also in Story of Redemption page 32, “Eve, unconsciously at first…” did what?  “…separated from her husband in her employment. When she became aware of the fact she felt that there might be danger, but again she thought herself secure, even if she did not remain…” what?  “… close by the side of her husband. She had wisdom and strength to know if evil came, and to meet it…”  I can act independently of my head, and I can be just fine. 

 

Kita juga menemukan di Story of Redemption hal. 32, “…Hawa, awalnya secara tidak sadar…”  berbuat apa?  “…terpisah dari suaminya dalam pekerjaannya. Ketika dia menyadari faktanya, dia merasa mungkin ada bahaya, tetapi lagi-lagi dia pikir dirinya aman, walaupun dia tidak tetap…”  apa?  “…ada dekat di samping suaminya. Dia punya hikmat dan kekuatan untuk tahu bilamana yang jahat datang, dan bagaimana menghadapinya…” Aku bisa bertindak mandiri dari kepalaku, dan aku akan baik-baik saja. 

 

 

The second big mistake that she committed before eating from the tree is that she wanted to ascend to a higher sphere than where God had placed her. In Patriarchs and Prophets page 59 we find, “Eve had been perfectly happy by her husbands side in her Eden home; but, like restless modern Eves, she was flattered with the hope of entering a…” what?  “… a higher sphere than that which God had assigned her.  In attempting to…” what again?  “…to  rise above her original position, she fell far below it. all who are unwilling to take up cheerfully their life duties in accordance with…” whose plan?  “…with  Gods plan…”  the plan that God has assigned in other words, will reach a similar result.  “…In their efforts to reach…” notice again  “…to reach positions for which He has not fitted them, many are leaving vacant the place where they might be a blessing. In their desire for a…” here it is again the same idea “…for a higher sphere, many have sacrificed true womanly dignity and nobility of character, and have left undone the very work that Heaven appointed them.”

 

Kesalahan kedua yang besar yang diperbuat Hawa sebelum makan dari pohon itu ialah dia ingin naik ke level yang lebih tinggi daripada di mana Allah telah menempatkannya. Di Patriarchs and Prophets hal. 59, kita mendapatkan, “…Hawa tadinya sangat bahagia di samping suaminya di rumahnya di Eden, tetapi seperti Hawa-Hawa modern yang cepat bosan, dia tersanjung oleh harapan memasuki suatu…” apa?  “…level yang lebih tinggi daripada yang telah ditetapkan Allah baginya. Dalam upayanya untuk…”  apa lagi?  “…untuk bangkit lebih tinggi dari posisinya yang asli, dia justru jatuh jauh ke bawah.   semua yang tidak rela memikul dengan senang hati kewajiban-kewajiban hidup mereka sesuai dengan…”  rencana siapa?  “…dengan rencana Allah…” dengan kata lain rencana yang telah ditentukan Allah ~ akan mendapatkan hasil yang sama.  “…Dalam upaya mereka mencapai…” simak lagi, “…mencapai posisi yang tidak ditentukan Allah bagi mereka, banyak orang meninggalkan tempatnya di mana mereka mungkin bisa menjadi berkat. Dalam kerinduan mereka bagi…”  di sini lagi-lagi ide yang sama   “…level yang lebih tinggi, banyak yang telah mengorbankan marwah dan keluhuran karakter perempuan yang sejati, dan justru tidak menyelesaikan tugas yang telah ditetapkan Surga bagi mereka.”

 

 

Two big mistakes.

1.   acting independently of her head and saying I can do just fine by myself and

2.   wanting to ascend to a higher sphere than where she was.

 

Dua kesalahan besar:

1.   bertindak sendiri tanpa kepalanya dan berkata aku bisa sendiri, dan

2.   ingin naik ke level yang lebih tinggi daripada di mana dia berada.

 

 

What was Adam’s great mistake? I know that his big sin was eating from the tree. However, there's something else involved here. Like the Father's most precious possession was His own Son, Eve was the most precious thing that Adam had, would you agree with that? How could Adam give up the one who was one with him? How could he give up the one who was his image, his own substance, his own glory, and the image of God through him? How could he tear from himself the one who was close to his bosom? How could he live without his beloved Eve? How could he lose her? How could he conceive of ever being separated from her forever? He was thinking only of himself.

Ellen White describes it this way. Conflict and Courage page 16,   “There was a terrible struggle in his mind.  He mourned that he had permitted Eve to wander from his side. But now the deed was done; he must be separated from her whose society had been his joy.  How could he have it thus?  Adam had enjoyed the companionship of God and of holy angels. He had looked upon the glory of the Creator.  He understood the high destiny opened to the human race should they remain faithful to God.  Yet all these blessings were lost sight of in the fear of losing that one gift which in his eyes outvalued every other…” would that be true of the Father and the Son, with the Son be that which is of most value to God the Father? Yes! Now notice,    “…Love, gratitude, loyalty to the Creator—all were overborne by love to Eve. She was a part of himself…”   she was co-substantial “…and he could not endure the thought of separation.”

 

Apa kesalahan Adam yang terbesar? Saya tahu bahwa dosanya yang besar adalah makan dari pohon itu. Namun, ada hal yang lain yang terlibat di sini. Seperti Bapa, hartaNya yang paling berharga adalah AnakNya sendiri, Hawa adalah  yang paling berharga yang dimiliki Adam, setujukah kalian dengan itu? Mana bisa Adam meninggalkan dia yang telah menyatu dengannya? Mana bisa dia meninggalkan yang adalah gambarnya, substansinyanya sendiri, kemuliaannya sendiri, dan gambar Allah melalui dirinya? Bagaimana mungkin dia mencabik dirinya dari orang yang begitu dekat hatinya? Bagaimana mungkin dia bisa hidup tanpa Hawa yang dikasihinya? Mana dia bisa kehilangan Hawa? Mana dia pernah membayangkan dipisahkan darinya selamanya? Adam hanya memikirkan dirinya sendiri.

Ellen White menggambarkannya demikian. Conflict and Courage hal. 16,  “…Dalam benaknya berkecamuk pergumulan yang hebat. Adam menyesalkan dia telah mengizinkan Hawa mengeluyur dari sisinya. Tapi sekarang perbuatan itu sudah terjadi, dia harus dipisahkan dari Hawa, yang kehadirannya adalah sukacitanya. Bagaimana dia bisa menerima ini? Adam telah menikmati kebersamaan dengan Allah dan malaikat-malaikat yang kudus. Dia sudah memandang kemuliaan Sang Pencipta. Dia paham masa depan yang cemerlang yang terbuka bagi umat manusia jika mereka tetap setia kepada Allah. Namun semua berkat itu lenyap dari padangannya tertutup rasa takutnya kehilangan satu-satunya pemberian yang di matanya melampaui nilai segala yang lain…”  apakah itu benar dalam hal Bapa dan Anak, apakah Anak merupakan yang paling berharga bagi Allah Bapa? Ya! Sekarang simak,    “…Kasih, rasa syukur, loyalitas kepada Sang Pencipta ~ semuanya kalah oleh kasih kepada Hawa. Hawa adalah bagian dari dirinya…”  Hawa adalah co-substansinya,    “…dan dia tidak bisa membayangkan kemungkinan terpisahnya mereka.”

 

 

Now let's review the relationship between the Father and the Son. As we have seen the relationship of Adam and Eve was a reflection of the relationship between the Father and the Son, both were distinct Persons, one, Jesus was one with the Father, as the Son He was the same substance as the Father. He was “flesh of His flesh and bone of His bone” so to speak. Jesus was in the bosom of His Father, the Son was the Father's second- self, the Son was the Father's express image, the Son was the Father's glory. So now God the Father faced a dilemma. He had to make a decision similar to the decision that Adam had to make in the Garden of Eden.  Would the Father be willing to give up the most prized possession in heaven, His most intimate partner, as Adam had to make that choice as well? Would He give up His own Son at the risk of eternal loss, or would He keep Him to Himself?  It was a great struggle for the Father. Don't think that it was easy for the Father to decide to give up that which was most precious, most precious, in contrast to Adam who was not willing to give up that which was most precious to him.

 

Sekarang mari kita mengulang hubungan antara Bapa dan Anak. Sebagaimana kita sudah melihat hubungan Adam dan Hawa yang adalah pantulan dari hubungan Bapa dan Anak, keduanya sama-sama Pribadi yang berbeda, menjadi satu, Yesus itu satu dengan Bapa, sebagai Anak Dia adalah substansi yang sama dengan Bapa. Dia adalah “daging dari dagingNya dan tulang dari tulangNya” katakanlah demikian. Yesus berada di dada BapaNya, Anak adalah diri kedua Bapa, Anak adalah gambaran yang persis dari Bapa, Anak adalah kemuliaan Bapa. Maka sekarang Allah Bapa menghadapi dilema. Dia harus mengambil keputusan mirip keputusan yang harus diambil Adam di taman Eden. Akankah Bapa rela melepaskan milikNya yang paling berharga di Surga, mitraNya yang paling intim, sebagaimana pilihan yang harus dibuat Adam juga? Akankah Bapa melepaskan AnakNya sendiri dengan taruhan kehilangan kekal, atau akankah Dia menahanNya untuk DiriNya sendiri? Itu adalah pergumulan besar bagi Bapa. Jangan mengira mudah bagi Bapa memutuskan untuk melepaskan apa yang paling berharga, berlawanan dengan Adam yang tidak bersedia melepaskan apa yang paling berharga baginya.

 

 

Ellen White explains the struggle of the Father. Signs of the Times, November 4, 1908, “Before the Father…”  this is when man sinned  “…Before the Father He pleaded in the sinner's behalf, while the host of heaven awaited the result with an intensity of interest that words can not express. Long continued was that mysterious communing—‘the counsel of peace’—for the fallen sons of men. The plan of salvation had been laid before the creation of the earth; for Christ is a lamb ‘foreordained before the foundation of the world’;…”  but now notice, was that a struggle for Adam to give up Eve? Was he willing to give her up? No! But now notice,  “…yet it was a struggle, even with the King of the universe, to yield up His Son to die for the guilty race…”  because He felt that He was going to lose Him forever. He could lose Him forever.

 

Ellen White menjelaskan pergumulan Sang Bapa. Signs of the Times, 4 November 1908,  “…Di hadapan Bapa…”  ini ketika manusia berdosa,   “…Di hadapan Bapa, Dia (= Anak) memohon demi orang yang berdosa, sementara balatentara surgawi menantikan hasilnya dengan minat yang intensif yang tidak bisa digambarkan kata-kata. Pembicaraan rahasia itu berlangsung lama ’perundingan damai’ (Zakh. 6:13) bagi anak-anak manusia yang telah jatuh dalam dosa. Rancangan keselamatan sudah dibuat sebelum Penciptaan bumi, karena Kristus adalah domba ‘yang telah ditetapkan sebelum dunia diciptakan’ (1 Pet. 1:20) …”  tetapi sekarang simak, apakah itu pergumulan bagi Adam untuk melepaskan Hawa? Apakah Adam rela melepaskannya? Tidak! Tetapi sekarang simak, “…namun itu adalah suatu pergumulan bahkan bagi Raja alam semesta untuk melepaskan AnakNya untuk mati bagi bangsa yang berdosa…”  karena Bapa merasa Dia akan kehilangan AnakNya selamanya, Dia bisa kehilangan AnakNya selamanya.

 

 

In Desire of Ages page 49 Ellen White adds to this by saying, “God permitted His Son to come a helpless babe, subject to the weakness of humanity. He permitted Him to meet life's peril in common with every human soul, to fight the battle as every child of humanity must fight it…”  and now notice “…at the risk of failure and eternal loss….” at the risk of losing His .Son forever His most precious Partner, the One who was His image and His glory, co-substantial, there was a risk that He could lose Him forever. She continued saying,  “…The heart of the human father yearns over his son. He looks into the face of his little child and trembles at the thought of life's peril. He longs to shield his dear one from Satan's power to hold him back from temptation and conflict. To meet a bitterer conflict and a more fearful risk, God gave His only begotten Son that the path of life might be made sure for our little ones. ‘Herein is love.’ Wonder oh, heavens! And be astonished o, earth.” The Father did the opposite of Adam.

 

Di Desire of Ages hal.49 Ellen White menambahkan dengan berkata, “…Allah mengizinkan AnakNya datang ke dunia sebagai seorang bayi yang tidak berdaya, yang tunduk kepada kelemahan kemanusiaan. Dia mengizinkan AnakNya bertemu dengan bahaya-bahaya kehidupan yang biasa dialami setiap manusia, untuk bertempur dalam pertempuran seperti yang harus dilakukan setiap anak manusia…”  dan sekarang simak, “…dengan taruhan kegagalan dan kehilangan kekal…”  resiko kehilangan AnakNya untuk selamanya, MitraNya yang paling disayangiNya, Dia yang adalah gambarNya dan kemuliaanNya, co-substansiNya, ada resiko bahwa Dia bisa kehilangan AnakNya selamanya. Ellen White melanjutkan berkata, “…Hati seorang bapa manusia selalu memikirkan anaknya. Dia memandang wajah anaknya yang kecil dan gemetar memikirkan bahaya-bahaya kehidupan. Dia ingin melindungi kesayangannya dari kekuasaan Setan, supaya menjauhkannya dari pencobaan dan konflik. Untuk bertemu dengan konflik yang lebih getir dan resiko yang lebih menakutkan, Allah telah memberikan satu-satunya AnakNya agar jalan kehidupan bagi anak-anak kita boleh dipastikan. ‘Di sinilah kasih” (1 Yoh. 4:10). Kagumi, oh, Surga, dan terpesonalah oh, bumi! …”  Bapa melakukan yang sebaliknya dari yang dilakukan Adam.

 

 

In fact Ellen White states in Christ’s Object Lessons page 196, “…For our redemption, Heaven itself was imperiled…”  the security of the universe was imperiled and yet the Father was willing to give up the Son which Adam was not willing to do. God did the opposite of Adam. He was willing to give up His most prized possession in heaven at the risk of losing Him forever.

 

Bahkan Ellen White menyatakan di Christ’s Object Lessons hal. 196, “…Demi penyelamatan kita, Surga sendiri telah berada dalam bahaya. …”  keamanan alam semesta terancam bahaya namun demikian Bapa bersedia melepaskan AnakNya, sesuatu yang Adam tidak bersedia melakukan. Allah melakukan yang sebaliknya dari Adam. Dia rela melepaskan milikNya yang paling berharga di Surga, dengan taruhan kehilangan Dia untuk selamanya.

 

 

Romans 8:32 says as much. “ 32 He who did not spare His own Son, but delivered Him up for us all, how shall He not with Him also freely give us all things?”

 

Roma 8:32 mengatakan yang sama,   32 Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya Sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia bersama-sama dengan Dia juga tidak mengaruniakan segala sesuatu dengan cuma-cuma kepada kita?”

 

 

In Review and Herald July 9, 1895, we find this statement, “The Eternal Father, the unchangeable One, gave His only begotten Son…”  listen now carefully  “…tore from His bosom Him who was made in the express image of His Person, and sent Him down to earth to reveal how greatly He loved mankind…”   He loved mankind more than He loved His own Son. He gave up His Son.

 

Di Review and Herald, 9 Juli 1895, kita menemukan pernyataan ini,   “…Bapa yang kekal, Dia yang tidak pernah berubah, memberikan Anak satu-satuNya…”  sekarang dengarkan baik-baik,  “…mencabik dari dadaNya, Dia yang adalah gambar yang persis dari PribadiNya, dan mengutusNya ke bumi, untuk menyatakan betapa besarnya kasihNya bagi manusia.” Dia mengasihi manusia lebih daripada Dia mengasihi AnakNya sendiri. Dia melepaskan AnakNya.

 

 

Now let's complete the statement that we began reading before,  remember Ellen White said Before the Father He pleaded in the sinner's behalf”? Let's complete that statement now. That is found in Signs of the Times Nov. 4, 1908,  “…Before the Father He pleaded in the sinner's behalf while the hosts of heaven awaited the result with an intensity of interest that words cannot express. Long-continued was that mysterious communing, ‘the counsel of peace’ for the fallen sons of men.  The plan of salvation had been laid before the creation of the earth, for Christ is a lamb ‘foreordained before the foundation of the world’ yet it was a struggle even with the King of the universe to yield up His Son to die for the guilty race…” now comes the part that we didn't quote,  “…But…” it was a struggle  “…But ‘God so loved the world, that He gave His only-begotten Son, that whosoever believeth in Him should not perish, but have everlasting life.’ O, the mystery of redemption! The love of God for a world that did not love Him! Who can know the depths of that love which ‘passeth knowledge’? Through endless ages, immortal minds, seeking to comprehend the mystery of that incomprehensible love, will wonder and adore.”

So let me ask you, was the experience of Adam a reflection of the experience of God? Yes! But Adam made a different choice. He could not give up the co-substantial one. The Father says, I will give Him up.

 

Nah, mari kita selesaikan pernyataan yang tadi sudah kita mulai baca, ingat Ellen White berkata,   “Di hadapan Bapa, Dia memohon demi orang berdosa”?  Mari kita selesaikan pernyataan itu. Ini terdapat di Signs of the Times 4 November 1908, “…Di hadapan Bapa, Dia memohon demi orang berdosa sementara balatentara surgawi menantikan hasilnya dengan minat yang intensif yang tidak bisa digambarkan kata-kata. Pembicaraan rahasia itu berlangsung lama ’perundingan damai’ (Zakh. 6:13) bagi anak-anak manusia yang telah jatuh dalam dosa. Rancangan keselamatan sudah dibuat sebelum Penciptaan bumi, karena Kristus adalah domba ‘yang telah ditetapkan sebelum dunia diciptakan’ (1 Pet. 1:20) namun itu adalah suatu pergumulan bahkan bagi Raja alam semesta untuk melepaskan AnakNya untuk mati bagi bangsa yang berdosa.…”  sekarang tiba bagian yang belum kita kutip tadi.  “…Tetapi…”  itu suatu pergumulan, “…16 Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal itu supaya setiap orang yang percaya  dalam Dia tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.’(Yoh. 3:16) O, rahasia penyelamatan! Kasih Allah bagi sebuah dunia yang tidak mengasihiNya! Siapa yang bisa mengetahui dalamnya kasih yang ‘melampaui pengetahuan’ (Efe. 3:19)? Sepanjang masa kekekalan, pikiran-pikiran yang kekal, yang berusaha memahami rahasia kasih yang tidak bisa dipahami itu, akan kagum dan memujinya.”

Jadi coba saya tanya, apakah pengalaman Adam merupakan refleksi dari pengalaman Allah? Ya! Tetapi Adam membuat keputusan yang berbeda. Dia tidak bisa melepaskan co-substansinya. Bapa berkata, Aku akan melepaskanNya.

 

 

Now here's another question, what was the Son's dilemma? It was the counterpart of Eve. On the other hand the attitude of Jesus was the opposite of Eve. He was equal to God yet instead of choosing to ascend like Eve, He chose to descend. In contrast to Eve wanting to ascend to be God, Jesus chose to descend and become a man. He left His crown, scepter, and royal throne, royal robe, and came down all the way down. Philippians 2:5-8 states, Let this mind be in you which was also in Christ Jesus, who, being in the form of God, did not consider it robbery to be equal with God…” a better translation is He did not consider equality with God as something to be hung on to, something that He would say, “O, this is Mine and I'm not giving it up.” “… but made Himself of no reputation, taking the form of a bondservant, and coming in the likeness of men…” did Jesus ascend or descend? Just the opposite of what Eve wanted to do.  “…And being found in appearance as a man, He humbled Himself and became obedient to the point of death, even the death of the cross.”

 

Nah, ini ada pertanyaan lain. Apakah dilema Sang Anak? itulah pembanding Hawa. Di pihak lain, sikap Yesus itu kebalikan Hawa. Yesus itu setara dengan Allah, namun bukannya memilih untuk naik ke atas seperti Hawa, Dia memilih untuk turun ke bawah. Berbeda dengan Hawa  yang mau naik menjadi Allah, Yesus memilih untuk turun dan menjadi manusia. Dia tinggalkan mahkota, tongkat kerajaan, dan takhta kerajaan, jubah kerajaanNya dan turun sampai ke paling bawah. Filipus 2:5-8 menyatakan, 5 Hendaklah pikiran ini ada di dalam dirimu, yang terdapat juga di dalam Kristus Yesus,  6  yang dalam bentuk Allah tidak menganggap kesetaraanNya dengan Allah sebagai sesuatu yang harus diambil paksa…” terjemahan yang lebih baik ialah Dia tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai sesuatu yang harus dipertahankan, sesuatu yang Dia akan berkata, “O, ini milikKu dan Aku tidak akan melepaskannya”, “…7 melainkan telah menjadikan Diri-Nya Sendiri bukan apa-apa, mengambil bentuk seorang hamba, dan datang dalam keserupaan manusia…”  apakah Yesus naik atau turun? Justru kebalikan dari apa yang mau dilakukan Hawa. “…8 Dan ditemukan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan Diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan kematian di kayu salib…”

 

 

Desire of Ages 22 and 23, “But He chose to give back the scepter into the Fathers hands, and to step down from the throne of the universe, that He might bring light to the benighted, and life to the perishing.”

Now was this a real sacrifice that the Father and the Son had to make?

 

Desire of Ages hal. 22-23,  “…Tetapi Dia (Anak) memilih untuk mengembalikan tongkat kerajaan ke tangan Bapa, dan turun dari takhta alam semesta, agar Dia boleh membawa terang bagi yang dalam kegelapan dan hidup bagi yang sedang binasa. …” 

Nah, apakah ini suatu pengorbanan yang harus dibuat Bapa dan Allah?

 

 

Listen to what we find in Desire of Ages 753, “Satan with his fierce temptations wrung the heart of Jesus. The Savior could not see through the portals of the tomb. Hope did not present to Him His coming forth from the grave a conqueror, or tell Him of the Father’s acceptance of the sacrifice. He feared that sin was so offensive to God that Their separation was to be…”  what? “…was to be eternal….”   Jesus was willing to descend to this earth even though He felt that He might be separated for eternity from His Father. Let me ask you, did Jesus ever act independently from His head? Eve did, didn't she? She wanted to ascend and she said, “I can fend on my own.” Jesus throughout His whole ministry said, “Not My will be done but Yours. I do not do My own will but the will of the One who has sent Me.” The Father and the Son gave a lesson of the opposite of what Adam and Eve actually did.

 

Dengarkan apa yang kita temukan di Desire of Ages hal. 753.  “…Dengan melancarkan pencobaannya yang kejam, Setan meremas-remas hati Yesus. Sang Juruselamat tidak dapat melihat melampaui gerbang kubur. Pengharapan tidak menggambarkan kepadanya bahwa Dia akan keluar dari kubur sebagai pemenang, atau meyakinkanNya bahwa Bapa menerima pengorbananNya. Yesus takut Allah begitu membenci dosa sehingga perpisahan Mereka itu akan…”  apa?  “…akan kekal…”  Yesus bersedia turun ke bumi walaupun Dia merasa Dia bisa dipisahkan secara kekal dari BapaNya. Coba saya tanya, apakah Yesus pernah bertindak sendiri tanpa kepalaNya? Hawa berbuat begitu, bukan? Hawa ingin naik ke atas dan dia berkata, “Aku bisa melindungi diriku sendiri.” Yesus sepanjang seluruh ministriNya berkata, “Bukan kehendakKu yang jadi, tetapi kehendakMu. Aku tidak melakukan kehendakKu sendiri tetapi kehendak Dia yang mengutus Aku.” Bapa dan Anak memberikan pelajaran yang adalah kebalikan dari apa yang benar-benar diperbuat Adam dan Hawa.

 

 

Now we're going to have to continue for a few minutes with the taping? because I'm not quite finished, and this has already been broadcast on 3ABN so bear with me.  

We have a story in the Bible that illustrates what we studied this afternoon. It's the story in Genesis 22. Have you ever read the story in Genesis 22? God says to Abraham, “Abraham, Abraham, take your son, your only son (that word “only” is the Hebrew word יָחִיד[yâchı̂yd] which means “your precious one”,  “your unique son”) take your son, your unique son, the one that you love, and sacrifice him on the mountain that I will show you.” Was it a struggle for Abraham to give up his son? You see, this is a small-scale earthly illustration of what we've been talking about. Abraham had his struggle but he decided that he was going to do what God said. So he got the wood, and he got the knife, and he got the fire, and he began the trip to Mount Moriah. He was willing to give up his own precious son. And when they arrived at the mountain, his son had to make a decision. His son had to make the decision whether he would place himself in the hands of his father, whether he would do the will of his father and be willing to be placed on the altar to be sacrificed. The father struggled to give him up and the son submitted to his father's authority in willing to give up his life.

So we find this illustration in Scripture.

The question is now, how much does God love us? His love is infinite. Do you know the Bible tells us and the Spirit of Prophecy affirms also that this whole struggle of the Father and the willingness of the Son would have taken place if only one soul had wanted to be saved? Allow me to read you a few statements as we bring this to a close.

 

Sekarang kita harus melanjutkan beberapa menit lagi dengan rekaman ini karena saya masih belum selesai, dan ini sudah disiarkan di 3ABN, jadi bersabarlah.

Ada kisah di Alkitab yang menggambarkan apa yang kita pelajari petang ini. Itulah kisah di Kejadian 22. Pernahkah kalian membaca kisah di Kejadian 22? Allah berkata kepada Abraham, “Abraham, Abraham, bawalah anakmu, anakmu satu-satunya (kata “satu-satunya” ini adalah kata יָחִיד[yâchı̂yd]  dalam bahasa Ibrani yang berarti “yang engkau sayangi”, anakmu yang unik”), bawalah anakmu, anakmu yang unik, yang engkau kasihi, dan kurbankan dia di gunung yang akan Aku tunjukkan kepadamu.” Apakah bagi Abraham itu suatu pergumulan untuk menyerahkan anaknya? Kalian lihat, ini adalah ilustrasi skala kecil di dunia dari apa yang sedang kita bicarakan. Abraham menghadapi pergumulannya, tetapi dia memutuskan dia akan melakukan apa firman Allah. Maka dia membawa kayu, dan dia membawa pisau, dan dia membawa api, dan dia memulai perjalanan ke Gunung Moriah. Dia rela menyerahkan anaknya sendiri yang disayanginya. Dan ketika mereka tiba di atas gunung itu, anaknya harus membuat keputusan. Anaknya harus membuat keputusan apakah dia akan menempatkan dirinya dalam tangan ayahnya, apakah dia akan melakukan kehendak ayahnya dan rela ditempatkan di atas mezbah untuk dikurbankan. Si ayah bergumul menyerahkannya, dan si anak tunduk kepada autoritas ayahnya dengan rela menyerahkan nyawanya.

Jadi kita menemukan ilustrasi ini di Kitab Suci.

Pertanyaannya sekarang, seberapa besar kasih Allah bagi kita? Kasihnya tidak terbatas. Tahukah kalian Alkitab mengatakan kepada kita dan itu dikuatkan oleh Roh Nubuat juga bahwa seluruh pergumulan Bapa dan keikhlasan Anak akan terjadi walaupun hanya ada satu jiwa yang mau diselamatkan? Izinkah saya membacakan beberapa pernyataan sebagai penutup.

 

 

Testimonies for the Church Vol. 3 Page 209. Next time we're walking down the street and we see that soul, remember Jesus would have died for that just one. “One soul saved in the kingdom of God is of more value than all earthly riches. We are answerable to God for the souls of those with whom we are brought in contact, and the closer our connections with our fellow men the greater our responsibility. We are one great brotherhood, and the welfare of our fellow men should be our great interest. We have not one moment to lose. If we have been careless in this matter, it is high time we were now in earnest to redeem the time, lest the blood of souls be found on our garments. As children of God, none of us are excused from taking a part in the great work of Christ in the salvation of our fellow men.”

 

Testimonies for the Church Vol. 3 hal. 209. Lain kali saat kita berjalan di jalan dan kita melihat jiwa itu, ingatlah Yesus rela mati hanya buat satu jiwa itu. “…Satu jiwa yang diselamatkan di kerajaan Allah itu lebih berharga daripada semua kekayaan duniawi. Kita bertanggung jawab kepada Allah untuk jiwa-jiwa mereka dengan mana kita dipertemukan, dan semakin dekat hubungan kita dengan sesama kita, semakin besar tanggung jawab itu. Kita ini satu persaudaraan, dan kesejahteraan sesama kita haruslah menjadi minat kita yang paling besar. Kita tidak punya waktu sedikit pun untuk berlambat. Jika sebelumnya kita kurang peduli tentang hal ini, sudah waktunya sekarang kita sungguh-sungguh mengejar ketinggalan itu, supaya jangan darah jiwa-jiwa itu ditemukan pada jubah kita. Sebagai anak-anak Allah, tidak seorang pun dari kita dibebaskan dari mengambil bagian dalam pekerjaan agung Kristus menyelamatkan sesama kita.”

 

 

Now let me ask you this question, how do you buy something that is of infinite value? One soul is of infinite value. The only way is by paying an infinite price. One soul is of infinite value and so Jesus was willing to pay an infinite price.

Notice God's Amazing Grace page 173, “The wealth of earth dwindles into insignificance when compared with the worth of a single soul…” the wealth of earth, folks, the whole planet  “…dwindles into insignificance when compared with the worth of a single soul for whom our Lord and Master died. He who weigheth the hills in scales and the mountains in a balance, regards a human soul as of infinite value.”  And the reason it's of infinite value is because it's one-of-a-kind. And you know, when you only have one of something, it is extremely valuable, it is priceless.

 

Sekarang coba saya tanya ini, bagaimana kita membeli sesuatu yang nilainya tidak ternilai? Satu jiwa itu nilainya tidak ternilai. Satu-satunya cara ialah dengan membayarkan suatu harga yang tidak ternilai. Satu jiwa nilainya tidak ternilai, maka Yesus bersedia membayar harga yang tidak ternilai.

Simak God’s Amazing Grace hal. 173, “…Kekayaan dunia menyusut menjadi tidak berarti bila dibandingkan dengan nilai satu jiwa…” harta dunia, Saudara-saudara, seluruh planet   “…menyusut menjadi tidak berarti bila dibandingkan dengan nilai satu jiwa  untuk siapa Tuhan dan Guru kita mati. Dia yang menimbang bukit-bukit dalam timbangan, dan gunung-gunung dalam neraca, menganggap jiwa manusia harganya tidak ternilai…”  Dan alasannya mengapa itu tidak terbatas nilainya ialah karena itu unik, tidak ada duanya. Dan kalian tahu jika kita hanya memiliki satu dari sesuatu, itu amat sangat berharga, itu tidak ternilai harganya.    

 

 

In Testimonies for the Church Vol. 3 page 188 Ellen White states, “The soul is of infinite value. Its worth can be estimated only by the price paid to ransom it…” and it was an infinite price by the way  “…Calvary! Calvary! Calvary will explain the true value of the soul.”

 

Di Testimonies for the Church Vol. 3 hal. 188  Ellen White menyatakan,    “…Jiwa itu nilainya tidak ternilai. Nilainya hanya bisa diukur oleh harga yang dibayar untuk menebusnya. …”  dan  itu adalah harga yang tidak ternilai, kan?   “…Kalvari! Kalvari! Kalvari akan menjelaskan nilai sejati jiwa.”

 

 

Testimonies for the Church Vol. 6 pages 21-22, “One soul is of more value to Heaven than a whole world of property, houses, lands, and money…”  so why are we so interested in accumulating that stuff? When Jesus comes all that stuff is going to burn. But the souls that we have won, we're going to take with us. She says, “…For the conversion of one soul we should tax our resources to the utmost.”

 

Testimonies for the Church Vol. 6 hal. 21-22, “…Satu jiwa lebih berharga bagi Surga daripada harta seluruh dunia, rumah, tanah, dan uang…”  jadi mengapa kita begitu tertarik untuk mengumpulkan semua barang tersebut? Ketika Yesus datang semua barang itu akan terbakar. Tetapi jiwa-jiwa yang telah kita menangkan, itu akan kita bawa bersama kita. Ellen White berkata, “…Demi menobatkan satu jiwa kita harus memakai sebanyak-banyaknya sumber-sumber kita semaksimal mungkin.”

 

 

Ministry of Healing 135 this theme comes through time and again in the writings of Ellen White. “If but one soul would have accepted the gospel of His grace, Christ would, to save that one, have chosen His life of toil and humiliation and His death of shame.”

 

Ministry of Healing hal. 135, tema ini muncul berulang-ulang di tulisan-tulisan Ellen White.  “…Kalaupun hanya satu jiwa yang akan menerima injil kasih karuniaNya, Kristus mau, demi menyelamatkan yang satu itu, memilih menjalani hidupNya yang penuh kesengsaraan dan penghinaan dan kematianNya yang memalukan.”

 

 

Christ’s Object Lessons 196, “The value of a soul, who can estimate?  Would you know its worth, go to Gethsemane, and there watch with Christ through those hours of anguish, when He sweat as it were great drops of blood. Look upon the Saviour uplifted on the cross. Hear that despairing cry, ‘My God, My God, why hast Thou forsaken Me?’ Look upon the wounded head, the pierced side, the marred feet. Remember that Christ…” what?  “…risked all…”  And the Father also risked the security of the universe.  “…Remember that Christ risked all.  For our redemption, Heaven itself was imperiled.  At the foot of the cross, remembering that for one sinner Christ would have laid down His life, you may estimate the value of a soul.”

 

Christ’s Object Lessons hal. 196 “…Nilai suatu jiwa, siapa yang bisa menaksirnya? Kalau kamu mau tahu nilainya, pergilah ke Getsemani, dan di sana amati Kristus melalui jam-jam kesengsaraanNya, ketika Dia mengeluarkan peluh seakan-akan tetesan-tetesan darah yang besar. Pandanglah Sang Juruselamat, yang ditinggikan di atas salib. Dengarkan seruanNya yang bernada putus asa, ‘AllahKu, AllahKu, mengapa Engkau meninggalkan Aku?’(Markus 15:34). Lihatlah luka di kepalaNya, lambungNya yang ditusuk, kakiNya yang terluka. Ingat bahwa Kristus…” apa? “…telah mempertaruhkan segalanya….” Dan Bapa juga mempertaruhkan keamanan alam semesta.  “…Ingat bahwa Kristus telah mempertaruhkan segalanya. Demi penyelamatan kita, Surga sendiri telah berada dalam bahaya. Di kaki salib, mengingat bahwa demi satu orang berdosa Kristus mau menyerahkan hidupNya, kamu bisa menaksir nilai satu jiwa.” 

 

 

Great Controversy pg. 21

“The loss of even one soul is a calamity, infinitely outweighing the gains and treasures of a world….

 

Great Controversy hal. 21    “…Hilangnya bahkan hanya satu jiwa adalah bencana besar, jauh lebih besar nilainya daripada segala keuntungan dan harta sebuah dunia…”

 

 

And one final one.  The Home Missionary December 1, 1894,  “Jesus, the world's Redeemer, gave His precious life to save fallen man; every son and daughter of Adam is His purchased possession. He paid the infinite price, the ransom money in His own precious life, to redeem man; therefore He identifies His interest with suffering humanity.”

And marvel of marvels Jesus will be one with us forever.

In John 3:16 it doesn't say “for God so loved the world that He lent His only begotten Son” “He gave” Ellen White says, “He gave Him to us.” He's ours forever, retaining human nature, He is one with God, and He is one with us.

 

Dan satu yang terakhir. The Home Missionary, 1 Desember 1894, “…Yesus, Juruselamat dunia, menyerahkan hidupNya yang berharga untuk menyelamatkan manusia yang berdosa; setiap putra dan putri Adam menjadi milikNya yang dibeliNya. Dia telah membayar harga yang tidak ternilai, uang tebusan, dengan hidupNya sendiri yang berharga, untuk menebus manusia; itulah sebabnya Dia mengidentifikasi kepentinganNya dengan kemanusiaan yang menderita…” 

Dan yang sangat mengagumkan Yesus akan bersatu dengan kita selamanya.

Di Yohanes 3:16 tidak dikatakan Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia meminjamkan Anak-Nya yang satu-satunya…” “Ia mengaruniakan” kata Ellen White. Dialah milik kita selamanya, Dia pertahankan kodrat kemanusiaanNya, Dia itu satu dengan Allah, dan Dia itu satu dengan kita.

 

 

Did you understand what we studied? Now let me conclude with this. It is stated today that if you don't believe that women and men can fulfill the same functions in the home and in the church, then you believe that women are inferior to men. In the light of what we've studied that simply is not true. God has called men to be the elders and pastors of the church, they are to be husbands of one wife, the man is to be the head of the household, the Bible is clear both in the home and in the church; but the argument today is no, the man and the woman are both heads. Last I knew, when a person has two heads that's a monster, right? The Bible makes it very clear, that He’s established that the man is the head in the home, and a man needs to occupy the position of elder or pastor of the church. Does that make the wife inferior to the husband? Does it make the women in the church inferior to the elders and to the pastors? No! It's just a different function. Just like Christ is subject to His Father, They both have dominion, but the Father is the King, He's the great Creator, and Jesus is subject to the authority and to the will of the Father. The same is true of husband and wife, and the leadership structure in the church. It is not rocket science. But what is happening today is that those who are to be subject are saying, “No, we don't want to be subject, we want to be the head.” Are you with me or not? And that is the very attitude that started this whole mess on planet Earth, and first of all in Heaven.

 

Apakah kalian paham apa yang kita pelajari? Sekarang marilah kita akhiri dengan ini. Hari ini dikatakan jika kita tidak meyakini bahwa perempuan dan laki-laki bisa mengisi fungsi-fungsi yang sama di rumahtangga dan di gereja, berarti kita meyakini perempuan itu inferior dari laki-laki. Sejalan  dengan apa yang sudah kita pelajari, pendapat itu tidak benar. Allah memanggil laki-laki untuk menjadi ketua dan gembala sidang, untuk menjadi suami dari satu istri,  laki-lakilah yang menjadi kepala rumahtangga, Alkitab sangat jelas tentang hal ini, baik di rumahtangga maupun di gereja; namun perdebatannya hari ini, Tidak, laki-laki dan perempuan sama-sama kepala. Yang saya ketahui sejauh ini, bila manusia punya dua kepala itu monster, benar? Alkitab membuatnya sangat jelas, bahwa sudah ditetapkan Allah, laki-laki yang menjadi kepala di rumahtangga, dan laki-laki yang menduduki jabatan ketua atau gembala sidang. Apakah itu membuat si istri inferior dari suaminya? Apakah itu membuat para perempuan di gereja inferior dari para ketua dan gembala sidang?  Tidak! Itu hanya fungsi yang berbeda. Sama seperti Kristus tunduk kepada BapaNya, Mereka berdua sama-sama punya kuasa, tetapi Bapa adalah Sang Raja, Dialah Sang Pencipta Agung, dan Yesus tunduk kepada autoritas dan kehendak Bapa. Hal yang sama terdapat pada hubungan suami dan istri, dan struktur kepemimpinan dalam gereja. Ini bukan sains canggih. Tetapi apa yang terjadi sekarang ini ialah mereka yang seharusnya tunduk, mengatakan, “Tidak, kami tidak mau tunduk, kami yang mau menjadi kepala.” Apakah kalian paham atau tidak? Dan sikap itulah yang memicu seluruh keruwetan di planet Bumi, dan yang pertama terjadi di Surga.

 

 

So God's way is always the best way. And in eternity future all of us are going to have different functions. There are some that are going to have higher functions than others, higher responsibilities than others. Ellen White says that there are high angels and lower angels, and still lower ranks of angels. Lucifer wasn't happy, he says, “I don't like being under the leadership of Christ. You know, I'd like to ascend and be higher than that.” So if that's the attitude today, we're in deep trouble, because Jesus said that the greatest is the one who descends to the lowest position, to serve. May that be our spirit is my hope and my prayer.

Let's pray.

 

Jadi cara Allah itu selalu cara terbaik. Dan di kekekalan masa depan, kita semua akan memiliki fungsi yang berbeda. Ada yang akan memiliki fungsi-fungsi yang lebih tinggi daripada yang lain, tanggungjawab yang lebih tinggi daripada yang lain. Ellen White berkata ada malaikat-malaikat yang tinggi dan malaikat-malaikat yang lebih rendah, dan masih ada malaikat-malaikat yang pangkatnya lebih rendah lagi. Lucifer tidak senang, dia berkata, “Aku tidak suka di bawah kepemimpinan Kristus. Aku ingin naik dan berada di tempat yang lebih tinggi daripada itu.” Jadi jika itu sikap kita hari ini, kita dalam masalah besar, karena Yesus berkata yang paling besar adalah dia yang turun ke posisi paling bawah untuk melayani. Semoga itu menjadi semangat kita, itulah harapan saya dan doa saya.

Mari kita berdoa.

 

 

13 04 23