EMERGING SPIRITUALITY_08__
Stephen Bohr ~ Summit 2015
PAPISTS, PROTESTANTS AND WORLDINGS PART 1
Dibuka dengan doa.
What
I am going to be presenting this morning is in harmony with the title: PAPISTS,
PROTESTANTS AND WORLDLINGS. However because the topic is so extensive, I
decided to do Part II of this material tomorrow morning in the last
presentation. What I was going to do tomorrow has been covered very well by the
different speakers, so I don’t want to duplicate material that has already been
presented. And this material is so long that we are not going to be able to
cover it in just one session. So basically what we are going to do is study
half of this material this morning and then tomorrow we are going to complete
our study.
Apa
yang akan saya presentasikan pagi ini sesuai dengan judulnya, yaitu PARA PENGIKUT KEPAUSAN, PEMELUK PROTESTAN DAN
ORANG-ORANG SEKULER. Namun begitu, karena topiknya begitu luas, saya memutuskan
untuk membahas bagian kedua dari bahan ini besok pagi dalam presentasi yang
terakhir. Apa yang tadinya akan saya bagikan besok sudah disampaikan dengan
sangat baik oleh pembicara-pembicara yang lain, jadi saya tidak mau mengulangi
bahan yang telah disampaikan. Bahan ini begitu panjang kita tidak akan bisa
meliput seluruhnya hanya dalam satu kali pembahasan. Jadi pada dasarnya kita akan
mempelajari separo bahan ini pagi ini lalu besok kita akan menyelesaikan
pembahasan kita.
So
let’s go in our Bibles first of all to Revelation 16 ~ this is not in your
notes, it’s by way of introduction ~ Revelation 16:13 ~ it’s good to hear the pages
of the Bibles turning. We are people of the Book. Amen?
It
says there, “13 And I saw three unclean spirits like frogs…”
what are these unclean spirits? What are
unclean spirits in the Bible? They are demons. But what are demons? They are
fallen angels. Very well, that’s what I was looking for: fallen angels. So,
does the
Devil have three fallen angels, that present a message at the end of time?
Yes, does God have three genuine angels, loyal angels? Yea. So these are the
counterfeit. So it says, “…And I saw three unclean spirits like frogs come out of the mouth…”
let me ask you what is it that comes
out of your mouth? Words. So what is happening here is that these three
unclean spirits are proclaiming a what? They are proclaiming a message. Do the
three angels of Revelation 14 proclaim a message? Yes. So it says “…And I saw three unclean spirits like frogs come out of the mouth of
the dragon, and out of the mouth of the beast, and out of the mouth of the
false prophet.”
Jadi marilah kita ke Alkitab kita, pertama ke Wahyu
16 ~ ini tidak ada dalam makalah kalian, ini merupakan pengantarnya. Wahyu
16:13 ~ saya suka mendengar suara kertas Alkitab dibalik, kita adalah
manusia-manusia Alkitab, amin?
Dikatakan di sana, “Dan aku melihat tiga roh
najis yang menyerupai katak…” roh
najis ini apa? Di Alkitab roh najis itu apa? Mereka adalah iblis, tetapi iblis
itu apa? Mereka adalah malaikat-malaikat yang berdosa. Bagus, itulah yang saya
tunggu: malaikat-malaikat yang berdosa. Jadi apakah Iblis punya tiga malaikat yang berdosa yang menyampaikan
pekabaran pada akhir zaman? Ya. Apakah Tuhan punya tiga malaikat
sejati yang setia? Ya. Jadi yang ini adalah yang palsu. Maka dikatakan, “…Dan aku melihat tiga roh najis yang menyerupai katak keluar dari
mulut…” Coba saya tanya, apa yang keluar dari
mulut? Kata-kata. Jadi apa yang terjadi di sini adalah, ketiga roh najis ini memproklamasikan
suatu apa? Mereka memproklamasikan suatu
pekabaran. Apakah tiga malaikat di Wahyu 14 memproklamasikan suatu
pekabaran? Ya. Jadi dikatakan, “…Dan aku melihat tiga roh
najis yang menyerupai katak keluar dari mulut naga dan dari mulut binatang dan
dari mulut nabi palsu.”
Now
the question is, who is the Beast, who is the dragon and who is the false
prophet? We don’t have to guess because
earlier in the book of Revelation these three powers are identified.
·
In Revelation 12 we are
introduced to the dragon, the dragon that tried to kill the male Child. Now we
know that the
dragon represents primarily Satan, but really it represents Satan working
through the secular powers of the world, working through the
governments of the world in other words. And so what we have is the
dragon representing yes the Devil, but the Devil working through the secular
powers or the governments of the world.
· And then it says that these three unclean spirits also come out
of the mouth of the Beast. Now the Beast has been introduced already in
Revelation 13:1-10. Of course we know the Beast represents the Papacy. Ellen
White refers to this division as the Papists.
·
And then we have a third
power here, it says out of the mouth of the false prophet. The false prophet has already
been identified also in Revelation 13. It’s the second beast of Revelation
13 that
rises from the earth and it will even make fire come down from heaven
in the sight of men. And we know what the false prophet represents, what this
land beast that has two horns like a lamb represents. It represents apostate Protestantism,
particularly in what country? Particularly in the USA.
Sekarang pertanyaannya: Siapa Binatang itu, siapa
naga itu, dan siapa nabi palsu itu? Kita tidak usah menebak karena sebelumnya
di kitab Wahyu ketiga kuasa ini sudah diidentifikasi.
·
Di Wahyu 12 kita diperkenalkan kepada si naga. Naga
yang berusaha membunuh Anak laki-laki itu. Nah, kita tahu bahwa naga itu pertama mewakili Setan,
tetapi sebenarnya dia mewakili Setan yang bekerja melalui kekuasaan sekuler
dunia, dengan kata lain, yang bekerja melalui pemerintahan dunia. Maka naga ini
betul mewakili Iblis, tetapi Iblis yang bekerja melalui kekuasaan
pemerintah-pemerintah dunia.
· Lalu
dikatakan, bahwa ketiga roh najis ini juga keluar dari mulut Binatang. Nah,
Binatang itu sudah diperkenalkan di Wahyu 13:1-10. Tentu kita sudah tahu Binatang itu melambangkan
Kepausan. Ellen White menyebut bagian ini “para pengikut Kepausan”
·
Kemudian kekuasaan yang ketiga di sini, dikatakan
keluar dari mulut si nabi palsu. Nabi
palsu itu sudah diidentifikasi juga di Wahyu 13, dialah binatang kedua di Wahyu 13
yang muncul dari bumi, dan dia bahkan akan menurunkan api dari langit di
depan pemandangan manusia. Dan kita tahu nabi palsu ini melambangkan apa,
binatang darat yang memiliki dua tanduk seperti anak domba itu? Dia mewakili Protestan murtad. Khususnya di
negara mana? Khususnya di Amerika Serikat.
And
so basically you have the secular powers of the world, the Papacy and apostate
Protestantism as represented in the US joining forces together for a specific
purpose.
What
is that purpose? Notice verse 14, “For they are spirits of
devils working
miracles, which go forth unto
the kings of the earth and of the whole world, to gather them to the battle of
that great day of God Almighty.”
The
purpose of these three evil spirits, these three fallen angels so to speak,
is to
gather the whole world to battle against God. And so this is
what I call the “Triumvirate” that is a Roman word, it refers to three
Roman rulers in ancient times who ruled together.
Jadi pada dasarnya, ada kekuasaan
sekuler dunia, Kepausan, dan Protestantisme murtad, yang digambarkan bersatu di
Amerika Serikat untuk satu tujuan khusus. Tujuan apa itu? Perhatikan ayat
14, “Itulah roh-roh setan yang
mengadakan tanda-tanda ajaib, dan mereka
pergi mendapatkan raja-raja di bumi dan seluruh
dunia untuk mengumpulkan mereka guna peperangan pada hari besar, yaitu hari
Allah Yang Mahakuasa.”
Tujuan ketiga
roh najis ini, katakanlah, ketiga malaikat yang berdosa ini,
ialah untuk mengumpulkan
seluruh dunia berperang melawan Allah. Maka saya menyebutnya “Triumvirate”, ini adalah
perkataan Roma, yang mengacu kepada tiga penguasa Roma di zaman purba yang
memerintah bersama-sama.
Now
I would like us to go to the material in the light of looking at Revelation
16:13-14. I want us to go to the material and we are going to speak about this
threefold union that is going to war against the government of God at the end
of time. And we are just basically going to follow through like we have done
previously we have followed through in this material.
Sekarang
saya ingin kita membahas bahan ini dengan melihat Wahyu 16:13-14. Saya ingin
kita membahas bahan ini dan kita akan berbicara tentang persekutuan tiga unsur
ini yang akan berperang melawan pemerintahan
Allah pada akhir zaman. Dan pada dasarnya
kita akan menuntaskan bahannya
seperti yang telah kita lakukan, kita telah menuntaskan bahannya.
In
1990 a Roman Catholic
Jesuit priest Malachi Martin published a very important book, the name of that
book was The Keys of this Blood ~ John Paul II
versus Russia and the West for control of the New World Order. Now how many
powers do we have there in the title? Three. Interesting.
Now
Martin’s book which is a real eye-opener, it’s a large book, describes the
tooth and nail struggle for world dominion between the Papacy; Communism which more
broadly we will refer to as Secularism, which includes the secular
powers of the world; and Western capitalism. On page 18 of his
book The Keys of this Blood, Malachi Martin
who died in ~ I’ve never been able to find out how he died but it’s somewhat
mysterious how he died, we need to remember he was a Jesuit, maybe he divulged a
little bit too much ~ but this is what he stated “There
is one great similarity shared by all three of these globalist competitors.
Each one has in mind a particular grand design for one world governance…” So whenever you find
the expression “a grand design” which is used many times in Malachi Martin’s
book, basically
“the grand design” is One World Governess. So all three of them are
fighting for one world governess. And then he goes on saying, “…Their geopolitical competition is about which of the three will
form, dominate, and run the world system that will replace the decaying nation
system.”
So
Malachi Martin saw a struggle among three powers for world dominion:
· western capitalism whose main representative is the US,
· communism or secularism,
· and the papacy.
Tahun
1990, seorang imam Jesuit Roma Katolik,
Malachi Martin, mempublikasikan sebuah buku yang sangat penting, judulnya The Keys of This Blood ~ John Paul II versus Rusia
and the West for control of the New World Order. (Kunci Darah Ini ~ Yohanes Paulus II versus Rusia
dan dunia Barat untuk menguasai Sistem Dunia Baru). Nah ada berapa kuasa di
judul buku ini? Tiga. Menarik.
Nah,
buku Martin ini benar-benar membuka wawasan. Ini adalah sebuah buku yang besar,
yang menggambarkan perjuangan mati-matian untuk mendapatkan dominasi atas dunia
antara Kepausan; Komunisme yang secara
lebih luas kita sebut Sekularisme di mana termasuk kekuasaan
sekuler dunia; dan kapitalisme
Barat. Di hal.18 bukunya ini, The
Keys of This Blood, Malachi Martin yang meninggalnya ~ saya tidak pernah berhasil mencari
tahu bagaimana dia mati, tetapi kematiannya rada misterius. Kita harus ingat
dia seorang Jesuit, dan barangkali dia telah mengungkapkan terlalu banyak ~
tetapi inilah yang dikatakannya, “Ada satu persamaan
besar di antara ketiga pesaing global ini. Masing-masing memiliki suatu
rancangan agung untuk
membawa dunia di bawah satu pemerintahan…” Jadi bilamana kita mendapati istilah
“rancangan agung” yang sering
dipakai dalam buku Malachi Martin, pada
dasarnya “rancangan agung” itu
adalah Dunia Di Bawah Satu Pemerintahan.
Jadi, ketiga-tiganya bersaing untuk membawa dunia di bawah satu pemerintahan.
Kemudian dia melanjutkan, “Persaingan geo-politis mereka adalah siapa yang akan membentuk,
mendominasi, dan menjalankan sistem dunia yang akan menggantikan sistem negara
yang sedang sekarat.”
Jadi
Malachi Martin melihat adanya persaingan antara tiga kekuasaan untuk
mendominasi dunia:
· kapitalisme Barat yang wakil utamanya
adalah Amerika Serikat,
· komunisme atau sekularisme,
· dan Kepausan.
Now,
Martin also in that book, ominously predicted something that should concern us.
And I read now from page 16 of his book. “No holds barred, because once the competition has been decided,
the world and all that’s in it ~ our way of life as individuals and as citizens
of the nations, our families and our jobs, our trade and commerce and money,
our educational systems and our religions and our cultures, even the badges of
our national identity, which most of us have always taken for granted ~ all
will have been powerfully and radically altered forever. No one can be exempted
from its effects. No sector of our lives will remain untouched… Nobody who is
acquainted with the plans of these three rivals has any doubt but that only one
of them can win.”
This
book was written in 1990. How many years ago is that? 25 years ago.
Nah, dalam buku itu Martin juga meramalkan sesuatu
yang mengerikan, yang harus kita pikirkan. Dan sekarang saya membacakan dari
hal. 16 bukunya. “Tidak
ada pembatasan apa pun,
karena begitu persaingan itu sudah diputuskan,
seluruh dunia beserta isinya ~ kehidupan kita sebagai individu dan sebagai
warga-warga negara, keluarga kita, dan pekerjaan kita, perniagaan dan
perdagangan kita, sistem pendidikan kita, dan agama serta kebudayaan kita, bahkan ciri identitas
kebangsaan kita, yang sering disepelekan oleh kebanyakan dari kita ~ semua itu
akan berubah secara paksa dan radikal untuk selamanya.
Tidak ada yang akan luput dari akibatnya. Tak ada satu sektor pun dalam hidup
kita yang tidak tersentuh… Tak seorang pun yang mengetahui rencana ketiga
pesaing ini akan meragukan bahwa hanya satu dari mereka yang bakal menang.”
Buku ini ditulis di tahun 1990. Berapa lamanya itu?
25 tahun yang lalu.
Interestingly
enough, Ellen White predicted something very similar. In Great Controversy pg. 588-589, she wrote, “Papists…” which is the Beast from the sea, “…Protestants…” that’s the two
horned beast, the US, “…and worldlings…” those are the
secular, the unchurched, including the secular powers, the governing powers of
the world. Notice this, “…will alike accept
the form of godliness without the power, and they will see in this union a
grand movement for…” what? “…for the
conversion of the world…” that’s what the
Roman Catholic Papacy call “evangelization” “…and
the ushering in of the long-expected millennium…” And this is what is called “the Omega point of the
grand design” according to Roman Catholic theology.
Yang cukup menarik, Ellen White
juga meramalkan sesuatu yang sangat mirip. Di Great
Controversy hal. 588-589, Ellen White menulis, “…Pengikut-pengikut Kepausan,…” yaitu Binatang yang dari laut, “…Protestan,…” itu adalah binatang bertanduk dua, Amerika Serikat, “…dan orang-orang duniawi…” ini adalah golongan sekuler, yang
tidak bergereja, termasuk kekuasaan sekuler, pemerintah-pemerintah dunia.
Perhatikan ini, “…akan sama-sama menerima
bentuk kesalehan tanpa kuasanya, dan mereka akan memandang persekutuan ini
sebagai suatu gerakan akbar untuk…” apa? “…untuk membuat dunia bertobat…” inilah yang disebut oleh Kepausan
Roma Katolik “evangelisasi”, “…yang akan mengantarkan masuknya millennium (masa 1000 tahun) yang
sudah lama diharap-harapkan…” Dan inilah yang disebut “titik Omeganya rancangan agung” menurut theologi Roma Katolik.
So
Ellen White also spoke about Triumvirate at the end of time: papists,
protestants and worldlings or secular. You know Ellen White uses the
word “wordlings” over 500 times in her writings. I examined every single
reference. Basically she is speaking about individuals who are unchurched,
people who live a worldly life, people who are centered on their money and on
their jobs. She uses it to refer to the governments of the world, the secular
powers of the world, etc. In other words it deals with those who are not
particularly religious in their lives.
So the triumvirate is:
· the papists,
· the protestants
· and those who are of a
secular mentality.
Jadi
Ellen White juga berbicara tentang Triumvirate
pada akhir zaman: orang-orang Kepausan, Protestan, dan orang-orang duniawi.
Kalian tahu, Ellen White memakai kata “orang-orang duniawi” lebih dari 500 kali
dalam tulisan-tulisannya. Saya telah memeriksa setiap referensi. Pada dasarnya
Ellen White berbicara mengenai orang-orang yang tidak bergereja, orang-orang
yang menjalani kehidupan duniawi, orang-orang yang memusatkan perhatian pada
harta dan pekerjaan mereka. Ellen White memakai istilah itu untuk mengacu pada
pemerintahan di dunia, kuasa sekuler di dunia, dll. Dengan kata lain kata
tersebut mengacu kepada mereka yang tidak benar-benar rohani dalam hidup mereka.
Jadi triumvirate adalah:
· orang-orang
Kepausan,
· orang-orang
Protestan
· dan
mereka yang memiliki mentalitas sekuler.
Now
let’s continue unto the subtitle “social conservatism”, I did a lot of research
for this document that we are going over now, because I think that what’s
happening in this world, you know most people are totally obliviously to what’s
really happening under the surface.
For over 40 years Roman
Catholics and conservative Protestants have worked together on common social
issues. This alliance that included organizations such as the Moral
Majority ~ ever heard of them? ~ and the Christian Coalition, condemn as those who have lived in
the US the last couple of decades, they condemn abortion, euthanasia, same sex
marriage, government prohibitions of religious displays on public property, and
the Supreme Court banning of prayer in pubic schools. This common
struggle for so-called traditional morality brought conservative Protestants
and Catholics ever closer together in a common cause. The love affair was exhibited recently when
several influential Protestant leaders were invited by the Pope to the Vatican,
among which were Kenneth Copeland ~ these are not small individuals, these are
television personalities, these are mega pastors, they have mega global
ministries ~ Kenneth Copeland, Tony Palmer, James Robertson, Rick Warren, and
Joel Osteen. The Pope who is considered to be by many the foremost moral voice
in the world, wowed these Protestant leaders, to such an extent that Rick
Warren later explained, “We are on the same team.”
Sekarang,
mari kita lanjutkan ke subtitelnya, “konservatisme sosial”. Saya telah
melakukan banyak riset untuk dokumen yang kita bahas sekarang, karena menurut
saya itulah yang sedang terjadi di dunia sekarang ini. Kalian tahu, banyak
orang yang sama sekali tidak menyadari apa yang sedang terjadi di bawah
permukaannya.
Selama 40 tahun lebih Roma Katolik dan
Protestan konservatif telah bekerja sama dalam isu-isu sosial yang menyangkut
kepentingan bersama. Dalam
persekutuan itu juga termasuk organisasi-organisasi seperti the
Moral Majority ~ pernahkah kalian
mendengar tentang mereka ini? ~ dan the Christian Coalition, yang mengutuk,
sebagaimana orang-orang yang hidup di Amerika Serikat selama dua dekade yang
terakhir, mereka ini juga
mengutuk aborsi, euthanasia, perkawinan sesama jenis, larangan pemerintah untuk
memajang apa-apa
yang berbau agama di tempat-tempat publik, dan larangan Mahkamah Agung terhadap doa di
sekolah-sekolah umum. Perjuangan bersama untuk mencapai apa
yang disebut moralitas tradisional ini, telah membuat Protestan dan Katolik
menjadi lebih dekat dalam tujuan yang sama. Keintiman itu akhir-akhir ini didemonstrasikan
saat beberapa pemimpin Protestan yang berpengaruh diundang oleh Paus ke
Vatikan, di antaranya terdapat Kenneth Copeland ~ ini bukan sembarang orang, mereka ini
tokoh-tokoh televisi, pendeta-pendeta gereja-gereja akbar, mereka memiliki
pelayanan gerejani global berukuran mega ~ Kenneth Copeland, Tony Palmer, James
Robertson, Rick Warren dan Joel Osteen. Paus yang oleh banyak orang dianggap
sebagai suara yang paling moralis di dunia, membuat para pemimpin Protestan
tersebut sedemikian kagumnya, sehingga Rick Warren kemudian menjelaskan, “Kami
berada dalam satu tim yang sama.”
Now
with
conservative Protestantism continually gravitating toward the Papacy, the
Vatican needed to focus on the third group in the triumvirate: the secular
worldlings. You see, during the decades that Catholics
and conservative Protestants were struggling for traditional morality, their cause
resonated strongly with social conservatives but not as you know with mainline
Protestant churches ~ those are the churches for example that support gay
marriage and gay clergy ~ it did not resonate with the scientific community,
with liberal politicians, with liberal media, and with the secular minded
populous. The conservative causes did not ring true with these groups. But in just the
last 10 years, American society has changed drastically. The social
issues that once galvanized conservative Protestants and Catholics, are no
longer in the fore front. Just consider, folks, how gay marriage has
triumphed in the US with just a whimper from social conservatives. Even Pope
Francis I has had little to say about gay marriage, abortion, and other social
issues, choosing to say rather “Who am I to judge?” in his recent White
House visit, and his visit to the US Congress, and the United Nations, the Pope
was virtually silent on the traditional social issues. Is that true? There is a
carefully ~ and we are going to study this ~ there is a carefully laid out Jesuit
style strategy behind the change of papal talking points. You see, he
needs the worldlings, the secular powers in his pocket. Having conservative
Protestants increasingly in his camp, and with traditional moral issues on the
back burner, Francis had to find themes that could win over the worldlings ~ that is
the secular minded ~ while not alienating Protestants who sympathize with him.
He needed to spearhead causes that would resonate with those of a secular
mentality with natural scientists, world politicians and especially with the
United Nations. After all, Ellen White did predict that the worldlings would be
the third link in the final union against the government of heaven. Jesuit Pope
Francis I found three central themes ~ this is vitally important ~ that could
captivate those of a secular mentality without alienating conservative
Protestants:
· climate change,
· family,
· and world poverty, that have lead
among other things to massive emigration and immigration as we know.
No one can fault, I would say, the
pope for stressing the importance of these three talking points. However, what
is deeply troubling is the pope’s motivation for bringing them to the fore this
time. You see, they are good causes, but sometimes good causes with the wrong
motivation can be dangerous.
Sekarang,
dengan semakin condongnya Protestantisme
konservatif ke arah Kepausan, Vatikan perlu memusatkan perhatiannya pada grup
ketiga dalam triumvirate itu: yaitu kelompok sekuler duniawi.
Kalian lihat, selama puluhan
tahun Katolik dan Protestan konservatif telah bergumul
dengan moralitas tradisional, isu-isu yang mereka perjuangkan cocok sekali dengan golongan konservatif sosial (yaitu anti
aborsi, anti homoseksualitas, pro nilai-nilai kekristenan), tetapi
sebagaimana yang kalian tahu, itu tidak
cocok dengan gereja-gereja Protestan mainline ~ ini adalah
gereja-gereja yang misalnya
mendukung perkawinan gay dan rohaniawan gay ~ yang mereka perjuangkan itu juga tidak cocok dengan komunitas ilmuwan,
dengan politikus liberal, dengan media liberal, dan dengan golongan sekuler
yang besar jumlahnya. Isu-isu yang diperjuangkan golongan konservatif tidak
sejalan dengan kelompok-kelompok ini. Tetapi dalam waktu hanya 10 tahun yang terakhir,
masyarakat Amerika telah berubah secara drastis. Isu-isu sosial yang pernah merekatkan
Protestan konservatif dengan Katolik, tidak lagi berada di bagian depan.
Pikirkan
saja, Saudara-saudara, bagaimana perkawinan gay telah berjaya di Amerika
Serikat dengan hanya timbul protes kecil dari kelompok konservatif sosial.
Bahkan Paus Francis I tidak bicara banyak tentang perkawinan gay, aborsi, dan
isu-isu sosial lainnya, sebaliknya dia memilih berkata, “Siapakah saya mau
menghakimi?” Dalam kunjungannya yang
terbaru ke Gedung Putih, dan kunjungannya ke Kongres Amerika Serikat dan PBB,
Paus sama sekali bungkam mengenai isu-isu sosial yang tradisional. Benarkah
itu? Di sini ada suatu strategi yang cermat ~ dan ini akan kita pelajari ~ ada penyusunan suatu strategi
cermat gaya Jesuit di balik berubahnya poin-poin pembicaraan Kepausan.
Kalian lihat, Paus memerlukan orang-orang duniawi, kekuasaan sekuler, berada di
kubunya. Dengan semakin banyaknya Protestan konservatif di kubunya, dan dengan
isu-isu moral tradisional yang dikesampingkan, Francis harus mencari tema-tema yang bisa memenangkan
simpati orang-orang duniawi ~ yaitu mereka yang bermental sekuler ~ sementara
tidak menyinggung Protestan yang bersimpati padanya. Dia harus
melontarkan poin-poin aksi yang akan serasi dengan mentalitas sekuler, dengan
ilmuwan-ilmuwan alam, dengan politikus dunia, dan terutama dengan PBB. Bukankah
Ellen White telah meramalkan bahwa orang-orang duniawi akan merupakan rantai
ketiga dalam persekutuan yang terakhir melawan pemerintahan Surgawi? Paus Jesuit Francis I menemukan
tiga tema inti ~ ini amat penting ~ yang bisa menangkap mereka dari mentalitas sekuler tanpa
menyinggung Protestan konservatif, yaitu:
· perubahan
iklim,
· keluarga
· dan
kemiskinan dunia, yang
di antaranya telah mengakibatkan emigrasi dan imigrasi besar-besaran,
sebagaimana yang kita ketahui.
Pada
hemat saya, tidak ada yang akan menyalahkan Paus menekankan pentingnya ketiga
poin pembicaraannya itu. Namun, apa yang sangat mengganggu adalah motivasi Paus
mengetengahkan poin-poin itu ke depan pada saat ini. Kalian lihat, poin-poin ini adalah poin-poin
yang baik, tetapi terkadang poin-poin yang baik dengan motivasi yang salah,
bisa berbahaya.
Climate change
Let’s take up first the pope’s climate change campaign. In his recent
encyclical Laudato si' ~ and by the way I’ve read the
entire encyclical. You know you get these little snip its in newspapers and
even in Adventist newsletter that come
across the internet, I said,
“I am not going to take anything that anybody’s saying that might take
something out of context”, so I read the whole encyclical. A lot of good stuff
in it, but also you know, if you have a 100.000 portion of water and you have 1
of cyanide, it’s still going to kill you, isn’t it?
Pope Francis has claimed that global climate change ~
formerly called global warming ~ is due to human abuse of the environment
particularly the market-driven and consumer-minded capitalist countries. He has claimed that if this problem is not urgently addressed, it could
eventually lead to the extinction of the human race. Therefore he has called
upon world leaders to make climate change a top priority, by signing and
enforcing international environmental protection treatise with penalties for
those who do not comply.
The environmental message has hit a cord with powerful
politicians ~ those are the ones that he is trying to reach because the Papacy
needs to recover the power of the sword. It needs to recover the support of the
secular power of the world.
Perubahan iklim
Mari kita lihat dulu kampanye
Paus tentang perubahan iklim. Dalam surat ensikliknya yang terbaru, Laudato si, ~ dan ketahuilah saya telah
membaca seluruh surat ensiklik tersebut.
Kalian tahu, di surat-surat kabar dan bahkan di bulletin Advent pun yang
muncul di internet hanya dimuat
cuplikan-cuplikan kecil. Jadi saya berkata, “Saya tidak akan mengambil dari apa
yang dikatakan orang yang mungkin hanya mengutip sebagian kecil di luar
konteksnya”, jadi saya membaca seluruh surat ensiklik tersebut. Di dalamnya ada
banyak bahan yang bagus, tetapi kalian tahu kan, jika ada 100.000 bagian air
dan di dalamnya 1 bagian mengandung sianida, itu tetap akan membunuh kita,
bukan?
Paus Francis telah
mengklaim bahwa perubahan iklim global ~ yang dulu disebut global warming
(pemanasan global) ~ itu dikarenakan manusia telah menyalah-gunakan lingkungan, terutama di negara-negara kapitalis
yang mentalnya terfokus pada pengembangan pasar
dan konsumerisme. Dia
mengklaim bahwa jika masalah ini tidak segera ditangani, pada akhirnya ini akan menyebabkan punahnya umat manusia. Itulah sebabnya dia berseru
kepada para pemimpin dunia agar
menjadikan isu perubahan
iklim ini prioritas tertinggi, dengan menandatangani suatu persetujuan
perlindungan lingkungan internasional, dan
memberlakukannya dengan mengenakan sanksi bagi yang melanggar.
Pesan lingkungan
ini mengena tepat sasaran pada politikus-politikus yang berpengaruh ~ itulah orang-orang yang memang mau
dicapai oleh Paus karena Kepausan harus memperoleh kembali kuasa pedang.
Kepausan harus memperoleh kembali dukungan kuasa sekuler dunia.
Governor Jerry Brown, California, who was trained in Jesuit schools and
presides over the sixth largest economy on the planet ~ yes, that’s true,
California ~ was recently invited to the Vatican, to participate in a summit on
climate change, and couldn’t help but offer accolades to Francis for his moral
leadership on this issue. By the way, I
have documentations for everything that I have in this material, I have the
statements that were made.
Gubernur Jerry Brown,
California, yang dididik di sekolah-sekolah Jesuit dan mengepalai perekonomian
terbesar ke-6 di planet ini ~ ya, betul, California ~ baru-baru ini diundang ke
Vatikan untuk mengikuti KTT tentang perubahan iklim, merasa
harus menyampaikan pujian kepada
Francis atas kepemimpinannya yang
menyadarkan orang lain tentang isu ini. Nah, saya memiliki semua dokumentasi
untuk segala yang saya sodorkan dalam bahan ini, saya memiliki
pernyataan-pernyataan yang dibuat.
And then there’s Mayor Bill De
Blasio, mayor of New York City, the financial capital of the world. At the same
meeting he couldn’t help but gushed about Francis as ~ now I quote ~ “the strongest moral voice in the world who
is calling political leaders to action.”
Lalu Mayor Bill De Blasio,
walikota New York city, ibukota finansial seluruh dunia. Dalam pertemuan yang sama, merasa
harus memuji-muji Francis sebagai ~
dan sekarang saya mengutipnya, ~ “suara moral yang paling kuat di
dunia, yang memanggil pemimpin-pemimpin politik untuk mengambil tindakan.”
Even many influential Protestants leaders have described Pope Francis
with the same glowing terms. Times were when Protestants in the US believed that
the Bible was the greatest moral authority in the world, but times have
changed.
Bahkan banyak pemimpin
Protestan yang berpengaruh menggambarkan Paus Francis dengan istilah-istilah
yang penuh pujian. Ada masanya ketika Protestan Amerika meyakini Alkitab-lah
autoritas moral terbesar di dunia, tetapi masa telah berubah.
It is interesting to note the words that Pope Francis used in his recent
encyclical on climate change. This terminology has been used by all popes in
the last 6 decades and it goes all the way back to the writings of St. Thomas
Aquinas. Francis claimed that ~ and I quote ~ “International climate negotiations, cannot make significant progress due
to positions taken by countries which place their national interests above the global
common good.” You’ll notice that I have highlighted
“national interests” and “global common good”. Francis says the issue of
climate change has not been addressed because of nations that they want their
own thing, they don’t want the global common good. Did you notice the
expression “national interests” and “global common good”?
Menarik menyimaki kata-kata
yang dipakai Paus Francis dalam ensikliknya yang terbaru tentang perubahan
iklim. Terminologi ini telah dipakai oleh semua paus selama 6 dekade terakhir
dan semuanya berasal dari tulisan St. Thomas Aquinas. Francis mengklaim bahwa ~
dan saya kutip: “Negosiasi iklim internasional tidak bisa mencapai kemajuan
yang berarti karena posisi yang diambil negara-negara yang menempatkan kepentingan nasional mereka di atas kebaikan bersama yang global.”
Kalian lihat bahwa saya telah
menggarisbawahi “kepentingan nasional” dan “kebaikan bersama yang global.”
Francis berkata, isu mengenai perubahan iklim belum ditangani karena
negara-negara yang menginginkan kepentingan mereka sendiri, mereka tidak
mementingkan kebaikan bersama yang global. Apakah kalian melihat ungkapan
“kepentingan nasional” dan “kebaikan bersama yang global”?
Ban Ki Moon the Secretary General of the United Nations echoed the Pope’s words
in a recent news report. The report explained that Ban Ki Moon called on
governments to place the global common good
~ I am quoting now ~ “the global
common good above national interests…” do you see the identical
terminology? “…and to adopt an ambitious universal climate agreement at the UN Climate
Summit in Paris this coming December.”.
Ban Ki Moon, Sekretaris
Jenderal PBB, menirukan kata-kata Paus dalam suatu laporan berita baru-baru
ini. Laporan itu menjelaskan bahwa Ban Ki Moon menyerukan kepada
pemerintahan-pemerintahan untuk menempatkan kebaikan bersama yang global ~ dan
sekarang saya mengutipnya ~ “kebaikan bersama yang global di atas
kepentingan nasional…” apakah
kalian melihat terminologi yang sama? “…dan menerima
persetujuan universal yang ambisius tentang iklim di UN Climate Summit (KTT PBB Iklim) di Paris
Desember mendatang ini….”
And no less a heavyweight than Barrack
Obama, president of the world premier superpower, echoed the pope’s words as well. And now I quote
what President Obama said. “I welcome
His Holiness, Pope Francis’ encyclical and deeply admire the Pope’s decision to make the case ~ clearly,
powerfully and with the full moral authority of his position ~ for action on
global climate change… We must also protect the world’s poor…” that’s the other talking point: climate change, the world’s poor, “…who have
done the least to contribute to this looming crisis, and stand to lose the most
if we fail to avert it. I look forward…” this is
before the pope’s visit, “…I look
forward to discussing these issues with Pope Francis when he visits the White
House in September. And as we prepare for global climate negotiations in Paris
this December, it is my hope that all world leaders ~ and all of God’s children
~ will reflect on Pope Francis’ call to come together to care for our common
home.”
He is saying, we want the whole world to listen to who? To Pope Francis!
Interesting. To address climate change. Good cause but an agenda behind this
cause.
Dan tidak kurang berpengaruhnya ialah Barrack Obama, presiden dari sebuah negara adikuasa yang terutama di
dunia, yang menirukan kata-kata Paus
juga. Dan sekarang saya mengutip apa kata Presiden Obama, “Saya
menyambut ensiklik Yang Mulia Paus Francis, dan sangat mengagumi keputusan Paus
untuk membawa kasus itu ~ dengan jelas, berbobot dan berdasarkan seluruh autoritas
moral jabatannya ~ untuk mengambil
tindakan terhadap perubahan iklim global … Kita juga harus melindungi
orang-orang miskin di dunia…” itu adalah poin pembicaraan yang lain: perubahan iklim, orang-orang
miskin dunia, “…yang memberikan kontribusi terkecil pada krisis yang mengancam ini,
dan yang akan paling dirugikan jika kita gagal menghindarinya. Saya
menantikan…” ini
adalah sebelum kunjungan Paus, “…Saya menantikan saatnya bisa membahas
isu-isu ini bersama Paus Francis saat kunjungannya ke Gedung Putih di bulan
September. Dan selagi kita membuat persiapan untuk negosiasi iklim global di
Paris bulan Desember nanti, harapan saya adalah semua pemimpin dunia ~ dan
semua umat Allah ~ akan mempertimbangkan seruan Paus Francis untuk bersatu
memelihara tempat tinggal kita yang sama.”
Obama berkata, kami mau seluruh dunia mendengarkan siapa? Paus Francis!
Menarik. Menangani perubahan iklim. Topik perjuangan yang baik, tetapi ada
agenda tersembunyi di balik topik yang diangkat ini.
It is significant that President Obama linked the issue of global climate
change with the plight of the poor. As we shall soon see, in this he reflects
the very strategy of the Jesuit pope. Of course ~ and by the way this is explicit,
the pope has said this ~ one of the pope’s provision of The Save The Planet
crusade is making Sunday a day for the environment to rest. Interesting. For families ~ see, there’s family
involved ~ to strengthen their ties by attending mass. And to give the poor ~ remember the three talking points? ~ and to give the
poor a break from what he perceives as the endless and dehumanizing cycle of
capitalist life. The not too subtle insertion of Sunday at
the end of the encyclical ~ he explicitly inserts Sunday there ~ appears
innocuous at first sight, but as Adventists we know what the ultimate
purpose of the Papacy is, in bringing global climate change to the forefront.
Yang perlu diperhatikan ialah
Presiden Obama mengaitkan isu perubahan iklim global dengan nasib orang-orang
miskin. Kita akan segera melihat, bagaimana dia memantulkan strategi yang sama
dari Paus Jesuit itu. Tentu saja ~ dan ketahuilah ini eksplisit, Paus telah
berkata demikian ~ salah satu poin yang dibuat Paus dalam kampanyenya untuk Menyelamatkan Planet Bumi
adalah menjadikan hari Minggu hari perhentian bagi lingkungan hidup. Menarik. Bagi keluarga ~ lihat,
keluarga dilibatkan ~ untuk memperkokoh ikatan keluarga dengan menghadiri
misa. Dan untuk memberi orang-orang
miskin ~ ingat ketiga poin pembicaraannya? ~ dan untuk memberi
orang-orang miskin istirahat dari apa yang
dianggapnya sebagai suatu lingkaran kehidupan kapitalisme yang tak ada akhirnya dan yang tidak
manusiawi.
Dimasukkannya hari Minggu
dengan cara yang tidak terlalu cerdik pada akhir
ensiklik tersebut ~ Paus secara eksplisit memasukkan hari Minggu di sana ~ pada
pandangan pertama tidak terkesan mengancam,
tetapi sebagai
orang-orang Advent kita tahu apa tujuan akhir Kepausan dengan mengetengahkan
masalah perubahan iklim global ke depan.
Regarding Sunday, the encyclical states ~ this is from the encyclical
towards the end of it ~ “On Sunday,
our participation in the Eucharist…” that’s what we call the
Lord’s Supper, only in the Roman Catholic church they believe that the priest
changes the bread into the real body of Christ, and changes the wine into the
real blood of Christ. It’s a magical belief. They say the appearance remains
and the taste remains the same, but it’s the real body and the real blood of
Christ that people are partaking of. And they say that that nourishes us, it
sanctifies us. That’s counterfeit sanctification, by the way, folks. You know, just by partaking of the literal body and
blood of Christ is not going to sanctify you. “…On Sunday, our participation in the Eucharist has special importance.
Sunday, like the Jewish Sabbath, is meant to be a day that heals our
relationships with God, with ourselves, with others and with the world. Rest
opens our eyes to the larger picture and gives us renewed sensitivity to the
rights of others. And so the day of rest, centered on the Eucharist, sheds its
light on the whole week and motivates us to greater concern for nature and the
poor.” [Laudato Si pg. 237]
Do you see the same things coming out time and again? Nature, the
poor, the family. Sunday is linked to all three.
Tentang hari Minggu, ensiklik
itu menyatakan ~ ini ada di bagian akhir ensiklik tersebut ~ “Pada hari Minggu,
keikutsertaan kita dalam Ekaristi…” itu yang
kita sebut Perjamuan Kudus, hanya saja di gereja Roma Katolik mereka meyakini
bahwa imam mengubah roti menjadi daging Kristus yang sebenarnya, dan mengubah
anggur menjadi darah Kristus yang sebenarnya. Ini namanya keyakinan yang sakti.
Mereka mengatakan bentuknya tetap sama, dan rasanya tetap sama, tetapi yang
dimakan oleh umat adalah daging dan darah Kristus yang sebenarnya. Dan mereka
mengatakan bahwa itu menjadi gizi buat kita, itu menguduskan kita. Ini namanya pengudusan yang palsu, Saudara-saudara. Kalian tahu, hanya dengan makan
daging dan darah Kristus yang sebenarnya itu tidak akan menguduskan kita. “…Pada hari Minggu keikutsertaan kita dalam
Ekaristi memiliki makna istimewa yang penting, seperti hari Sabat Yahudi,
tujuannya menjadi hari yang memulihkan hubungan kita dengan Allah, dengan diri
sendiri, dengan orang lain, dan dengan dunia. Perhentian membuka mata kita
kepada gambaran yang lebih besar dan memperbarui kepekaan kita terhadap hak-hak
orang lain. Maka, hari perhentian, yang dipusatkan pada Ekaristi, memancarkan
cahayanya sepanjang minggu, dan memotivasi kita untuk memiliki kepedulian yang
lebih besar bagi alam dan bagi orang-orang miskin.” [Laudato Si hal.
237]
Apakah
kalian melihat hal-hal yang sama yang muncul berulang-ulang? Alam, orang miskin, keluarga. Dan hari Minggu dikaitkan kepada
ketiga-tiganya.
Now, in April 15, 2015, some two months before the pope released this
encyclical, the Pontifical Academy of Sciences and the Pontifical Academy of
Social Sciences two entities that join together, had released a statement that is
titled “Climate Change and the Common Good ~ A
Statement Of The Problem And The Demand For Transformation Solutions.” This
eye-opening document presents a doomsday scenario that is intended to scare the
planet into doing something about climate change or run the risk of ceasing to
exist. Among other things the declaration stated this: “Climate change is a global problem whose
solution will depend on our stepping beyond national affiliations and coming
together for the common good.” So is climate change going to be used to bring
everybody together? Absolutely.
It further stated, “As early as
2100 there will be a non-negligible probability of irreversible and
catastrophic climate impacts that may last over thousands of years…” now, if something isn’t done before 2100, we are
going to suffer the results for thousands of years. I guess they are expecting
to be in this world thousands of years from now. We’ll come back to that a
little bit later, “…raising the existential question of whether
the civilization as we know it, can be extended beyond this century.”
That’s the Vatican speaking.
The document states that the increase in temperature has
not been seen in tens of millions of years ~ one clear indication among many,
that the papacy has fully embraced the evolutionary theory of origins. That’s significant, as we continue studying along.
Nah, tanggal 15 April 2015,
sekitar dua bulan sebelum Paus mengeluarkan ensiklik ini, the
Pontifical Academy of Sciences (Akademi
Sains Kepausan) dan the Pontifical Academy of Social Sciences (Akademi Sains Sosial Kepausan), dua unit
yang bergabung menjadi satu, mengeluarkan suatu pernyataan yang berjudul “Climate Change and the Common Good ~ A Statement
Of The Problem And The Demand For Transformation Solutions.” ( =
“Perubahan Iklim dan Kebaikan Bersama ~ Suatu Pernyataan tentang Masalah dan
Tuntutan akan Solusi-solusi untuk Perubahan”). Dokumen yang membuka mata ini
mengetengahkan suatu skenario kiamat yang ditujukan untuk menakut-nakuti planet
bumi agar berbuat sesuatu mengenai perubahan iklim ini, atau harus memikul
resiko bakal musnah. Antara lain yang dinyatakan adalah: “Perubahan iklim adalah masalah global yang solusinya
tergantung kesediaan kita melangkah melampaui afiliasi-afiliasi nasional dan
bersatu bagi kebaikan bersama.” Jadi
apakah perubahan iklim
akan dipakai untuk mengumpulkan semua orang menjadi satu? Betul sekali. Selanjutnya dikatakan, “Sedini
tahun 2100 ada kemungkinan yang tidak bisa diabaikan, akan terjadinya suatu
bencana iklim yang dampaknya mungkin tidak bisa diperbaiki, yang bisa bertahan
hingga ribuan tahun…” jadi, bila
sesuatu tidak dilakukan sebelum tahun
2100, kita akan menderita akibatnya selama ribuan tahun. Kira-kira mereka
berharap masih hidup di dunia ini ribuan tahun dari sekarang. Nanti kita akan
kembali kemari, “…dan membangkitkan pertanyaan tentang eksistensi, apakah
perbadaban seperti yang kita kenal ini sekarang, bisa bertahan melewati abad
ini.”
Ini Vatikan yang sedang
berbicara.
Dokumen ini
menyatakan bahwa meningkatnya suhu sekarang belum pernah dilihat dalam puluhan
juta tahun ~ salah satu indikasi yang jelas dari antara yang lain, bahwa
Kepausan sepenuhnya telah menganut teori evolusi tentang asal-mula. Ini penting, bisa kita lihat saat kita melanjutkan
pelajaran kita.
The Pope’s encyclical which was released June 18, 2015, published about 2
months after the declaration ~ after this declaration that I mentioned ~
suggested that the elimination of carbon gases, car pooling, planting trees,
turning off unnecessary lights, restricting the use of air-conditioning ~ of
course not in Fresno ~ recycling, and boycotting certain products as well as
giving the planet a Sunday rest, will help solve the problem. The Pope also calls for international treaties that would pressure the
affluent countries to help poorer ones adapt, including a move to help them switch from fossil fuels to
clean energy such as solar power. Thus he stated in Laudato Si, paragraph 53, that “the establishment of a legal framework…” some matter of law, international law, “…the establishment of a legal framework which can set clear boundaries and ensure
the protection of ecosystems has become indispensible.”
Like President Obama, the Pope links the issue of
global climate change with the need for the rich nations to help the poorer
ones. In the Pope’s words, “The people who have done the least to cause this
[climate change], suffer the most. That should, if nothing else, give weight to
the argument that the [Northern Hemisphere] must shift serious resources to the
poor world.”
This is called “spreading the wealth”. We’ll come
back to that a little bit later.
Ensiklik Paus yang dikeluarkan
tanggal 18 Juni 2015, diterbitkan sekitar dua bulan setelah pengumumannya ~
pengumuman yang tadi saya sebutkan ~ menyarankan bahwa dengan melenyapkan gas
karbon, pooling kendaraan, menanam pohon, mematikan lampu yang tidak
dibutuhkan, membatasi pemakaian AC ~ tentunya tidak di Fresno ~ mendaur ulang,
dan memboikot produk-produk tertentu, juga memberikan perhentian pada hari Minggu kepada planet bumi, akan membantu
menyelesaikan masalah. Paus juga
menyerukan agar mengadakan perjanjian-perjanjian
internasional yang menekan negara-negara kaya supaya membantu yang lebih miskin beradaptasi, termasuk
gerakan untuk membantu mereka beralih dari memakai bahan bakar fosil ke energi
bersih seperti energi matahari. Paus menyatakan di Laudato Si paragraf 53 bahwa “…menegakkan
suatu kerangka legal…” untuk beberapa
masalah hukum, hukum internasional, “…menegakkan suatu kerangka legal yang bisa
menentukan batasan-batasan yang jelas untuk memastikan perlindungan terhadap
ekosistem sudah menjadi keharusan yang tidak boleh diabaikan.”
Seperti Presiden Obama, Paus
mengaitkan isu perubahan iklim global dengan perlunya bangsa-bangsa yang kaya
membantu yang lebih miskin. Dalam kata-kata Paus sendiri, “Orang-orang
yang berbuat paling sedikit dalam menyebabkan hal ini [perubahan iklim], adalah
yang paling menderita. Itu saja, andai tanpa alasan lain, sudah harus memberi
bobot kepada argumentasi bahwa belahan bumi utara harus mengalihkan sumber
kekayaan yang nyata kepada dunia yang miskin.”
Ini namanya “menyebarkan
kekayaan”. Nanti kita akan kembali ke sini.
The Pope visits the White House
On September 23, 2015, in the midst of a pomp,
circumstance and fanfare, as it never been seen before in the welcome of any
head of state, with flags of the US and the Holy See waving side by side in the
wind, President Obama referred to the Pope as the Holy Father, and warmly welcomed
him to the White House. After the welcoming ceremony the Pope had a private
audience with President Obama in the White House. The talking points were not a
secret, Obama had already said what they were going to discuss. President Obama
had already notified the press that the two main topics to be discussed will be
global climate change and world poverty ~ themes that he passionately shares with the
pope. There is no indication that the pope addressed ~ this is important ~ the
issues of abortion or gay marriage with President Obama for reasons that are
quite obvious. The Pope did not want to wear out his welcome from the start by
addressing topics on which he and President Obama might disagree, because he
wants to get world leaders into his pocket ~ the world link,
the third link in this triumvirate.
Paus mengunjungi Gedung Putih
Pada
23 September 2015, di tengah-tengah upacara and pawai yang megah yang belum
pernah terlihat sebelumnya dalam penyambutan kunjungan kepala negara mana pun,
dengan bendera-bendera Amerika Serikat dan Kepausan berkibar berdampingan
ditiup angin, Presiden Obama menyebut Paus sebagai Bapa Suci, dan menyambutnya
dengan hangat di Gedung Putih. Setelah upacara penyambutan, Paus menghadiri
audiensi tertutup dengan Presiden Obama di Gedung Putih. Poin-poin pembicaraan
bukanlah rahasia. Obama sudah mengatakan apa yang akan mereka bicarakan.
Presiden Obama sudah memberitahu pers kedua topik utama yang akan dibicarakan
adalah perubahan iklim global dan kemiskinan dunia ~ tema-tema Paus yang juga dianut olehnya (oleh Obama) dengan sepenuh hati. Tidak ada indikasi bahwa Paus
menyinggung ~ ini sangat penting ~ isu tentang aborsi atau perkawinan gay
dengan Presiden Obama, alasannya cukup jelas. Paus tidak mau mempertaruhkan
sambutan yang baik dari awal dengan menyinggung topik-topik di mana dia dan Presiden Obama mungkin
berbeda pendapat, karena Paus ingin mengantongi para pemimpin dunia di sakunya ~ mata rantai dunia, mata rantai ketiga dalam triumvirate ini.
Although the Pope was virtually mum on the social issues that have galvanized the
papacy with conservative Protestants,
there is persuasive evidence that he still believes in these issues but did not
want to alienate the secular minded. In good Jesuit
fashion he straddled the fence on the controversial issues, like saying “I was in favor of it before I was
against it.” Heheheh. On the one hand the Pope met with and warmly received a long
time gay friend (Yayo Grassi) and his partner (Iwan Bagus) ~ I don’t know
whether you were aware of that ~ on the other hand after the Pope left the US, it was discovered that he had also
met secretly at the Vatican Embassy at Washington DC with Kim Davis, the
Pentecostal county clerk from Kentucky who refused to perform a gay marriage and
was jailed for 5 days ~ do you remember that? Miss Davis described the
encounter and I quote, “I put my
hand out and he reached and he grabbed it, and I hugged him and he hugged me… I
had tears coming out of my eyes. I am just a nobody, so it was really humbling
to think that he would want to meet or know me.”
According to Miss Davis’ attorney, Pope Francis gave her rosaries ~ this is a
Pentecostal lady ~ and said to her, “Stay strong.”
Walaupun
Paus bungkam tentang isu-isu sosial yang telah mempererat hubungan Kepausan
dengan Protestan konservatif, ada bukti yang meyakinkan bahwa dia masih
berpihak pada isu-isu ini tetapi dia tidak mau menyinggung perasaan golongan yang bermental sekuler. Maka dengan gaya Jesuit yang cantik, dia berduamuka untuk isu-isu yang kontroversial ini, seakan-akan berkata, “Saya
setuju dengan itu sebelum saya menentangnya.” Hehehehe. Di satu sisi Paus
bertemu dengan dan menyambut hangat seorang teman lama yang gay (Yayo Grassi)
bersama pasangannya (Iwan Bagus) ~ entah
kalian tahu hal itu atau tidak ~ di sisi lain setelah Paus meninggalkan
Amerika Serikat, diketahui bahwa dia juga bertemu secara rahasia di Kedubes
Vatikan di Washington DC dengan Kim Davis, pejabat propinsi Kentucky dari
kelompok Pentakosta yang pernah menolak meresmikan perkawinan gay dan
dimasukkan penjara selama 5 hari ~ apakah kalian ingat itu? Nona Davis
menggambarkan pertemuannya dengan Paus itu, saya kutip, “Saya
mengulurkan tangan saya dan Paus meraihnya dan menggenggamnya. Lalu saya
memeluknya dan dia memeluk saya… air mata saya keluar. Saya bukan siapa-siapa,
jadi saya sangat terharu membayangkan Paus mau bertemu atau berkenalan dengan
saya.”
Menurut
pengacara Nona Davis, Paus Francis memberinya rosario ~ padahal ibu ini adalah
seorang Pentakosta ~ dan berkata kepadanya, “Tetap tabah.”
Interestingly enough the Pope also met with the Little Sisters of the Poor who had
sued President Obama over the federal government contraception mandate in the
Affordable Care Act. So in other words he is still
against contraception although in public he says he’s not.
Conservative syndicated columnist George Will ~ have
you ever heard of George Will? ~ was correct when he explained the reason for the change in the
Papacy’s public talking points. This is what George Will said, very perceptive,
“As the world spurns his church’s
teachings about abortion, contraception, divorce, same sex marriage and other
matters, Francis jauntily makes his church congruent with the secular religion
of ‘sustainability’.”
What is the target of
the Papacy right now? The secular world.
Yang cukup
menarik, Paus juga bertemu dengan Little
Sisters of the Poor (institut milik Roma
Katolik yang memperjuangkan kepentingan wanita) yang pernah menggugat Presiden Obama soal
mandat kontrasepsi pemerintah federal di Affordable Care Act (Obamacare = undang-undang
di bidang kesehatan yang disahkan tahun 2010). Jadi dengan kata lain Paus itu masih anti kontrasepsi walaupun di depan umum dia berkata bahwa
dia tidak.
Kolumnis
konservatif yang tulisannya dimuat
berbarengan di banyak surat kabar, George Will ~ kalian pernah mendengar
tentang George Will? ~ tidak salah ketika dia menjelaskan alasan berubahnya poin-poin Kepausan yang
dibicarakan di depan publik. Inilah yang dikatakan George Will, sangat
perseptif, “Saat dunia memandang rendah ajaran gerejanya tentang aborsi,
kontrasepsi, perceraian, perkawinan sesama jenis dan lain-lain, Francis
bergegas membuat gerejanya serasi dengan prinsip golongan sekuler yaitu ‘kemampuan untuk tetap bertahan’ (tanpa merusak sumber daya alam).”
Apa sasaran Kepausan sekarang? Dunia sekuler.
Joint session of Congress
On September 24, 2015, for the first time in the
history of the US, a Roman Catholic Pope addressed a joint session of Congress whose members are sworn to
uphold the Constitution and the Bill of Rights. What did the Pope say to
Congress? The answer was there for all
to see. You probably saw his speech. As expected he lectured politicians
about their duty to serve for the common good, the dangers and woes of
unrestrained capitalism, the need to address climate change and to redistribute
the world’s goods among all of God’s creatures for the common good. And by the
way he mentioned one of the individuals who is highest on the list of
individuals that sustain that emerging spirituality: Merton, one of the four
individuals that he mentioned. Interestingly enough. He’s an American hero ~
this monk who had this monastery in Kentucky.
By the way, how was this address to
Congress not an infringement
of separation of church and state? On what constitutional basis can senators and congressmen be encouraged
by the Pope to implement the moral teaching of the Roman Catholic Papacy? And
if the US follows the counsels of the Pope
and signs an international climate agreement in Paris ~ which is going to take
place in December ~ how could this not be an establishment of the religious and
moral teachings of the Roman Catholic Papacy, particularly considering that the
Pope’s encyclical is loaded with religious language? Is this not an
infringement of the separation of church and state, folks? Clearly.
Sesi Gabungan Kongres
Pada
tanggal 24 September 2015, untuk pertama kalinya dalam sejarah Amerika Serikat,
seorang Paus Roma Katolik berpidato di depan sesi gabungan Kongres yang
anggota-anggotanya telah disumpah untuk menjunjung Konsitusi dan Amandemennya.
(Konstitusi dan Amandemen Amerika Serikat menganut pemisahan hak dan wewenang
antara gereja dengan pemerintahan). Apa kata Paus kepada Kongres? Jawabannya
bisa dilihat oleh semua. Kalian mungkin tahu pidatonya. Sebagaimana tebakan
kita, dia menceramahi para politikus tentang kewajiban mereka untuk melayani
kebaikan bersama, tentang bahaya dan celakanya kapitalisme yang tidak terkendali,
tentang perlunya menangani perubahan iklim dan membagi ulang kekayaan
dunia di antara semua makhluk Tuhan demi kebaikan bersama. Dan dia juga menyebut salah seorang yang posisinya tertinggi dalam daftar orang-orang yang
mendukung faham Emerging Spirituality (Kerohanian Baru): Merton, salah satu dari
empat orang yang disebutnya. Yang menarik, Merton adalah seorang pahlawan
Amerika ~ biarawan ini memiliki biara di Kentucky.
Nah, mana mungkin ceramah kepada Kongres ini bukan pelanggaran terhadap pemisahan
gereja dari negara? Atas dasar konstitusi mana, para senator dan anggota Kongres didorong oleh Paus untuk memberlakukan ajaran moral Kepausan Roma
Katolik? Dan jika Amerika Serikat mengikuti nasihat Paus dan menandatangani
persetujuan internasional tentang iklim
di Paris, yang akan terjadi di bulan Desember ~ bagaimana ini bukan merupakan penegakan
ajaran kerohanian dan moral Kepausan Roma Katolik, terutama mengingat ensiklik
Paus sarat dengan bahasa rohani? Apakah ini bukan pelanggaran atas prinsip
pemisahan gereja dari negara, Saudara-saudara? Jelas sekali.
Address to the UN
Are you catching the “common” threat, the “common thing” time and again,
time and again?
On September 24, 2015, the Pope presented an address to the UN General
Assembly where the greatest numbers of political leaders in the history of the
world were present, among other things that speech encouraged world leaders to
establish legislation, global legislation by the way, to address the problem of
climate change and world poverty. In fact, in his encyclical, the Pope had
already suggested that in order for these problems to be solved, and I quote, “models of production and consumption and established structure of power
that today governed societies needed to change profoundly.”
The Pope has also strongly supported the UN document, Transforming Our World ~ the 2030 Agenda for
Sustainable Development. You want to read something really scary? Google
the 2030 Agenda for Sustainable Development,
which the Pope endorsed, which the UN, the nations of the world signed at this
UN Assembly recently.
The solutions that are proposed are totally humanistic as if Jesus is
never going to come, and it’s such a long, laundry list of problems that the UN
expects to solve before the year 2030 through human ingenuity, international
treatise and laws. Getting rich nations to give their money to the poor
nations, addressing climate change, focusing on the family and so on. Once
again at the UN Roman Catholic conservative flagship, subjects such as gay
marriage and abortion were summarily passed over, for obvious reasons. No need
to alienate those of a secular mentality before they are fully enrolled.
Seruan kepada PBB
Apakah kalian menangkap
ancaman kata “bersama”, masalah “bersama” yang ditonjolkan berulang-ulang
terus-menerus?
Pada 24 Semptember 2015, Paus
menyampaikan ceramah kepada Majelis Umum PBB di mana jumlah terbesar pemimpin
politik dalam sejarah dunia hadir. Di antara yang dibicarakan ceramah itu
mendorong pemimpin-pemimpin dunia untuk membuat legislasi ~ legislasi yang global maksudnya ~ untuk menangani masalah perubahan iklim dan
kemiskinan dunia. Bahkan dalam ensikliknya ini Paus sudah mengusulkan supaya masalah-masalah
ini bisa diselesaikan, saya kutip, “model produksi dan konsumsi dan
struktur kekuasaan yang ada, yang dewasa ini mengatur masyarakat, harus diubah secara mendasar.”
Paus juga
sangat mendukung dokumen PBB, Transforming Our World ~ the 2030 Agenda for Sustainable Development (Mentransformasi Dunia Kita ~
Agenda 2030 untuk Perkembangan yang Bisa Dipertahankan). Kalian mau membaca
sesuatu yang benar-benar menakutkan? Google Agenda 2030 untuk Perkembangan yang Bisa Dipertahankan ini, yang sudah diendors oleh
Paus, yang ditandatangani oleh PBB, oleh bangsa-bangsa di dunia, di Majelis PBB
baru-baru ini.
Solusi-solusi
yang disarankan benar-benar humanistis seakan-akan Yesus tidak bakal datang.
Daftar masalahnya sedemikian panjang yang PBB berharap bisa menyelesaikannya
sebelum tahun 2030 melalui hikmat manusia, perjanjian-perjanjian dan
hukum-hukum internasional. Menyuruh bangsa-bangsa yang kaya untuk memberikan
harta mereka kepada bangsa-bangsa yang miskin, menangani perubahan iklim, fokus
kepada keluarga, dll. Sekali lagi di PBB, poin terpenting Roma Katolik yang
konservatif seperti perkawinan gay dan aborsi, dilewati secara cepat demi
alasan-alasan yang nyata. Tidak perlu menyinggung mereka yang bermentalitas
sekuler sebelum mereka sepenuhnya ikut menjadi anggota.
The Pope in Philadelphia
Now I can speak not by research but by what my eyes have seen. My eyes
have seen the glory of the Lord. They’ve also seen the other side of the coin.
On September 25-27, the Pope was in Philadelphia, the cradle of the
founding documents of the US. I don’t know if you are aware, but the
Declaration of Independence, the Constitution and the Bill of Rights were all
ratified in Philadelphia. You’d think the Pope’s visit to Philadelphia was just
he said, “Oh, let’s choose some city in the US”? No way. The choice of location
was not coincidental. In the very place where these founding documents were
ratified there was a platform where stood who? A man whose kingdom stands in
direct and radical conflict with every principle of our Constitution. The Papacy’s
sordid history clearly reveals that its foundation and source of powers lies on
the union of church and state.
When we talk about the Papacy, folks, the Papacy is NOT the Roman Catholic
Church. We need to understand that. The Roman Catholic church is different than
the Papacy. The Papacy is the hierarchical structure of the church that joins church and state. That’s what Papacy is.
Paus di Filadelfia
Sekarang saya berbicara bukan
dari riset tetapi dari apa yang telah dilihat mata saya sendiri. Mata saya
telah melihat kemuliaan Tuhan. Mata saya juga telah melihat sisi lain mata uang
itu.
Pada September 25-27, Paus
berada di Filadelfia, tempat lahirnya dokumen-dokumen pendiri negara Amerika
Serikat. Entah kalian menyadarinya atau tidak, tetapi Proklamasi Kemerdekaan,
UUD dan Amandemennya semua itu diratifikasi di Filadelfia. Kalian sangka
kunjungan Paus ke Filadelfia hanyalah kebetulan, dia berkata, “Oh, mari kita
memilih sebuah kota di Amerika Serikat?” Sama sekali bukan. Lokasi yang
dipilihnya bukan kebetulan. Di tempat di mana dokumen-dokumen pendiri negara ini diratifikasi, siapa yang berdiri di mimbarnya? Seorang manusia yang kerajaannya bertentangan
secara langsung dan radikal dengan setiap prinsip Konstitusi kita. Sejarah Kepausan yang kotor mengungkapkan secara jelas bahwa fondasinya dan sumber
kekuatannya terletak pada kesatuan gereja dengan pemerintah.
Bila kita berbicara tentang
Kepausan, Saudara-saudara, Kepausan BUKAN gereja Roma Katolik. Kita harus
memahami ini. Gereja Roma Katolik berbeda dengan Kepausan. Kepausan adalah
struktur hirarki gereja yang menggabungkan gereja dengan pemerintah/negara. Itulah
Kepausan.
We sometimes think that the deadly wound was given to the Roman Catholic
church. NO. The deadly wound was given to the PAPACY. And the deadly wound simply means that what happened was France ~ and
then many other nations that follow the example of France ~ took away the
sword of civil power from the Papacy. That’s the deadly wound. The Roman Catholic church as church continued functioning after 1798.
There was still mass, people still went to church, priests still officiated,
the church as a church continued to function but it could no longer use the
civil powers of the world to accomplish its purposes. That’s why the Papacy is
focusing on the worldlings, on the secular powers of the world.
Terkadang kita pikir luka yang
mematikan diberikan kepada gereja Roma Katolik. TIDAK. Luka yang
mematikan diberikan kepada KEPAUSAN. Dan luka
yang mematikan berarti, apa yang terjadi adalah Perancis ~ yang kemudian
diikuti oleh banyak bangsa lain ~ mengambil pedang kekuasaan sipil dari Kepausan. Itulah
luka yang mematikan. Gereja Roma Katolik saat itu tetap berfungsi sebagai
gereja setelah 1798. Masih ada misa, orang-orang masih pergi ke gereja, para
imam masih melayani di gereja, gereja sebagai gereja terus berfungsi, tetapi
dia tak lagi bisa memakai kekuasaan sipil dunia untuk melaksanakan kemauannya.
Itulah mengapa Kepausan
sekarang fokus pada orang-orang dunia, pada kekuasaan sekuler dunia.
Now, let’s continue here.
It matters not that the Papacy is losing droves of members to the
Protestant churches in Latin America. I remember when we first went to
Columbia, Columbia was 100% Catholic. Now it is less than 80% Roman Catholic.
Catholic churches are losing droves of members in Latin America to Charismatic
churches, to the Jehovah’s Witnesses, to SDA, to Pentecostals. That matters
not. It doesn’t matter if only a sliver of the population of western Europe
regularly attend church. The power of the Papacy resides not so much as in the
numbers of its members but rather in the maneuvering of its hierarchy in every
country of the globe. Who many failed to understand is
that the word “Papacy” does not refer to the Roman
Catholic church, as a religious entity. It is rather a code word for a system that
unites church and state and whose leader in union with
the council of bishops claims to have the divine right to universal jurisdiction
in both religious and secular matters. Little does
the world realize what the ultimate aspirations of the Papacy really are: global
dominion with an iron fist.
Sekarang marilah kita
lanjutkan.
Tidak jadi soal Kepausan
sedang kehilangan banyak sekali anggotanya ke gereja-gereja Protestan di
Amerika Latin. Saya ingat ketika kami pertama ke Kolombia, Kolombia itu 100%
Katolik. Sekarang kurang dari 80% Roma Katolik. Gereja-gereja Katolik sedang
kehilangan banyak anggotanya di Amerika Latin ke gereja-gereja Karismatik, ke
Saksi Yehova, ke MAHK, ke gereja-gereja Pentekosta. Itu tidak menjadi masalah.
Juga tidak menjadi soal jika hanya sedikit sekali penduduk Eropa Barat yang
pergi ke gereja secara rutin. Kekuatan Kepausan tidak terlalu terletak pada jumlah anggota-anggotanya,
melainkan pada cara hirarkinya mengatur siasat di setiap negara di muka bumi. Banyak orang tidak paham bahwa perkataan “Kepausan”
tidak mengacu kepada gereja Roma Katolik sebagai satu unit agama. Melainkan ini
adalah suatu kata sandi bagi suatu sistem yang menggabungkan gereja dengan pemerintah, yang pemimpinnya bersama dewan uskupnya, mengklaim memiliki wewenang ilahi atas yurisdiksi universal baik dalam hal
agama maupun hal sekuler. Dunia tidak menyadari apa aspirasi tertinggi
Kepausan, yaitu memerintah secara global dengan tangan besi.
Ellen White warned long ago, “By the
decree of enforcing the institution of the Papacy in violation of the Law of
God, our nation will disconnect herself fully from righteousness…” by the way do you know that
Dr. Ben Carson has distanced himself from this interpretation. You know, when
he was asked about whether the SDA, whether he believed that ~ you know ~
Adventists are going to be persecuted over the Sabbath-Sunday issue, he kind of
said, “Well, it all depends on your interpretation on what Ellen White had to
say.” And then he went on to speak about persecution in the Middle East,
there’s a lot of persecution going on, just kind of side stepping the issue. “…By the decree of enforcing the institution
of the Papacy in violation of the Law of God, our nation will disconnect
herself fully from righteousness… [when] our
country shall repudiate every principle of its Constitution as a Protestant and
Republican government…” doesn’t have anything to do with the Republican
party, with its style of government which is a republic, “…and shall make provision for the
propagation of…” what? oh this is what’s happening! “…papal falsehoods and delusions, then we may know that the time has come
for the marvelous working of Satan and that the end is near.” [Testimonies
for the Church Vol. 5 pg. 451]
Jauh sebelumnya Ellen White telah memberi peringatan, “Dengan mengeluarkan undang-undang untuk melaksanakan
institusi Kepausan dalam menentang Hukum Allah, bangsa kita (=
Amerika) akan sepenuhnya memutuskan hubungannya dengan
kebenaran…” Tahukah
kalian bahwa Dr. Ben Carson (dokter MAHK yang sangat terkenal) telah menarik
dirinya dari interpretasi ini? Kalian tahu, ketika dia ditanya apakah MAHK,
apakah dia meyakini bahwa MAHK akan dianiaya sehubungan dengan isu hari
Sabat-hari Minggu, Dr. Ben Carson mengatakan, “Yah, itu semuanya tergantung
pada interpretasi atas apa yang dikatakan Ellen White.” Kemudian dia
melanjutkan dan berbicara tentang penganiayaan di Timur Tengah, bahwa ada
banyak penganiayaan yang terjadi, yah, dia sepertinya menghindari isu itu. “Dengan
mengeluarkan undang-undang untuk melaksanakan institusi
Kepausan dalam menentang Hukum Allah, bangsa kita (= Amerika) akan sepenuhnya memutuskan hubungannya dengan kebenaran…[ketika] negara
kita akan menyangkal setiap prinsip pada UUDnya sebagai suatu pemerintahan
Protestan dan sebagai
Repulik…” tak ada hubungannya dengan partai Republik,
ini adalah bentuk pemerintahan Republik, “…dan akan membuat undang-undang untuk menyebarkanluaskan…” apa? Oh, inilah yang terjadi, “…kebohongan dan delusi Kepausan,
maka kita akan tahu bahwa saat pekerjaan Setan yang luar biasa telah tiba dan
bahwa kesudahan sudah dekat.” [Testimonies for the Church Vol. 5 hal.
451]
It is estimated that some one million people attended an outdoor mass in
Philadelphia on Sunday, September 27. As I watched the scene, folks, it
reminded me of Daniel 3, where all the great leaders in the midst of much
fanfare and music bow before the image that king Nebuchadnezzar had set up.
Revelation 13:3 describes the parallel scene at the end of time when all
the world marveled and follow the Beast and worship his image. But praise the Lord
there will be a faithful remnant, like there was in the valley of Dura.
Diperkirakan sekitar satu juta
manusia menghadiri misa terbuka di Filadelfia pada hari Minggu tanggal 27
September. Saat saya melihat adegan itu, Saudara-sauara, itu mengingatkan saya
pada Daniel pasal 3, di mana di tengah
riuh rendahnya pawai dan musik, semua pemimpin besar sujud di hadapan patung yang
dibangun raja Nebukadnezar.
Wahyu 13:3 menggambarkan adegan yang paralel pada akhir
zaman ketika seluruh dunia kagum dan mengikuti Binatang itu dan menyembah
patungnya. Tetapi puji Tuhan akan ada sekelompok umat yang sisa, sebagaimana
yang juga ada di lembah Dura.
Now, let’s talk about the planet’s climate change ~ Summit.
You see this is a different summit than ours.
The next step in the climate change and the poverty strategy of the
Papacy will be when the Pope attends a meeting of world leaders in Paris in
December to discuss global climate change and to make specific recommendations
to address the problem. The “Save the Planet” crusade will provide a perfect
forum at that time to encourage the world to set aside Sunday as a means of
giving the environment and the oppressed poor a rest and to allow families time
to gather together for worship. Will it happen in Paris? No one
knows. But sooner or later it will happen.
Sekarang, marilah kita
berbicara tentang KTT soal perubahan
iklim planet.
Kalian lihat, ini adalah KTT
yang berbeda dengan KTT kita.
Langkah Kepausan berikutnya tentang
perubahan iklim dan strategi kemiskinan adalah ketika Paus menghadiri pertemuan
para pemimpin dunia di Paris di bulan Desember untuk membicarakan perubahan
iklim global dan akan memberikan rekomendasi-rekomendasi khusus dalam menangani
masalah tersebut. Kampanye untuk “Menyelamatkan Planet Bumi” akan menjadi forum yang tepat
pada saat itu untuk mendorong dunia memisahkan hari Minggu sebagai sarana
memberikan istirahat bagi lingkungan dan orang-orang miskin yang tertindas,
mengizinkan mereka berkumpul bersama untuk beribadah. Apakah ini akan terlaksana di Paris? Tidak ada yang
tahu. Tetapi cepat atau lambat ini akan terjadi.
Now, let’s go to the second Papal talking point ~ we’ve
dealt with global climate change ~ now,
let’s talk about what he has to say about poverty. This needs
us to look more closely at the Pope’s second talking point that has strongly
resonated with world leaders. The Pope has continually lectured the capitalist
nations of the northern hemisphere to redistribute the wealth of the world
evenly in order to abolish poverty for the common good. This idea is socialism
pure and simple but not socialism of the atheistic type, but rather a religio-political socialism under the
moral leadership of the Papacy. It is actually a not too subtle
war on capitalism and on the middle class, a call for opulent nations to spread
the wealth. The end result, as the Cuban and Venezuelan experiment has shown
~ believe me, I know what I am talking
about when I am talking about Venezuela. My wife has three sisters that live in
Venezuela. I grew up in Venezuela. I know what’s happening there. It’s a
disaster ~ So, the end result, as the Cuban and Venezuelan experiment has shown
will not be that all nations will have equal riches, but rather that all will
share the same poverty with a small elite rich at the top.
Nah, marilah ke poin pembicaraan
Kepausan yang kedua ~ kita
sudah membahas tentang perubahan iklim global, sekarang marilah kita membahas
apa yang dikatakan Paus tentang kemiskinan. Untuk ini,
kita perlu melihat lebih cermat ke poin pembicaraan Paus yang kedua yang sangat
serasi dengan pemimpin-pemimpin dunia. Secara terus-menerus Paus telah
menceramahi bangsa-bangsa kapitalis belahan dunia utara agar membagikan kembali
kekayaan bumi secara merata guna melenyapkan kemiskinan demi kebaikan bersama.
Konsep ini secara sederhana dan murni adalah sosialisme, tetapi bukan
sosialisme jenis atheis, melainkan sosialisme religio-politis di bahwa kepemimpinan moral
Kepausan. Sebenarnya ini adalah perang
yang tidak terlalu disamarkan terhadap kapitalisme dan terhadap golongan
menengah, suatu panggilan kepada bangsa-bangsa yang kaya untuk menyebarkan
kekayaan. Hasil akhirnya, sebagaimana yang telah dibuktikan oleh eksperimen di
Kuba dan di Venezuela ~ percayalah, saya tahu apa yang saya katakan bila saya berbicara
tentang Venezuela. Istri saya punya tiga saudara perempuan yang tinggal di
sana. Saya sendiri dibesarkan di Venezuela. Saya tahu apa yang terjadi di sana:
suatu bencana ~ Jadi hasil akhirnya sebagaimana yang telah dibuktikan oleh
eksperimen di Kuba dan di Venezuela, bukan setiap bangsa memiliki kekayaan yang
sama, melainkan semua akan menjadi sama-sama miskinnya, dengan beberapa
gelintir orang elit kaya di atas.
This papal strategy of spreading the wealth that began slowly in modern times with Pope Leo XIII’s encyclical Rerum
Novarum ~ I wish I had an hour to talk about Rerum Novarum, that encyclical was significant. Basically it’s
a Christianized version of Marxism. Well, this has accelerated to
blinding speed in our time especially among liberal politicians. The ideal of a
classless society where all share equally in the world’s goods is a great idea,
but in a selfish world it’s an unreachable goal. In fact Jesus who said,
“The poor you will always have with you” openly contradicted this socialist
idea. And Ellen White categorically affirms that “poverty tests the faith of the poor and the stewardship of the rich.”
Strategi Kepausan untuk menyebar kekayaan yang
diawali secara perlahan-lahan di zaman modern ini dengan ensiklik Paus Leo XIII
Rerum
Novarum ~ sayang saya tidak punya
waktu satu jam untuk berbicara tentang Rerum Novarum, ensiklik itu sangat bermakna. Pada dasarnya itu
adalah Marxisme versi Kristen. Nah, ini di
zaman kita telah melaju sedemikian cepatnya di antara para politikus liberal.
Konsep ideal tentang suatu masyarakat yang tidak terbagi oleh kelas-kelas, di
mana semua sama-sama menikmati kekayaan bumi adalah konsep yang bagus, namun
dalam dunia yang egois, itu adalah tujuan yang tidak akan pernah tercapai.
Bahkan perkataan Yesus bahwa “orang-orang
miskin selalu ada padamu” (Mat. 26:11) terang-terangan merupakan kontradiksi terhadap
konsep sosialis ini. Dan Ellen White menegaskan dengan gamblang bahwa “kemiskinan
menguji iman mereka yang miskin dan menguji penatalayanan mereka yang kaya.”
And now I quote Ellen White, Counsels on
Health pg. 230. “It was not
the purpose of God that poverty should
ever leave the world. The ranks of society were never to be equalized; for the
diversity of conditions which characterizes our race is one of the means by
which God has designed to prove and develop character. Many have urged with
great enthusiasm that all men should have an equal share in the temporal
blessings of God; but this was not the purpose of the Creator… It would be the
greatest misfortune that has ever befallen mankind if all were to be placed
upon an equality in worldly possessions.”
Powerful statement isn’t it?
Dan sekarang saya mengutip Ellen White, Counsels
on Health, hal. 230. “Bukanlah tujuan Allah agar kemiskinan
lenyap dari dunia. Kelas-kelas dalam masyarakat tidak pernah akan menjadi
sederajat, karena kondisi yang berbeda yang menjadi ciri umat manusia adalah
salah satu sarana yang dirancang Allah untuk membuktikan dan mengembangkan
karakter. Sudah ada banyak orang yang dengan semangat besar mendesak agar semua
manusia bisa memiliki bagian yang sama dalam berkat duniawi yang diberikan
Allah, tetapi ini bukanlah maksud Sang Khalik… Seandainya semua manusia
ditempatkan pada tingkat yang sama dalam kepemilikan harta duniawi, maka itu
akan menjadi celaka yang terbesar yang akan mengenai umat manusia.”
Pernyataan yang hebat, bukan?
Now, let’s go to our next section, the reason for ecological care. Now we are going to get in to Scripture.
The Pope’s view on these matters leaves us to ask, is the Pope on target
when he encourages humans to care for the environment, to help the poor and to
focus on the family unit? Doesn’t the Bible itself enjoins us to do such
things? Of course it does. We can certainly agree with the Pope concerning the
importance of prioritizing these matters, can’t we? Of course we can. But the
question that should engage us is this ~ now we are going to get into some
theology. See, we are dealing with the background, now, the historical context,
but now we are going to deal with Scripture ~ but the question that should
engage us is this, “Why should these issues be a primary concern to all of us?”
Psalm 24:1-2 provides the answer, “The earth is the Lord’s and all its fullness…” that means everything in it, “…the world and those who dwell therein…” and then he gives the reason, “…2 For He has
founded it upon the seas, and established it upon the waters.”
The Bible explains that we are to care for the earth and those who dwell
therein because they are not ours.
The apostle Paul expressed the same principle well when he reminded us
that we are not our own (1 Corinthians 6:19).
Sekarang marilah kita ke
bagian berikutnya, alasan untuk pemeliharaan ekologi. Sekarang
kita akan masuk ke Firman Allah.
Pandangan Paus tentang hal-hal
ini membuat kita bertanya-tanya, apakah Paus tidak menyimpang dari
Alkitab ketika dia mendorong manusia
untuk perduli lingkungan, membantu orang miskin, dan fokus kepada unit
keluarga? Bukankah Alkitab sendiri memerintah kita untuk melakukan hal-hal ini?
Tentu saja. Kita pasti setuju dengan Paus tentang pentingnya memberi prioritas
pada hal-hal tersebut, bukan? Ya, pasti. Tetapi pertanyaan yang harus kita
perhatikan adalah ~ sekarang kita akan masuk ke theologi. Lihat, kita tadi
melihat latar belakangnya, konteks sejarahnya, tetapi sekarang kita akan
melihat Firman Allah
~ tetapi pertanyaan yang harus kita perhatikan adalah ini, “Mengapa isu-isu ini
menjadi keprihatinan utama kita semua?” Mazmur 24:1-2 memberikan jawabannya, “Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya…” artinya
segala sesuatu yang ada di dalamnya, “…dan dunia serta yang diam di dalamnya…” kemudian dia
memberikan alasannya, “…2 Sebab Dialah yang mendasarkannya di atas lautan dan menegakkannya di atas
sungai-sungai.”
Alkitab menjelaskan bahwa kita
harus memelihara bumi dan semua yang hidup di dalamnya karena semua itu bukan
milik kita.
Rasul Paulus menyatakan
prinsip yang sama dengan baik ketika dia mengingatkan kita bahwa kita bukanlah
milik kita sendiri (1 Korintus 6:19).
Human abuse of the environment and the poor who dwell
therein is due to the fact that humanity has forgotten that the earth and its
inhabitants belong to God not to us. And now listen, and what has
caused us tragic amnesia? The answer is that humanity has cast aside God’s weekly
reminder of Who is the Owner of creation: the seventh day Sabbath. The fourth commandment spoken by God in the midst of thunder and
lightning on Mt. Sinai and written with
God’s own finger, states: ‘Remember the Sabbath day, to keep it holy.
9 Six days you shall labor and do all
your work, 10 but the seventh day is the Sabbath of the LORD your God. In it
you shall do no work: you, nor your son, nor your daughter, nor your male
servant, nor your female servant, nor your cattle, nor your stranger who is within your gates…” and then it tells us the reason why we are to work six and rest the
seventh “…11 For in
six days the LORD made the
heavens and the earth, the sea, and all that is in them, and rested the seventh day. Therefore the LORD blessed the
Sabbath day and hallowed it.”
In short, God created our earthly environment, He created its
inhabitants: human and animal, and He created the family unit, did He not? In
six literal days. And then left us a perpetual sign of His creative power, by
resting on the seventh day. Exodus 20:11 which echoes Genesis 2:2-3, does not
instruct us to rest one day in seven, or every seventh day. The word “seventh”
in Hebrew is preceded by the definite article, it is “the seventh day” that commemorates creation. Not the first day or just any
day.
So what would happen if people were keeping the Sabbath? Would they be
gracious towards the poor? Did God create them too? Would we take care of the
world that God created? Would we respect marriage between a man and a woman?
Because God made it that way. And He gave us a sign: the Sabbath.
Perlakuan yang
tidak seharusnya dari manusia kepada lingkungan dan kepada orang-orang miskin yang diam di bumi dikarenakan manusia
sudah lupa bahwa bumi dan semua penghuninya adalah milik Allah dan bukan milik
kita. Dan sekarang dengarkan, apa
yang telah menyebabkan kita menjadi sedemikian pikun. Jawabannya adalah manusia telah
menyingkirkan peringatan mingguan Allah tentang Siapa pemilik semua ciptaan:
Sabat hari ketujuh. Hukum yang
keempat yang diucapkan Allah di tengah suara guntur dan kilat di atas Bukit
Sinai dan ditulis oleh jari Allah sendiri, menyatakan: “8 Ingatlah dan kuduskanlah hari
Sabat: 9 enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala
pekerjaanmu, 10 tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN,
Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki,
atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau
hewanmu atau orang asing yang di tempat kediamanmu…” lalu kita diberitahu alasannya mengapa kita harus
bekerja enam hari dan berhenti bekerja pada hari yang ketujuh, “…11 Sebab
enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan
Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya TUHAN memberkati hari Sabat dan
menguduskannya.”
Singkatnya, Allah telah
menciptakan lingkungan hidup di bumi ini, Allah menciptakan semua penghuninya:
manusia dan binatang, dan Allah menciptakan unit keluarga, bukan? Dalam waktu
enam hari harafiah. Lalu meninggalkan sebuah tanda yang kekal kepada kita
tentang kuasa menciptaNya dengan berhenti pada hari yang ketujuh.
Keluaran 20:11 mengulangi
Kejadian 2:2-3, tidak menyuruh kita untuk berhenti satu hari dalam tujuh hari,
atau setiap tujuh hari. Kata “tujuh” dalam bahasa Ibrani didahului oleh kata
sandang tentu, “hari yang ketujuh itu” yang
memperingati penciptaan bumi. Bukan hari yang pertama atau sembarang hari apa
saja.
Maka apa yang terjadi jika
manusia memelihara hari Sabat? Apakah mereka akan bermurah hati kepada
orang-orang miskin? Apakah Allah juga
menciptakan orang-orang miskin ini? Apakah kita akan memelihara bumi yang
diciptakan Allah? Akankah kita menghormati perkawinan antara seorang laki-laki
dan seorang wanita? Karena Allah yang menciptakannya demikian. Dan Allah
memberikan tandanya kepada kita: hari Sabat itu.
Now, why should we care for our earthly home? Because God made it in six
days and it is His.
Why should the sanctity of marriage and the family be safeguarded?
Because God created them on the sixth day.
Why should we care for the less fortunate by taking them in and sharing
our goods with them? Because we all descend from the original pair and all have
one blood, we are all members of the same family by creation and therefore we
must care for one another. The Sabbath reminds us of all of these
things.
Nah, mengapa kita harus
memelihara bumi tempat tinggal kita? Karena Allah yang menciptakannya dalam
enam hari dan bumi ini adalah milikNya.
Mengapa kita harus menguduskan
pernikahan dan mengamankan keluarga? Karena Allah menciptakan mereka pada hari
yang keenam.
Mengapa kita harus perduli
pada mereka yang kurang beruntung dengan membantu mereka dan membagikan
barang-barang kita kepada mereka? Karena kita semuanya berasal dari pasangan
yang mula-mula, dan semua memiliki satu
darah, dan kita semua adalah anggota keluarga yang sama melalui penciptaan.
Oleh karena itu kita harus saling memperdulikan.
Hari Sabat
mengingatkan semua ini kepada kita.
And here’s another important question
~ by the way what time am I supposed to end? In three hours? Oh, three
minutes. Are those minutes literal or prophetic? Hehehehe.
Let’s go quickly. And here’s another important question: What was the
link for each day of creation? Now we
are getting to some very important points. The book of Genesis indisputably affirms
that each day consists of 24 hours just as we experience them today.
And there is no evidence whatsoever that the weekly cycle has ever been broken.
The biblical testimony clearly reveals that our earthly home and its
inhabitants did not come into existence over millions or billions of years, for
we are told that God spoke and it was done, He commanded and it stood fast. And
that everyday had an evening and a morning which would
be absurd if the day lasted for long periods of time. After working six literal
days God looked upon what He had made and it was very good. God then rested on
the literal seventh day and made it holy, setting it apart as a perpetual
memorial of creation. In this way the seventh day Sabbath stands or falls on
the literalness of the days of creation. If the days of creation were vast
periods of time the Sabbath institution evaporates in a mist.
Dan ini ada lagi pertanyaan
lain yang penting ~ nah, pukul berapa saya harus mengakhiri ini? Tiga jam lagi? Oh, tiga menit. Apakah itu menit harafiah atau
menit nubuat? Heheheh. Mari kita segera lanjutkan.
Dan ini ada lagi pertanyaan
lain yang penting: Apakah yang mengaitkan setiap hari penciptaan? Sekarang kita
tiba pada beberapa poin yang amat penting. Kitab Kejadian memberikan ketegasan yang tak terbantahkan
bahwa setiap hari terdiri atas 24 jam, sama seperti
yang kita alami sekarang. Dan tidak ada bukti sama sekali bahwa siklus mingguan
ini pernah terputus. Kesaksian secara alkitabiah dengan jelas mengungkapkan
bahwa bumi tempat tinggal kita dan penghuninya tidak muncul dalam berjuta
bilyun tahun, karena kita diberitahu bahwa
Allah bersabda dan itu terjadi, Allah memerintahkan dan itu hadir. Dan setiap hari
memiliki satu kali malam dan satu
kali pagi yang tentunya tidak masuk akal seandainya hari itu
berlangsung selama waktu yang sangat panjang. Setelah bekerja enam hari
harafiah, Allah memandang apa yang telah dibuatNya dan itu sangat baik. Allah
lalu berhenti pada hari ketujuh yang harafiah, dan menguduskannya, memisahkan
hari itu sebagai peringatan yang kekal akan penciptaan. Dengan cara ini Sabat
hari ketujuh tegak atau jatuh tergantung keharafiahan penghitungan hari-hari
penciptaan. Jika hari-hari penciptaan adalah waktu yang panjang, maka lembaga
Sabat menguap seperti kabut.
See, we say the Devil is going to get rid of the Sabbath by persecuting
those who keep it, he has a much more efficient way: the theory of evolution
which most people embrace these days. The fourth commandment makes absolutely
no sense if the days of creation lasted millions or billions of years. How could God
ask man to work six days and rest on the seventh as He did at creation if the
days are not literal just as we know them today? Clearly the seventh day
Sabbath is rooted in a literal creation and it’s a
part of God’s original plan for the human race before sin and death. It was neither Jewish
nor temporary.
Lihat, kita mengatakan bahwa Iblis akan menyingkirkan Sabat dengan
menganiaya mereka yang memeliharanya. Tetapi Iblis punya cara yang lebih
efisien: yaitu teori
evolusi yang diterima oleh kebanyakan orang sekarang. Hukum yang keempat
menjadi sama sekali tidak masuk akal jika hari-hari penciptaan itu berlangsung selama
berjuta atau bermilyar tahun. Bagaimana Allah bisa menyuruh manusia bekerja enam hari dan berhenti pada
hari ketujuh seperti apa yang dilakukanNya saat penciptaan jika hari-harinya
tidaklah harafiah sebagaimana yang kita alami sekarang? Jelas Sabat hari
ketujuh berakar pada penciptaan yang harafiah, dan itu
adalah bagian dari rancangan asli Allah bagi umat manusia sebelum ada dosa
dan kematian. Ini bukan Yudaisme maupun bersifat
sementara.
The bottom line:
God created the environment and we should care for it.
God created the family unit of husband and wife and children, and we
should care for it.
God created all human beings, we are all of one blood, and we should care
for one another.
And the sign that reminds us of all of these is the seventh day Sabbath.
Jadi intinya:
Allah menciptakan lingkungan
hidup dan kita harus memeliharanya.
Allah menciptakan unit
keluarga dari satu suami dan satu istri serta anak-anak, dan kita harus
memeliharanya.
Allah menciptakan semua
manusia, kita berasal dari satu darah, dan kita harus saling memperdulikan.
Dan tanda yang mengingatkan
kita kepada semua ini adalah Sabat hari ketujuh.
Now, I am going to need a little bit more than the 3 minutes, so bear
with me. It’s good that I am the president, hehehe, so I make a presidential
decree, hehehe. Let’s go quickly here.
But the seventh day Sabbath has another dimension. The book of Genesis
describes a literal fall of literal Adam and literal Eve in a literal and
perfect garden of Eden. The fall infected the entire human race, and made it
necessary for Jesus the Creator to become flesh in order to restore the perfect
creation that had been lost. Thus, a literal creation, a literal fall, and a
literal redemption are indissolubly linked. If you get
the fall wrong, you get redemption wrong. Because redemption is redemption from
the fall.
Sekarang saya perlu lebih
banyak waktu daripada tiga menit tadi, jadi bersabarlah. Bagus sayalah
presidennya di sini, hehehe,
jadi saya membuat sebuah dekrit presiden, hehehe. Mari kita lanjutkan
cepat-cepat.
Tetapi Sabat hari ketujuh
memiliki dimensi yang lain. Kitab Kejadian menggambarkan suatu kejatuhan yang
harafiah dari seorang Adam dan Hawa yang harafiah di dalam sebuah
taman Eden yang harafiah
yang sempurna. Kejatuhan itu
mempengaruhi seluruh umat manusia, dan mengharuskan Yesus Sang Pencipta datang
ke dunia sebagai manusia dengan tujuan memulihkan penciptaan yang sempurna yang
telah hilang. Dengan demikian, suatu penciptaan yang harafiah, kejatuhan yang harafiah, dan
penebusan yang harafiah, terkait satu sama lain tidak bisa dipisah-pisahkan. Jika kita salah memahami kejatuhan itu, kita akan
salah memahami penebusannya, karena penebusan itu adalah penebusan atas
kejatuhan tersebut.
It was on the evening portion of Friday, which we call Thursday evening,
the sixth day ~ notice this ~ that Jesus when
He was about to finish His work of redemption, prayed to His Father, “I
have finished the work that You gave Me to do…”
What day did Jesus finish the work of redemption? The sixth day.
What day did He finish the work of creation? The sixth.
Later in the afternoon, the same day, Jesus cried out in the cross, “It
is finished.” Thus the provision for redemption was finished on the sixth
day, just as He finished His creative work on the sixth day.
After crying out “It is finished”
Jesus was removed from the cross, placed in Joseph’s tomb and then His body rested
on the Sabbath, as a sign of the completion of His work of redemption. And while Jesus rested in the tomb on the Sabbath His followers rested
outside, the Sabbath day according to the commandment.
Thus the seventh day Sabbath that was originally a sign of
creation, now took on an added dimension and became a sign of redemption. According to the apostle Paul, redemption is a new creation.
Pada bagian petang hari Jumat
(menurut perhitungan Alkitab) yang sekarang
kita sebut Kamis malam
(orang Jawa menyebutnya “malam Jumat”), hari yang
keenam ~ perhatikan ~ Yesus, ketika Dia
akan mengakhiri pekerjaan penebusanNya, berdoa kepada Allah Bapa, “…Aku telah menyelesaikan pekerjaan yang Engkau berikan kepada-Ku untuk
Ku-lakukan.” [Yoh.
17:4]
Pada hari apa Yesus
menyelesaikan pekerjaan penebusanNya? Hari keenam.
Pada hari apa Yesus
menyelesaikan pekerjaan penciptaanNya? Hari keenam.
Sore itu pada hari yang sama,
Yesus berseru di atas salib, “Sudah
selesai!” dengan demikian persyaratan untuk
penebusan telah selesai pada hari keenam, persis sama seperti saat Dia menyelesaikan
pekerjaan penciptaanNya pada hari keenam.
Setelah berseru “Sudah selesai!” Yesus
dilepaskan dari salib, ditempatkan di dalam kubur Yusuf kemudian tubuhNya
beristirahat pada hari Sabat, sebagai tanda selesainya pekerjaan penebusanNya. Dan sementara Yesus beristirahat di dalam kubur
pada hari Sabat, pengikut-pengikutNya beristirahat di luar, memelihara hari
Sabat sesuai perintah Allah.
Maka, Sabat hari ketujuh
yang aslinya adalah suatu tanda penciptaan, sekarang memiliki dimensi tambahan dan menjadi tanda
penebusan. Menurut rasul Paulus, penebusan adalah
penciptaan baru.
Caring for the needy
Pope Francis has underlined that Sunday, the first day of the week,
should be the day on which to give the less fortunate a rest. In contrast, Jesus chose the
seventh day Sabbath to especially elevate the suffering of the less fortunate, the weak, the poor, the maimed, the
demon-possessed, and the hungry. Why did Jesus choose the seventh day Sabbath
as the special day to help the needy? Because Pope Francis says, Sunday should
be the special day to give the poor a rest and the outcast of society a rest.
Why did Jesus choose the seventh day Sabbath? Was He breaking the Sabbath? No.
The fact is that Jesus recognizes that all creatures were made in His
image and therefore the strong should help the weak. Thus the Sabbath was a
sign of solidarity between the have’s and the have-not’s. Helping the less fortunate, on the seventh day Sabbath was not an
innovation by Jesus. Already in the Old Testament ~ listen carefully ~ God had
indicated that the Sabbath was the day to give rest to servants, strangers, and
even the beasts of burden.
So when is the day you are supposed to give rest to the poor? On Sunday?
And to the environment? On Sunday? No! The prophet Isaiah describes the Sabbath as
the day to lose the bonds of wickedness, to undo the heavy burdens, to let the
oppressed go free, and to break every yoke. It was the day to share your bread
with the hungry, bring into your house the poor and outcast, to cover the
naked, and to not hide ourselves from our own flesh. Thus what
Jesus did on the seventh day Sabbath, was perfectly in line with the Old
Testament. The day which is a sign of helping the poor
and the outcast, is Sabbath, not Sunday.
Memperdulikan yang membutuhkan
Paus Francis telah
menggarisbawahi bahwa hari Minggu, hari pertama dalam satu minggu, harus
menjadi hari untuk memberikan istirahat bagi mereka yang kurang beruntung.
Bertolak belakang dengan itu, Yesus memilih Sabat hari ketujuh untuk secara khusus meringankan
penderitaan mereka yang kurang beruntung,
yang lemah, yang miskin, yang lumpuh, yang dirasuki setan, dan yang lapar.
Mengapa Yesus memilih Sabat hari ketujuh sebagai hari istimewa untuk menolong
yang memerlukan? ~ Karena Paus Francis berkata bahwa hari Minggu yang harus
menjadi hari istimewa untuk memberi istirahat kepada yang miskin dan yang
tersingkir dari masyarakat ~ mengapa Yesus memilih Sabat hari ketujuh? Apakah
Yesus melanggar hari Sabat? Tidak. Faktanya ialah Yesus mengenali bahwa semua makhluk diciptakan dalam
bentuk dan rupaNya, dan karena itu yang kuat harus menolong yang lemah. Dengan
demikian Sabat adalah tanda solidaritas antara yang mampu dengan yang tidak
mampu. Membantu yang kurang
beruntung pada hari Sabat bukanlah inovasi Yesus. Di kitab Perjanjian Lama ~
dengarkan baik-baik ~ Allah telah mengindikasikan bahwa Sabat adalah hari untuk
memberi istirahat kepada para pelayan, orang asing, bahkan hewan-hewan yang
membantu pekerjaan manusia.
Jadi kapan seharusnya kita
memberi istirahat kepada yang miskin? Pada hari Minggu? Dan istirahat bagi
lingkungan hidup? Pada hari Minggu? BUKAN. Nabi Yesaya menggambarkan hari Sabat sebagai
hari untuk melepaskan ikatan kejahatan, untuk membebaskan beban yang berat,
untuk memerdekakan yang tertindas, dan untuk mematahkan setiap kuk. Itulah hari
untuk membagikan makanan kita kepada yang lapar, membawa yang miskin dan
tersingkir ke dalam rumah kita, menyelimuti yang telanjang, dan tidak
menyembunyikan diri kita dari keluarga kita sendiri.
[Yesaya 58:6-7] Jadi apa yang dilakukan Yesus
pada Sabat hari ketujuh itu sesuai dengan Perjanjian Lama. Hari yang menjadi
tanda untuk menolong yang miskin dan yang tersingkir adalah hari Sabat, bukan
hari Minggu.
The Bible View of the End
We’ll do page 10, and we’ll finish at the bottom of page 11. We’ll pick
up the rest in our study tomorrow.
The Bible does not present an
evolutionary scenario of the beginning or of the end. It does not teach that
through a process of macro evolution the world will get better and better and finally reach the omega point of the
grand design. Neither does it teach that the world will come to an end
because of climate change that is caused by a systemic abuse of the eco system.
The Bible’s end time scenario of this planet is pessimistic rather than
optimistic. Would you agree?
The very end of human history, just before the coming of Jesus the planet
will wax old and unravel at the seams.
I have several text that you need to look up:
· Isaiah 24:1-6.
· The world will be as it was in the days of Noah, where every intent of
the heart of man is only evil continually (Gen. 6:5).
· It will be like Sodom where the men of the cities wished to have
homosexual relations with the angels (Gen. 19:5 and Luk. 17:28-30).
· Men’s hearts will fail them for fear as they see the calamities that are
falling upon the earth (Luk. 21:26).
· There will be wars and rumors of wars as nation rises against nations and
kingdoms against kingdoms. There will be famines, pestilences, earthquakes and
tumults (Mat. 24:6-8, Luk. 21:9)
· Humans will have the form of godliness, but they will be lovers of
themselves. Have you ever noticed that the apostle Paul begins the list by
saying that men will be lovers of themselves and then gives a long list, a
catalogue of sins? The world will reach the degenerate condition that is
described in Romans 1:18-22, read that, that’s depressing.
All these things will occur not because of climate change
but because of the iniquity of humanity.
Pandangan Alkitab
tentang Akhir Masa
Kita akan membahas hal.10, dan
kita akan mengakhiri di bagian bawah hal. 11. Kita akan melanjutkan sisanya dalam
pelajaran besok.
Alkitab tidak mempersembahkan
skenario evolusi baik tentang awal maupun tentang akhir dunia. Alkitab tidak
mengajarkan bahwa melalui suatu proses evolusi makro, dunia akan menjadi lebih
baik dan lebih baik dan akhirnya akan mencapai titik omega rancangan yang
megah. Alkitab juga tidak
mengajarkan bahwa dunia akan berakhir karena perubahan iklim yang disebabkan
oleh penyalahgunaan sistemik ekosistem.
Skenario akhir zaman planet
ini menurut Alkitab lebih bernada
pesismistis daripada optimistis. Setujukah kalian?
Bagian terakhir sejarah
manusia, tepat menjelang kedatangan Yesus, planet ini akan menjadi tua dan berantakan.
Ada beberapa ayat yang perlu
kalian pelajari:
·
Yesaya
24:1-6
·
Dunia akan
mirip zaman Nuh, di mana setiap keinginan hati manusia semata-mata jahat
(Kejadian 6:5)
·
Akan terjadi
seperti Sodom di mana laki-laki di kota itu ingin melakukan hubungan seksual
dengan malaikat-malaikat (Kejadian 19:5, Lukas 17:28-30)
·
Hati manusia
akan menciut karena takut saat mereka melihat malapetaka yang menimpa bumi
(Lukas 21:26)
·
Akan ada
peperangan dan berita peperangan saat bangsa bangkit melawan bangsa-bangsa dan
kerajaan melawan kerajaan-kerajaan. Akan ada kelaparan, penyakit, gempa bumi
dan goncangan-goncangan (Matius 24:6-8, Lukas 21:9)
·
Manusia-manusia
akan seperti saleh-saleh, tetapi
mereka mengasihi diri sendiri (egois). Apakah kalian sadar rasul Paulus memulai
daftarnya dengan mengatakan manusia akan mengasihi diri sendiri kemudian dia
memberikan suatu daftar yang panjang, suatu katalog dosa? Dunia akan mencapai
suatu kondisi yang begitu merosotnya seperti yang digambarkan di Roma 1:18-22,
bacalah itu, itu membuat sedih.
Semua ini akan
terjadi BUKAN karena perubahan iklim tetapi karena dosa manusia.
We have been told by the writings of Ellen White that “Satan works through the elements”, and can cause “fierce
tornadoes, and terrific hail storms, tempests, floods, cyclones, tidal waves
and earthquakes” , are we seeing more of those? And that
these “visitations
are to become more and more frequent and disastrous.” (Great Controversy pg. 589-590).
The family unit will disintegrate, according to Jesus, and parents will
hate children, and children, parents.
The poor will be oppressed by their capitalist overlords, and will cry
out to God for justice. Have you ever read James 5:1-8 and Revelation 18?
“Satan’s
agenda in these ever increasing calamities will be to finally blame the global
melt down on God’s faithful people.” In fact Ellen White explains that “the final steps in the process of the Devil’s end game will be to
persuade men that those who serve God are causing these evils.” Quotation from Great Controversy pg.
589-590.
Kita telah diberitahu oleh
tulisan-tulisan Ellen White bahwa “Setan bekerja melalui cuaca”, dan bisa menyebabkan “angin
puting beliung yang ganas, badai es batu yang hebat, taufan, banjir, siklon,
gelombang tinggi dan gempa bumi”, apakah kita
semakin banyak melihat hal-hal ini? Dan bahwa “peristiwa-peristiwa
ini akan semakin lama semakin sering dan semakin menghancurkan.” (Great Controversy
hal. 589-590).
Unit keluarga akan
disintegrasi, menurut Yesus, dan orangtua akan membenci anak-anak mereka, dan
anak-anak, orangtua mereka.
Yang miskin akan ditindas oleh
tuan-tuan kapitalis mereka, dan mereka akan berseru kepada Allah minta
keadilan. Pernahkan kalian membaca Yakobus 5:1-8 dan Wahyu 18?
“Agenda Setan dalam bencana yang terus meningkat ini pada akhirnya adalah
untuk menyalahkan malapetaka global ini pada umat Allah yang setia.” Bahkan Ellen White menjelaskan bahwa “langkah
terakhir dalam proses permainan pemungkas Iblis adalah meyakinkan manusia bahwa
mereka yang melayani Allah itulah yang menyebabkan segala kejahatan ini.” Kutipan dari Great
Controversy hal. 589-590
As things get progressively worse, and a time of trouble such as never
has been ensues, (Mat. 24:21-22), the rebellious and disobedient world will
be led by the religious and political leaders to believe that by enforcing
Sunday observance and by rooting out those who keep the Sabbath prosperity will
return to the earth, and there will be an era of
peace and harmony. But instead the Sunday Law will bring about a global
apostasy, that will finally end up in ruin upon creation rather than heal it. The
blame that Ahab cast on Elijah for the ecological upheaval in Israel is a
microcosm of what would occur on a global scale at the end.
With regards to US, Ellen White has warned “The people
of the US have been a favored people, but when they restrict religious liberty,
surrender Protestantism and give countenance to popery, the measure of their
guilt will be full, and national apostasy will be registered in the books of
heaven. The result of this apostasy will be national ruin.” (Review and Herald, May 2, 1893)
Saat kondisi menjadi semakin
jelek dan suatu masa kesesakan seperti yang belum pernah ada, terjadi (Matius
24:21-22), dunia yang memberontak dan tidak patuh
kepada Tuhan akan dipimpin oleh pemimpin-pemimpin politik yang agamis untuk meyakini
bahwa dengan memberlakukan pemeliharaan hari Minggu dan dengan melenyapkan
mereka yang memelihara Sabat, kemakmuran akan kembali ke dunia, dan akan ada
suatu era yang damai dan harmonis. Tetapi sebaliknya Undang-Undang Hari Minggu akan
mengakibatkan kemurtadan global, yang
akhirnya bukan menyembuhkan ciptaan, malah akan berakhir dengan kehancuran ciptaan. Kesalahan yang ditimpakan Ahab
kepada Elia atas pergolakan ekologis di Israel adalah mikrokosmis dari apa yang
akan terjadi dalam skala global pada akhir masa.
Sehubungan dengan Amerika
Serikat, Ellen White telah memberikan peringatan, “Bangsa
Amerika pernah menjadi umat yang diistimewakan, tetapi ketika mereka membatasi
kebebasan beragama, meninggalkan
Protestantisme dan mengalihkan pandangan kepada Kepausan, tingkat kesalahan mereka akan mencapai
titik jenuh, dan kemurtadan nasional akan tercantum dalam kitab-kitab di Surga.
Akibatnya, kemurtadan
ini akan menjadi kehancuran nasional. (Review and Herald, 2 Mei 1893)
I am being reminded of what happened in the days of Christ. The Jewish
leaders thought that by killing Jesus they would save the nation, but by
killing Jesus they doomed their nation. Ellen White says that argument will be
used again.
Saya teringat apa yang terjadi
di zaman Kristus. Para pemuka Yahudi menyangka dengan membunuh Yesus mereka akan menyelamatkan bangsanya. Tetapi dengan membunuh
Yesus mereka justru membuat bangsanya kena hukuman. Ellen White berkata bahwa
argumentasi itu nanti akan dipakai lagi.
The Papacy’s call for nations to address climate change, the
disintegration of the family, and world poverty including the problem of
immigration, is merely dealing with the symptom. Ellen White explains that the
primary cause of global climate change and natural disasters is not things such
as fossil fuel and cutting down forests, but rather the wickedness of man in
trampling on God’s Law.
Seruan Kepausan kepada
bangsa-bangsa untuk menangani perubahan iklim, kehancuran keluarga, dan
kemiskinan di dunia termasuk masalah imigrasi, itu hanya berkaitan dengan
gejalanya. Ellen White menjelaskan bahwa penyebab utama perubahan iklim global
dan bencana alam bukanlah dikarenakan pemakaian fosil sebagai bahan bakar dan
penebangan hutan, melainkan lebih karena kejahatan manusia menginjak-injak
Hukum Allah.
Vol. 6 of
the Testimonies pg. 408, Ellen White ~ she was aware of
people trying to explain things naturally ~ this is what she said, “The restraining Spirit of God is even now
being withdrawn from the world…” what would she write today? “…Hurricanes,
storms, tempests, fire and flood, disasters by sea and land, follow each other
in quick succession. …” now notice this, “…Science seeks to explain all these…” what does science do? It tries to explain all these.
What explanation does it give? Climate change! But now notice what she says, “…The signs thickening around us, telling of the near approach of the Son
of God are attributed to any other than the true cause. Men cannot discern the
sentinel angels restraining the four that they shall not blow until the
servants of God are sealed. But when God shall bid His angels, loose the winds,
there will be such a scene of strife as no pen can picture.”
When the Holy Spirit is withdrawn, folks, the Devil will
have full control of the impenitent. You think the world is bad
today? We don’t have any idea what this is going to be like if God’s protecting
hand is not with His people. Everybody would cease to exist.
Testimonies Vol. 6 hal.
408, Ellen White ~ dia menyadari manusia berusaha menjelaskan semua secara
alami ~ inilah yang dikatakannya, “Roh Allah
yang masih mengendalikan, saat ini sedang ditarik dari dunia…” entah
apa yang akan ditulisnya hari ini? “…angin
taufan, angin ribut, badai, api dan banjir, malapetaka di laut dan di darat,
saling menyusul secara cepat…” sekarang perhatikan ini, “…Sains berusaha menjelaskan semua ini…” apa yang dilakukan sains? Sains berusaha
menjelaskan semua ini. Penjelasan apa yang diberikan sains? Perubahan iklim!
Tetapi sekarang perhatikan apa kata Ellen White, “Tanda-tanda di sekitar kita semakin merapat, yang menyatakan bahwa
dekatnya kedatangan Anak Allah tidak disebabkan oleh apa pun yang lain kecuali
penyebab yang sebenarnya. Manusia tidak
dapat melihat malaikat-malaikat penjaga yang menahan ke empat malaikat agar
mereka tidak meniup sebelum hamba-hamba Allah dimeteraikan. Tetapi ketika Allah
akan menyuruh malaikat-malaikatNya untuk melepaskan angin-angin itu, akan
terjadi suatu adegan konflik yang tidak bisa digambarkan oleh pena.”
Ketika Roh Kudus ditarik, Saudara-saudara, Iblis
akan memiliki kontrol penuh atas orang-orang yang tidak bertobat.
Apakah kalian menganggap dunia sekarang ini parah? Kita tidak punya bayangan
bagaimana nantinya jika tangan Allah yang melindungi tidak lagi bersama
umatNya. Semua orang akan binasa.
But now notice, let’s end with this good item of news.
But the Bible story of the end does not ultimately conclude on a
pessimistic note. It teaches that history as we presently know it, will end
with a literal, glorious, personal, rapid, second coming of Jesus to take His
faithful children to heaven for a thousand years, during which the earth will
return to the condition that it was in before creation week, without form, and
void, and in darkness. After the Millennium God will then recreate the earth in
six literal days.
You say, “Where do you get that from?”
I’ll come back to that in a moment.
And rest the seventh literal day as He did at the beginning. And then
God’s people will live securely and peacefully in a perfect sinless world
forever where Jesus will reign forever and ever. As a weekly commemoration of
God’s creative power, His people will come to God’s throne on a weekly seventh
day Sabbath to worship Him.
" ‘For as the new heavens and the new earth Which I will
make shall remain before Me,’ says the LORD, ‘So shall your descendants and your name
remain. 23 And it shall come
to pass that from one New Moon
to another…” by the way that means from one month
to another. And we are going every month to eat from the tree of life because
the tree of life produces its fruit every month. So it says, “…from one new moon to another, and
from one Sabbath to another, all flesh shall come to worship before Me,’ says
the LORD.” (Isaiah 66:22-23)
Tetapi sekarang perhatikan,
marilah kita akhiri dengan kabar baik ini. Kisah di Alkitab tentang akhir zaman
pada akhirnya tidak diakhiri dengan nada yang pesimis. Kisah Alkitab
mengajarkan bahwa sejarah seperti yang kita kenal, akan berakhir dengan kedatangan Kristus yang kedua secara
harafiah, penuh kemuliaan, pribadi, dan cepat, untuk membawa umatNya yang setia
ke Surga selama 1000 tahun, selama waktu itu bumi akan kembali ke kondisinya
semula sebelum minggu penciptaan, tanpa bentuk, kosong, dan dalam kegelapan. Setelah millenium, Allah akan menciptakan ulang bumi ini dalam waktu enam
hari harafiah. ~ Kalian berkata,
“Dari mana Anda mendapat itu?” Nanti saya akan kembali ke sana. ~ Dan berhenti
pada hari ketujuh yang harafiah sebagaimana Allah berhenti pada awal mulanya.
Kemudian umat Allah akan hidup tenteram dan damai dalam dunia yang sempurna
tanpa dosa untuk selama-lamanya, di mana Yesus akan memerintah untuk
selama-lamanya.
Dan sebagai peringatan kuasa
penciptaan Allah, umatNya akan datang ke takhta Allah pada Sabat hari ketujuh
setiap minggu untuk menyembah Dia.
“22 ‘Sebab sama seperti langit yang baru dan bumi yang baru yang akan
Kujadikan itu, tinggal tetap di hadapan-Ku,’ demikianlah firman TUHAN,
‘demikianlah keturunanmu dan namamu akan tinggal tetap. 23 Dan
yang akan terjadi, dari satu bulan baru ke bulan baru
yang lain…” nah, ini artinya dari satu bulan ke
bulan yang lain. Dan kita akan datang setiap bulan untuk makan dari pohon
kehidupan karena pohon kehidupan menghasilkan buahnya setiap bulan. Jadi
dikatakan, “…dari satu bulan baru ke bulan baru yang lain, dari
satu sabat ke sabat yang lain, maka semua daging akan datang untuk sujud
menyembah di hadapan-Ku,’ firman TUHAN.” [Yesaya 66:22-23]
Thanks for the great posting Sist. GOD bless us..
ReplyDelete