Thursday, August 9, 2018

REGENERATION OF CHARACTER ~ DENNIS PRIEBE


REGENERATION OF CHARACTER,
THE WORK OF GOD’S HOLY SPIRIT
Dennis Priebe
https://www.youtube.com/watch?v=6XCuVxbsIvc&t=7s

Dibuka dengan doa.


The patient is not in good health, there are warning signs, circulation is poor, some vital organs are not receiving nourishment.
A stewardship official reported in the year 2003 about 30% of Adventist church members worldwide give tithe. 30%. In parts of Africa and South America as few as 10% give tithe. Didn’t Jesus warn us where your treasure is there will your heart be also?
Now, I agree that tithing is not the most important part of the saving relationship with Christ, but it is a strong indicator of our priorities, because our money is our precious possession, it’s our survival day by day. Like a thermometer, tithing takes our spiritual temperature of the church as a whole and of us as individuals. But you know the thermometer doesn’t tell you much about the cause of the disease, does it? It tells us there is a problem, but no resolve, no cause.
Is the cause of this problem  ~ and it is a problem ~ lay at the seed of apathy, the cares of the world, or maybe lack of baptismal preparation? Now all of these may be contributing factors but I submit that the basic cause of this problem is the Gospel, specifically the Gospel which has been drummed into us for the past 30 years by scholars, and pastors, and writers, and books, and articles, and sermons, and tapes, and even Sabbath school lessons. Not the Gospel of the Bible unfortunately, but a different Gospel.

Pasiennya sedang tidak sehat. Ada tanda-tanda peringatan, sirkulasi buruk, beberapa organ vital tidak menerima asupan.
Suatu laporan penatalayan yang resmi di tahun 2003 menyatakan sekitar 30% anggota gereja Advent di seluruh dunia mengembalikan persepuluhan. 30%. Di beberapa bagian Afrika dan Amerika Selatan hanya 10% yang mengembalikan persepuluhan. Tidakkah Yesus mengingatkan kita, di mana harti kita di sanalah juga hati kita?
Nah, saya sependapat bahwa persepuluhan bukanlah bagian yang paling  penting  dalam ikatan keselamatan dengan Kristus, tetapi itu adalah indikator yang kuat tentang prioritas kita, karena uang kita adalah harta kita yang sangat berharga, itu adalah sarana hidup kita sehari-hari. Persepuluhan itu seperti sebuah thermometer, yang mengukur suhu kerohanian kita, baik secara jemaat keseluruhan dan juga secara pribadi. Tetapi, kita tahu bahwa thermometer tidak memberi informasi apa-apa tentang penyebab penyakitnya, bukan?  Dia hanya memberitahu kita bahwa ada masalah, tetapi tidak memberitahukan solusi maupun penyebabnya.
Apakah penyebab masalah ini ~ dan ini sungguh-sungguh adalah suatu masalah ~ terletak pada benih ketidakpedulian, kekuatiran dunia, atau barangkali kurangnya persiapan baptisan? Nah, semua itu mungkin adalah faktor-faktor yang berkontribusi, tetapi menurut saya, penyebab mendasar dari masalah ini adalah Injil, terutama injil yang telah dicekokkan terus-menerus kepada kita selama 30 tahun yang terakhir oleh pakar-pakar Alkitab, para pendeta, para penulis, buku-buku, artikel-artikel, khotbah-khotbah, tape-tape dan bahkan pelajaran-pelajaran Sekolah Sabat. Sayangnya itu bukan Injil Alkitab, tetapi injil yang lain.

I am going to share with you a little bit from an Adventist Review article, the title of it was “Can I know I am saved?” and I am going to read a few things from this article.
“Justification is not a transformation of inherent character, it does not impart righteousness. Justification is God declaring a person righteous because of Christ. It does not make a person intrinsically righteous. Sinners enjoy the assurance of salvation because their standing rest not in what has been done to them but in what has been done to Christ. Justification is like an umbrella…” and then there is a little illustration in this article of Justification covering us, “…justification complete ~ the work of Christ for us...” and then under that is “… ‘Sanctification incomplete ~ the work of Jesus in us’.
When you messed up in your family as a child, were you kicked out? No, you were still part of the family. When we mess up in God’s family He does not kick us out. Christ’s blood still covers us. We do not lose our salvation every time we sin. We lose our salvation only when we decide that we no longer want to be surrendered to God, when we no longer want Him in our lives.
Did David always do only what was right in God’s eyes? No, he did not. But because he lived in surrender to God, and was always repentant when he sinned, God looked at him as if he had never sinned in the same way God looks at us through Jesus Christ.”

Saya akan berbagi sedikit dengan kalian dari sebuah artikel di Adventist Review, judulnya “Bisakah saya tahu apakah saya selamat?” dan saya akan membacakan beberapa hal dari artikel ini.
“Pembenaran bukanlah transformasi pada karakter yang sudah melekat. Pembenaran tidak membuat orang menjadi benar. Pembenaran itu pernyataan Allah bahwa seseorang benar karena Kristus. Pembenaran tidak membuat orang pada hakekatnya menjadi benar. Orang-orang berdosa bisa menikmati jaminan keselamatan karena posisi mereka itu tidak tergantung pada apa yang telah dilakukan pada mereka, melainkan pada apa yang telah dilakukan pada Kristus. Pembenaran itu seperti sebuah payung…” lalu di artikel ini ada sebuah ilustrasi kecil dari Pembenaran memayungi kita, judulnya: “… ‘Pembenaran sudah lengkap ~ pekerjaan Kristus untuk kita’…” kemudian di bawahnya tulisan “… ‘Pengudusan belum lengkap ~ pekerjaan Yesus dalam diri kita.’
Waktu kecil jika kita bikin berantakan di rumah, apakah kita diusir? Tidak, kita tetap bagian dari keluarga kita. Ketika kita berbuat kesalahan dalam keluarga Allah, Dia tidak mengusir kita. Darah Kristus tetap menutupi kita. Kita tidak kehilangan keselamatan kita setiap kali kita berbuat dosa. Kita kehilangan keselamatan kita hanya bila kita membuat keputusan kita tak lagi mau berserah kepada Allah, bila kita tidak lagi menghendaki Allah dalam hidup kita.
Apakah Daud selalu melakukan hanya yang benar di mata Allah? Tidak. Tetapi karena dia hidup dalam penyerahan kepada Allah dan selalu bertobat bila berdosa, Allah memandangnya seolah-olah dia tidak pernah berdosa, dengan cara yang sama Allah memandang kita melalui Yesus Kristus.”


Now, we can all recognize some truth in what we have just heard right there. But there are deadly errors mixed in with the truth that I’ve just read.  Errors which convince sincere people that they are on the narrow road to heaven when they are still walking the broad road to destruction.

Nah, kita semua bisa mengenali beberapa kebenaran dari apa yang baru saja kita dengar di sana. Tetapi di sana juga ada kesalahan-kesalahan fatal yang bercampur dengan kebenaran yang baru saja saya bacakan. Kesalahan-kesalahan yang meyakinkan orang-orang yang tulus bahwa mereka sedang berada di jalan sempit menuju ke Surga padahal mereka sebenarnya sedang berada di jalan lebar menuju kebinasaan.


The first error is that Justification does not change our character, it’s just a declaration on the books of heaven: you’ve been pardoned.
The first error is that:
·       Justification does not change our character,
·       it does not make us righteous,
·       we have the assurance of salvation before heart surrender, before transformation of minds, before the new birth.
That’s the first error, that we are justified before we are changed in our hearts!

Kesalahan pertama ialah bahwa Pembenaran itu tidak mengubah karakter kita, tapi itu hanya  suatu pernyataan di kitab-kitab di Surga bahwa kita sudah diampuni.
Kesalahan pertama ialah:
·       Pembenaran tidak mengubah karakter kita,
·       tidak membuat kita menjadi orang benar,
·       kita memiliki jaminan keselamatan sebelum kita menyerahkan hati, sebelum ada transformasi pikiran, sebelum mengalami kelahiran baru.
Itulah kesalahan pertama, bahwa kita sudah dibenarkan sebelum ada perubahan di hati kita!


The second deadly error is the result of the first:
·       Justification which is God’s forgiveness is complete, and it saves us.
·       While Sanctification which is victory over sin is incomplete, and has nothing to do with our salvation.

Kesalahan fatal kedua adalah akibat kesalahan pertama:
·       Pembenaran yang adalah pengampunan Allah, itu sudah lengkap, dan itu menyelamatkan kita.
·       Sementara Pengudusan yang adalah kemenangan atas dosa, itu belum lengkap, dan tidak berkaitan dengan keselamatan kita.


The third most deadly error is the result of the first two:
·       Justification is like an umbrella, which covers us with Christ’s blood while we are sinning! Even continuing to sin without repenting. The example of David is given. They said, he did not lose his salvation even while committing adultery and murder, and by the way, he did not repent of those sins for a full year until Nathan came to him and you know the story there. So David, he was saved during that entire year because he was a man after God’s own heart.
No, he wasn’t! Not during that year, not during that experience.
So the third deadly error: we can be saved while sinning as long as we do not totally reject Christ in our lives, we can be saved while sinning.

Kesalahan ketiga yang paling fatal ialah akibat dua kesalahan pertama:
·       Pembenaran itu seperti payung yang menutupi kita dengan darah Kristus sementara kita sedang berbuat dosa! Bahkan selama masih tetap berbuat dosa tanpa bertobat. Diberikanlah contoh tentang Daud. Mereka berkata, Daud tidak kehilangan keselamatannya walaupun selagi dia berzinah dan membunuh. Dan kita harus ingat, Daud tidak bertobat dari dosa-dosa tersebut selama satu tahun penuh hingga nabi Natan datang kepadanya dan kalian sudah tahu kisah tersebut. Jadi, Daud tetap dalam kondisi selamat selama satu tahun penuh tersebut karena dia orang kesayangan Allah.
Tidak, sama sekali! Tidak selama tahun tersebut, tidak selama peristiwa tersebut.
Maka kesalahan fatal yang ketiga ialah, kita bisa tetap selamat selagi berbuat dosa asalkan kita tidak seluruhnya menolak Kristus dalam hidup kita. Kita bisa selamat selagi berbuat dosa.


So it is pretty easy to see why tithing is down in the church. Tithing is part of Sanctification, isn’t it? ~ not Justification ~  which is always incomplete, according to this, and does not save us.
Since I am still part of the family even when messing up ~ as it was said ~ I remain covered by the blood of Christ even when I am withholding my tithe ~ which by the way is stealing from God according to what I read in the Bible when I know it’s one of God’s commands ~  but I am still covered by the blood of Christ because I have been pardoned.

Jadi, sangat mudah untuk melihat mengapa persepuluhan merosot di dalam gereja. Persepuluhan bukan bagian Pembenaran, tetapi adalah bagian dari Pengudusan, yang menurut mereka adalah tidak lengkap, dan tidak menyelamatkan kita. Sebagaimana dikatakan, bahwa saya masih tetap bagian dari keluarga saya walaupun saya sedang berbuat kesalahan, maka saya tetap tertutup oleh darah Kristus walaupun saya tidak mengembalikan persepuluhan, saya tetap tertutup oleh darah Kristus karena saya telah diampuni ~ padahal menurut apa yang saya baca di Alkitab sebenarnya itu mencuri dari Allah karena saya sudah tahu itu salah satu perintah Allah.


This gospel teaches that I remain saved while willfully, knowingly, disobeying God, whether it’s tithing, or adultery, or anger, or jewelry, or Sabbath breaking, or alcohol, or diet, or whatever it is, I remain saved as long as I have a connection somehow with Jesus Christ. I still pray, and I still come to church, so it’s OK.

Injil ini mengajarkan bahwa saya tetap selamat ketika secara sengaja, secara sadar saya tidak patuh pada Allah, apakah itu tentang persepuluhan, atau perzinahan, atau suka marah, atau memakai perhiasan, atau melanggar Sabat, atau minuman alkohol, atau makanan, atau apa pun, saya tetap selamat asalkan entah bagaimana saya masih memiliki hubungan dengan Yesus Kristus, saya masih berdoa, saya masih ke gereja, jadi itu oke.


Can a host of acceptable sins be ever covered by the blood of Christ without repentance? The Bible doesn’t teach that. That is another gospel. That is a gospel which has been penetrating the Adventist church for 30 years now, that I can be right with God while I am disobeying Him knowingly.
Is there any wonder why the patient is sick? And why tithing is not very strong? And we don’t have a lot of help in our work that we are representing to the world outside?

Mungkinkah serentetan dosa yang dianggap bisa diterima, ditutupi oleh darah Kristus tanpa adanya pertobatan? Alkitab tidak mengajarkan demikian. Itu adalah injil yang lain. Itu injil yang telah menembus masuk ke gereja Advent selama 30 tahun ini, bahwa hubungan saya dengan Allah tetap oke walaupun saya secara sadar sedang tidak mematuhiNya.   


There is a very important warning by Ellen White that is often made fun of because of this gospel. She says In Heavenly Places page 254,  “When you go where sin is, and place yourself on the enemy’s ground, you place yourself where the angels of God do not preserve you from evil influence.” That’s a strong statement! When you go on the enemy’s ground, you go where angels cannot protect you. And the idea that angels do not accompany us on the enemy’s ground is ridiculed today, openly ridiculed because the false gospel teaches that we are justified and saved even while we are willfully sinning on the enemy’s ground, so why shouldn’t angels be there?

Ada sebuah peringatan yang sangat penting dari Ellen White, yang sering dilecehkan karena injil tersebut. Di In Heavenly Places hal. 254 Ellen White berkata, “Jika kamu pergi ke tempat dosa, dan menempatkan dirimu di teritori musuh, kamu menempatkan dirimu di mana malaikat-malaikat Allah tidak melindungimu dari pengaruh yang jahat.” Itu pernyataan yang keras! Jika kita pergi ke teritori musuh, kita pergi ke tempat di mana malaikat-malaikat tidak bisa melindungi kita. Dan konsep bahwa malaikat-malaikat tidak mendampingi kita di teritori musuh, sekarang ini ditertawakan, dilecehkan secara terbuka karena injil yang palsu itu mengajarkan bahwa kita tetap dibenarkan dan dalam kondisi selamat bahkan selagi kita secara sengaja berbuat dosa di teritori musuh, jadi mengapa malaikat-malaikat tidak ada di sana?


On this point I found a very insightful quotation from a modern writer. “Enemy ground is not so much a place as it is a mind set. Enemy ground can be a movie theatre, or your own living room.” Enemy ground is right here (pointing to his forehead). The reality is, the most of the dangerous places where Satan entraps us exist in our minds when we allow him in  to excite our imaginations ~ aah, we have those imaginations, don’t we? ~ to be the director of our fantasy production right up here. That’s enemy ground. And that’s the most dangerous place where Satan attacts us.

Tentang hal ini saya menemukan kutipan yang sangat mencerahkan dari seorang penulis modern. “Teritori musuh lebih tepat berarti pola pikir (mind set) kita daripada suatu tempat. Teritori musuh bisa sebuah gedung bioskop, atau kamar tamu kita sendiri.” Teritori musuh ada tepat di sini (menunjuk ke dahinya). Faktanya ialah, tempat yang paling berbahaya di mana Setan bisa menjerat kita, ada di pikiran kita, ketika kita mengizinkan Setan merangsang imajinasi kita ~ aaaah, kita punya imajinasi-imajinasi itu, bukan? ~ kita mengizinkan Setan menjadi sutradara fantasi yang kita produksi di kepala kita. Itulah teritori musuh. Dan itulah tempat yang paling berbahaya yang diserang Setan.

Well, my friends, the false gospel has caused incalculable harm in the SDA church. So we must, must, must be sure that we know the real gospel and are experiencing it in our daily lives. We must know that.

Nah, teman-teman, injil yang palsu ini telah mengakibatkan kerugian yang tidak terbilang dalam gereja MAHK. Jadi kita harus, harus, harus memastikan kita tahu apa Injil yang benar, dan mengalami itu di dalam kehidupan kita setiap hari. Kita harus tahu itu.


By the way, let’s just address that one point: DO WE LOSE OUR SALVATION EVERY TIME WE SIN?
It all depends what you do next.
The human response: Let’s say you lose your temper. Let’s say, you say cutting unkind cruel words to someone else, may be  to a husband or a wife, or a son or a daughter, or a parent. Let’s say, you say something that you know you shouldn’t have  said. There are two possible reactions.
·       One reaction is the normal human reaction:  hold your hands behind your back and say, “I will say I’m sorry when she says she’s sorry. I have the right to be mad. She did something that was not right. I reserve that right to be angry.” And we keep that little thought in our heads.
·       Then there is the other way, which I call the divine way. When those words come out of our mouth and even when we are justified in saying those words, the other person was at fault, and we were justified in criticizing the other person, we recognized that something has happened that we don’t see, angels of Satan are right there, writing all those words down, they are there around us. And they are taking those words and they are throwing them in the face of Jesus Christ and they quote the Bible text which we profess to believe. Ellen White says all of that by the way. That those angels of Satan throw those words in the face of Christ as proof that His Gospel really doesn’t change much of anything, we are just the same as we used to be. We just profess that we are Christians. And we recognize that the moment those words come out of our mouth, we recognize that we are just giving Satan ammunition to use to continue the great controversy, we have voted for Satan by those words, because those are his ways not God’s ways. And we immediately drop to our knees, or figuratively drop to our knees, right then at that moment say, “Lord, I am so sorry I have dishonored Your name. I have given Satan ammunition to use against Your character. I have extended the great controversy.” And we say, “Lord, please forgive me for being unchristlike even when I had the right to say those words. Please forgive me.” If that is the response, you don’t lose your salvation. Because God isn’t counting milliseconds, my friends. Did you sin, were you out of Christ for 3 seconds? No, you said, “Lord, please forgive me.”
In other words, the principle is this:
ü  when there is repentance there is relationship with the Lord.
ü  when there is excuses or blame or holding on to feelings, there is disconnection from the Lord. The Holy Spirit is not there, is not in control.
For one year David was a lost man, absolutely 100% lost. And we can be thankful that God protected him during that year so he could come to repentance. Does He do the same for us? We are lost individuals. I’ve been there. I’ve been a lost individual for a part of my life, professing one thing living a different life, and God protected me and He’ll do the same for each of us. To bring us to that point that Ellen White says, as long as there is hope of repentance.
With repentance there is connection. If the sin is followed by repentance, you do not disconnect from God. If the sin is followed by blame, by excuses, by defenses, you disconnect from God.
So that’s my answer to the question, do we lose our salvation every time we sin? No, if there is repentance immediately following. But don’t put that repentance off for a day or a month, that’s dangerous. We are living on the wrong edge.

Nah, marilah kita bicarakan poin yang satu itu: APAKAH KESELAMATAN KITA HILANG SETIAP KALI KITA BERBUAT DOSA?
Semua tergantung pada apa yang kita lakukan berikutnya.
Cara manusia: Katakanlah kita marah. Katakanlah kita mengucapkan kata-kata yang tajam, yang jahat, yang menyakitkan kepada orang lain, mungkin kepada seorang suami, atau istri, atau putra, atau putri, atau orangtua. Katakanlah, kita mengucapkan sesuatu yang kita tahu seharusnya tidak kita ucapkan.
Ada kemungkinan dua reaksi.
·       Reaksi yang satu ialah reaksi manusiawi normal: dengan meletakkan tangan kita di balik punggung kita berkata, “Aku akan minta maaf bila dia minta maaf. Aku berhak marah. Dia telah berbuat kesalahan. Aku punya hak marah.” Dan pikiran itu kita pertahankan dalam benak kita.
·       Kemudian ada cara yang lain, yang saya namakan cara Ilahi. Ketika kata-kata keras itu keluar dari mulut kita, bahkan walaupun kita dianggap benar melontarkan kata-kata tersebut karena lawan kita memang salah dan kita berhak mengritiknya, kita menyadari telah terjadi sesuatu yang tidak kita lihat, malaikat-malaikat Setan ada di sana, mencatat semua kata-kata tersebut, mereka ada di sekeliling kita. Dan mereka mencatat kata-kata itu dan mereka melontarkan kata-kata itu ke wajah Yesus Kristus dan mereka mengutip ayat Alkitab yang kita akui kita yakini. Semua ini dikatakan Ellen White. Malaikat-malaikat Setan melemparkan kata-kata tersebut ke wajah Kristus sebagai bukti bahwa InjilNya ternyata tidak banyak mengubah apa-apa, kita toh tetap sama seperti kita dulu. Kita hanya mengaku sebagai orang Kristen. Dan pada saat kita menyadari hal itu, ketika kata-kata keras itu keluar dari mulut kita, kita menyadari kita telah memberi Setan amunisi untuk melanjutkan pertentangan besarnya, dengan kata-kata tersebut kita telah memberikan suara kita kepada Setan, karena itu adalah cara Setan, bukan cara Allah, dan kita segera melipat lutut, baik secara literal maupun kiasan, dan pada saat itu kita berkata, “Tuhan, aku menyesal telah memalukan namaMu. Aku telah memberi Setan amunisi untuk menyerang karakterMu. Aku telah memperpanjang pertentangan besar.” Dan kita berkata, “Tuhan, mohon ampuni aku sudah bertindak tidak seperti Kristus walaupun aku berhak mengucapkan kata-kata itu. Mohon ampuni aku.” Jika itulah responsnya, maka kita tidak akan kehilangan keselamatan kita, teman-teman, karena Allah tidak menghitung setiap milisekon apakah kita telah berbuat dosa, apakah kita telah berada di luar Kristus selama 3 sekon? Tidak, karena kita berkata, “Tuhan, mohon ampuni aku.”
Dengan kata lain prinsipnya demikian:
ü  ketika ada pertobatan, maka ada hubungan dengan Tuhan,
ü  ketika yang ada ialah pembelaan diri, atau menyalahkan orang lain, atau bersikokoh mempertahankan emosi kita, maka putuslah hubungan kita dengan Tuhan, Roh Kudus tidak di sana lagi, tidak mengendalikan lagi.
Selama satu tahun, Daud adalah manusia yang tersesat, 100% mutlak sesat. Dan kita boleh bersyukur Allah telah melindunginya selama tahun tersebut sehingga dia punya kesempatan untuk bertobat.
Apakah Allah berbuat yang sama untuk kita? Kita manusia yang tersesat. Saya pernah mengalaminya. Selama sebagian waktu dari hidup saya, saya adalah manusia yang tersesat, mengakui satu hal tapi menghidupkan kehidupan yang berbeda. Dan Allah melindungi saya waktu itu. Dan Allah akan melakukan yang sama bagi kita masing-masing, untuk membawa kita kepada titik yang menurut Ellen White ialah selama masih ada harapan untuk bertobat.
Bila ada pertobatan, ada hubungan. Jika dosa diikuti oleh pertobatan, hubungan kita dengan Allah tidak putus.  
Bila dosa diikuti dengan menyalahkan orang lain, pembenaran diri, pembelaan, hubungan kita dengan Tuhan putus.
Jadi itulah jawaban saya untuk pertanyaan apakah kita kehilangan keselamatan setiap kali kita berbuat dosa. Tidak, jika segera diikuti oleh pertobatan. Tetapi jangan menunda pertobatan itu satu hari atau satu bulan, itu berbahaya, karena kita sedang hidup di tebing yang salah.


I want to direct our attention again this afternoon to that non-Adventist author that I   started with earlier, of the 19th century, Andrew Murray because he wrote another book, a book with a very theologically unpopular title “Be Perfect”. Wow! Be perfect? I’m going to read a little from it.
“There can only be one opinion as to the fact that God asks and expects His children to be perfect with Him…”   now that’s a great way to start it. There can only be one opinion on that? Well, there are many opinions in the Adventist church on that.  There can only be one opinion as to the fact that God asks and expects His children to be perfect with Him. It is only he who has accepted the command ‘Be perfect’ in adoring submission and obedience who can hope to know what the perfection is that God asks and gives…” In other words we may not even know what it is until we are willing to say, “Lord, I’m willing. I don’t know how, I don’t even know what, but I’m willing. “… Until the church is seen prostrate before God seeking this blessing as her highest good, it will be no wonder if the  word ‘perfection’ instead of being an attraction and a joy, is a cause of apprehension and anxiety of division and offense…” And you know that word has become that way, hasn’t it, among us? “division” and “offense”, and words that are not very positive about it.  “…Trusting ever less a man’s thoughts and teachings we will often retire into the secret of God’s presence, with the assurance that the more we see God’s face and hear the secret voice that comes directly from Him ‘Be perfect’, the more the Holy Spirit dwelling within us will unfold the heavenly fullness and power of the words…”  Once again he is saying that we will not even understand what the words mean until we are willing to say, “Lord, do whatever it takes to make me that way.”   Someone has said, “Lord, make me as holy as a pardoned sinner can be made.” That’s not bad. “…make me as holy as a pardoned sinner can be made.”

Sore ini saya mau mengarahkan perhatian kita lagi ke penulis non-Advent abad ke-19 yang tadi saya sebutkan di awal khotbah ini, Andrew Murray, karena dia menulis buku yang lain, sebuah buku yang secara theologi sangat tidak popular, berjudul “Be Perfect” [= Jadilah Sempurna]. Wow! Jadilah sempurna? Saya akan membacakan sedikit dari buku itu.
“Hanya bisa ada satu opini mengenai fakta Allah minta dan berharap anak-anakNya menjadi sempurna bersama Dia…” wah, dia mengawalinya dengan hebat. Hanya bisa ada satu opini mengenai hal itu? Nah, di dalam gereja Advent ada banyak opini mengenai hal itu. Hanya bisa ada satu opini mengenai fakta Allah minta dan berharap anak-anakNya menjadi sempurna bersama Dia. Hanyalah orang yang menerima perintah ‘Jadilah sempurna’ dengan penyerahan penuh cinta dan hati yang patuh, yang bisa berharap mengenal apa kesempurnaan yang diminta dan diberikan Allah…”  Dengan kata lain, kita bahkan tidak tahu itu apa hingga kita rela berkata, “Tuhan, aku bersedia. Aku tidak tahu bagaimana, aku bahkan tidak tahu itu apa, tetapi aku bersedia.  “…Hingga gereja sujud di hadapan Allah mencari berkat ini sebagai manfaatnya yang paling tinggi, tidak mengherankan bila kata ‘sempurna’ yang sebenarnya adalah hal yang menarik dan menggembirakan, malah menjadi sumber keprihatinan dan kekhawatiran, perpecahan dan sakit hati …”  Dan kita tahu, kata-kata tersebut telah menjadi demikian di antara kita, bukan? “Perpecahan dan sakit hati”, dan kata-kata lain yang tidak positif. “…Dengan mengurangi kepercayaan kita kepada pemikiran dan ajaran manusia, kita akan sering menyendiri ke hadirat Allah yang rahasia. Dengan jaminan, semakin sering kita memandang wajah Allah dan mendengar suara rahasia yang datang langsung dariNya ‘Jadilah sempurna’, Roh Kudus yang diam di dalam kita akan semakin membuka seluruh arti dan kuasa surgawi dari kata-kata tersebut…” Sekali lagi dia berkata bahwa kita tidak akan paham makna kata-kata itu hingga kita bersedia berkata, “Tuhan, lakukanlah apa yang perlu untuk menjadikan aku seperti itu.”
Ada orang yang pernah berkata, “Tuhan, jadikan aku sekudus seorang pendosa yang telah diampuni bisa dikuduskan.”. Itu lumayan bagus. “Jadikan aku sekudus seorang pendosa yang telah diampuni bisa dikuduskan.”


Well, if this is the true gospel, and I really believe it is. I believe he  hit it. Remember, without any Adventist background, without any spirit of prophecy, just his Bible, it was all he had, and he came to these conclusions.

Nah, jika ini adalah Injil yang benar ~ dan saya sungguh meyakini itu benar ~ maka menurut saya Andrew Murray telah mendapatkan kesimpulan yang tepat. Ingat, dia tidak punya latar belakang Advent, tidak punya Roh Nubuat, hanya punya Alkitabnya, itu saja yang dimilikinya, dan dia bisa tiba pada kesimpulan-kesimpulan itu.


If this is the will of God for us, then we need to know again how, don’t we? How this can be done, how it can be since it is so impossible in  human perception. So, let’s start at the beginning of the process at the moment when the change is made from being a member of Satan’s family to being a member of God’s family, and I’m going to start with a little thing you’ll have a hard time looking up unless you have a CD Rom or some access to the Ellen White’s writings.
Sermons and Talks Vol. 1 pg 72, “A transformation has taken place…” she says, “…and you are a different man…”  and remember now “man” is generic, men and women included.  “…You are not the same passionate man that you used to be. You are not the same worldly man that you were. You are not the man that was giving way to lusts and evil passions, evil surmisings, and evil speakings. You are not this man at all because a transformation has taken place. What is it? The image of Christ reflected in you.” 

Jika inilah kehendak Allah bagi kita, maka kita perlu lebih tahu bagaimana caranya, bukan? Bagaimana ini bisa terlaksana, bagaimana ini bisa terjadi karena hal itu begitu mustahil menurut pemikiran manusia. Jadi, marilah kita mulai dari awal proses tersebut, pada  saat perubahan itu terjadi, dari seorang anggota keluarga Setan menjadi anggota keluarga Allah. Dan saya akan mulai dengan suatu hal kecil yang akan sulit kalian temukan kecuali kalian punya CD Rom atau akses kepada tulisan-tulisan Ellen White.
Sermons and Talks Vol. 1 hal. 72. “Sebuah transformasi telah terjadi…” katanya, “…dan kamu menjadi manusia yang berbeda…” ingat kata “manusia” itu generik, laki-laki dan perempuan semuanya. “…Kamu bukan lagi manusia yang emosional yang dulu. Kamu bukan manusia duniawi yang lama. Kamu bukan manusia yang menyerah kepada nafsu dan dorongan-dorongan yang jahat, dugaan-dugaan yang jahat dan kata-kata yang jahat. Kamu bukan lagi manusia ini karena suatu transformasi telah terjadi. Apa itu? Gambar Kristus telah memantul darimu.”


My friends, it all begins with a miracle, called “The New Birth”.  That is a miracle. It’s brains being transformed, rewired, changes being made in our attitude. It’s a miracle, the miracle of justifying grace when God turns our value system upside down, and we hate what we loved, and we love what we hated. Changing everything. When Christ comes to dwell and rule in our lives, that’s a miracle. We are no longer what we were. The old man is dead, the old way of thinking. We are a new creature never to be what we once were. That’s a miracle. And that’s how it starts.

Teman-teman, semuanya diawali dengan suatu mujizat, namanya “Kelahiran Baru”. Ini mujizat. Di sini otak ditransformasi, diubah cara berpikirnya, sikap kita diubahkan. Ini mujizat, mujizat dari kasih karunia yang membenarkan, ketika Allah menunggang balikkan sistem penilaian kita dan kita jadi membenci apa yang tadinya kita cintai, dan mencintai apa yang tadinya kita benci, mengubah segalanya. Ketika Kristus datang untuk tinggal dan berkuasa dalam hidup kita, itu mujizat. Kita tidak lagi kita yang lama. Orang lama kita mati, cara berpikir yang lama mati. Kita menjadi ciptaan baru, selamanya tidak akan kembali lagi menjadi kita yang lama dulu. Itu mujizat. Dan begitulah hal ini dimulai.  


Perhaps, may be we have neglected the practice and teachings of the early church which emphasize the miracle of the new birth. Would you turn to Hebrew 6, speaks of the foundation of being a Christian. We are going to look at verse 2, Hebrews 6:2, just the first half of the verse is the interesting part,  “Of the doctrine of baptisms, and of laying on of hands…” that’s an unusual phrase. “baptisms”,  I thought it’s “baptism”. “baptisms”  is an unusual phrasing here in the plural form. Could it refer  ~  so let’s go back to another place ~  could it refer to something in the book of Mark, let’s go back to the book of Mark 1:8, John said, “I indeed have baptized you with water: but He [Christ] shall baptize you with the Holy Ghost.” Are those the baptisms that Hebrew 6 is talking about? Plural? Not just one but two things involved here? Perhaps we need a little more on the emphasis of the baptism of the Holy Spirit than we have traditionally done. Because that is even more important that baptism in water, the baptism of the Holy Spirit.

Mungkin, kita telah mengabaikan praktek dan ajaran gereja yang mula-mula yang menekankan mujizat kelahiran baru. Silakan kalian membuka Ibrani pasal 6, yang berbicara tentang fondasi seorang Kristen. Kita akan mengamati ayat 2. Ibrani 6:2, hanya bagian pertama dari ayat itulah yang menarik, tentang ajaran baptisan-baptisan, dan tentang penumpangan tangan…” ini suatu istilah yang tidak umum: “baptisan-baptisan” saya sangka tadinya “baptisan”. “Baptisan-baptisan” adalah istilah yang tidak umum di sini dalam bentuk jamak. Mungkinkah ini mengacu ~ marilah kita kembali ke ayat yang lain ~ mungkinkah ini mengacu ke sesuatu di kitab Markus? Marilah kita kembali ke kitab Markus 1:8, Yohanes berkata,Memang aku membaptis kamu dengan air, tetapi Ia [Kristus] akan membaptis kamu dengan Roh Kudus."  Apakah ini baptisan-baptisan yang dibicarakan di Ibrani pasal 6? Bentuk jamak? Bukan cuma satu tetapi dua hal yang terlibat di sini? Barangkali kita perlu menekankan sedikit lebih banyak lagi pada baptisan Roh Kudus daripada apa yang kita lakukan biasanya. Karena baptisan Roh Kudus ini lebih penting daripada baptisan air. 


There is another foundation, it’s in Acts 8:17, another fundamental foundation, at the beginning ~ remember we are just talking about the beginning of our walk with Christ here. Acts 8:17, “Then laid they their hands on them, and they received the Holy Ghost.” How many of us do that anymore? I’ve not seen that being done in any churches that I am aware of, following baptism. It just doesn’t happen. I think we need a clearer focus on the miracle of the new birth. And I think they had it right in the early century that it is through water baptism, Holy Spirit baptism by the laying on of hands which kind of emphasizes the miracle.
Now, none of these things will make it happen because we lay on our hands and it will all be automatic, but it’s a symbol. Now I think we have neglected it to our hurt, and we don’t think about it because we just say the person is baptized, newness of life, and it’s all good from that point on. Could this be why too many of us are buried alive, and we came out with the same nature and the same self that we went into the water with?
The baptism by the Holy Spirit through the laying on of hands, I think, would make it much clearer that this is a miracle of God and a transformation which is like night and day.
So again, I think we have lost something there. And maybe in your local church in your Sabbath school class you need to ask questions. Think about it. Maybe we could do better.

Ada satu lagi fondasi yang lain, terdapat di Kisah 8:17, suatu fondasi yang fundamental pada awalnya ~ ingat bahwa kita hanya berbicara mengenai awal perjalanan kita dengan Kristus di sini. Kisah 8:17, “Kemudian keduanya menumpangkan tangan di atas mereka, lalu mereka menerima Roh Kudus.”   Berapa di antara kita yang masih melakukan hal ini? Saya tidak pernah melihat ini dilakukan di gereja mana  pun yang saya ketahui, setelah pembaptisan. Sudah tidak terjadi lagi. Saya rasa kita  perlu punya fokus yang lebih jelas tentang mujizat kelahiran baru. Dan menurut saya mereka melaksanakannya dengan benar pada abad-abad yang mula-mula, yaitu melalui baptisan air, baptisan Roh Kudus dilakukan dengan menumpangkan tangan, dengan demikian menekankan pada mujizat tersebut.
Nah, tentunya hanya karena kita menumpangkan tangan itu tidak mendatangkan mujizat lalu semuanya terjadi secara automatis. Tetapi itu adalah suatu simbol. Nah, saya rasa kita telah mengabaikan ini dan merugikan kita sendiri, dan kita tidak memikirkannya karena kita berkata, orang itu sudah dibaptis, hidup baru, dan semuanya berjalan lancar mulai dari sana. Mungkinkah ini yang menyebabkan mengapa begitu banyak dari kita telah dikuburkan hidup-hidup, dan kita bangkit dengan sifat yang sama dan pribadi yang sama ketika kita masuk ke dalam air?
Baptisan Roh Kudus melalui penumpangan tangan, menurut saya, akan menjadikan lebih jelas bahwa ini adalah mujizat dari Allah, dan merupakan suatu transformasi seperti malam dengan siang.
Jadi, sekali lagi, saya rasa kita telah kehilangan sesuatu di sini. Dan barangkali di gereja  kalian, di kelas Sekolah Sabat kalian, kalian perlu mengajukan pertanyaan. Pikirkan. Barangkali kita bisa berbuat yang lebih baik. 

If in the beginning it’s properly taught and accomplished, the beginning step of transformation, we might not be so fearful of continuing that process of transformation right down through to maturity, because it is already there. Now we are just moving it ahead to the ultimate goal of perfection.

Jika dari mula langkah-langkah awal transformasi diajarkan dengan benar dan berhasil, mungkin kita tidak begitu takut melanjutkan proses transformasi tersebut terus hingga ke tahap matangnya, karena sudah ada di sana dan kita hanya melanjutkannya saja menuju gol terakhir kesempurnaannya.


This is from Acts of the Apostles pg. 532, “The work of transformation from unholiness to holiness is a continuous one. Day by day God labors for man’s sanctification and man is to cooperate with Him putting forth persevering efforts in the cultivation of right habits…” so God is laboring everyday to get us moving along this transformation pathway, “…As he thus works on the plan of addition…” the  human being, “…God works for him on the plan of multiplication…” That’s kind of neat. We add something and God multiplies it, and makes it happen faster. “…Before the believer is held out the wonderful possibility of being like Christ, obedient to all the principles of the law. Man's obedience can be made perfect only by the incense of Christ's righteousness, which fills with divine fragrance every act of obedience. … He…” the individual, “…has not the wisdom or the strength to overcome; these belong to the Lord, and He bestows them on those who in humiliation and contrition seek Him for help…”  Please notice that any ‘let us go on to perfection’ gift is a gift from God. It is not something we can accomplish. It’s a gift of God which is to lead to the goal of righteousness by faith. She continues,  “None need fail of attaining, in his sphere, to perfection of Christian character...”  so none of us needs feel that we are going to fail in that.  “…God calls upon us to reach the standard of perfection and places before us the example of Christ's character. … the Saviour showed that through co-operation with Divinity, human beings may in this life attain to perfection of character. ..”  wow, there it is! Black and white, in this life we can attain to perfection of character. “…This is God's assurance to us that we, too, may obtain complete victory.” 

Ini dari Acts of the Apostles hal. 532, “Pekerjaan transformasi dari tidak kudus menjadi kudus itu berkesinambungan. Dari hari ke hari Allah bekerja untuk menguduskan manusia dan manusia wajib bekerjasama dengan Allah, memberikan upaya yang tekun dalam mengembangkan kebiasaan-kebiasaan yang benar…” Jadi Allah bekerja setiap hari untuk membuat kita bergerak maju di jalur transformasi ini.  “…Sementara dia bekerja menurut pola deret hitung…” si manusia, maksudnya, “…Allah bekerja baginya menurut pola deret ukur…” Ini bagus sekali. Kita menambahkan satu hal, dan Allah melipatgandakannya dan mempercepatnya. “…Di hadapan si orang percaya terbentang kemungkinan yang indah bisa menjadi seperti Kristus, yang patuh kepada semua ketentuan Hukum… Kepatuhan manusia hanya bisa disempurnakan oleh bau-bauan yang harum dari kebenaran Kristus, yang memenuhi setiap kepatuhan dengan keharuman Ilahi… Dia…” maksudnya manusia itu, “…tidak memiliki hikmat maupun kekuatan untuk mengalahkan, itu hanya milik Tuhan dan Dia mengaruniakannya kepada mereka yang datang padaNya dengan kerendahan hati dan penyesalan yang mendalam, mencari bantuanNya…”  Harap diperhatikan bahwa pemberian “marilah kita menjadi sempurna” macam apa pun, adalah pemberian dari Allah. Itu bukan sesuatu yang bisa kita capai. Itu adalah pemberian Allah yang mengantarkan kepada gol pembenaran melalui iman. Ellen White melanjutkan, “Tidak ada yang akan gagal mencapai kesempurnaan karakter Kristen dalam tingkatannya sendiri…” jadi tak ada dari antara kita yang perlu merasa bahwa kita akan gagal dalam hal itu. “…Allah memanggil kita untuk mencapai tingkat kesempurnaan itu dan menempatkan teladan karakter Kristus di hadapan kita… Sang Juruselamat telah menunjukkan bahwa melalui kerjasama dengan Ilahi, manusia bisa dalam hidupnya yang sekarang ini mencapai kesempurnaan karakter…” Wow, ini dia! Hitam di atas putih. Di hidup kita yang sekarang ini kita bisa mencapai kesempurnaan karakter. “…Inilah jaminan Allah kepada kita, bahwa kita juga bisa memperoleh kemenangan yang sempurna.”


So I say, do we really believe the promise of grace? This is a promise of grace that God has given. Are we really asking God for this gift? And it is a gift of transformation moving ahead step by step, onward to the goal of ultimate perfection.

Jadi saya katakan, apakah kita benar-benar mempercayai janji kasih karunia? Inilah janji kasih karunia yang diberikan Allah. Apakah kita benar-benar memohon Allah untuk pemberian ini? Dan ini adalah pemberian untuk transformasi yang bergerak ke depan, langkah demi langkah, terus maju menuju gol kesempurnaan yang tertinggi.


Now we need to remember that the word “perfection” has at least two different meanings, may be more. It can refer to an attitude or spirit which is perfect at every stage of Christian growth. The attitude and the spirit are right with God.
Or it can refer to the mature developement  which is the result of experiencing this grace day by day.

Nah, sekarang kita harus ingat bahwa kata “kesempurnaan” itu memiliki sedikitnya dua arti yang berbeda, bahkan mungkin lebih. Kata itu bisa mengacu kepada sikap atau roh yang sempurna pada setiap tingkat pertumbuhan Kekristian. Sikap dan roh yang serasi dengan Allah.
Atau bisa mengacu kepada perkembangan yang matang, yaitu hasil dari mengalami karunia itu dari hari ke hari.


So it can either refer to the daily attitude or to the end process, and sometimes that’s what confusing.
For instance, a 10 year old child can have a perfect spirit while immature in so many ways. But the spirit can be right. Christian growth is designed to lead to that mature perfection the same as Christ’s character. Here is the key point: God always accepts a perfect spirit even when we are immature. If our life is cut short, He accepts that perfect spirit that we can have in the end. We are told for instance that king “Asa’s heart was perfect with the Lord all his days”, that’s a nice testimony. That’s in 1 Kings 15:14.

Jadi “kesempurnaan” itu bisa mengacu ke sikap sehari-hari atau ke hasil akhirnya, dan terkadang itulah yang membingungkan.
Misalnya seorang anak 10 tahun bisa memiliki roh yang sempurna sementara dia masih belum matang dalam banyak hal. Tetapi rohnya bisa benar. Pertumbuhan Kristen dipola untuk mencapai kesempurnaan yang matang sama dengan karakter Kristus.
Inilah poin kuncinya: Allah selalu menerima roh yang sempurna walaupun kita belum matang. Jika hidup kita terpotong singkat, Allah menerima roh yang sempurna itu yang bisa kita miliki pada akhirnya.
Misalnya kita diberitahu bahwa “…hati Asa sempurna bersama TUHAN sepanjang umurnya.”  Ini kesaksian yang indah. Ini terdapat di 1 Raja 15:14.


Andrew Murray once again.
“There can be no hope of comprehending what perfection is except if we count all things lost, to live for, to accept it and to process it. We must first accept it and give up our lives to it before we can understand it.”
So, may be the best thing is not to be so precise in defining everything about what it is, but plead for it. And then maybe we’ll understand it. Perhaps we debate so much on the word “perfection” that we don’t plead for perfection at all. It’s just an intellectual debate.

Andrew Murray sekali lagi.
“Tidak mungkin ada harapan untuk bisa mengerti apa itu kesempurnaan, kecuali jika kita menganggap segala yang lain tidak berarti, dan menjadikannya fokus hidup kita,  menerimanya, dan  memprosesnya. Kita harus menerima lebih dulu, dan menyerahkan hidup kita kepadanya sebelum kita bisa memahaminya.”
Jadi, mungkin yang paling baik ialah tidak terlalu spesifik mendefinisikan segala sesuatu, tentang apakah itu, tetapi sebaiknya kita mohon untuk memperolehnya, mungkin setelah itu kita akan paham. Mungin kita berdebat terlalu banyak mengenai kata “kesempurnaan” sehingga kita sama sekali tidak memohon untuk memperoleh kesempurnaan. Hanya menjadi perdebatan intelektual.


Again from Andrew Murray.
“Have I given myself up to say that there must be nothing, nothing whatever to share my heart with God and His will? Is a heart perfect with the Lord my God the object of my desire, my prayer, my faith and my hope?”

Lagi dari Andrew Murray.
“Sudahkah aku menyerahkan diri untuk berkata tidak boleh ada apa pun, apa pun, yang membagi hatiku dengan Allah dan kehendakNya? Apakah objek kerinduanku, doaku, iman dan harapanku adalah hati yang sempurna bersama Tuhan Allahku?”


We  will turn to the book of Genesis.
Genesis 17:1, And when Abram was ninety years old and nine, the LORD appeared to Abram, and said unto him, ‘I am the Almighty God; walk before me, and be thou perfect.’”  Does God command things that are impossible? Does God command things that will cause us to be burdened? Or does He command things that will only bring us peace, joy, and happiness?

Kita akan kembali ke kitab Kejadian.
Kejadian 17:1, “Ketika Abram berumur sembilan puluh sembilan tahun, maka TUHAN menampakkan diri kepada Abram dan berfirman kepadanya: Akulah Allah Yang Mahakuasa, hiduplah di hadapan-Ku dan jadilah sempurna.
Apakah Allah memerintahkan kita untuk melakukan hal-hal yang mustahil? Apakah Allah memerintahkan melakukan hal-hal yang akan menjadi beban bagi kita? Atau apakah Dia memerintahkan melakukan hal-hal yang hanya akan membawa damai, sukacita dan kebahagiaan kepada kita?


So we want to know how to walk before God. I am going to share a couple of statements now and how they are said, very interesting because we don’t ever talk about it in these terms. These are statements from Ellen White.
“At every step,” she says, “our prayers should ascend to the throne of God, while working as if everything depended upon our diligence and faithfulness…” Now, what’s going on here? Let’s try again, “Prayer and effort, effort and prayer will be the business of your life. You must pray as though the efficiency and praise were all due to God, and labor as though duty were all your own.” Wow! You must pray as if it were all due to God and you work as though you had to do it on your own. That’s Testimony Vol. 4 pg. 538. 

Jadi kita harus tahu bagaimana caranya hidup di hadirat Allah. Saya akan membagikan beberapa pernyataan dan bagaimana kalimatnya yang sangat menarik karena kita tidak pernah berbicara tentang hal ini menggunakan istilah-istilah ini. Ini adalah pernyataan-pernyataan Ellen White.
“Di setiap langkah,” katanya, “doa-doa kita harus naik ke takhta Allah, sementara kita bekerja seolah-olah segalanya bergantung pada kerajinan dan ketekunan kita…” Nah, apa yang terjadi di sini? Mari kita coba lagi. “Doa dan upaya, upaya dan doa haruslah menjadi kewajibanmu selama hidupmu. Kamu harus berdoa seakan-akan efisiensi dan pujian adalah karena Allah, dan bekerja seakan-akan seluruh tanggung jawabnya semata-mata milikmu.”   Wow! Kita harus berdoa seakan-akan semuanya karena Allah, dan kita bekerja seakan-akan kita harus melakukannya sendiri. Itu dari Testimony Vol. 4, hal 538.


Here’s another one. “You should engage in the work as though all depended upon you, and yet with perfect trust. God had entrusted to us the great work of warning the world of the coming judgment. We are to act our part in bringing this truth to all we can. We must pray to God to water the seeds so that they may spring up and bear fruit to His glory.”  Review and Herald July 8, 1890.
So we work as if everything depended on us, and we pray because we know nothing depends on us.  We are really in a dilemma here.

Ada yang lain. “Kamu harus mengerjakan pekerjaan itu seakan-akan semuanya tergantung padamu, namun dengan penuh percaya pada Allah. Allah telah mempercayakan kepada kita suatu pekerjaan besar untuk memberi peringatan kepada dunia tentang penghakiman yang akan datang. Kita harus menjalankan tugas kita membawa kebenaran ini kepada semua orang yang bisa kita capai. Kita harus berdoa kepada Allah agar Allah memberi air pada benih-benih itu supaya bisa tumbuh dan menghasilkan buah bagi kemuliaan Allah.” Review and Herald, 8 Juli 1890
Jadi, kita bekerja seakan-akan segalanya bergantung pada kita, dan kita berdoa karena kita tahu tidak ada yang bergantung pada kita.
Kita benar-benar dalam dilema di sini.


 "I humbled myself before God and earnestly presented my petitions at the throne of grace. My faith was tried to the utmost. I received no direct evidence that my prayers were answered but I decided to go to work as though I have received the help I so greatly needed.”  Signs of the Times, January 19, 1882.
So she didn’t get any evidence that her prayers were heard, but she says she worked as if every word had been understood and accepted and that God was right there with her.

 “Aku merendahkan diriku di hadapan Allah, dan dengan tulus menyampaikan permohonan-permohonanku ke takhta kasih karunia. Imanku diuji habis-habisan. Aku sama sekali tidak mendapat bukti langsung bahwa doa-doaku dijawab, tetapi aku memutuskan untuk bekerja seolah-olah aku telah mendapatkan bantuan yang begitu aku butuhkan.” Signs of the Times, 19 Januari 1882.
Jadi Ellen White tidak mendapat bukti apa pun bahwa doa-doanya didengar, tetapi dia berkata, dia bekerja seolah-olah setiap katanya telah dimengerti dan diterima, dan bahwa Allah ada di sana mendampinginya.


One more.
“Be in earnest, pray and work, and work and pray. And then act as though success depended upon your efforts, due to the best of your ability and God will cooperate with you. You are to work with all the powers of your being. Awake, awake, I pray you.” Review and Herald, December 18, 1888.
Wow!

Satu lagi.
“Dengan sungguh-sungguh, berdoa dan bekerja, dan bekerja dan berdoa. Lalu bersikaplah seolah-olah sukses bergantung pada upayamu, berkat kemampuanmu yang paling baik, dan Allah akan bekerjasama dengan kamu. Kamu harus bekerja dengan segala kemampuanmu yang hakiki. Bangkit, bangkitlah, aku mohon padamu.” Review and Herald, 18 Desember 1888.
Wow!


What a delicate ~ and I mean delicate ~ combination here of prayer and work, of dependence and effort. How do we put these two together? This is one of the most ~ shall I say ~ challenging parts of righteousness by faith. How do we make those work in the right proportion and not over-emphasize one or over-emphasize the other. All we are told is that we work as though the success depended entirely on our efforts and pray because we know our efforts will lead only to failure. How do you keep that all  together? This  is one of the challenging mysteries of the Gospel. Prayer, dependence versus effort and work. And I’m just lost, I guess I’m still are.
So all of this is an area in which I suggest we spend a lot more study time than we do.    On this area of doing and trusting, yielding and working, how does it all fit together, how can we make it work right.

Betapa halusnya ~ dan saya maksudkan, benar-benar halus ~ kombinasi di sini antara doa dan kerja, antara ketergantungan dengan upaya. Bagaimana kita harus mempersatukan keduanya? Ini salah satu bagian yang paling ~ katakanlah ~ menantang dari pembenaran melalui iman. Bagaimana kita bisa mengaplikasikan keduanya dengan baik dalam proporsi yang tepat dan tidak terlalu melebihkan yang satu atau yang lain. Kita hanya diberitahu bahwa kita harus bekerja seolah-oleh keberhasilannya tergantung semata-mata pada upaya kita, dan berdoa karena kita tahu upaya kita hanya akan gagal. Bagaimana kita bisa menyeimbangkan semuanya itu? Inilah salah satu misteri Injil yang menantang. Doa, ketergantungan versus (melawan) upaya dan kerja. Dan saya bingung. Sepertinya saya masih bingung sekarang.
Jadi semua ini adalah masalah yang saya usulkan harus kita beri lebih banyak waktu untuk dipelajari daripada yang sekarang kita lakukan. Mengenai hal ini: bekerja dan berserah, berserah dan bekerja, bagaimana itu bisa klop satu sama lain, bagaimana kita bisa membuat itu berhasil.  


Ellen White said this in another passage. She said that, “Let the churches who claim to believe the truth who are advocating the Law of God, keep that Law and depart from all iniquity. Let the individual members of the church resist the temptations to practice evil and indulge in sin…”   see, there is the work part of it: resist.  “…Let the church commence the work of purification for God by repentance, humiliation, deep heart searching…. Let the individual members of the church be pure, steadfast, unmovable, always abounding in the love of Jesus…. I want not only to be pardoned for the transgression of God’s holy Law but I want to be lifted into the sunshine of God’s countenance… Salvation is not to be baptized, not to have our names  upon the church books, not to preach the truth, but is a living union with Jesus Christ to be renewed in heart doing the works of Christ in faith and labor of love, in patience, meekness and hope. Well may the question be asked with earnest, anxious heart: is envy cherished, is jealousy permitted to find a place in my heart. If so, Christ is not there.”   That’s Selected Messages Vol. 2  pg. 377-382.

Ellen White mengatakan demikian dalam bacaan yang lain. Dia berkata, “Hendaknya gereja-gereja yang mengaku mempercayai kebenaran, yang melaksanakan Hukum Allah, memelihara Hukum tersebut dan meninggalkan semua dosa. Hendaknya semua anggota gereja menolak pencobaan untuk berbuat jahat dan bermanja dalam dosa…”  lihat, ini bagian bekerjanya: menolak.  “…Hendaknya gereja memulai pekerjaan pemurnian oleh Allah melalui pertobatan, merendahkan diri, dan introspeksi yang mendalam… Hendaknya anggota-anggota gereja menjadi murni, teguh, kokoh, selalu berkelimpahan dalam kasih Yesus… saya tidak hanya ingin diampuni atas pelanggaran Hukum kudus Allah, tetapi saya mau diangkat ke sinar kemuliaan wajah Allah… Keselamatan itu bukan karena dibaptis, bukan karena nama kita tercatat di kitab-kitab gereja, bukan mengkhotbahkan kebenaran, melainkan hidup yang menyatu dengan Yesus Kristus, yang hatinya diperbarui, melakukan pekerjaan Kristus dalam iman dan penuh pengorbanan, dalam kesabaran, kelemahlembutan, dan pengharapan. Mungkin pertanyaan ini bisa ditanyakan dengan hati yang tulus dan cemas: apakah iri hati dipelihara, apakah iri hati diizinkan mendapat tempat dalam hati saya? Jika iya, maka Kristus tidak ada di sana.”  Ini Selected Messages Vol. 2, hal. 377-382.


So there we have it again, perhaps we need to have a clear understanding of what a perfect heart or attitude really is. The spirit is, whatever Your will is, God, I want to do it, and I’ll go ahead, but, Lord, I’m going to fail unless You are there with me, I am not going to succeed. I can’t resist temptation on my own but I will make the decided decision to walk away from bad place where temptation comes. It’s a delicate balance.

Tuh, ada lagi. Barangkali kita perlu punya pemahaman yang jelas, hati atau sikap yang sempurna itu seperti apa. Rohnya ialah, apa pun kehendakMu, Allah, aku mau melakukannya, dan aku akan melakukannya. Tetapi, Tuhan, aku akan gagal kecuali Engkau mendampingi aku, aku tidak akan berhasil. Aku tidak bisa menolak pencobaan dengan kekuatanku sendiri, tetapi aku akan membuat keputusan yang menentukan untuk menjauhi tempat-tempat yang jahat di mana pencobaan datang. Sebuah keseimbangan yang peka.

Friends, we can have a perfect heart while we are advancing to maturity, that is the promise: a perfect spirit.

Teman-teman, kita bisa memiliki hati yang sempurna sementara kita bertumbuh menuju kematangan, itulah janjinya: roh yang sempurna.


Now, can we have a perfect heart while we are ignoring God’s commandments? Here I want to share something with you that is from Clifford Goldstein in one of his columns in the Adventist Review.
“When the laws of England wouldn’t allow England’s king Henry VIII to divorce his wife, what did he do? He changed the law, that’s what. Henry didn’t change his actions in order to meet the demands of the law. No, he changed the demands of the law in order to meet his actions. Now, wouldn’t it have been so much easier if God did what Henry VIII did, that is changed the Law to meet the transgressors where they were in their transgressions? When you think about the costs of the cross, God bearing in Himself the sins and the suffering and the guilt of all humanity, wouldn’t it have been less costly to modify the Law, in order that acts once being violations of the Law no longer were?” Ah, interesting option. “How much easier for God Himself to have changed the definition of sin to meet humanity in its sin rather than to bear in Himself the penalty for that sin.” You see, God handled that situation completely differently than Henry VIII did, right? Henry VIII said, “I’ll change the law so I can do what I want to do.” Instead, Christ took the punishment for the Law so that we wouldn’t be punished. And so he continues, “Let’s be reasonable, if God didn’t change the Law before Christ died on the cross, why do it after?  Why not changed it beforehand and saved Himself the  punishment? Jesus’ death shows that if the Law could have been changed, it would have been before, not after the cross. Nothing that shows the continued validity of the Law more than does the death of Jesus, a death the occurred precisely because the Law couldn’t be changed. How could the death of Christ changed the Law when that death proves that the Law can’t be changed?”

Nah, bisakah kita memiliki hati yang sempurna sementara kita mengabaikan perintah-perintah Allah? Di sini saya ingin berbagi sesuatu dengan kalian, yang datang dari Clifford Goldstein dalam salah satu kolomnya di Adventist Review.
“Ketika hukum negara Inggris tidak mengizinkan raja Inggris Henry VIII menceraikan istrinya, apa yang dia lakukan? Dia mengubah hukumnya. Henry tidak mengubah perbuatannya supaya memenuhi tuntutan hukum. Tidak. Dia mengubah tuntutan-tuntutan hukum supaya sesuai dengan perbuatannya. Nah, apa tidak jauh lebih mudah jika Allah melakukan yang sama yang dilakukan Henry VIII, yaitu dengan mengganti Hukum supaya klop dengan para pendosa dalam dosa-dosa mereka. Bilamana kita renungkan harga yang dibayar di salib di mana Allah menanggung Sendiri dosa-dosa dan penderitaan dan rasa bersalah semua manusia, tidakkah akan lebih murah mengubah Hukumnya saja supaya perbuatan-perbuatan yang tadinya termasuk melanggar Hukum, tidak lagi melanggar Hukum?...” Ahh, opsi yang menarik!  “…Betapa lebih mudahnya bagi Allah Sendiri untuk mengubah definisi dosa supaya bisa klop dengan kemanusiaan dalam dosa mereka, daripada menanggung Sendiri hukuman bagi dosa.”  Kalian lihat, Allah menangani situasi tersebut amat berbeda dari cara Henry VIII, bukan? Henry VIII berkata, “Aku akan mengubah hukum supaya aku bisa berbuat apa yang mau aku lakukan.” Sebaliknya Kristus yang menanggung hukuman pelanggaran Hukum agar kita tidak usah dihukum. Jadi, dia lanjutkan, “…Marilah kita bersikap logis. Jika Allah tidak mengubah Hukum sebelum Kristus mati di salib, mengapa dilakukan belakangan? Mengapa tidak diubah sebelumnya dan menyelamatkan Dirinya dari hukuman? Kematian Yesus menunjukkan bahwa jika Hukum bisa diubah, pasti sudah diubah sebelum salib, bukan setelahnya. Tidak ada yang membuktikan keabsahan Hukum yang terus berkelanjutan lebih daripada kematian Yesus, kematian yang terjadi justru karena Hukum tidak bisa diubah. Bagaimana kematian Kristus bisa mengubah Hukum sementara kematian itu membuktikan bahwa Hukum tidak bisa diubah?”


I thought that was very insightful.  Couldn’t be changed after that. Nevertheless Christians all over the world say it over and over again, that the death on the cross was the decisive event that ended the rule of the Law in the 10 Commandments, therefore we don’t have to obey them. They point to Christ’s grace as something that negates the obligation to the 10 Commandment Law, so we just don’t have to do it.

Menurut saya itu sangat mencerahkan. Tidak mungkin diubah setelah salib. Namun orang-orang Kristen di seluruh dunia berulang-ulang berkata bahwa kematian di salib adalah peristiwa yang menentukan, yang mengakhiri berlakunya Hukum 10 Perintah Allah, karena itu kami tidak usah mematuhinya. Mereka menunjuk ke kasih karunia Kristus sebagai sesuatu yang membatalkan kewajiban mematuhi Hukum 10 Perintah, maka kami tidak perlu lagi melakukannya.


So, obviously one of the problems here, obviously the debate is not over the 10 Commandments, it’s over one of the 10 Commandments and you know obviously which that one is. There really this whole thing is an argument against Sabbath keeping. It’s not about  coveting, it’s not about taking the name of Lord in vain. It is about the 4th commandment, the 7th day Sabbath. If the 7th Sabbath was not the bone of contention, all of the arguments against keeping the Law, I think would  never  have been heard even once. But by fighting against the 4th commandment as it reads “the 7th day is the Sabbath of the Lord thy God”, many find themselves unwillingly fighting against the whole Law. Because of one troubling commandment many mainline churches have been playing down the entire Decalogue for generations. Yet, it is only a matter of time when this playing down of the 10 Commandments uprooted the basic moral principles of society to what we see today, in which there is a text that says, “they have sown the wind and they shall reap the whirlwind”. And you know that our immorality today has reached an  all time high. No matter what it is, if it is same sex marriage, if it’s on demand abortion, if it’s assisted suicide, and a  blizzard of other moral issues that we are facing today.

Maka jelaslah, salah satu masalahnya di sini, jelas debatnya bukan tentang ke 10 Perintah Allah, tapi tentang satu dari antara ke-10 Perintah itu, dan kalian sudah tahu yang mana itu. Seluruh masalah ini ialah perdebatan menentang pemeliharaan Sabat. Bukan tentang iri hati, bukan tentang memakai nama Tuhan secara sembarangan. Tapi mengenai Hukum ke-4, Sabat hari ketujuh. Seandainya Sabat bukanlah objek pertentangannya, semua perdebatan terhadap pemeliharaan Hukum, menurut saya, tidak akan terdengar satu kali pun. Tetapi dengan menentang Perintah ke-4 yang bunyinya, “hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu” banyak orang mendapatkan dirinya terpaksa melawan seluruh Hukum. Karena satu perintah yang menimbulkan masalah, banyak gereja mayoritas mengabaikan seluruh 10 Perintah selama turun-temurun. Namun, hanya tinggal menunggu waktu saja pengabaian 10 Perintah Allah itu mencabut akar prinsip-prinsip moral yang mendasar dalam masyarakat menjadi apa yang kita lihat dewasa ini, yaitu apa yang dikatakan ayat ini,  “…mereka telah menabur angin, maka mereka akan menuai puting beliung…”  [Hosea 8:7]. Dan kalian tahu amoralitas kita hari ini telah mencapai tingkat yang tertinggi selama ini, entah itu  tentang perkawinan sesama jenis, atau tentang tuntutan aborsi, atau bantuan bunuh diri dan badai isu-isu moral lainnya yang menerpa kita sekarang. 


Many Christians now change their thinking after September 11, 2001. All of a sudden Christian leaders began talking about the Law of God in a renewed interest. And they said, “Let’s have a Ten-Commandment-Day!” Remember that? Ten-Commandment-Day. Here’s what they said, “Finally, a day in which we can come together and celebrate God’s eternal moral Law and we want to restore the supremacy of the tenets (religious doctrine) precepts and principles contained in the Ten Commandments.” So now, we are getting an emphasis on the Law and we either want to have it posted in public places as the moral guide to our society today. But unfortunately in all of this process we still find the same antagonism to that one commandment, don’t we? That hasn’t changed one bit. While we want to restore the Law as reinterpreted by us human beings so it isn’t quite so difficult for us today.

Setelah 11 September 2001, banyak orang Kristen sekarang mengubah pikiran mereka. Tiba-tiba pemimpin-pemimpin Kristen mulai berbicara tentang Hukum Allah dengan minat yang baru. Dan mereka berkata, “Ayo kita adakah Hari Sepuluh Perintah!” Ingat itu? Hari Sepuluh Perintah. Inilah kata mereka, “Akhirnya, ada satu hari di mana kita boleh berkumpul dan merayakan Hukum moral Allah yang abadi, dan kita ingin mengembalikan kedaulatan keyakinan-keyakinan, ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam ke-Sepuluh Perintah.” Maka sekarang kita melihat penekanan pada Hukum, dan kita suruh pasang itu di tempat-tempat umum sebagai petunjuk moral bagi masyarakat kita sekarang. Tetapi sayang, dalam seluruh proses ini kita masih menemukan antagonisme yang sama terhadap satu Perintah itu, bukan? Itu sama sekali tidak berubah sedikit pun. Sementara kita mau memulihkan Hukum menurut interpretasi kita, manusia, maka sekarang tidaklah begitu sulit bagi kita.  


I want to share something with you that comes from a non-SDA source. In fact he is the professor of Old Testament at Wheaten College in Illinois which is an evangelical college. And he said something which I think everyone of us needs to hear, he wrote specifically to other evangelicals. “Here’s what most Christians believe: God gave the Ten Commandments to Israel to let them prove how impossible it was to  obey the Ten Commandments, therefore under grace we don’t have to worry about those Ten Commandments anymore. Look at Israel, see what they did. God gave that to them as an object lesson of how impossible it is to obey for us today…”. That’s what most Christians believe. So here’s what he said,  “Why would God rescue the Israelites from the burdensome and death-dealing slavery of Egypt only to impose upon them an even heavier burden of the Law which they in any case were unable to keep  and which would send them to an even more horrible fate: damnation under His own wrath?” So He delivers them from Egypt and then gives them a Law under which they couldn’t obey it, and therefore would be damned to eternal burning hell fire. When you look at the Exodus this way, it turns out to be not such a good deal after all. And then he makes his point. “God and Moses…” God and Moses,  “…perceived obedience to the Law not as a way or precondition to salvation but as a grateful response of those who had already been saved. By grace alone through faith they crossed the Red Sea to freedom.”  God and Moses, perceived obedience to the Law not as the precondition for salvation but as the precondition to Israel’s fulfilment of the mission to which she had been called and the precondition to her own blessing,    in other words not to precondition of salvation, that’s by grace; but the condition of God’s blessing upon His people, the condition of God’s blessing. “God and Moses perceived God’s revelation of the Law to Israel as a supreme and unique privilege contrary to contemporary evangelical opinion, obedience to the Law for the genuinely faithful in Israel was a delight.”

Saya mau berbagi sesuatu dengan kalian yang berasal dari sumber non-MAHK. Faktanya dia adalah seorang professor Perjanjian Lama di Wheaten College di Illinois, yang adalah perguruan tinggi Protestan. Dan dia mengatakan sesuatu yang menurut saya perlu didengar kita semua. Dia menulis ini kepada orang-orang Protestan lainnya:
“Inilah yang diyakini kebanyakan orang Kristen: Allah memberikan ke-10 PerintahNya kepada bangsa Israel supaya mereka membuktikan betapa mustahilnya ke-10 Perintah itu bisa dipatuhi. Karena itu di bawah kasih karunia kita tidak usah membingungkan ke-10 Perintah itu lagi. Lihatlah Israel, lihat apa yang mereka lakukan. Allah telah memberikan itu kepada mereka sebagai contoh soal bagaimana mustahilnya kita bisa mematuhinya hari ini…”  Itulah yang diyakini mayoritas Kristen. Maka, inilah yang dikatakannya,  “…Mengapa Allah sampai menyelamatkan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir yang sangat berat dan mematikan hanya untuk memaksakan kepada mereka beban Hukum yang lebih berat, yang toh tidak bisa mereka patuhi dan yang akan mengirim mereka ke takdir yang lebih mengerikan: yaitu kebinasaan oleh murkaNya sendiri?” Maka, Allah menyelamatkan mereka dari Mesir kemudian memberi mereka suatu Hukum yang tidak bakal bisa mereka patuhi, oleh karena itu mereka akan dibinasakan oleh api neraka yang kekal. Jika kita memandang penyelamatan dari Mesir dengan cara ini, ternyata itu tidaklah terlalu menguntungkan. Kemudian dia membuat poinnya. “…Allah dan Musa…”  Allah dan Musa,  “…mengartikan kepatuhan kepada Hukum bukan sebagai jalan atau prasyarat keselamatan, melainkan sebagai respons syukur mereka yang telah diselamatkan. Oleh kasih karunia saja melalui iman mereka menyeberangi Laut Merah menuju kebebasan...”  Allah dan Musa mengartikan penurutan kepada Hukum bukan sebagai prasyarat untuk memperoleh keselamatan melainkan sebagai prasyarat Israel memenuhi misi yang diberikan kepada mereka dan prasyarat mereka untuk memperoleh berkat. Dengan kata lain, bukan prasyarat keselamatan, karena itu oleh kasih karunia; tetapi syarat untuk memperoleh berkat Allah bagi umatNya, syarat untuk mendapatkan berkat Allah. “Berlawanan dengan pendapat Protestan kontemporer, Allah dan Musa mengartikan pengungkapan Hukum kepada Israel sebagai hak istimewa yang tertinggi dan unik, Kepatuhan kepada Hukum adalah suatu kegemaran bagi bangsa Isrrael yang benar-benar setia…”


In fact right here we just got to look up one text because this point is so important. Deuteronomy, would you turn to the book of Deuteronomy, it’s in chapter 4 and we look at verse 6. It’s talking about the commandments. 6 Keep therefore and do them; for this is your wisdom and your understanding in the sight of the nations, which shall hear all these statutes, and say, ‘Surely this great nation is a wise and understanding people. 7 For what nation is there so great, who hath God so nigh unto them, as the LORD our God is in all things that we call upon him for?  8 And what nation is there so great, that hath statutes and judgments so righteous as all this law’, which I set before you this day? 
That’s what commandment keeping was supposed to do for Israel. So all the nations would look on them and say, “This is really special, this is a people blessed by God.” No, there were many laws around in those days. Each nation had its own laws. And these laws that God had given were to be the example for all other nations as the way to find happiness and peace and joy and all the rest. And that’s what Law-keeping was supposed to be all about and that’s what he was referring to in this statement right here.

Sebenarnya di sini kita perlu melihat satu bacaan karena poin ini begitu penting. Kitab Ulangan, silakan ke kitab Ulangan, pasal 4 dan kita lihat ayat 6. Ini berbicara mengenai Perintah-perintah Allah itu. 6 Karena itu peliharalah dan lakukan mereka, sebab itulah kebijaksanaanmu dan akal budimu di mata bangsa-bangsa yang akan mendengar segala ketetapan ini dan berkata: Memang bangsa yang besar ini adalah umat yang bijaksana dan berakal budi. 7 Sebab bangsa besar manakah yang mempunyai allah yang demikian dekat kepadanya seperti TUHAN, Allah kita, yang kita panggil dalam segala hal? 8 Dan bangsa besar manakah yang mempunyai ketetapan dan peraturan demikian benar seperti seluruh hukum ini, yang kubentangkan kepadamu pada hari ini?”
Itulah yang seharusnya diperoleh Israel dari mematuhi Hukum Allah, supaya semua bangsa akan memandang mereka dan berkata, “Ini sungguh istimewa, inilah umat yang diberkati Allah.” Tidak, di zaman itu ada banyak hukum, setiap bangsa memiliki hukumnya sendiri. Dan hukum-hukum ini yang telah diberikan oleh Allah tujuannya supaya menjadi teladan bagi semua bangsa yang lain, bagaimana caranya mendapatkan kebahagiaan dan damai dan sukacita dan yang lain-lain. Dan itulah intinya mematuhi Hukum Allah, dan itulah yang dimaksud oleh pernyataannya di sini.


Let’s see what else he said. “On this matter,” he said, “Moses and Paul are in perfect agreement. In fact Paul himself says that it’s not the hearers of the Law that are righteous before God but the doers of the Law which are justified. Unless the New Testament…” this is really important, “…Unless the New Testament expressly declares the end of an Old Testament ordinance, we assume its authority continues for believers today. We are concerned about a salvation that works, that is a salvation that resolves in a life that   conforms to the will of God. At issue is the believers’ sanctification. While obedience is not a prerequisite to salvation, it is the key to the  blessing of the redeemed.”
And I say, I saw a marvelous, marvelous call to obedience on the part of an evangelical scholar right there, who say, “Look, let’s take another look at the Law of God, let’s find out what it really is and why it’s important. Calling modern Christians to take another look at the commandments given by God.

Mari kita lihat apa lagi yang ditulisnya. “Dalam hal ini,” katanya, “Musa dan Paulus sepakat sepenuhnya. Bahkan Paulus sendiri berkata, bukan orang yang mendengar Hukum Allah yang benar di hadapan Allah, tetapi para pelaku Hukumlah yang dibenarkan. Kecuali  bila di kitab Perjanjian Baru…”  ini benar-benar penting, “…Kecuali bila di kitab Perjanjian Baru ada pernyataan yang tegas tentang telah berakhirnya suatu ketetapan (peraturan) Perjanjian Lama, kita menganggap itu tetap berlaku bagi orang percaya zaman sekarang. Konsern kita ialah keselamatan yang berhasil, yaitu keselamatan yang membuahkan suatu hidup yang selaras dengan kehendak Allah. Yang menjadi isu ialah pengudusan umat percaya. Sementara kepatuhan bukanlah prasyarat untuk mendapatkan keselamatan, ia adalah kunci untuk mendapatkan berkat bagi orang-orang tebusan.”
Dan saya katakan, di sini saya melihat suatu panggilan yang sangat hebat dari seorang pakar Alkitab Protestan, yang berkata, “Ayo, marilah kita lihat lagi Hukum Allah, marilah kita cari tahu apa itu sebenarnya dan mengapa itu penting.” Memanggil orang-orang Kristen modern untuk meneliti lagi perintah-perintah yang diberikan Allah.


A perfect heart, my friends, a perfect spirit means whatever God says I will do. That’s what a perfect heart is. I may not understand everything, but whatever I know about God I’m going to commit myself to that,  that’s a perfect heart, a perfect spirit, not relative to changing circumstances but God’s authority is permanent.

Hati yang sempurna, teman-teman, roh yang sempurna berarti apa pun kata Allah, akan saya lakukan. Itulah hati yang sempurna. Mungkin saya tidak mengerti semuanya, tetapi apa yang saya tahu tentang Allah, saya akan komit pada hal itu. Itulah hati yang sempurna, roh yang sempurna, yang tidak bergantung pada perubahan sikon, tetapi pada autoritas Allah yang permanen.


Let’s read again 2 Corinthians 6 beginning with verse 17, here is Paul’s counsel to new covenant Christians today, 17 ‘Wherefore come out from among them, and be ye separate,’ saith the Lord, ‘and touch not the unclean thing; and I will receive you. 18 And will be a Father unto you, and ye shall be my sons and daughters,’ saith the Lord Almighty. 1 Having therefore…” chapter 7 verse 1,  “…Having therefore these promises, dearly beloved, let us cleanse ourselves from all filthiness of the flesh and spirit, perfecting holiness in the fear of God.”  
Perfecting holiness in the fear of God. If God is willing to dwell in us, He really is willing to dwell in us and that makes us holy. Should we not be motivated to accept this gift of perfection and holiness? Should not our hearts’ desire be to be cleansed from all defilement so that there is no barrier inward or outward?

Mari kita baca lagi 2 Korintus 6 mulai dengan ayat 17. Di sini nasihat Paulus kepada orang Kristen Perjanjian Baru hari ini. 17 ‘Sebab itu keluarlah kamu dari antara mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka,’ firman Tuhan, ‘dan janganlah menjamah apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu. 18 Dan Aku akan menjadi Bapamu, dan kamu akan menjadi anak-anak-Ku laki-laki dan anak-anak-Ku perempuan’, demikianlah firman Tuhan Yang Mahakuasa. 1 Karena kita sekarang memiliki…” pasal 7 ayat 1,  “…Karena kita sekarang memiliki janji-janji itu, Saudara-saudaraku yang terkasih, marilah kita menyucikan diri kita dari semua pencemaran jasmani dan rohani, menyempurnakan kekudusan kita dalam takut akan Allah.”
Menyempurnakan kekudusan dalam takut akan Allah. Jika Allah bersedia tinggal di dalam kita, Dia sungguh-sungguh bersedia tinggal di dalam kita dan menjadikan kita kudus. Tidakkah seharusnya kita termotivasi untuk menerima karunia kesempurnaan dan kekudusan ini? Tidakkah kerinduan hati kita ialah dibersihkan dari segala pencemaran sehingga tidak lagi ada pembatas baik di dalam maupun di luar?


Again from Andrew Murray.
“Beloved, having these promises, let us perfect holiness. Lord, make me as perfectly holy as a redeemed sinner can be on earth. I desire this day to come as near to perfection as grace can make it possible for me. Some have said that they have seen perfectionism slay its thousands. All must admit that imperfectionism has slain its tens of thousands. No one is perfect, imperfection cannot be so dangerous.”
And guess what, that is just permeating our beloved church today and we are being destroyed by it inch by inch.
One warning though, one warning!  “True perfection will never act superior to others…”  I know more than you do,  I’m doing God’s will better than you’re doing, “…because we will always be conscious of what we do not know yet about ourselves and God’s will and how much still needs to be perfected in us, we’ll not be looking at others while we are looking at us, at our own heart.” You know the greatest beauty of perfection is humility, that’s the greatest beauty that perfection can offer us is a humble heart.

Dari Andrew Murray lagi.
“Kekasih, dengan memiliki janji-janji ini, marilah kita menyempurnakan kekudusan. Tuhan, jadikan aku kudus, sesempurna yang bisa dicapai seorang pendosa yang telah ditebus di dunia ini. Aku rindu hari ini untuk datang sedekat mungkin kepada kesempurnaan yang bisa menjadi milikku oleh kasih karunia. Ada yang berkata bahwa mereka telah melihat kesempurnaan membunuh ribuan. Semua harus mengakui bahwa ketidaksempurnaan telah membunuh berpuluh-puluh ribu. Karena tidak ada yang sempurna, maka tidak sempurna itu tidaklah terlalu berbahaya.” 
Tahukah kalian, tepat konsep itulah yang sedang menembus masuk ke dalam gereja tercinta kita sekarang dan kita sedang dihancurkan olehnya sedikit demi sedikit?
Namun, ada satu peringatan, satu peringatan! “Kesempurnaan sejati tidak akan bersikap lebih besar daripada orang lain…” aku tahu lebih banyak daripada kamu, aku melakukan kehendak Allah lebih baik daripada apa yang kamu lakukan, “… karena kita akan selalu menyadari,  masih ada yang belum kita ketahui tentang diri kita sendiri dan apa kehendak Allah, dan masih seberapa banyak yang harus disempurnakan dalam diri kita. Kita tidak akan melihat ke orang-orang lain sementara kita melihat ke diri kita sendiri, melihat ke hati kita sendiri.”
Kalian tahu, keindahan terbesar dari menjdi sempurna ialah kerendahan hati, itulah keindahan terbesar yang bisa ditawarkan kesempurnaan kepada kita, sebuah hati yang merendah.   


One more text and then we are done.
Hebrews 5:8-9, this is talking about Christ.   8 Though He were a Son, yet learned He obedience by the things which He suffered; 9 And being made perfect…”  made perfect?   “…He became the author of eternal salvation unto all them that obey Him…”  If Christ was made perfect by learning how to obey, that’s what the text says, and it’s using the fourth definition of perfection,  obviously the result. If Christ was made perfect by learning how to obey, then shouldn’t we want the same experience?  Can we learn to obey? Can we do it? Yes, Christ was always sinless, yet He needed to be perfected, mature, fully mature. His perfected obedience is then given to us. He gives us that gift, we can have His mind and His attitude. Are we willing to be perfected in obedience?
So Paul urges us,  “Let us go on to perfection” as the title of my message this afternoon is directly what Paul said, “Let us go on to perfection”.
Do we believe that the God that perfected Christ will perfect us in the same way?

Satu bacaan lagi lalu kita selesai.
Ibrani 5:8-9, ini berbicara tentang Kristus. 8 Dan sekali pun Ia adalah Anak, namun Ia telah belajar taat dari apa yang telah diderita-Nya, 9 dan sesudah Ia dijadikan sempurna…”  dijadikan sempurna?  “…Ia menjadi sumber keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya…”
Jika Kristus dijadikan  sempurna dengan belajar mematuhi ~ itu kata ayat ini, dan yang dipakai adalah definisi keempat dari kesempurnaan, yaitu jelas kesempurnaan sebagai hasil akhirnya ~ jika Kristus dijadikan sempurna dengan belajar mematuhi, tidakkah kita seharusnya mau pengalaman yang sama? Bisakah kita belajar mematuhi? Bisakah kita melakukannya? Ya. Kristus tidak pernah berdosa, namun Dia perlu disempurnakan, menjadi matang, matang sempurna. KepatuhanNya yang disempurnakan kemudian dikaruniakan kepada kita. Dia memberikan pemberian itu kepada kita. Kita bisa memiliki pikiranNya dan sikapNya. Bersediakah kita dijadikan sempurna dalam kepatuhan?
Jadi Paulus mendorong kita, “Marilah kita maju terus menuju kesempurnaan” [Ibrani 6:1] itulah judul pekabaran saya sore ini, seperti yang langsung dikatakan Paulus, “Marilah kita maju terus menuju kesempurnaan.”
Apakah kita meyakini bahwa Allah yang telah menyempurnakan Kristus akan menyempurnakan kita dengan cara yang sama?


Statement again from Ellen White, this is Testimonies Vol. 5 pg, 214-216, “Not all who profess to keep the Sabbath will be sealed…”  that’s a warning. “…Not one of us will ever receive the seal of God while our characters have one spot or stain upon them. It is left with us to remedy the defects in our characters, to cleanse the soul-temple of every defilement. No one needs say that his case is hopeless that he cannot live the life of a Christian. Ample provision is made by the death of Christ for every soul. Jesus is our ever-present help in time of need. Only call upon Him in faith and He has promised to hear and answer your petitions. It is now that we must keep ourselves and our children unspotted from the world. It is now that we must overcome pride, passion, and spiritual slothfulness. Those who are distrustful of self, who are humbling themselves before God and purifying their souls by obeying the truth, these are receiving the heavenly mold and preparing for the seal of God in their foreheads.”

Pernyataan dari Ellen White lagi, ini Testimonies Vol. 5 hal. 214-216. “Tidak semua yang mengaku memelihara hari Sabat akan dimeteraikan…” ini suatu peringatan. “…Tidak satu pun dari antara kita akan pernah menerima meterai Allah selagi masih ada satu noda atau cela pada tabiat kita. Tanggung jawab kitalah untuk memperbaiki cacat dalam tabiat kita, untuk membersihkan Bait Suci jiwa dari segala cemar. Tidak ada yang perlu berkata bahwa kasusnya tidak ada harapan, bahwa dia tidak bisa menghidupkan kehidupan seorang Kristen. Persediaan cukup telah dibuat oleh kematian Kristus bagi setiap jiwa. Yesus selalu adalah penolong kita pada waktu dibutuhkan. Hanya dengan berseru padaNya dalam iman, maka Dia telah berjanji untuk mendengar dan menjawab permohonanmu. Sekarang inilah saatnya kita harus menjaga diri kita dan anak-anak kita agar tidak tercemar dunia. Sekarang inilah kita harus mengalahkan kebanggaan, nafsu, dan kemalasan spiritual. Mereka yang menyangsikan diri sendiri, yang merendahkan diri di hadapan Allah, dan memurnikan jiwa mereka dengan mematuhi kebenaran, mereka inilah yang sedang dibentuk menurut cetakan surgawi dan dipersiapkan untuk menerima meterai Allah di dahi mereka.”


Now, what’s the purpose of all this purifying, what’s the purpose of all this sealing? The Christian church has the assignment, the remnant church has the assignment to vindicate the character of God. It’s not about our salvation. It’s not about our hope of heaven. It’s about whether or not God’s character can be vindicated, and it can’t be vindicated by disobedience. It can’t be vindicated by sinning and repenting and sinning and repenting and sinning and repenting until Jesus comes. It can be only vindicated as Jesus did when He was  on this earth by total obedience to God.

Sekarang, apa tujuan semua pemurnian ini? Apa tujuan pemeteraian itu? Gereja Kristen mempunyai tugas, gereja umat yang sisa memiliki tugas untuk membersihkan reputasi karakter Allah. Ini bukan mengenai keselamatan kita. Ini bukan mengenai harapan kita untuk bisa ke Surga. Ini mengenai apakah karakter Allah bisa atau tidak bisa dibersihkan dari semua tuduhan. Dan itu tidak bisa dibersihkan dengan ketidakpatuhan kita. Itu tidak bisa dibersihkan dengan berdosa lalu bertobat, berdosa lalu bertobat, berdosa lalu bertobat hingga kedatangan Yesus. Karakter Allah hanya bisa dibersihkan dari segela tuduhan sebagaimana yang dilakukan Yesus ketika hidup di dunia ini, yaitu melalui kepatuhan penuh kepada Allah.


Can God be trusted? That’s the question. Can His word produce the results it promises? Can we draw on the same power that Jesus drew on when He was here on this earth? Will the power in the Gospel really restore men and women to the character of Christ? Does it have that power? Did God place an impossible burden upon His people when He said “Be perfect”?  Did He ask too much when He said there would be a people who would keep the Commandments of God? Is that just too much to ask of any human being?
The main issue in the Great Controversy has always been who’s telling the truth, God or Satan. Who has the blueprint for happiness. Who do we trust? And when the last words are said, the universe will have all the evidence it needs by looking at God’s last generation people on this earth after the close of probation, invulnerable to the attempts of Satan to get them to sin ever again for the rest of eternity.

Bisakah Allah dipercaya? Itulah pertanyaannya. Bisakah FirmanNya menelurkan hasil yang dijanjikannya? Bisakah kita menyerap dari kuasa yang sama yang diserap Yesus ketika Dia hidup di dunia ini? Akankah kuasa dalam Injil benar-benar memulihkan manusia ke karakter Kristus? Apakah memang FirmanNya memiliki kuasa itu? Apakah Tuhan telah menempatkan beban yang mustahil pada umatNya ketika Dia berkata “Jadilah sempurna”? Apakah Tuhan menuntut terlalu banyak ketika Dia berkata nanti akan ada umat yang memelihara Perintah-Perintah Allah? Apakah itu tuntutan yang terlalu berat bagi manusia siapa pun?
Isu utama dalam Pertentangan Besar selalu ialah tentang siapa yang jujur, Allah atau Setan. Siapa yang memiliki cetak biru kebahagiaan? Siapa yang kita percayai? Dan pada akhirnya, alam semesta akan memiliki semua bukti yang dibutuhkannya dengan melihat umat Allah generasi terakhir di bumi ini setelah ditutupnya pintu kasihan, yang untuk selama-lamanya akan kokoh tak mempan terhadap usaha-usaha Setan  membujuk mereka berbuat dosa lagi.


Andrew Murray: “Believer, have you longed for this? Oh, claim it, claim it now. I desire to serve You with a perfect heart. I thank You, oh, My Father, for the blessed prospects your Word holds out of being perfected in love here on earth. To Him be the glory. Amen.”
And I say, what else can we say? The promises are there. A pastor of a century ago looked in his Bible and he found this. Can we find it in our Bible today and can we live it, and plead for it?

Andrew Murray: “Umat percaya, apakah kalian merindukan ini? Oh, ambillah sikap ini sekarang: aku rindu melayani Engkau dengan hati yang sempurna. Aku berterimakasih kepadaMu, ya, Bapaku, atas harapan-harapan yang indah yang disampaikan FirmanMu tentang penyempurnaan dalam kasih di bumi di sini. KepadaNya-lah segala kemuliaan. Amin.”
Dan saya katakan, apa lagi yang bisa saya tambahkan? Janji-janji sudah ada di sana. Seorang pendeta dari satu abad yang lalu, mencari dalam Alkitabnya dan dia menemukan ini. Bisakah kita mencarinya dalam Alkitab kita sekarang, dan bisakah kita menghidupkannya, dan memohon untuk mendapatkannya?


I’m going to ask as far as possible that we kneel together and make a commitment to God to be that people that will vindicate His name.

Father in heaven, we come to you as very weak Christians. We have tried but we have found out that we cannot carry out what we want to do. We have lived in Roman 7, Lord, we want out of it. We want to find that peace, that happiness, that assurance that comes because Your Holy Spirit is controlling, has rewired our brain circuits, has changed us from the moment of our new birth to growing us up every day so that we can become helpful in vindicating Your name.
Lord, it is not about us that we ask this miracle. It is about the ending of Satan’s rule on this planet. We are asking for this mighty demonstration of Your power in obedience, because we want no more time under Satan’s rule, and we realize that’s the only way out.
There is coming a close of probation. There is coming a seal of God. There is coming a time in which all the evidence must be on the table and all the universe will decide once and for all who is lying and who is telling the truth. And Lord, may our commitment be for You not for Satan ever again.
I just pray this for our hearts that we will make a decided commitment that we will not be among those who are extending the great controversy by our carelessness, by our false Gospel, by our sleepiness. But we will be among those who are sealable, right now today by Your Holy Spirit. We want to go home, Lord, we want this to be an end of this plan that Satan has devised of sinning and repenting and sinning and repenting and sinning over and over again  on the same thing. Lord, make us what we cannot be by ourselves. Make us holy and make us perfect.
I pray in Jesus’ name. Amen.

Saya ingin minta sebisanya kita bertelut bersama-sama dan membuat suatu komitmen kepada Allah, agar kita bisa menjadi umat yang membela nama baikNya.

Bapa di Surga, kami datang kepadaMu sebagai orang-orang Kristen yang sangat lemah. Kami sudah berusaha tetapi kami dapati kami tidak bisa melaksanakan apa yang ingin kami lakukan. Kami telah hidup di kondisi Roma pasal 7. Tuhan, kami mau terbebas dari sana. Kami mau menemukan damai itu, kebahagiaan itu, jaminan yang diperoleh karena Roh Kudus-Mu yang mengendalikan, yang telah mengubah jalan pikiran otak kami, mengubah kami dari saat kelahiran baru kami, hingga pertumbuhan kami setiap hari, agar kami bisa membantu membela namaMu.
Tuhan, kami mohon mujizat ini bukan karena kami. Ini demi mengakhiri kekuasaan Setan di planet ini. Kami mohon mendapat demonstrasi besar dari kuasaMu dalam penurutan kami, karena kami tidak ingin lagi berada di bawah pemerintahan Setan, dan kami sadar bahwa inilah satu-satunya jalan keluarnya.
Ke depan akan ada penutupan pintu kasihan. Akan ada pemeteraian Allah. Akan ada saat di mana semua bukti harus diletakkan di atas meja dan seluruh alam semesta akan menentukan untuk selama-lamanya siapa yang berbohong dan siapa yang berkata sebenarnya. Dan Tuhan, semoga komitmen kami ada padaMu dan bukan pada Setan lagi.
Saya berdoa ini untuk hati kami, agar kami mau membuat komitmen yang tegas bahwa kami tidak akan ada di antara mereka yang memperpanjang pertentangan besar itu melalui kecerobohan kami, injil palsu kami, kantuk kami. Tetapi kami akan berada di antara mereka yang layak dimeteraikan, sekarang juga hari ini, oleh Roh Kudus-Mu. Kami mau pulang, Tuhan. Kami mau ini menjadi akhir dari rancangan yang diciptakan Setan yaitu berbuat dosa dan bertobat, berbuat dosa dan bertobat, berbuat dosa berulang-ulang untuk hal yang sama. Tuhan, jadikan kami apa yang tidak bisa kami jadikan diri kami sendiri. Jadikan kami kudus dan jadikan kami sempurna.
Saya berdoa dalam nama Yesus. Amin.


Well, I thank you for your attention to two areas in which I am convicted   that we really, really  need to take a second look: Absolute surrender and growing to perfection.

Nah, saya ucapkan terima kasih untuk perhatian kalian ke kedua hal yang saya yakini harus kita periksa kembali dengan sungguh-sungguh, yaitu: penyerahan mutlak dan bertumbuh menuju kesempurnaan.



08 08 2018