Saturday, December 3, 2016

EMERGING SPIRITUALITY 08 ~ STEPHEN BOHR

EMERGING SPIRITUALITY_08__
Stephen Bohr  ~  Summit 2015
PAPISTS, PROTESTANTS AND WORLDINGS PART 1


Dibuka dengan doa.

What I am going to be presenting this morning is in harmony with the title: PAPISTS, PROTESTANTS AND WORLDLINGS. However because the topic is so extensive, I decided to do Part II of this material tomorrow morning in the last presentation. What I was going to do tomorrow has been covered very well by the different speakers, so I don’t want to duplicate material that has already been presented. And this material is so long that we are not going to be able to cover it in just one session. So basically what we are going to do is study half of this material this morning and then tomorrow we are going to complete our study.

Apa yang akan saya presentasikan pagi ini sesuai dengan judulnya, yaitu PARA PENGIKUT KEPAUSAN, PEMELUK PROTESTAN DAN ORANG-ORANG SEKULER. Namun begitu, karena topiknya begitu luas, saya memutuskan untuk membahas bagian kedua dari bahan ini besok pagi dalam presentasi yang terakhir. Apa yang tadinya akan saya bagikan besok sudah disampaikan dengan sangat baik oleh pembicara-pembicara yang lain, jadi saya tidak mau mengulangi bahan yang telah disampaikan. Bahan ini begitu panjang kita tidak akan bisa meliput seluruhnya hanya dalam satu kali pembahasan. Jadi pada dasarnya kita akan mempelajari separo bahan ini pagi ini lalu besok kita akan menyelesaikan pembahasan kita.


So let’s go in our Bibles first of all to Revelation 16 ~ this is not in your notes, it’s by way of introduction ~ Revelation 16:13 ~ it’s good to hear the pages of the Bibles turning. We are people of the Book. Amen? 
It says there, 13 And I saw three unclean spirits like frogs…”  what are these unclean spirits? What are unclean spirits in the Bible? They are demons. But what are demons? They are fallen angels. Very well, that’s what I was looking for: fallen angels. So, does the Devil have three fallen angels, that present a message at the end of time? Yes, does God have three genuine angels, loyal angels? Yea. So these are the counterfeit. So it says,   “…And I saw three unclean spirits like frogs come out of the mouth…”  let me ask you what is it that comes out of your mouth? Words. So what is happening here is that these three unclean spirits are proclaiming a what? They are proclaiming a message. Do the three angels of Revelation 14 proclaim a message? Yes. So it says    “…And I saw three unclean spirits like frogs come out of the mouth of the dragon, and out of the mouth of the beast, and out of the mouth of the false prophet.”

Jadi marilah kita ke Alkitab kita, pertama ke Wahyu 16 ~ ini tidak ada dalam makalah kalian, ini merupakan pengantarnya. Wahyu 16:13 ~ saya suka mendengar suara kertas Alkitab dibalik, kita adalah manusia-manusia Alkitab, amin?
Dikatakan di sana, Dan aku melihat tiga roh najis yang menyerupai katak…”  roh najis ini apa? Di Alkitab roh najis itu apa? Mereka adalah iblis, tetapi iblis itu apa? Mereka adalah malaikat-malaikat yang berdosa. Bagus, itulah yang saya tunggu: malaikat-malaikat yang berdosa. Jadi apakah Iblis punya tiga malaikat yang berdosa yang menyampaikan pekabaran pada akhir zaman? Ya. Apakah Tuhan punya tiga malaikat sejati yang setia? Ya. Jadi yang ini adalah yang palsu. Maka dikatakan, “…Dan aku melihat tiga roh najis yang menyerupai katak keluar dari mulut…”  Coba saya tanya, apa yang keluar dari mulut? Kata-kata. Jadi apa yang terjadi di sini adalah, ketiga roh najis ini memproklamasikan suatu apa? Mereka memproklamasikan suatu pekabaran. Apakah tiga malaikat di Wahyu 14 memproklamasikan suatu pekabaran? Ya. Jadi dikatakan, “…Dan aku melihat tiga roh najis yang menyerupai katak keluar dari mulut naga dan dari mulut binatang dan dari mulut nabi palsu.”


Now the question is, who is the Beast, who is the dragon and who is the false prophet?  We don’t have to guess because earlier in the book of Revelation these three powers are identified.
·       In Revelation 12 we are introduced to the dragon, the dragon that tried to kill the male Child. Now we know that the dragon represents primarily Satan, but really it represents Satan working through the secular powers of the world, working through the governments of the world in other words. And so what we have is the dragon representing yes the Devil, but the Devil working through the secular powers or the governments of the world.
·       And then it says that these three unclean spirits also come out of the mouth of the Beast. Now the Beast has been introduced already in Revelation 13:1-10. Of course we know the Beast represents the Papacy. Ellen White refers to this division as the Papists.
·       And then we have a third power here, it says out of the mouth of the false prophet. The false prophet has already been identified also in Revelation 13. It’s the second beast of Revelation 13 that rises from the earth and it will even make fire come down from heaven in the sight of men. And we know what the false prophet represents, what this land beast that has two horns like a lamb represents. It represents apostate Protestantism, particularly in what country? Particularly in the USA.

Sekarang pertanyaannya: Siapa Binatang itu, siapa naga itu, dan siapa nabi palsu itu? Kita tidak usah menebak karena sebelumnya di kitab Wahyu ketiga kuasa ini sudah diidentifikasi.
·       Di Wahyu 12 kita diperkenalkan kepada si naga. Naga yang berusaha membunuh Anak laki-laki itu. Nah, kita tahu bahwa naga itu pertama mewakili Setan, tetapi sebenarnya dia mewakili Setan yang bekerja melalui kekuasaan sekuler dunia, dengan kata lain, yang bekerja melalui pemerintahan dunia. Maka naga ini betul mewakili Iblis, tetapi Iblis yang bekerja melalui kekuasaan pemerintah-pemerintah dunia.
·       Lalu dikatakan, bahwa ketiga roh najis ini juga keluar dari mulut Binatang. Nah, Binatang itu sudah diperkenalkan di Wahyu 13:1-10. Tentu kita sudah tahu Binatang itu melambangkan Kepausan. Ellen White menyebut bagian ini “para pengikut Kepausan”
·       Kemudian kekuasaan yang ketiga di sini, dikatakan keluar dari mulut si nabi palsu. Nabi palsu itu sudah diidentifikasi juga di Wahyu 13, dialah binatang kedua di Wahyu 13 yang muncul dari bumi, dan dia bahkan akan menurunkan api dari langit di depan pemandangan manusia. Dan kita tahu nabi palsu ini melambangkan apa, binatang darat yang memiliki dua tanduk seperti anak domba itu? Dia mewakili Protestan murtad. Khususnya di negara mana?  Khususnya di Amerika Serikat.


And so basically you have the secular powers of the world, the Papacy and apostate Protestantism as represented in the US joining forces together for a specific purpose.
What is that purpose? Notice verse 14, “For they are spirits of devils working miracles, which go forth unto the kings of the earth and of the whole world, to gather them to the battle of that great day of God Almighty.”
The purpose of these three evil spirits, these three fallen angels so to speak, is to gather the whole world to battle against God. And so this is what I call the “Triumvirate” that is a Roman word, it refers to three Roman rulers in ancient times who ruled together.

Jadi pada dasarnya, ada kekuasaan sekuler dunia, Kepausan, dan Protestantisme murtad, yang digambarkan bersatu di Amerika Serikat untuk satu tujuan khusus. Tujuan apa itu? Perhatikan ayat 14,  “Itulah roh-roh setan yang mengadakan tanda-tanda ajaib, dan mereka pergi mendapatkan raja-raja di bumi dan seluruh dunia untuk mengumpulkan mereka guna peperangan pada hari besar, yaitu hari Allah Yang Mahakuasa.”
Tujuan ketiga roh najis ini, katakanlah, ketiga malaikat yang berdosa ini, ialah untuk mengumpulkan seluruh dunia berperang melawan Allah. Maka saya menyebutnya “Triumvirate”, ini adalah perkataan Roma, yang mengacu kepada tiga penguasa Roma di zaman purba yang memerintah bersama-sama.


Now I would like us to go to the material in the light of looking at Revelation 16:13-14. I want us to go to the material and we are going to speak about this threefold union that is going to war against the government of God at the end of time. And we are just basically going to follow through like we have done previously we have followed through in this material.

Sekarang saya ingin kita membahas bahan ini dengan melihat Wahyu 16:13-14. Saya ingin kita membahas bahan ini dan kita akan berbicara tentang persekutuan tiga unsur ini yang  akan berperang melawan pemerintahan Allah pada akhir zaman. Dan pada dasarnya kita akan menuntaskan bahannya seperti yang telah kita lakukan, kita telah menuntaskan bahannya.


In 1990 a Roman Catholic Jesuit priest Malachi Martin published a very important book, the name of that book was The Keys of this Blood ~ John Paul II versus Russia and the West for control of the New World Order. Now how many powers do we have there in the title? Three. Interesting.
Now Martin’s book which is a real eye-opener, it’s a large book, describes the tooth and nail struggle for world dominion between the Papacy; Communism which more broadly we will refer to as Secularism, which includes the secular powers of the world; and Western capitalism. On page 18 of his book The Keys of this Blood, Malachi Martin who died in ~ I’ve never been able to find out how he died but it’s somewhat mysterious how he died, we need to remember he was a Jesuit, maybe he divulged a little bit too much ~ but this is what he stated  “There is one great similarity shared by all three of these globalist competitors. Each one has in mind a particular grand design for one world governance…”  So whenever you find the expression “a grand design” which is used many times in Malachi Martin’s book, basically “the grand design” is One World Governess. So all three of them are fighting for one world governess. And then he goes on saying,   “…Their geopolitical competition is about which of the three will form, dominate, and run the world system that will replace the decaying nation system.”
So Malachi Martin saw a struggle among three powers for world dominion:
·       western capitalism whose main representative is the US,
·       communism or secularism,
·       and the papacy.

Tahun 1990, seorang imam Jesuit Roma Katolik, Malachi Martin, mempublikasikan sebuah buku yang sangat penting, judulnya The Keys of This Blood ~ John Paul II versus Rusia and the West for control of the New World Order. (Kunci Darah Ini ~ Yohanes Paulus II versus Rusia dan dunia Barat untuk menguasai Sistem Dunia Baru). Nah ada berapa kuasa di judul buku ini? Tiga. Menarik.
Nah, buku Martin ini benar-benar membuka wawasan. Ini adalah sebuah buku yang besar, yang menggambarkan perjuangan mati-matian untuk mendapatkan dominasi atas dunia antara Kepausan; Komunisme yang secara lebih luas kita sebut Sekularisme di mana termasuk kekuasaan sekuler dunia; dan kapitalisme Barat. Di hal.18 bukunya ini, The Keys of This Blood, Malachi Martin yang meninggalnya ~ saya tidak pernah berhasil mencari tahu bagaimana dia mati, tetapi kematiannya rada misterius. Kita harus ingat dia seorang Jesuit, dan barangkali dia telah mengungkapkan terlalu banyak ~ tetapi inilah yang dikatakannya, “Ada satu persamaan besar di antara ketiga pesaing global ini. Masing-masing memiliki suatu rancangan agung untuk membawa dunia di bawah satu pemerintahan…”  Jadi bilamana kita mendapati istilah “rancangan agung” yang sering dipakai dalam buku Malachi Martin, pada dasarnya “rancangan agung” itu adalah Dunia Di Bawah Satu Pemerintahan. Jadi, ketiga-tiganya bersaing untuk membawa dunia di bawah satu pemerintahan. Kemudian dia melanjutkan, “Persaingan geo-politis mereka  adalah siapa yang akan membentuk, mendominasi, dan menjalankan sistem dunia yang akan menggantikan sistem negara yang sedang sekarat.”
Jadi Malachi Martin melihat adanya persaingan antara tiga kekuasaan untuk mendominasi dunia:
·       kapitalisme Barat yang wakil utamanya adalah Amerika Serikat,
·       komunisme atau sekularisme,
·       dan Kepausan.


Now, Martin also in that book, ominously predicted something that should concern us. And I read now from page 16 of his book. “No holds barred, because once the competition has been decided, the world and all that’s in it ~ our way of life as individuals and as citizens of the nations, our families and our jobs, our trade and commerce and money, our educational systems and our religions and our cultures, even the badges of our national identity, which most of us have always taken for granted ~ all will have been powerfully and radically altered forever. No one can be exempted from its effects. No sector of our lives will remain untouched… Nobody who is acquainted with the plans of these three rivals has any doubt but that only one of them can win.”
This book was written in 1990. How many years ago is that? 25 years ago.

Nah, dalam buku itu Martin juga meramalkan sesuatu yang mengerikan, yang harus kita pikirkan. Dan sekarang saya membacakan dari hal. 16 bukunya. “Tidak ada pembatasan apa pun, karena begitu persaingan itu sudah diputuskan, seluruh dunia beserta isinya ~ kehidupan kita sebagai individu dan sebagai warga-warga negara, keluarga kita, dan pekerjaan kita, perniagaan dan perdagangan kita, sistem pendidikan kita, dan agama serta kebudayaan kita, bahkan ciri identitas kebangsaan kita, yang sering disepelekan oleh kebanyakan dari kita ~ semua itu akan berubah secara paksa dan radikal untuk selamanya. Tidak ada yang akan luput dari akibatnya. Tak ada satu sektor pun dalam hidup kita yang tidak tersentuh… Tak seorang pun yang mengetahui rencana ketiga pesaing ini akan meragukan bahwa hanya satu dari mereka yang bakal menang.”
Buku ini ditulis di tahun 1990. Berapa lamanya itu? 25 tahun yang lalu.


Interestingly enough, Ellen White predicted something very similar. In Great Controversy pg. 588-589, she wrote, “Papists…” which is the Beast from the sea, “…Protestants…”  that’s the two horned beast, the US, “…and worldlings…”  those are the secular, the unchurched, including the secular powers, the governing powers of the world. Notice this,  “…will alike accept the form of godliness without the power, and they will see in this union a grand movement for…”  what? “…for the conversion of the world…”  that’s what the Roman Catholic Papacy call “evangelization”    “…and the ushering in of the long-expected millennium…”  And this is what is called “the Omega point of the grand design” according to Roman Catholic theology. 

Yang cukup menarik, Ellen White juga meramalkan sesuatu yang sangat mirip. Di Great Controversy hal. 588-589, Ellen White menulis, “…Pengikut-pengikut Kepausan,…” yaitu Binatang yang dari laut, “…Protestan,…” itu adalah binatang bertanduk dua, Amerika Serikat, “…dan orang-orang duniawi…” ini adalah golongan sekuler, yang tidak bergereja, termasuk kekuasaan sekuler, pemerintah-pemerintah dunia. Perhatikan ini, “…akan sama-sama menerima bentuk kesalehan tanpa kuasanya, dan mereka akan memandang persekutuan ini sebagai suatu gerakan akbar untuk…” apa? “…untuk membuat dunia bertobat…” inilah yang disebut oleh Kepausan Roma Katolik “evangelisasi”, “…yang akan mengantarkan masuknya millennium (masa 1000 tahun) yang sudah lama diharap-harapkan…” Dan inilah yang disebut “titik Omeganya rancangan agung” menurut theologi Roma Katolik.


So Ellen White also spoke about Triumvirate at the end of time: papists, protestants and worldlings or secular. You know Ellen White uses the word “wordlings” over 500 times in her writings. I examined every single reference. Basically she is speaking about individuals who are unchurched, people who live a worldly life, people who are centered on their money and on their jobs. She uses it to refer to the governments of the world, the secular powers of the world, etc. In other words it deals with those who are not particularly religious in their lives.
So the triumvirate is:
·       the papists,
·       the protestants
·       and those who are of a secular mentality.

Jadi Ellen White juga berbicara tentang Triumvirate pada akhir zaman: orang-orang Kepausan, Protestan, dan orang-orang duniawi. Kalian tahu, Ellen White memakai kata “orang-orang duniawi” lebih dari 500 kali dalam tulisan-tulisannya. Saya telah memeriksa setiap referensi. Pada dasarnya Ellen White berbicara mengenai orang-orang yang tidak bergereja, orang-orang yang menjalani kehidupan duniawi, orang-orang yang memusatkan perhatian pada harta dan pekerjaan mereka. Ellen White memakai istilah itu untuk mengacu pada pemerintahan di dunia, kuasa sekuler di dunia, dll. Dengan kata lain kata tersebut mengacu kepada mereka yang tidak benar-benar rohani dalam hidup mereka.
Jadi triumvirate adalah:
·       orang-orang Kepausan,
·       orang-orang Protestan
·       dan mereka yang memiliki mentalitas sekuler.


Now let’s continue unto the subtitle “social conservatism”, I did a lot of research for this document that we are going over now, because I think that what’s happening in this world, you know most people are totally obliviously to what’s really happening under the surface.
For over 40 years Roman Catholics and conservative Protestants have worked together on common social issues. This alliance that included organizations such as the Moral Majority ~ ever heard of them? ~ and the Christian Coalition, condemn as those who have lived in the US the last couple of decades, they condemn abortion, euthanasia, same sex marriage, government prohibitions of religious displays on public property, and the Supreme Court banning of prayer in pubic schools. This common struggle for so-called traditional morality brought conservative Protestants and Catholics ever closer together in a common cause.  The love affair was exhibited recently when several influential Protestant leaders were invited by the Pope to the Vatican, among which were Kenneth Copeland ~ these are not small individuals, these are television personalities, these are mega pastors, they have mega global ministries ~ Kenneth Copeland, Tony Palmer, James Robertson, Rick Warren, and Joel Osteen. The Pope who is considered to be by many the foremost moral voice in the world, wowed these Protestant leaders, to such an extent that Rick Warren later explained, “We are on the same team.”

Sekarang, mari kita lanjutkan ke subtitelnya, “konservatisme sosial”. Saya telah melakukan banyak riset untuk dokumen yang kita bahas sekarang, karena menurut saya itulah yang sedang terjadi di dunia sekarang ini. Kalian tahu, banyak orang yang sama sekali tidak menyadari apa yang sedang terjadi di bawah permukaannya.
Selama 40 tahun lebih Roma Katolik dan Protestan konservatif telah bekerja sama dalam isu-isu sosial yang menyangkut kepentingan bersama. Dalam persekutuan itu juga termasuk organisasi-organisasi seperti the Moral Majority ~ pernahkah kalian mendengar tentang mereka ini? ~ dan the Christian Coalition, yang mengutuk, sebagaimana orang-orang yang hidup di Amerika Serikat selama dua dekade yang terakhir, mereka ini juga mengutuk aborsi, euthanasia, perkawinan sesama jenis, larangan pemerintah untuk memajang apa-apa yang berbau agama di tempat-tempat publik, dan larangan Mahkamah Agung terhadap doa di sekolah-sekolah umum. Perjuangan bersama untuk mencapai apa yang disebut moralitas tradisional ini, telah membuat Protestan dan Katolik menjadi lebih dekat dalam tujuan yang sama. Keintiman itu akhir-akhir ini didemonstrasikan saat beberapa pemimpin Protestan yang berpengaruh diundang oleh Paus ke Vatikan, di antaranya terdapat Kenneth Copeland ~  ini bukan sembarang orang, mereka ini tokoh-tokoh televisi, pendeta-pendeta gereja-gereja akbar, mereka memiliki pelayanan gerejani global berukuran mega ~ Kenneth Copeland, Tony Palmer, James Robertson, Rick Warren dan Joel Osteen. Paus yang oleh banyak orang dianggap sebagai suara yang paling moralis di dunia, membuat para pemimpin Protestan tersebut sedemikian kagumnya, sehingga Rick Warren kemudian menjelaskan, “Kami berada dalam satu tim yang sama.”
    

Now with conservative Protestantism continually gravitating toward the Papacy, the Vatican needed to focus on the third group in the triumvirate: the secular worldlings. You see, during the decades that Catholics and conservative Protestants were struggling for traditional morality, their cause resonated strongly with social conservatives but not as you know with mainline Protestant churches ~ those are the churches for example that support gay marriage and gay clergy ~ it did not resonate with the scientific community, with liberal politicians, with liberal media, and with the secular minded populous. The conservative causes did not ring true with these groups. But in just the last 10 years, American society has changed drastically. The social issues that once galvanized conservative Protestants and Catholics, are no longer in the fore front. Just consider, folks, how gay marriage has triumphed in the US with just a whimper from social conservatives. Even Pope Francis I has had little to say about gay marriage, abortion, and other social issues,  choosing to say rather  “Who am I to judge?” in his recent White House visit, and his visit to the US Congress, and the United Nations, the Pope was virtually silent on the traditional social issues. Is that true? There is a carefully ~ and we are going to study this ~ there is a carefully laid out Jesuit style strategy behind the change of papal talking points. You see, he needs the worldlings, the secular powers in his pocket. Having conservative Protestants increasingly in his camp, and with traditional moral issues on the back burner, Francis had to find themes that could win over the worldlings ~ that is the secular minded ~ while not alienating Protestants who sympathize with him. He needed to spearhead causes that would resonate with those of a secular mentality with natural scientists, world politicians and especially with the United Nations. After all, Ellen White did predict that the worldlings would be the third link in the final union against the government of heaven. Jesuit Pope Francis I found three central themes ~ this is vitally important ~ that could captivate those of a secular mentality without alienating conservative Protestants:
·       climate change,
·       family,
·  and world poverty, that have lead among other things to massive emigration and immigration as we know.
No one can fault, I would say, the pope for stressing the importance of these three talking points. However, what is deeply troubling is the pope’s motivation for bringing them to the fore this time. You see, they are good causes, but sometimes good causes with the wrong motivation can be dangerous.

Sekarang, dengan semakin condongnya Protestantisme konservatif ke arah Kepausan, Vatikan perlu memusatkan perhatiannya pada grup ketiga dalam triumvirate itu: yaitu kelompok sekuler duniawi. Kalian lihat, selama puluhan tahun Katolik dan Protestan konservatif telah bergumul dengan moralitas tradisional, isu-isu yang mereka perjuangkan  cocok sekali dengan  golongan konservatif sosial (yaitu anti aborsi, anti homoseksualitas, pro nilai-nilai kekristenan), tetapi sebagaimana yang kalian tahu, itu tidak cocok dengan gereja-gereja Protestan mainline ~ ini adalah gereja-gereja yang misalnya mendukung perkawinan gay dan rohaniawan gay ~  yang mereka perjuangkan itu juga tidak cocok dengan komunitas ilmuwan, dengan politikus liberal, dengan media liberal, dan dengan golongan sekuler yang besar jumlahnya. Isu-isu yang diperjuangkan golongan konservatif tidak sejalan dengan kelompok-kelompok ini. Tetapi dalam waktu hanya 10 tahun yang terakhir, masyarakat Amerika telah berubah secara drastis. Isu-isu sosial yang pernah merekatkan Protestan konservatif dengan Katolik, tidak lagi berada di bagian depan.
Pikirkan saja, Saudara-saudara, bagaimana perkawinan gay telah berjaya di Amerika Serikat dengan hanya timbul protes kecil dari kelompok konservatif sosial. Bahkan Paus Francis I tidak bicara banyak tentang perkawinan gay, aborsi, dan isu-isu sosial lainnya, sebaliknya dia memilih berkata, “Siapakah saya mau menghakimi?”  Dalam kunjungannya yang terbaru ke Gedung Putih, dan kunjungannya ke Kongres Amerika Serikat dan PBB, Paus sama sekali bungkam mengenai isu-isu sosial yang tradisional. Benarkah itu? Di sini ada suatu strategi yang cermat ~ dan ini akan kita pelajari ~ ada penyusunan suatu strategi cermat gaya Jesuit di balik berubahnya poin-poin pembicaraan Kepausan. Kalian lihat, Paus memerlukan orang-orang duniawi, kekuasaan sekuler, berada di kubunya. Dengan semakin banyaknya Protestan konservatif di kubunya, dan dengan isu-isu moral tradisional yang dikesampingkan, Francis harus mencari tema-tema yang bisa memenangkan simpati orang-orang duniawi ~ yaitu mereka yang bermental sekuler ~ sementara tidak menyinggung Protestan yang bersimpati padanya. Dia harus melontarkan poin-poin aksi yang akan serasi dengan mentalitas sekuler, dengan ilmuwan-ilmuwan alam, dengan politikus dunia, dan terutama dengan PBB. Bukankah Ellen White telah meramalkan bahwa orang-orang duniawi akan merupakan rantai ketiga dalam persekutuan yang terakhir melawan pemerintahan Surgawi? Paus Jesuit Francis I menemukan tiga tema inti ~ ini amat penting ~ yang bisa menangkap mereka dari mentalitas sekuler tanpa menyinggung Protestan konservatif, yaitu:
·       perubahan iklim,
·       keluarga
·  dan kemiskinan dunia, yang di antaranya telah mengakibatkan emigrasi dan imigrasi besar-besaran, sebagaimana yang kita ketahui.
Pada hemat saya, tidak ada yang akan menyalahkan Paus menekankan pentingnya ketiga poin pembicaraannya itu. Namun, apa yang sangat mengganggu adalah motivasi Paus mengetengahkan poin-poin itu ke depan pada saat ini.  Kalian lihat, poin-poin ini adalah poin-poin yang baik, tetapi terkadang poin-poin yang baik dengan motivasi yang salah, bisa berbahaya.


Climate change

Let’s take up first the pope’s climate change campaign. In his recent encyclical Laudato si' ~   and by the way I’ve read the entire encyclical. You know you get these little snip its in newspapers and even in Adventist newsletter  that come across the internet, I said, 

“I am not going to take anything that anybody’s saying that might take something out of context”, so I read the whole encyclical. A lot of good stuff in it, but also you know, if you have a 100.000 portion of water and you have 1 of cyanide, it’s still going to kill you, isn’t it?

Pope Francis has claimed that global climate change ~ formerly called global warming ~ is due to human abuse of the environment particularly the market-driven and consumer-minded capitalist countries. He has claimed that if this problem is not urgently addressed, it could eventually lead to the extinction of the human race. Therefore he has called upon world leaders to make climate change a top priority, by signing and enforcing international environmental protection treatise with penalties for those who do not comply.

The environmental message has hit a cord with powerful politicians ~ those are the ones that he is trying to reach because the Papacy needs to recover the power of the sword. It needs to recover the support of the secular power of the world.

 

Perubahan iklim

Mari kita lihat dulu kampanye Paus tentang perubahan iklim. Dalam surat ensikliknya yang terbaru, Laudato si, ~ dan ketahuilah saya telah membaca seluruh surat ensiklik tersebut.  Kalian tahu, di surat-surat kabar dan bahkan di bulletin Advent pun yang muncul di internet  hanya dimuat cuplikan-cuplikan kecil. Jadi saya berkata, “Saya tidak akan mengambil dari apa yang dikatakan orang yang mungkin hanya mengutip sebagian kecil di luar konteksnya”, jadi saya membaca seluruh surat ensiklik tersebut. Di dalamnya ada banyak bahan yang bagus, tetapi kalian tahu kan, jika ada 100.000 bagian air dan di dalamnya 1 bagian mengandung sianida, itu tetap akan membunuh kita, bukan?

Paus Francis telah mengklaim bahwa perubahan iklim global ~ yang dulu disebut global warming (pemanasan global) ~ itu dikarenakan manusia telah menyalah-gunakan lingkungan, terutama di negara-negara kapitalis yang mentalnya terfokus pada pengembangan pasar dan konsumerisme. Dia mengklaim bahwa jika masalah ini tidak segera ditangani, pada akhirnya ini akan menyebabkan punahnya umat manusia. Itulah sebabnya dia berseru kepada para pemimpin dunia agar menjadikan isu perubahan iklim ini prioritas tertinggi, dengan menandatangani suatu persetujuan perlindungan lingkungan internasional,  dan memberlakukannya dengan mengenakan sanksi bagi yang melanggar.

Pesan lingkungan ini mengena tepat sasaran pada politikus-politikus yang berpengaruh ~ itulah orang-orang yang memang mau dicapai oleh Paus karena Kepausan harus memperoleh kembali kuasa pedang. Kepausan harus memperoleh kembali dukungan kuasa sekuler dunia.

 

 

Governor Jerry Brown, California, who was trained in Jesuit schools and presides over the sixth largest economy on the planet ~ yes, that’s true, California ~ was recently invited to the Vatican, to participate in a summit on climate change, and couldn’t help but offer accolades to Francis for his moral leadership on this issue.  By the way, I have documentations for everything that I have in this material, I have the statements that were made.

 

Gubernur Jerry Brown, California, yang dididik di sekolah-sekolah Jesuit dan mengepalai perekonomian terbesar ke-6 di planet ini ~ ya, betul, California ~ baru-baru ini diundang ke Vatikan untuk mengikuti KTT tentang perubahan iklim, merasa harus menyampaikan pujian kepada Francis atas kepemimpinannya yang menyadarkan orang lain tentang isu ini. Nah, saya memiliki semua dokumentasi untuk segala yang saya sodorkan dalam bahan ini, saya memiliki pernyataan-pernyataan yang dibuat. 

 

 

And then there’s  Mayor Bill De Blasio, mayor of New York City, the financial capital of the world. At the same meeting he couldn’t help but gushed about Francis as ~ now I quote ~ “the strongest moral voice in the world who is calling political leaders to action.”


Lalu Mayor Bill De Blasio, walikota New York city, ibukota finansial seluruh dunia. Dalam pertemuan yang sama, merasa harus memuji-muji Francis sebagai ~ dan sekarang saya mengutipnya, ~ “suara moral yang paling kuat di dunia, yang memanggil pemimpin-pemimpin politik untuk mengambil tindakan.”

 

 

Even many influential Protestants leaders have described Pope Francis with the same glowing terms. Times were when Protestants in the US believed that the Bible was the greatest moral authority in the world, but times have changed.

 

Bahkan banyak pemimpin Protestan yang berpengaruh menggambarkan Paus Francis dengan istilah-istilah yang penuh pujian. Ada masanya ketika Protestan Amerika meyakini Alkitab-lah autoritas moral terbesar di dunia, tetapi masa telah berubah.

 

 

It is interesting to note the words that Pope Francis used in his recent encyclical on climate change. This terminology has been used by all popes in the last 6 decades and it goes all the way back to the writings of St. Thomas Aquinas. Francis claimed that ~ and I quote ~ “International climate negotiations, cannot make significant progress due to positions taken by countries which place their national interests above the global common good.” You’ll notice that I have highlighted “national interests” and “global common good”. Francis says the issue of climate change has not been addressed because of nations that they want their own thing, they don’t want the global common good. Did you notice the expression “national interests” and “global common good”?

 

Menarik menyimaki kata-kata yang dipakai Paus Francis dalam ensikliknya yang terbaru tentang perubahan iklim. Terminologi ini telah dipakai oleh semua paus selama 6 dekade terakhir dan semuanya berasal dari tulisan St. Thomas Aquinas. Francis mengklaim bahwa ~ dan saya kutip: “Negosiasi iklim internasional tidak bisa mencapai kemajuan yang berarti karena posisi yang diambil negara-negara yang menempatkan kepentingan nasional mereka di atas kebaikan bersama yang global.

Kalian lihat bahwa saya telah menggarisbawahi “kepentingan nasional” dan “kebaikan bersama yang global.” Francis berkata, isu mengenai perubahan iklim belum ditangani karena negara-negara yang menginginkan kepentingan mereka sendiri, mereka tidak mementingkan kebaikan bersama yang global. Apakah kalian melihat ungkapan “kepentingan nasional” dan “kebaikan bersama yang  global”?

 

 

Ban Ki Moon the Secretary General of the United Nations echoed the Pope’s words in a recent news report. The report explained that Ban Ki Moon called on governments to place the global common good  ~ I am quoting now ~ “the global common good  above national interests…”   do you see the identical terminology?  “…and to adopt an ambitious universal climate agreement at the UN Climate Summit in Paris this coming December.”.

 

Ban Ki Moon, Sekretaris Jenderal PBB, menirukan kata-kata Paus dalam suatu laporan berita baru-baru ini. Laporan itu menjelaskan bahwa Ban Ki Moon menyerukan kepada pemerintahan-pemerintahan untuk menempatkan kebaikan bersama yang global ~ dan sekarang saya mengutipnya ~ “kebaikan bersama yang global di atas kepentingan nasional…” apakah kalian melihat terminologi yang sama? “…dan menerima persetujuan universal yang ambisius tentang iklim di UN Climate Summit (KTT PBB Iklim) di Paris Desember mendatang ini….”

 

 

And no less a heavyweight than Barrack Obama, president of the world premier superpower, echoed  the pope’s words as well. And now I quote what President Obama said. “I welcome His Holiness, Pope Francis’ encyclical and deeply admire the Pope’s  decision to make the case ~ clearly, powerfully and with the full moral authority of his position ~ for action on global climate change… We must also protect the world’s poor…” that’s the other talking point: climate change, the world’s poor,  “…who have done the least to contribute to this looming crisis, and stand to lose the most if we fail to avert it. I look forward…” this is before the pope’s visit, “…I look forward to discussing these issues with Pope Francis when he visits the White House in September. And as we prepare for global climate negotiations in Paris this December, it is my hope that all world leaders ~ and all of God’s children ~ will reflect on Pope Francis’ call to come together to care for our common home.”

He is saying, we want the whole world to listen to who? To Pope Francis! Interesting. To address climate change. Good cause but an agenda behind this cause.

 

Dan tidak kurang berpengaruhnya ialah Barrack Obama, presiden dari sebuah negara adikuasa yang terutama di dunia, yang menirukan kata-kata Paus juga. Dan sekarang saya mengutip apa kata Presiden Obama, “Saya menyambut ensiklik Yang Mulia Paus Francis, dan sangat mengagumi keputusan Paus untuk membawa kasus itu ~ dengan jelas, berbobot dan berdasarkan seluruh autoritas moral jabatannya ~ untuk mengambil tindakan terhadap perubahan iklim global … Kita juga harus melindungi orang-orang miskin di dunia…” itu adalah poin pembicaraan yang lain: perubahan iklim, orang-orang miskin dunia, “…yang memberikan kontribusi terkecil pada krisis yang mengancam ini, dan yang akan paling dirugikan jika kita gagal menghindarinya. Saya menantikan…” ini adalah sebelum kunjungan Paus, “…Saya menantikan saatnya bisa membahas isu-isu ini bersama Paus Francis saat kunjungannya ke Gedung Putih di bulan September. Dan selagi kita membuat persiapan untuk negosiasi iklim global di Paris bulan Desember nanti, harapan saya adalah semua pemimpin dunia ~ dan semua umat Allah ~ akan mempertimbangkan seruan Paus Francis untuk bersatu memelihara tempat tinggal kita yang sama.”

Obama berkata, kami mau seluruh dunia mendengarkan siapa? Paus Francis! Menarik. Menangani perubahan iklim. Topik perjuangan yang baik, tetapi ada agenda tersembunyi di balik topik yang diangkat ini.

 

 

It is significant that President Obama linked the issue of global climate change with the plight of the poor. As we shall soon see, in this he reflects the very strategy of the Jesuit pope. Of course ~ and by the way this is explicit, the pope has said this ~ one of the pope’s provision of The Save The Planet crusade is making Sunday a day for the environment to rest. Interesting. For families ~ see, there’s family involved ~ to strengthen their ties by attending mass. And to give the poor ~ remember the three talking points? ~ and to give the poor a break from what he perceives as the endless and dehumanizing cycle of capitalist life. The not too subtle insertion of Sunday at the end of the encyclical ~ he explicitly inserts Sunday there ~ appears innocuous at first sight, but as Adventists we know what the ultimate purpose of the Papacy is, in bringing global climate change to the forefront.

 

Yang perlu diperhatikan ialah Presiden Obama mengaitkan isu perubahan iklim global dengan nasib orang-orang miskin. Kita akan segera melihat, bagaimana dia memantulkan strategi yang sama dari Paus Jesuit itu. Tentu saja ~ dan ketahuilah ini eksplisit, Paus telah berkata demikian ~ salah satu poin yang dibuat Paus dalam kampanyenya untuk Menyelamatkan Planet Bumi adalah menjadikan hari Minggu hari perhentian bagi lingkungan hidup. Menarik. Bagi keluarga ~ lihat, keluarga dilibatkan ~ untuk memperkokoh ikatan keluarga dengan menghadiri misa. Dan untuk memberi orang-orang miskin ~ ingat ketiga poin pembicaraannya? ~ dan untuk memberi orang-orang miskin istirahat dari apa yang dianggapnya sebagai suatu lingkaran kehidupan kapitalisme yang tak ada akhirnya dan yang tidak manusiawi.

Dimasukkannya hari Minggu dengan cara yang tidak terlalu cerdik pada akhir ensiklik tersebut ~ Paus secara eksplisit memasukkan hari Minggu di sana ~ pada pandangan pertama tidak terkesan mengancam, tetapi sebagai orang-orang Advent kita tahu apa tujuan akhir Kepausan dengan mengetengahkan masalah perubahan iklim global ke depan.

 

Regarding Sunday, the encyclical states ~ this is from the encyclical towards the end of it ~ “On Sunday, our participation in the Eucharist…” that’s what we call the Lord’s Supper, only in the Roman Catholic church they believe that the priest changes the bread into the real body of Christ, and changes the wine into the real blood of Christ. It’s a magical belief. They say the appearance remains and the taste remains the same, but it’s the real body and the real blood of Christ that people are partaking of. And they say that that nourishes us, it sanctifies us. That’s counterfeit sanctification, by the way, folks. You know, just by partaking of the literal body and blood of Christ is not going to sanctify you. “…On Sunday, our participation in the Eucharist has special importance. Sunday, like the Jewish Sabbath, is meant to be a day that heals our relationships with God, with ourselves, with others and with the world. Rest opens our eyes to the larger picture and gives us renewed sensitivity to the rights of others. And so the day of rest, centered on the Eucharist, sheds its light on the whole week and motivates us to greater concern for nature and the poor.” [Laudato Si pg. 237]

Do you see the same things coming out time and again? Nature, the poor, the family. Sunday is linked to all three.

 

Tentang hari Minggu, ensiklik itu menyatakan ~ ini ada di bagian akhir ensiklik tersebut ~ “Pada hari Minggu, keikutsertaan kita dalam Ekaristi…” itu yang kita sebut Perjamuan Kudus, hanya saja di gereja Roma Katolik mereka meyakini bahwa imam mengubah roti menjadi daging Kristus yang sebenarnya, dan mengubah anggur menjadi darah Kristus yang sebenarnya. Ini namanya keyakinan yang sakti. Mereka mengatakan bentuknya tetap sama, dan rasanya tetap sama, tetapi yang dimakan oleh umat adalah daging dan darah Kristus yang sebenarnya. Dan mereka mengatakan bahwa itu menjadi gizi buat kita, itu menguduskan kita. Ini namanya pengudusan yang palsu, Saudara-saudara. Kalian tahu, hanya dengan makan daging dan darah Kristus yang sebenarnya itu tidak akan menguduskan kita. “…Pada hari Minggu keikutsertaan kita dalam Ekaristi memiliki makna istimewa yang penting, seperti hari Sabat Yahudi, tujuannya menjadi hari yang memulihkan hubungan kita dengan Allah, dengan diri sendiri, dengan orang lain, dan dengan dunia. Perhentian membuka mata kita kepada gambaran yang lebih besar dan memperbarui kepekaan kita terhadap hak-hak orang lain. Maka, hari perhentian, yang dipusatkan pada Ekaristi, memancarkan cahayanya sepanjang minggu, dan memotivasi kita untuk memiliki kepedulian yang lebih besar bagi alam dan bagi orang-orang miskin.” [Laudato Si hal. 237]

Apakah kalian melihat hal-hal yang sama yang muncul berulang-ulang? Alam, orang miskin, keluarga. Dan hari Minggu dikaitkan kepada ketiga-tiganya.

 

 

Now, in April 15, 2015, some two months before the pope released this encyclical, the Pontifical Academy of Sciences and the Pontifical Academy of Social Sciences two entities that join together, had released a statement that is titled “Climate Change and the Common Good ~ A Statement Of The Problem And The Demand For Transformation Solutions.” This eye-opening document presents a doomsday scenario that is intended to scare the planet into doing something about climate change or run the risk of ceasing to exist. Among other things the declaration stated this: “Climate change is a global problem whose solution will depend on our stepping beyond national affiliations and coming together for the common good.” So is climate change going to be used to bring everybody together? Absolutely.  It further stated, “As early as 2100 there will be a non-negligible probability of irreversible and catastrophic climate impacts that may last over thousands of years now, if something isn’t done before 2100, we are going to suffer the results for thousands of years. I guess they are expecting to be in this world thousands of years from now. We’ll come back to that a little bit later,   “…raising the existential question of whether the civilization as we know it, can be extended beyond this century.”

That’s the Vatican speaking.

The document states that the increase in temperature has not been seen in tens of millions of years ~ one clear indication among many, that the papacy has fully embraced the evolutionary theory of origins. That’s significant, as we continue studying along.

 

Nah, tanggal 15 April 2015, sekitar dua bulan sebelum Paus mengeluarkan ensiklik ini, the Pontifical Academy of Sciences (Akademi Sains Kepausan) dan the Pontifical Academy of Social Sciences (Akademi Sains Sosial Kepausan), dua unit yang bergabung menjadi satu, mengeluarkan suatu pernyataan yang berjudul “Climate Change and the Common Good ~ A Statement Of The Problem And The Demand For Transformation Solutions.” ( = “Perubahan Iklim dan Kebaikan Bersama ~ Suatu Pernyataan tentang Masalah dan Tuntutan akan Solusi-solusi untuk Perubahan”). Dokumen yang membuka mata ini mengetengahkan suatu skenario kiamat yang ditujukan untuk menakut-nakuti planet bumi agar berbuat sesuatu mengenai perubahan iklim ini, atau harus memikul resiko bakal musnah. Antara lain yang dinyatakan adalah: “Perubahan iklim adalah masalah global yang solusinya tergantung kesediaan kita melangkah melampaui afiliasi-afiliasi nasional dan bersatu bagi kebaikan bersama.” Jadi apakah perubahan iklim akan dipakai untuk mengumpulkan semua orang menjadi satu? Betul sekali.  Selanjutnya dikatakan, “Sedini tahun 2100 ada kemungkinan yang tidak bisa diabaikan, akan terjadinya suatu bencana iklim yang dampaknya mungkin tidak bisa diperbaiki, yang bisa bertahan hingga ribuan tahun…” jadi, bila sesuatu tidak dilakukan  sebelum tahun 2100, kita akan menderita akibatnya selama ribuan tahun. Kira-kira mereka berharap masih hidup di dunia ini ribuan tahun dari sekarang. Nanti kita akan kembali kemari, “…dan membangkitkan pertanyaan tentang eksistensi, apakah perbadaban seperti yang kita kenal ini sekarang, bisa bertahan melewati abad ini.”

Ini Vatikan yang sedang berbicara. 

Dokumen ini menyatakan bahwa meningkatnya suhu sekarang belum pernah dilihat dalam puluhan juta tahun ~ salah satu indikasi yang jelas dari antara yang lain, bahwa Kepausan sepenuhnya telah menganut teori evolusi tentang asal-mula. Ini penting, bisa kita lihat saat kita melanjutkan pelajaran kita.  

 

 

The Pope’s encyclical which was released June 18, 2015, published about 2 months after the declaration ~ after this declaration that I mentioned ~ suggested that the elimination of carbon gases, car pooling, planting trees, turning off unnecessary lights, restricting the use of air-conditioning ~ of course not in Fresno ~ recycling, and boycotting certain products as well as giving the planet a Sunday rest, will help solve the problem. The Pope also calls for international treaties that would pressure the affluent countries to help poorer ones adapt, including a  move to help them switch from fossil fuels to clean energy such as solar power. Thus he stated in Laudato Si, paragraph 53, that “the establishment of a legal framework some matter of law, international law,   “…the establishment of a legal framework which can set clear boundaries and ensure the protection of ecosystems has become indispensible.”

Like President Obama, the Pope links the issue of global climate change with the need for the rich nations to help the poorer ones. In the Pope’s words, “The people who have done the least to cause this [climate change], suffer the most. That should, if nothing else, give weight to the argument that the [Northern Hemisphere] must shift serious resources to the poor world.”

This is called “spreading the wealth”. We’ll come back to that a little bit later.

 

Ensiklik Paus yang dikeluarkan tanggal 18 Juni 2015, diterbitkan sekitar dua bulan setelah pengumumannya ~ pengumuman yang tadi saya sebutkan ~ menyarankan bahwa dengan melenyapkan gas karbon, pooling kendaraan, menanam pohon, mematikan lampu yang tidak dibutuhkan, membatasi pemakaian AC ~ tentunya tidak di Fresno ~ mendaur ulang, dan memboikot produk-produk tertentu, juga memberikan perhentian pada hari Minggu kepada planet bumi, akan membantu menyelesaikan masalah. Paus juga menyerukan agar mengadakan perjanjian-perjanjian internasional yang menekan negara-negara kaya supaya membantu yang lebih miskin beradaptasi, termasuk gerakan untuk membantu mereka beralih dari memakai bahan bakar fosil ke energi bersih seperti energi matahari. Paus menyatakan di Laudato Si paragraf 53 bahwa “…menegakkan suatu kerangka legal…” untuk beberapa masalah hukum, hukum internasional, “…menegakkan suatu kerangka legal yang bisa menentukan batasan-batasan yang jelas untuk memastikan perlindungan terhadap ekosistem sudah menjadi keharusan yang tidak boleh diabaikan.”

Seperti Presiden Obama, Paus mengaitkan isu perubahan iklim global dengan perlunya bangsa-bangsa yang kaya membantu yang lebih miskin. Dalam kata-kata Paus sendiri, “Orang-orang yang berbuat paling sedikit dalam menyebabkan hal ini [perubahan iklim], adalah yang paling menderita. Itu saja, andai tanpa alasan lain, sudah harus memberi bobot kepada argumentasi bahwa belahan bumi utara harus mengalihkan sumber kekayaan yang nyata kepada dunia yang miskin.”

Ini namanya “menyebarkan kekayaan”. Nanti kita akan kembali ke sini. 

 

 

The Pope visits the White House

On September 23, 2015, in the midst of a pomp, circumstance and fanfare, as it never been seen before in the welcome of any head of state, with flags of the US and the Holy See waving side by side in the wind, President Obama referred to the Pope as the Holy Father, and warmly welcomed him to the White House. After the welcoming ceremony the Pope had a private audience with President Obama in the White House. The talking points were not a secret, Obama had already said what they were going to discuss. President Obama had already notified the press that the two main topics to be discussed will be global climate change and world poverty ~ themes that he passionately shares with the pope. There is no indication that the pope addressed ~ this is important ~ the issues of abortion or gay marriage with President Obama for reasons that are quite obvious. The Pope did not want to wear out his welcome from the start by addressing topics on which he and President Obama might disagree, because he wants to get world leaders into his pocket ~ the world link, the third link in this triumvirate.

 

Paus mengunjungi Gedung Putih

Pada 23 September 2015, di tengah-tengah upacara and pawai yang megah yang belum pernah terlihat sebelumnya dalam penyambutan kunjungan kepala negara mana pun, dengan bendera-bendera Amerika Serikat dan Kepausan berkibar berdampingan ditiup angin, Presiden Obama menyebut Paus sebagai Bapa Suci, dan menyambutnya dengan hangat di Gedung Putih. Setelah upacara penyambutan, Paus menghadiri audiensi tertutup dengan Presiden Obama di Gedung Putih. Poin-poin pembicaraan bukanlah rahasia. Obama sudah mengatakan apa yang akan mereka bicarakan. Presiden Obama sudah memberitahu pers kedua topik utama yang akan dibicarakan adalah perubahan iklim global dan kemiskinan dunia ~ tema-tema Paus yang juga dianut olehnya (oleh Obama) dengan sepenuh hati. Tidak ada indikasi bahwa Paus menyinggung ~ ini sangat penting ~ isu tentang aborsi atau perkawinan gay dengan Presiden Obama, alasannya cukup jelas. Paus tidak mau mempertaruhkan sambutan yang baik dari awal dengan menyinggung topik-topik di mana dia dan Presiden Obama mungkin berbeda pendapat, karena Paus ingin mengantongi para pemimpin dunia di sakunya ~ mata rantai dunia, mata rantai ketiga dalam triumvirate ini.

 

 

Although the Pope was virtually mum on the social issues that have galvanized the papacy  with conservative Protestants, there is persuasive evidence that he still believes in these issues but did not want to alienate the secular minded. In good Jesuit fashion he straddled the fence on the controversial issues, like saying “I was in favor of it before I was against it.” Heheheh. On the one hand the Pope met with and warmly received a long time gay friend (Yayo Grassi) and his partner (Iwan Bagus) ~ I don’t know whether you were aware of that ~ on the other hand after the Pope left the US, it was discovered that he had also met secretly at the Vatican Embassy at Washington DC with Kim Davis, the Pentecostal county clerk from Kentucky who refused to perform a gay marriage and was jailed for 5 days ~ do you remember that? Miss Davis described the encounter and I quote, “I put my hand out and he reached and he grabbed it, and I hugged him and he hugged me… I had tears coming out of my eyes. I am just a nobody, so it was really humbling to think that he would want to meet or know me.”

According to Miss Davis’ attorney, Pope Francis gave her rosaries ~ this is a Pentecostal lady ~ and said to her, “Stay strong.”

 

Walaupun Paus bungkam tentang isu-isu sosial yang telah mempererat hubungan Kepausan dengan Protestan konservatif, ada bukti yang meyakinkan bahwa dia masih berpihak pada isu-isu ini tetapi dia tidak mau menyinggung perasaan golongan yang bermental sekuler. Maka dengan gaya Jesuit yang cantik, dia berduamuka untuk isu-isu yang kontroversial ini, seakan-akan berkata, “Saya setuju dengan itu sebelum saya menentangnya.” Hehehehe. Di satu sisi Paus bertemu dengan dan menyambut hangat seorang teman lama yang gay (Yayo Grassi) bersama pasangannya (Iwan Bagus) ~ entah  kalian tahu hal itu atau tidak ~ di sisi lain setelah Paus meninggalkan Amerika Serikat, diketahui bahwa dia juga bertemu secara rahasia di Kedubes Vatikan di Washington DC dengan Kim Davis, pejabat propinsi Kentucky dari kelompok Pentakosta yang pernah menolak meresmikan perkawinan gay dan dimasukkan penjara selama 5 hari ~ apakah kalian ingat itu? Nona Davis menggambarkan pertemuannya dengan Paus itu, saya kutip, “Saya mengulurkan tangan saya dan Paus meraihnya dan menggenggamnya. Lalu saya memeluknya dan dia memeluk saya… air mata saya keluar. Saya bukan siapa-siapa, jadi saya sangat terharu membayangkan Paus mau bertemu atau berkenalan dengan saya.”

Menurut pengacara Nona Davis, Paus Francis memberinya rosario ~ padahal ibu ini adalah seorang Pentakosta ~ dan berkata kepadanya, “Tetap tabah.”

 

 

Interestingly enough the Pope also met with the Little Sisters of the Poor who had sued President Obama over the federal government contraception mandate in the Affordable Care Act. So in other words he is still against contraception although in public he says he’s not.

Conservative syndicated columnist George Will ~ have you ever heard of George Will? ~ was correct when he explained the reason for the change in the Papacy’s public talking points. This is what George Will said, very perceptive, “As the world spurns his church’s teachings about abortion, contraception, divorce, same sex marriage and other matters, Francis jauntily makes his church congruent with the secular religion of ‘sustainability’.”

What is the target of the Papacy right now? The secular world.

 

Yang cukup menarik, Paus juga bertemu dengan Little Sisters of the Poor (institut milik Roma Katolik yang memperjuangkan kepentingan wanita)  yang pernah menggugat Presiden Obama soal mandat kontrasepsi pemerintah federal di Affordable Care Act (Obamacare = undang-undang di bidang kesehatan yang disahkan tahun 2010). Jadi dengan kata lain Paus itu masih anti kontrasepsi walaupun di depan umum dia berkata bahwa dia tidak.

Kolumnis konservatif yang tulisannya dimuat berbarengan di banyak surat kabar, George Will ~ kalian pernah mendengar tentang George Will? ~ tidak salah ketika dia menjelaskan alasan berubahnya poin-poin Kepausan yang dibicarakan di depan publik. Inilah yang dikatakan George Will, sangat perseptif, “Saat dunia memandang rendah ajaran gerejanya tentang aborsi, kontrasepsi, perceraian, perkawinan sesama jenis dan lain-lain, Francis bergegas membuat gerejanya serasi dengan prinsip golongan sekuler yaitu ‘kemampuan untuk tetap bertahan’ (tanpa merusak sumber daya alam).”

Apa sasaran Kepausan sekarang? Dunia sekuler.

 

 

Joint session of Congress

On September 24, 2015, for the first time in the history of the US, a Roman Catholic Pope addressed a joint session of Congress whose members are sworn to uphold the Constitution and the Bill of Rights. What did the Pope say to Congress? The answer was there for all  to see. You probably saw his speech. As expected he lectured politicians about their duty to serve for the common good, the dangers and woes of unrestrained capitalism, the need to address climate change and to redistribute the world’s goods among all of God’s creatures for the common good. And by the way he mentioned one of the individuals who is highest on the list of individuals that sustain that emerging spirituality: Merton, one of the four individuals that he mentioned. Interestingly enough. He’s an American hero ~ this monk who had this monastery in Kentucky.

By the way, how was this address to Congress not an infringement of separation of church and state? On what constitutional basis can senators and congressmen be encouraged by the Pope to implement the moral teaching of the Roman Catholic Papacy? And if the US follows  the counsels of the Pope and signs an international climate agreement in Paris ~ which is going to take place in December ~ how could this not be an establishment of the religious and moral teachings of the Roman Catholic Papacy, particularly considering that the Pope’s encyclical is loaded with religious language? Is this not an infringement of the separation of church and state, folks? Clearly.

 

Sesi Gabungan Kongres

Pada tanggal 24 September 2015, untuk pertama kalinya dalam sejarah Amerika Serikat, seorang Paus Roma Katolik berpidato di depan sesi gabungan Kongres yang anggota-anggotanya telah disumpah untuk menjunjung Konsitusi dan Amandemennya. (Konstitusi dan Amandemen Amerika Serikat menganut pemisahan hak dan wewenang antara gereja dengan pemerintahan). Apa kata Paus kepada Kongres? Jawabannya bisa dilihat oleh semua. Kalian mungkin tahu pidatonya. Sebagaimana tebakan kita, dia menceramahi para politikus tentang kewajiban mereka untuk melayani kebaikan bersama, tentang bahaya dan celakanya kapitalisme yang tidak terkendali, tentang perlunya menangani  perubahan iklim dan membagi ulang kekayaan dunia di antara semua makhluk Tuhan demi kebaikan bersama. Dan dia juga menyebut salah seorang yang posisinya tertinggi dalam daftar orang-orang yang mendukung faham Emerging Spirituality (Kerohanian Baru): Merton, salah satu dari empat orang yang disebutnya. Yang menarik, Merton adalah seorang pahlawan Amerika ~ biarawan ini memiliki biara di Kentucky.

Nah, mana mungkin ceramah kepada Kongres ini bukan pelanggaran terhadap pemisahan gereja dari negara? Atas dasar konstitusi mana, para senator dan anggota Kongres didorong oleh Paus untuk memberlakukan ajaran moral Kepausan Roma Katolik? Dan jika Amerika Serikat mengikuti nasihat Paus dan menandatangani persetujuan internasional  tentang iklim di Paris, yang akan terjadi di bulan Desember ~ bagaimana ini bukan merupakan penegakan ajaran kerohanian dan moral Kepausan Roma Katolik, terutama mengingat ensiklik Paus sarat dengan bahasa rohani? Apakah ini bukan pelanggaran atas prinsip pemisahan gereja dari negara, Saudara-saudara? Jelas sekali.  

 

 

Address to the UN

Are you catching the “common” threat, the “common thing” time and again, time and again?

On September 24, 2015, the Pope presented an address to the UN General Assembly where the greatest numbers of political leaders in the history of the world were present, among other things that speech encouraged world leaders to establish legislation, global legislation by the way, to address the problem of climate change and world poverty. In fact, in his encyclical, the Pope had already suggested that in order for these problems to be solved, and I quote, “models of production and consumption and established structure of power that today governed societies needed to change profoundly.”

The Pope has also strongly supported the UN document, Transforming Our World ~ the 2030 Agenda for Sustainable Development. You want to read something really scary? Google the 2030 Agenda for Sustainable Development, which the Pope endorsed, which the UN, the nations of the world signed at this UN Assembly recently.

The solutions that are proposed are totally humanistic as if Jesus is never going to come, and it’s such a long, laundry list of problems that the UN expects to solve before the year 2030 through human ingenuity, international treatise and laws. Getting rich nations to give their money to the poor nations, addressing climate change, focusing on the family and so on. Once again at the UN Roman Catholic conservative flagship, subjects such as gay marriage and abortion were summarily passed over, for obvious reasons. No need to alienate those of a secular mentality before they are fully enrolled.

 

Seruan kepada PBB

Apakah kalian menangkap ancaman kata “bersama”, masalah “bersama” yang ditonjolkan berulang-ulang terus-menerus?

Pada 24 Semptember 2015, Paus menyampaikan ceramah kepada Majelis Umum PBB di mana jumlah terbesar pemimpin politik dalam sejarah dunia hadir. Di antara yang dibicarakan ceramah itu mendorong pemimpin-pemimpin dunia untuk membuat legislasi ~ legislasi yang global maksudnya ~ untuk menangani masalah perubahan iklim dan kemiskinan dunia. Bahkan dalam ensikliknya ini Paus sudah mengusulkan supaya masalah-masalah ini bisa diselesaikan, saya kutip, “model produksi dan konsumsi dan struktur kekuasaan yang ada, yang dewasa ini mengatur masyarakat, harus diubah secara mendasar.”

Paus juga sangat mendukung dokumen PBB, Transforming Our World ~ the 2030 Agenda for Sustainable Development (Mentransformasi Dunia Kita ~ Agenda 2030 untuk Perkembangan yang Bisa Dipertahankan). Kalian mau membaca sesuatu yang benar-benar menakutkan? Google Agenda 2030 untuk Perkembangan yang Bisa Dipertahankan ini, yang sudah diendors oleh Paus, yang ditandatangani oleh PBB, oleh bangsa-bangsa di dunia, di Majelis PBB baru-baru ini.

Solusi-solusi yang disarankan benar-benar humanistis seakan-akan Yesus tidak bakal datang. Daftar masalahnya sedemikian panjang yang PBB berharap bisa menyelesaikannya sebelum tahun 2030 melalui hikmat manusia, perjanjian-perjanjian dan hukum-hukum internasional. Menyuruh bangsa-bangsa yang kaya untuk memberikan harta mereka kepada bangsa-bangsa yang miskin, menangani perubahan iklim, fokus kepada keluarga, dll. Sekali lagi di PBB, poin terpenting Roma Katolik yang konservatif seperti perkawinan gay dan aborsi, dilewati secara cepat demi alasan-alasan yang nyata. Tidak perlu menyinggung mereka yang bermentalitas sekuler sebelum mereka sepenuhnya ikut menjadi anggota.

 

 

The Pope in Philadelphia

Now I can speak not by research but by what my eyes have seen. My eyes have seen the glory of the Lord. They’ve also seen the other side of the coin.

On September 25-27, the Pope was in Philadelphia, the cradle of the founding documents of the US. I don’t know if you are aware, but the Declaration of Independence, the Constitution and the Bill of Rights were all ratified in Philadelphia. You’d think the Pope’s visit to Philadelphia was just he said, “Oh, let’s choose some city in the US”? No way. The choice of location was not coincidental. In the very place where these founding documents were ratified there was a platform where stood who? A man whose kingdom stands in direct and radical conflict with every principle of our Constitution. The Papacy’s sordid history clearly reveals that its foundation and source of powers lies on the union of church and state.

When we talk about the Papacy, folks, the Papacy is NOT the Roman Catholic Church. We need to understand that. The Roman Catholic church is different than the Papacy. The Papacy is the hierarchical structure of the  church that joins church and state. That’s what Papacy is.

 

Paus di Filadelfia

Sekarang saya berbicara bukan dari riset tetapi dari apa yang telah dilihat mata saya sendiri. Mata saya telah melihat kemuliaan Tuhan. Mata saya juga telah melihat sisi lain mata uang itu.

Pada September 25-27, Paus berada di Filadelfia, tempat lahirnya dokumen-dokumen pendiri negara Amerika Serikat. Entah kalian menyadarinya atau tidak, tetapi Proklamasi Kemerdekaan, UUD dan Amandemennya semua itu diratifikasi di Filadelfia. Kalian sangka kunjungan Paus ke Filadelfia hanyalah kebetulan, dia berkata, “Oh, mari kita memilih sebuah kota di Amerika Serikat?” Sama sekali bukan. Lokasi yang dipilihnya bukan kebetulan. Di tempat di mana dokumen-dokumen pendiri negara ini diratifikasi, siapa yang berdiri di mimbarnya?  Seorang manusia yang kerajaannya bertentangan secara langsung dan radikal dengan setiap prinsip Konstitusi kita. Sejarah Kepausan yang kotor mengungkapkan secara jelas bahwa fondasinya dan sumber kekuatannya terletak pada kesatuan gereja dengan pemerintah.

Bila kita berbicara tentang Kepausan, Saudara-saudara, Kepausan BUKAN gereja Roma Katolik. Kita harus memahami ini. Gereja Roma Katolik berbeda dengan Kepausan. Kepausan adalah struktur hirarki gereja yang menggabungkan gereja dengan pemerintah/negara. Itulah Kepausan.

 

 

We sometimes think that the deadly wound was given to the Roman Catholic church. NO. The deadly wound was given to the PAPACY. And the deadly wound simply means that what happened was France ~ and then many other nations that follow the example of France ~ took away the sword of civil power from the Papacy. That’s the deadly wound. The Roman Catholic church as church continued functioning after 1798. There was still mass, people still went to church, priests still officiated, the church as a church continued to function but it could no longer use the civil powers of the world to accomplish its purposes. That’s why the Papacy is focusing on the worldlings, on the secular powers of the world.

 

Terkadang kita pikir luka yang mematikan diberikan kepada gereja Roma Katolik. TIDAK. Luka yang mematikan diberikan kepada KEPAUSAN. Dan luka yang mematikan berarti, apa yang terjadi adalah Perancis ~ yang kemudian diikuti oleh banyak bangsa lain ~ mengambil pedang kekuasaan sipil dari Kepausan. Itulah luka yang mematikan. Gereja Roma Katolik saat itu tetap berfungsi sebagai gereja setelah 1798. Masih ada misa, orang-orang masih pergi ke gereja, para imam masih melayani di gereja, gereja sebagai gereja terus berfungsi, tetapi dia tak lagi bisa memakai kekuasaan sipil dunia untuk melaksanakan kemauannya. Itulah mengapa Kepausan sekarang fokus pada orang-orang dunia, pada kekuasaan sekuler dunia.

 

 

Now, let’s continue here. 

It matters not that the Papacy is losing droves of members to the Protestant churches in Latin America. I remember when we first went to Columbia, Columbia was 100% Catholic. Now it is less than 80% Roman Catholic. Catholic churches are losing droves of members in Latin America to Charismatic churches, to the Jehovah’s Witnesses, to SDA, to Pentecostals. That matters not. It doesn’t matter if only a sliver of the population of western Europe regularly attend church. The power of the Papacy resides not so much as in the numbers of its members but rather in the maneuvering of its hierarchy in every country of the globe. Who many failed to understand is that the word “Papacy” does not refer to the Roman Catholic church, as a religious entity. It is rather a code word for a system that unites church and state and whose leader in union with the council of bishops claims to have the divine right to universal jurisdiction in both religious and secular matters. Little does the world realize what the ultimate aspirations of the Papacy really are: global dominion with an iron fist.

 

Sekarang marilah kita lanjutkan.

Tidak jadi soal Kepausan sedang kehilangan banyak sekali anggotanya ke gereja-gereja Protestan di Amerika Latin. Saya ingat ketika kami pertama ke Kolombia, Kolombia itu 100% Katolik. Sekarang kurang dari 80% Roma Katolik. Gereja-gereja Katolik sedang kehilangan banyak anggotanya di Amerika Latin ke gereja-gereja Karismatik, ke Saksi Yehova, ke MAHK, ke gereja-gereja Pentekosta. Itu tidak menjadi masalah. Juga tidak menjadi soal jika hanya sedikit sekali penduduk Eropa Barat yang pergi ke gereja secara rutin. Kekuatan Kepausan tidak terlalu terletak pada jumlah anggota-anggotanya, melainkan pada cara hirarkinya mengatur siasat di setiap negara di muka bumi. Banyak orang tidak paham bahwa perkataan “Kepausan” tidak mengacu kepada gereja Roma Katolik sebagai satu unit agama. Melainkan ini adalah suatu kata sandi bagi suatu sistem yang menggabungkan gereja dengan pemerintah, yang pemimpinnya bersama dewan uskupnya, mengklaim memiliki wewenang ilahi atas yurisdiksi universal baik dalam hal agama maupun hal sekuler. Dunia tidak menyadari apa aspirasi tertinggi Kepausan, yaitu memerintah secara global dengan tangan besi.

 

 

Ellen White warned long ago, “By the decree of enforcing the institution of the Papacy in violation of the Law of God, our nation will disconnect herself fully from righteousness…”  by the way do you know that Dr. Ben Carson has distanced himself from this interpretation. You know, when he was asked about whether the SDA, whether he believed that ~ you know ~ Adventists are going to be persecuted over the Sabbath-Sunday issue, he kind of said, “Well, it all depends on your interpretation on what Ellen White had to say.” And then he went on to speak about persecution in the Middle East, there’s a lot of persecution going on, just kind of side stepping the issue.   “…By the decree of enforcing the institution of the Papacy in violation of the Law of God, our nation will disconnect herself fully from righteousness… [when] our country shall repudiate every principle of its Constitution as a Protestant and Republican government…”  doesn’t have anything to do with the Republican party, with its style of government which is a republic,   “…and shall make provision for the propagation of…”  what? oh this is what’s happening! “…papal falsehoods and delusions, then we may know that the time has come for the marvelous working of Satan and that the end is near.” [Testimonies for the Church Vol. 5 pg. 451]

 

Jauh sebelumnya Ellen White telah memberi peringatan, “Dengan mengeluarkan undang-undang untuk melaksanakan institusi Kepausan dalam menentang Hukum Allah, bangsa kita (= Amerika) akan sepenuhnya memutuskan hubungannya dengan kebenaran…” Tahukah kalian bahwa Dr. Ben Carson (dokter MAHK yang sangat terkenal) telah menarik dirinya dari interpretasi ini? Kalian tahu, ketika dia ditanya apakah MAHK, apakah dia meyakini bahwa MAHK akan dianiaya sehubungan dengan isu hari Sabat-hari Minggu, Dr. Ben Carson mengatakan, “Yah, itu semuanya tergantung pada interpretasi atas apa yang dikatakan Ellen White.” Kemudian dia melanjutkan dan berbicara tentang penganiayaan di Timur Tengah, bahwa ada banyak penganiayaan yang terjadi, yah, dia sepertinya menghindari isu itu.  “Dengan mengeluarkan undang-undang untuk melaksanakan institusi Kepausan dalam menentang Hukum Allah, bangsa kita (= Amerika) akan sepenuhnya memutuskan hubungannya dengan kebenaran…[ketika] negara kita akan menyangkal setiap prinsip pada UUDnya sebagai suatu pemerintahan Protestan dan sebagai Repulik…” tak ada hubungannya dengan partai Republik, ini adalah bentuk pemerintahan Republik, “…dan akan membuat undang-undang untuk menyebarkanluaskan…”  apa? Oh, inilah yang terjadi,  “…kebohongan dan delusi Kepausan, maka kita akan tahu bahwa saat pekerjaan Setan yang luar biasa telah tiba dan bahwa kesudahan sudah dekat.” [Testimonies for the Church Vol. 5 hal. 451]

 

 

It is estimated that some one million people attended an outdoor mass in Philadelphia on Sunday, September 27. As I watched the scene, folks, it reminded me of Daniel 3, where all the great leaders in the midst of much fanfare and music bow before the image that king Nebuchadnezzar had set up.

Revelation 13:3 describes the parallel scene at the end of time when all the world marveled and follow the Beast and worship his image. But praise the Lord there will be a faithful remnant, like there was in the valley of Dura.

 

Diperkirakan sekitar satu juta manusia menghadiri misa terbuka di Filadelfia pada hari Minggu tanggal 27 September. Saat saya melihat adegan itu, Saudara-sauara, itu mengingatkan saya pada Daniel pasal 3, di mana  di tengah riuh rendahnya pawai dan musik, semua pemimpin besar sujud di hadapan patung yang dibangun raja Nebukadnezar.

Wahyu 13:3 menggambarkan adegan yang paralel pada akhir zaman ketika seluruh dunia kagum dan mengikuti Binatang itu dan menyembah patungnya. Tetapi puji Tuhan akan ada sekelompok umat yang sisa, sebagaimana yang juga ada di lembah Dura.

 

 

Now, let’s talk about the planet’s climate change ~ Summit.

You see this is a different summit than ours.

The next step in the climate change and the poverty strategy of the Papacy will be when the Pope attends a meeting of world leaders in Paris in December to discuss global climate change and to make specific recommendations to address the problem. The “Save the Planet” crusade will provide a perfect forum at that time to encourage the world to set aside Sunday as a means of giving the environment and the oppressed poor a rest and to allow families time to gather together for worship. Will it happen in Paris? No one knows. But sooner or later it will happen.

 

Sekarang, marilah kita berbicara tentang KTT soal  perubahan iklim planet.

Kalian lihat, ini adalah KTT yang berbeda dengan KTT kita.

Langkah Kepausan berikutnya tentang perubahan iklim dan strategi kemiskinan adalah ketika Paus menghadiri pertemuan para pemimpin dunia di Paris di bulan Desember untuk membicarakan perubahan iklim global dan akan memberikan rekomendasi-rekomendasi khusus dalam menangani masalah tersebut. Kampanye untuk “Menyelamatkan Planet Bumi” akan menjadi forum yang tepat pada saat itu untuk mendorong dunia memisahkan hari Minggu sebagai sarana memberikan istirahat bagi lingkungan dan orang-orang miskin yang tertindas, mengizinkan mereka berkumpul bersama untuk beribadah. Apakah ini akan terlaksana di Paris? Tidak ada yang tahu. Tetapi cepat atau lambat ini akan terjadi.

 

 

Now, let’s go to the second Papal talking point ~ we’ve dealt with  global climate change ~ now, let’s talk about what he has to say about poverty. This needs us to look more closely at the Pope’s second talking point that has strongly resonated with world leaders. The Pope has continually lectured the capitalist nations of the northern hemisphere to redistribute the wealth of the world evenly in order to abolish poverty for the common good. This idea is socialism pure and simple but not socialism of the atheistic type, but rather  a religio-political socialism under the moral leadership of the Papacy. It is actually a not too subtle war on capitalism and on the middle class, a call for opulent nations to spread the wealth. The end result, as the Cuban and Venezuelan experiment has shown ~  believe me, I know what I am talking about when I am talking about Venezuela. My wife has three sisters that live in Venezuela. I grew up in Venezuela. I know what’s happening there. It’s a disaster ~ So, the end result, as the Cuban and Venezuelan experiment has shown will not be that all nations will have equal riches, but rather that all will share the same poverty with a small elite rich at the top.

 

Nah, marilah ke poin pembicaraan Kepausan yang kedua ~ kita sudah membahas tentang perubahan iklim global, sekarang marilah kita membahas apa yang dikatakan Paus tentang kemiskinan. Untuk ini, kita perlu melihat lebih cermat ke poin pembicaraan Paus yang kedua yang sangat serasi dengan pemimpin-pemimpin dunia. Secara terus-menerus Paus telah menceramahi bangsa-bangsa kapitalis belahan dunia utara agar membagikan kembali kekayaan bumi secara merata guna melenyapkan kemiskinan demi kebaikan bersama. Konsep ini secara sederhana dan murni adalah sosialisme, tetapi bukan sosialisme jenis atheis, melainkan sosialisme religio-politis di bahwa kepemimpinan moral Kepausan. Sebenarnya ini adalah perang yang tidak terlalu disamarkan terhadap kapitalisme dan terhadap golongan menengah, suatu panggilan kepada bangsa-bangsa yang kaya untuk menyebarkan kekayaan. Hasil akhirnya, sebagaimana yang telah dibuktikan oleh eksperimen di Kuba dan di Venezuela ~ percayalah, saya tahu apa yang saya katakan bila saya berbicara tentang Venezuela. Istri saya punya tiga saudara perempuan yang tinggal di sana. Saya sendiri dibesarkan di Venezuela. Saya tahu apa yang terjadi di sana: suatu bencana ~ Jadi hasil akhirnya sebagaimana yang telah dibuktikan oleh eksperimen di Kuba dan di Venezuela, bukan setiap bangsa memiliki kekayaan yang sama, melainkan semua akan menjadi sama-sama miskinnya, dengan beberapa gelintir orang elit kaya di atas.

 

 

This papal strategy of spreading the wealth that began slowly in modern times with Pope Leo XIII’s encyclical  Rerum Novarum ~ I wish I had an hour to talk about Rerum Novarum, that encyclical was significant. Basically it’s a Christianized version of Marxism. Well, this has accelerated to blinding speed in our time especially among liberal politicians. The ideal of a classless society where all share equally in the world’s goods is a great idea, but in a selfish world it’s an unreachable goal. In fact Jesus who said, “The poor you will always have with you” openly contradicted this socialist idea. And Ellen White categorically affirms that “poverty tests the faith of the poor and the stewardship of the rich.”

 

Strategi Kepausan untuk menyebar kekayaan yang diawali secara perlahan-lahan di zaman modern ini dengan ensiklik Paus Leo XIII Rerum Novarum ~ sayang saya tidak punya waktu satu jam untuk berbicara tentang Rerum Novarum, ensiklik itu sangat bermakna. Pada dasarnya itu adalah Marxisme versi Kristen. Nah, ini di zaman kita telah melaju sedemikian cepatnya di antara para politikus liberal. Konsep ideal tentang suatu masyarakat yang tidak terbagi oleh kelas-kelas, di mana semua sama-sama menikmati kekayaan bumi adalah konsep yang bagus, namun dalam dunia yang egois, itu adalah tujuan yang tidak akan pernah tercapai. Bahkan perkataan Yesus bahwa “orang-orang miskin selalu ada padamu” (Mat. 26:11) terang-terangan merupakan kontradiksi terhadap konsep sosialis ini. Dan Ellen White menegaskan dengan gamblang bahwa “kemiskinan menguji iman mereka yang miskin dan menguji penatalayanan mereka yang kaya.”

 

 

And now I quote Ellen White, Counsels on Health pg. 230. “It was not the purpose of God that poverty should ever leave the world. The ranks of society were never to be equalized; for the diversity of conditions which characterizes our race is one of the means by which God has designed to prove and develop character. Many have urged with great enthusiasm that all men should have an equal share in the temporal blessings of God; but this was not the purpose of the Creator… It would be the greatest misfortune that has ever befallen mankind if all were to be placed upon an equality in worldly possessions.”

Powerful statement isn’t it?

 

Dan sekarang saya mengutip Ellen White, Counsels on Health, hal. 230. “Bukanlah tujuan Allah agar kemiskinan lenyap dari dunia. Kelas-kelas dalam masyarakat tidak pernah akan menjadi sederajat, karena kondisi yang berbeda yang menjadi ciri umat manusia adalah salah satu sarana yang dirancang Allah untuk membuktikan dan mengembangkan karakter. Sudah ada banyak orang yang dengan semangat besar mendesak agar semua manusia bisa memiliki bagian yang sama dalam berkat duniawi yang diberikan Allah, tetapi ini bukanlah maksud Sang Khalik… Seandainya semua manusia ditempatkan pada tingkat yang sama dalam kepemilikan harta duniawi, maka itu akan menjadi celaka yang terbesar yang akan mengenai umat manusia.”

Pernyataan yang hebat, bukan?

 

 

Now, let’s go to our next section, the reason for ecological care. Now we are going to get in to Scripture.

The Pope’s view on these matters leaves us to ask, is the Pope on target when he encourages humans to care for the environment, to help the poor and to focus on the family unit? Doesn’t the Bible itself enjoins us to do such things? Of course it does. We can certainly agree with the Pope concerning the importance of prioritizing these matters, can’t we? Of course we can. But the question that should engage us is this ~ now we are going to get into some theology. See, we are dealing with the background, now, the historical context, but now we are going to deal with Scripture ~ but the question that should engage us is this, “Why should these issues be a primary concern to all of us?” Psalm 24:1-2 provides the answer,The earth is the Lord’s and all its fullness…”  that means everything in it, “…the world and those who dwell therein…”  and then he gives the reason,   “…2 For He has founded it upon the seas, and established it upon the waters.”

The Bible explains that we are to care for the earth and those who dwell therein  because they are not ours.

The apostle Paul expressed the same principle well when he reminded us that we are not our own (1 Corinthians 6:19).

    

Sekarang marilah kita ke bagian berikutnya, alasan untuk pemeliharaan ekologi. Sekarang kita akan masuk ke Firman Allah.

Pandangan Paus tentang hal-hal ini membuat kita bertanya-tanya, apakah Paus tidak menyimpang dari Alkitab ketika dia mendorong manusia untuk perduli lingkungan, membantu orang miskin, dan fokus kepada unit keluarga? Bukankah Alkitab sendiri memerintah kita untuk melakukan hal-hal ini? Tentu saja. Kita pasti setuju dengan Paus tentang pentingnya memberi prioritas pada hal-hal tersebut, bukan? Ya, pasti. Tetapi pertanyaan yang harus kita perhatikan adalah ~ sekarang kita akan masuk ke theologi. Lihat, kita tadi melihat latar belakangnya, konteks sejarahnya, tetapi sekarang kita akan melihat Firman Allah ~ tetapi pertanyaan yang harus kita perhatikan adalah ini, “Mengapa isu-isu ini menjadi keprihatinan utama kita semua?” Mazmur 24:1-2 memberikan jawabannya, “Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya…”  artinya segala sesuatu yang ada di dalamnya, “…dan dunia serta yang diam di dalamnya…” kemudian dia memberikan alasannya, “…2 Sebab Dialah yang mendasarkannya di atas lautan dan menegakkannya di atas sungai-sungai.”

Alkitab menjelaskan bahwa kita harus memelihara bumi dan semua yang hidup di dalamnya karena semua itu bukan milik kita.

Rasul Paulus menyatakan prinsip yang sama dengan baik ketika dia mengingatkan kita bahwa kita bukanlah milik kita sendiri (1 Korintus 6:19).

 

 

Human abuse of the environment and the poor who dwell therein is due to the fact that humanity has forgotten that the earth and its inhabitants belong to God not to us. And now listen, and what has caused us tragic amnesia? The answer is that humanity has cast aside God’s weekly reminder of Who is the Owner of creation: the seventh day Sabbath. The fourth commandment spoken by God in the midst of thunder and lightning on Mt. Sinai  and written with God’s own finger, states: ‘Remember the Sabbath day, to keep it holy. 9 Six days you shall labor and do all your work, 10 but the seventh day is the Sabbath of the LORD your God. In it you shall do no work: you, nor your son, nor your daughter, nor your male servant, nor your female servant, nor your cattle, nor your stranger who is within your gates…”  and then it tells us the reason why we are to work six and rest the seventh “…11 For in six days the LORD made the heavens and the earth, the sea, and all that is in them, and rested the seventh day. Therefore the LORD blessed the Sabbath day and hallowed it.”

In short, God created our earthly environment, He created its inhabitants: human and animal, and He created the family unit, did He not? In six literal days. And then left us a perpetual sign of His creative power, by resting on the seventh day. Exodus 20:11 which echoes Genesis 2:2-3, does not instruct us to rest one day in seven, or every seventh day. The word “seventh” in Hebrew is preceded by the definite article, it is “the seventh day” that commemorates creation. Not the first day or just any day.

So what would happen if people were keeping the Sabbath? Would they be gracious towards the poor? Did God create them too? Would we take care of the world that God created? Would we respect marriage between a man and a woman? Because God made it that way. And He gave us a sign: the Sabbath.

 

Perlakuan yang tidak seharusnya dari manusia kepada lingkungan dan kepada orang-orang miskin yang diam di bumi dikarenakan manusia sudah lupa bahwa bumi dan semua penghuninya adalah milik Allah dan bukan milik kita. Dan sekarang dengarkan, apa yang telah menyebabkan kita menjadi sedemikian pikun. Jawabannya adalah manusia telah menyingkirkan peringatan mingguan Allah tentang Siapa pemilik semua ciptaan: Sabat hari ketujuh. Hukum yang keempat yang diucapkan Allah di tengah suara guntur dan kilat di atas Bukit Sinai dan ditulis oleh jari Allah sendiri, menyatakan: 8 Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat: 9 enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, 10 tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu atau orang asing yang di tempat kediamanmu…”  lalu kita diberitahu alasannya mengapa kita harus bekerja enam hari dan berhenti bekerja pada hari yang ketujuh, “…11 Sebab enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya TUHAN memberkati hari Sabat dan menguduskannya.”

Singkatnya, Allah telah menciptakan lingkungan hidup di bumi ini, Allah menciptakan semua penghuninya: manusia dan binatang, dan Allah menciptakan unit keluarga, bukan? Dalam waktu enam hari harafiah. Lalu meninggalkan sebuah tanda yang kekal kepada kita tentang kuasa menciptaNya dengan berhenti pada hari yang ketujuh.

Keluaran 20:11 mengulangi Kejadian 2:2-3, tidak menyuruh kita untuk berhenti satu hari dalam tujuh hari, atau setiap tujuh hari. Kata “tujuh” dalam bahasa Ibrani didahului oleh kata sandang tentu, “hari yang ketujuh itu” yang memperingati penciptaan bumi. Bukan hari yang pertama atau sembarang hari apa saja.

Maka apa yang terjadi jika manusia memelihara hari Sabat? Apakah mereka akan bermurah hati kepada orang-orang  miskin? Apakah Allah juga menciptakan orang-orang miskin ini? Apakah kita akan memelihara bumi yang diciptakan Allah? Akankah kita menghormati perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang wanita? Karena Allah yang menciptakannya demikian. Dan Allah memberikan tandanya kepada kita: hari Sabat itu.

 

 

Now, why should we care for our earthly home? Because God made it in six days and it is His.

Why should the sanctity of marriage and the family be safeguarded? Because God created them on the sixth day.

Why should we care for the less fortunate by taking them in and sharing our goods with them? Because we all descend from the original pair and all have one blood, we are all members of the same family by creation and therefore we must care for one another. The Sabbath reminds us of all of these things.

 

Nah, mengapa kita harus memelihara bumi tempat tinggal kita? Karena Allah yang menciptakannya dalam enam hari dan bumi ini adalah milikNya.

Mengapa kita harus menguduskan pernikahan dan mengamankan keluarga? Karena Allah menciptakan mereka pada hari yang keenam.

Mengapa kita harus perduli pada mereka yang kurang beruntung dengan membantu mereka dan membagikan barang-barang kita kepada mereka? Karena kita semuanya berasal dari pasangan yang mula-mula, dan semua memiliki satu darah, dan kita semua adalah anggota keluarga yang sama melalui penciptaan. Oleh karena itu kita harus saling memperdulikan.

Hari Sabat mengingatkan semua ini kepada kita.


And here’s another important question  ~ by the way what time am I supposed to end? In three hours? Oh, three minutes. Are those minutes literal or prophetic? Hehehehe.

Let’s go quickly. And here’s another important question: What was the link for each day of creation?  Now we are getting to some very important points. The book of Genesis indisputably affirms that each day consists of 24 hours just as we experience them today. And there is no evidence whatsoever that the weekly cycle has ever been broken. The biblical testimony clearly reveals that our earthly home and its inhabitants did not come into existence over millions or billions of years, for we are told that God spoke and it was done, He commanded and it stood fast. And that everyday had an evening and a morning which would be absurd if the day lasted for long periods of time. After working six literal days God looked upon what He had made and it was very good. God then rested on the literal seventh day and made it holy, setting it apart as a perpetual memorial of creation. In this way the seventh day Sabbath stands or falls on the literalness of the days of creation. If the days of creation were vast periods of time the Sabbath institution evaporates in a mist.

 

Dan ini ada lagi pertanyaan lain yang penting ~ nah, pukul berapa saya harus mengakhiri ini? Tiga jam lagi? Oh, tiga menit. Apakah itu menit harafiah atau menit nubuat? Heheheh. Mari kita segera lanjutkan.

Dan ini ada lagi pertanyaan lain yang penting: Apakah yang mengaitkan setiap hari penciptaan? Sekarang kita tiba pada beberapa poin yang amat penting. Kitab Kejadian memberikan ketegasan yang tak terbantahkan bahwa setiap hari terdiri atas 24 jam, sama seperti yang kita alami sekarang. Dan tidak ada bukti sama sekali bahwa siklus mingguan ini pernah terputus. Kesaksian secara alkitabiah dengan jelas mengungkapkan bahwa bumi tempat tinggal kita dan penghuninya tidak muncul dalam berjuta bilyun tahun, karena kita diberitahu bahwa Allah bersabda dan itu terjadi, Allah memerintahkan dan itu hadir. Dan setiap hari memiliki satu kali malam dan satu kali pagi yang tentunya tidak masuk akal seandainya hari itu berlangsung selama waktu yang sangat panjang. Setelah bekerja enam hari harafiah, Allah memandang apa yang telah dibuatNya dan itu sangat baik. Allah lalu berhenti pada hari ketujuh yang harafiah, dan menguduskannya, memisahkan hari itu sebagai peringatan yang kekal akan penciptaan. Dengan cara ini Sabat hari ketujuh tegak atau jatuh tergantung keharafiahan penghitungan hari-hari penciptaan. Jika hari-hari penciptaan adalah waktu yang panjang, maka lembaga Sabat menguap seperti kabut.

 

 

See, we say the Devil is going to get rid of the Sabbath by persecuting those who keep it, he has a much more efficient way: the theory of evolution which most people embrace these days. The fourth commandment makes absolutely no sense if the days of creation lasted millions or billions of years. How could God ask man to work six days and rest on the seventh as He did at creation if the days are not literal just as we know them today? Clearly the seventh day Sabbath is rooted in a literal creation and it’s a part of God’s original plan for the human race before sin and death. It was neither Jewish nor temporary.

 

Lihat, kita mengatakan bahwa Iblis akan menyingkirkan Sabat dengan menganiaya mereka yang memeliharanya. Tetapi Iblis punya cara yang lebih efisien: yaitu teori evolusi yang diterima oleh kebanyakan orang sekarang. Hukum yang keempat menjadi sama sekali tidak masuk akal jika hari-hari penciptaan itu berlangsung selama berjuta atau bermilyar tahun. Bagaimana Allah bisa menyuruh manusia bekerja enam hari dan berhenti pada hari ketujuh seperti apa yang dilakukanNya saat penciptaan jika hari-harinya tidaklah harafiah sebagaimana yang kita alami sekarang? Jelas Sabat hari ketujuh berakar pada penciptaan yang harafiah, dan itu adalah bagian dari rancangan asli Allah bagi umat manusia sebelum ada dosa dan kematian. Ini bukan Yudaisme maupun bersifat sementara.

 

 

The bottom line:

God created the environment and we should care for it.

God created the family unit of husband and wife and children, and we should care for it.

God created all human beings, we are all of one blood, and we should care for one another.

And the sign that reminds us of all of these is the seventh day Sabbath.

 

Jadi intinya:

Allah menciptakan lingkungan hidup dan kita harus memeliharanya.

Allah menciptakan unit keluarga dari satu suami dan satu istri serta anak-anak, dan kita harus memeliharanya.

Allah menciptakan semua manusia, kita berasal dari satu darah, dan kita harus saling memperdulikan.

Dan tanda yang mengingatkan kita kepada semua ini adalah Sabat hari ketujuh.

 

 

Now, I am going to need a little bit more than the 3 minutes, so bear with me. It’s good that I am the president, hehehe, so I make a presidential decree, hehehe. Let’s go quickly here.

But the seventh day Sabbath has another dimension. The book of Genesis describes a literal fall of literal Adam and literal Eve in a literal and perfect garden of Eden. The fall infected the entire human race, and made it necessary for Jesus the Creator to become flesh in order to restore the perfect creation that had been lost. Thus, a literal creation, a literal fall, and a literal redemption are indissolubly linked. If you get the fall wrong, you get redemption wrong. Because redemption is redemption from the fall.

 

Sekarang saya perlu lebih banyak waktu daripada tiga menit tadi, jadi bersabarlah. Bagus sayalah presidennya di sini, hehehe, jadi saya membuat sebuah dekrit presiden, hehehe. Mari kita lanjutkan cepat-cepat.

Tetapi Sabat hari ketujuh memiliki dimensi yang lain. Kitab Kejadian menggambarkan suatu kejatuhan yang harafiah dari seorang Adam dan Hawa yang harafiah di dalam sebuah taman Eden yang harafiah yang sempurna. Kejatuhan itu mempengaruhi seluruh umat manusia, dan mengharuskan Yesus Sang Pencipta datang ke dunia sebagai manusia dengan tujuan memulihkan penciptaan yang sempurna yang telah hilang. Dengan demikian, suatu penciptaan yang harafiah, kejatuhan yang harafiah, dan penebusan yang harafiah, terkait satu sama lain tidak bisa dipisah-pisahkan. Jika kita salah memahami kejatuhan itu, kita akan salah memahami penebusannya, karena penebusan itu adalah penebusan atas kejatuhan tersebut.

 

 

It was on the evening portion of Friday, which we call Thursday evening, the sixth day ~  notice this ~ that Jesus when He was about to finish His work of redemption, prayed to His Father, “I have finished the work that You gave Me to do…”  

What day did Jesus finish the work of redemption? The sixth day.

What day did He finish the work of creation? The sixth.

Later in the afternoon, the same day, Jesus cried out in the cross, “It is finished.” Thus the provision for redemption was finished on the sixth day, just as He finished His creative work on the sixth day.

After crying out  “It is finished” Jesus was removed from the cross, placed in Joseph’s tomb and then His body rested on the Sabbath, as a sign of the completion of His work of redemption. And while Jesus rested in the tomb on the Sabbath His followers rested outside, the Sabbath day according to the commandment.

Thus the seventh day Sabbath that was originally a sign of creation, now took on an added dimension and became a sign of redemption. According to the apostle Paul, redemption is a new creation.

 

Pada bagian petang hari Jumat (menurut perhitungan Alkitab) yang sekarang kita sebut Kamis malam (orang Jawa menyebutnya “malam Jumat”), hari yang keenam ~ perhatikan ~ Yesus, ketika Dia akan mengakhiri pekerjaan penebusanNya, berdoa kepada Allah Bapa,  “…Aku telah menyelesaikan pekerjaan yang Engkau berikan kepada-Ku untuk Ku-lakukan.” [Yoh. 17:4]

Pada hari apa Yesus menyelesaikan pekerjaan penebusanNya? Hari keenam.

Pada hari apa Yesus menyelesaikan pekerjaan penciptaanNya? Hari keenam. 

Sore itu pada hari yang sama, Yesus berseru di atas salib, “Sudah selesai!” dengan demikian persyaratan untuk penebusan telah selesai pada hari keenam, persis sama seperti saat Dia menyelesaikan pekerjaan penciptaanNya pada hari keenam.

Setelah berseru “Sudah selesai!” Yesus dilepaskan dari salib, ditempatkan di dalam kubur Yusuf kemudian tubuhNya beristirahat pada hari Sabat, sebagai tanda selesainya pekerjaan penebusanNya. Dan sementara Yesus beristirahat di dalam kubur pada hari Sabat, pengikut-pengikutNya beristirahat di luar, memelihara hari Sabat sesuai perintah Allah.

Maka, Sabat hari ketujuh yang aslinya adalah suatu tanda penciptaan, sekarang memiliki dimensi tambahan dan menjadi tanda penebusan. Menurut rasul Paulus, penebusan adalah penciptaan baru.

 

Caring for the needy

Pope Francis has underlined that Sunday, the first day of the week, should be the day on which to give the less fortunate a rest. In contrast, Jesus chose the seventh day Sabbath to especially elevate the suffering of the less fortunate, the weak, the poor, the maimed, the demon-possessed, and the hungry. Why did Jesus choose the seventh day Sabbath as the special day to help the needy? Because Pope Francis says, Sunday should be the special day to give the poor a rest and the outcast of society a rest. Why did Jesus choose the seventh day Sabbath? Was He breaking the Sabbath? No. The fact is that Jesus recognizes that all creatures were made in His image and therefore the strong should help the weak. Thus the Sabbath was a sign of solidarity between the have’s and the have-not’s. Helping the less fortunate, on the seventh day Sabbath was not an innovation by Jesus. Already in the Old Testament ~ listen carefully ~ God had indicated that the Sabbath was the day to give rest to servants, strangers, and even the beasts of burden.

So when is the day you are supposed to give rest to the poor? On Sunday? And to the environment? On Sunday? No! The prophet Isaiah describes the Sabbath as the day to lose the bonds of wickedness, to undo the heavy burdens, to let the oppressed go free, and to break every yoke. It was the day to share your bread with the hungry, bring into your house the poor and outcast, to cover the naked, and to not hide ourselves from our own flesh. Thus what Jesus did on the seventh day Sabbath, was perfectly in line with the Old Testament.  The day which is a sign of helping the poor and the outcast, is Sabbath, not Sunday.

 

Memperdulikan yang membutuhkan

Paus Francis telah menggarisbawahi bahwa hari Minggu, hari pertama dalam satu minggu, harus menjadi hari untuk memberikan istirahat bagi mereka yang kurang beruntung. Bertolak belakang dengan itu, Yesus memilih Sabat hari ketujuh untuk secara khusus meringankan penderitaan mereka yang kurang beruntung, yang lemah, yang miskin, yang lumpuh, yang dirasuki setan, dan yang lapar. Mengapa Yesus memilih Sabat hari ketujuh sebagai hari istimewa untuk menolong yang memerlukan? ~ Karena Paus Francis berkata bahwa hari Minggu yang harus menjadi hari istimewa untuk memberi istirahat kepada yang miskin dan yang tersingkir dari masyarakat ~ mengapa Yesus memilih Sabat hari ketujuh? Apakah Yesus melanggar hari Sabat? Tidak. Faktanya ialah  Yesus mengenali bahwa semua makhluk diciptakan dalam bentuk dan rupaNya, dan karena itu yang kuat harus menolong yang lemah. Dengan demikian Sabat adalah tanda solidaritas antara yang mampu dengan yang tidak mampu. Membantu yang kurang beruntung pada hari Sabat bukanlah inovasi Yesus. Di kitab Perjanjian Lama ~ dengarkan baik-baik ~ Allah telah mengindikasikan bahwa Sabat adalah hari untuk memberi istirahat kepada para pelayan, orang asing, bahkan hewan-hewan yang membantu pekerjaan manusia.

Jadi kapan seharusnya kita memberi istirahat kepada yang miskin? Pada hari Minggu? Dan istirahat bagi lingkungan hidup? Pada hari Minggu? BUKAN. Nabi Yesaya menggambarkan hari Sabat sebagai hari untuk melepaskan ikatan kejahatan, untuk membebaskan beban yang berat, untuk memerdekakan yang tertindas, dan untuk mematahkan setiap kuk. Itulah hari untuk membagikan makanan kita kepada yang lapar, membawa yang miskin dan tersingkir ke dalam rumah kita, menyelimuti yang telanjang, dan tidak menyembunyikan diri kita dari keluarga kita sendiri. [Yesaya 58:6-7] Jadi apa yang dilakukan Yesus pada Sabat hari ketujuh itu sesuai dengan Perjanjian Lama. Hari yang menjadi tanda untuk menolong yang miskin dan yang tersingkir adalah hari Sabat, bukan hari Minggu.

 

 

The Bible View of the End

We’ll do page 10, and we’ll finish at the bottom of page 11. We’ll pick up the rest in our study tomorrow.

The Bible does not present an evolutionary scenario of the beginning or of the end. It does not teach that through a process of macro evolution the world will get better and better  and finally reach the omega point of the grand design. Neither does it teach that the world will come to an end because of climate change that is caused by a systemic abuse of the eco system.

The Bible’s end time scenario of this planet is pessimistic rather than optimistic. Would you agree?

The very end of human history, just before the coming of Jesus the planet will wax old and unravel at the seams.

I have several text that you need to look up:

·       Isaiah 24:1-6.

·       The world will be as it was in the days of Noah, where every intent of the heart of man is only evil continually (Gen. 6:5).

·       It will be like Sodom where the men of the cities wished to have homosexual relations with the angels (Gen. 19:5 and Luk. 17:28-30).

·       Men’s hearts will fail them for fear as they see the calamities that are falling upon the earth (Luk. 21:26).

·       There will be wars and rumors of wars as nation rises against nations and kingdoms against kingdoms. There will be famines, pestilences, earthquakes and tumults (Mat. 24:6-8, Luk. 21:9)

·       Humans will have the form of godliness, but they will be lovers of themselves. Have you ever noticed that the apostle Paul begins the list by saying that men will be lovers of themselves and then gives a long list, a catalogue of sins? The world will reach the degenerate condition that is described in Romans 1:18-22, read that, that’s depressing.

All these things will occur not because of climate change but because of the iniquity of humanity.

 

Pandangan Alkitab tentang Akhir Masa

Kita akan membahas hal.10, dan kita akan mengakhiri di bagian bawah hal. 11. Kita akan melanjutkan sisanya dalam pelajaran besok.

Alkitab tidak mempersembahkan skenario evolusi baik tentang awal maupun tentang akhir dunia. Alkitab tidak mengajarkan bahwa melalui suatu proses evolusi makro, dunia akan menjadi lebih baik dan lebih baik dan akhirnya akan mencapai titik omega rancangan yang megah. Alkitab juga tidak mengajarkan bahwa dunia akan berakhir karena perubahan iklim yang disebabkan oleh penyalahgunaan sistemik ekosistem.

Skenario akhir zaman planet ini  menurut Alkitab lebih bernada pesismistis daripada optimistis. Setujukah kalian? 

Bagian terakhir sejarah manusia, tepat menjelang kedatangan Yesus, planet ini akan menjadi tua dan berantakan.

Ada beberapa ayat yang perlu kalian pelajari:

·       Yesaya 24:1-6

·       Dunia akan mirip zaman Nuh, di mana setiap keinginan hati manusia semata-mata jahat (Kejadian 6:5)

·       Akan terjadi seperti Sodom di mana laki-laki di kota itu ingin melakukan hubungan seksual dengan malaikat-malaikat (Kejadian 19:5, Lukas 17:28-30)

·       Hati manusia akan menciut karena takut saat mereka melihat malapetaka yang menimpa bumi (Lukas 21:26)

·       Akan ada peperangan dan berita peperangan saat bangsa bangkit melawan bangsa-bangsa dan kerajaan melawan kerajaan-kerajaan. Akan ada kelaparan, penyakit, gempa bumi dan goncangan-goncangan (Matius 24:6-8, Lukas 21:9)

·       Manusia-manusia akan seperti saleh-saleh, tetapi mereka mengasihi diri sendiri (egois). Apakah kalian sadar rasul Paulus memulai daftarnya dengan mengatakan manusia akan mengasihi diri sendiri kemudian dia memberikan suatu daftar yang panjang, suatu katalog dosa? Dunia akan mencapai suatu kondisi yang begitu merosotnya seperti yang digambarkan di Roma 1:18-22, bacalah itu, itu membuat sedih.

Semua ini akan terjadi BUKAN karena perubahan iklim tetapi karena dosa manusia.

 

 

We have been told by the writings of Ellen White that “Satan works through the elements”, and can cause “fierce tornadoes, and terrific hail storms, tempests, floods, cyclones, tidal waves and earthquakes” , are we seeing more of those? And that these “visitations are to become more and more frequent and disastrous.” (Great Controversy pg. 589-590).

The family unit will disintegrate, according to Jesus, and parents will hate children, and children, parents.

The poor will be oppressed by their capitalist overlords, and will cry out to God for justice. Have you ever read James 5:1-8 and Revelation 18?

“Satan’s agenda in these ever increasing calamities will be to finally blame the global melt down on God’s faithful people.” In fact Ellen White explains that “the final steps in the process of the Devil’s end game will be to persuade men that those who serve God are causing these evils.” Quotation from Great Controversy pg. 589-590.

 

Kita telah diberitahu oleh tulisan-tulisan Ellen White bahwa “Setan bekerja melalui cuaca”, dan bisa menyebabkan “angin puting beliung yang ganas, badai es batu yang hebat, taufan, banjir, siklon, gelombang tinggi dan gempa bumi”, apakah kita semakin banyak melihat hal-hal ini? Dan bahwa “peristiwa-peristiwa ini akan semakin lama semakin sering dan semakin menghancurkan.” (Great Controversy hal. 589-590).

Unit keluarga akan disintegrasi, menurut Yesus, dan orangtua akan membenci anak-anak mereka, dan anak-anak, orangtua mereka.

Yang miskin akan ditindas oleh tuan-tuan kapitalis mereka, dan mereka akan berseru kepada Allah minta keadilan. Pernahkan kalian membaca Yakobus 5:1-8 dan Wahyu 18?

“Agenda Setan dalam bencana yang terus meningkat ini pada akhirnya adalah untuk menyalahkan malapetaka global ini pada umat Allah yang setia.” Bahkan Ellen White menjelaskan bahwa “langkah terakhir dalam proses permainan pemungkas Iblis adalah meyakinkan manusia bahwa mereka yang melayani Allah itulah yang menyebabkan segala kejahatan ini.” Kutipan dari Great Controversy hal. 589-590

 

 

As things get progressively worse, and a time of trouble such as never has been ensues, (Mat. 24:21-22), the rebellious and disobedient world will be led by the religious and political leaders to believe that by enforcing Sunday observance and by rooting out those who keep the Sabbath prosperity will return to the earth, and there will be an era of peace and harmony. But instead the Sunday Law will bring about a global apostasy, that will finally end up in ruin upon creation rather than heal it. The blame that Ahab cast on Elijah for the ecological upheaval in Israel is a microcosm of what would occur on a global scale at the end.

With regards to US, Ellen White has warned  “The people of the US have been a favored people, but when they restrict religious liberty, surrender Protestantism and give countenance to popery, the measure of their guilt will be full, and national apostasy will be registered in the books of heaven. The result of this apostasy will be national ruin.” (Review and Herald, May 2, 1893)

 

Saat kondisi menjadi semakin jelek dan suatu masa kesesakan seperti yang belum pernah ada, terjadi (Matius 24:21-22), dunia yang memberontak dan tidak patuh kepada Tuhan akan dipimpin oleh pemimpin-pemimpin politik yang agamis untuk meyakini bahwa dengan memberlakukan pemeliharaan hari Minggu dan dengan melenyapkan mereka yang memelihara Sabat, kemakmuran akan kembali ke dunia, dan akan  ada suatu era yang damai dan harmonis. Tetapi sebaliknya Undang-Undang Hari Minggu akan mengakibatkan kemurtadan global, yang akhirnya bukan menyembuhkan ciptaan, malah akan berakhir dengan kehancuran ciptaan. Kesalahan yang ditimpakan Ahab kepada Elia atas pergolakan ekologis di Israel adalah mikrokosmis dari apa yang akan terjadi dalam skala global pada akhir masa.

Sehubungan dengan Amerika Serikat, Ellen White telah memberikan peringatan, “Bangsa Amerika pernah menjadi umat yang diistimewakan, tetapi ketika mereka membatasi kebebasan beragama, meninggalkan Protestantisme dan mengalihkan pandangan kepada  Kepausan, tingkat kesalahan mereka akan mencapai titik jenuh, dan kemurtadan nasional akan tercantum dalam kitab-kitab di Surga. Akibatnya, kemurtadan ini akan menjadi kehancuran nasional. (Review and Herald, 2 Mei 1893)

 

 

I am being reminded of what happened in the days of Christ. The Jewish leaders thought that by killing Jesus they would save the nation, but by killing Jesus they doomed their nation. Ellen White says that argument will be used again.

 

Saya teringat apa yang terjadi di zaman Kristus. Para pemuka Yahudi menyangka dengan membunuh Yesus mereka akan menyelamatkan bangsanya. Tetapi dengan membunuh Yesus mereka justru membuat bangsanya kena hukuman. Ellen White berkata bahwa argumentasi itu nanti akan dipakai lagi.

 

 

The Papacy’s call for nations to address climate change, the disintegration of the family, and world poverty including the problem of immigration, is merely dealing with the symptom. Ellen White explains that the primary cause of global climate change and natural disasters is not things such as fossil fuel and cutting down forests, but rather the wickedness of man in trampling on God’s Law.

 

Seruan Kepausan kepada bangsa-bangsa untuk menangani perubahan iklim, kehancuran keluarga, dan kemiskinan di dunia termasuk masalah imigrasi, itu hanya berkaitan dengan gejalanya. Ellen White menjelaskan bahwa penyebab utama perubahan iklim global dan bencana alam bukanlah dikarenakan pemakaian fosil sebagai bahan bakar dan penebangan hutan, melainkan lebih karena kejahatan manusia menginjak-injak Hukum Allah.

 

 

Vol. 6 of the Testimonies pg. 408, Ellen White ~ she was aware of people trying to explain things naturally ~ this is what she said, “The restraining Spirit of God is even now being withdrawn from the world…” what would she write today? “…Hurricanes, storms, tempests, fire and flood, disasters by sea and land, follow each other in quick succession. …”  now notice this,   “…Science seeks to explain all these…”  what does science do? It tries to explain all these. What explanation does it give? Climate change! But now notice what she says,  “…The signs thickening around us, telling of the near approach of the Son of God are attributed to any other than the true cause. Men cannot discern the sentinel angels restraining the four that they shall not blow until the servants of God are sealed. But when God shall bid His angels, loose the winds, there will be such a scene of strife as no pen can picture.”

When the Holy Spirit is withdrawn, folks, the Devil will have full control of the impenitent. You think the world is bad today? We don’t have any idea what this is going to be like if God’s protecting hand is not with His people. Everybody would cease to exist.

 

Testimonies Vol. 6 hal. 408, Ellen White ~ dia menyadari manusia berusaha menjelaskan semua secara alami ~ inilah yang dikatakannya, “Roh Allah yang masih mengendalikan, saat ini sedang ditarik dari dunia…” entah apa yang akan ditulisnya hari ini? “…angin taufan, angin ribut, badai, api dan banjir, malapetaka di laut dan di darat, saling menyusul secara cepat…” sekarang perhatikan ini, “…Sains berusaha menjelaskan semua ini…” apa yang dilakukan sains? Sains berusaha menjelaskan semua ini. Penjelasan apa yang diberikan sains? Perubahan iklim! Tetapi sekarang perhatikan apa kata Ellen White, “Tanda-tanda di sekitar kita semakin merapat, yang menyatakan bahwa dekatnya kedatangan Anak Allah tidak disebabkan oleh apa pun yang lain kecuali penyebab  yang sebenarnya. Manusia tidak dapat melihat malaikat-malaikat penjaga yang menahan ke empat malaikat agar mereka tidak meniup sebelum hamba-hamba Allah dimeteraikan. Tetapi ketika Allah akan menyuruh malaikat-malaikatNya untuk melepaskan angin-angin itu, akan terjadi suatu adegan konflik yang tidak bisa digambarkan oleh pena.”

Ketika Roh Kudus ditarik, Saudara-saudara, Iblis akan memiliki kontrol penuh atas orang-orang yang tidak bertobat. Apakah kalian menganggap dunia sekarang ini parah? Kita tidak punya bayangan bagaimana nantinya jika tangan Allah yang melindungi tidak lagi bersama umatNya. Semua orang akan binasa.

 

 

But now notice, let’s end with this good item of news.

But the Bible story of the end does not ultimately conclude on a pessimistic note. It teaches that history as we presently know it, will end with a literal, glorious, personal, rapid, second coming of Jesus to take His faithful children to heaven for a thousand years, during which the earth will return to the condition that it was in before creation week, without form, and void, and in darkness. After the Millennium God will then recreate the earth in six literal days.

You say, “Where do you get that from?”

I’ll come back to that in a moment.

And rest the seventh literal day as He did at the beginning. And then God’s people will live securely and peacefully in a perfect sinless world forever where Jesus will reign forever and ever. As a weekly commemoration of God’s creative power, His people will come to God’s throne on a weekly seventh day Sabbath to worship Him.

" ‘For as the new heavens and the new earth Which I will make shall remain before Me,’ says the LORD,  ‘So shall your descendants and your name remain. 23  And it shall come to pass that from one New Moon to another…”  by the way that means from one month to another. And we are going every month to eat from the tree of life because the tree of life produces its fruit every month. So it says, “…from one new moon to another, and from one Sabbath to another, all flesh shall come to worship before Me,’ says the LORD.” (Isaiah 66:22-23)

 

Tetapi sekarang perhatikan, marilah kita akhiri dengan kabar baik ini. Kisah di Alkitab tentang akhir zaman pada akhirnya tidak diakhiri dengan nada yang pesimis. Kisah Alkitab mengajarkan bahwa sejarah seperti yang kita kenal, akan berakhir dengan  kedatangan Kristus yang kedua secara harafiah, penuh kemuliaan, pribadi, dan cepat, untuk membawa umatNya yang setia ke Surga selama 1000 tahun, selama waktu itu bumi akan kembali ke kondisinya semula sebelum minggu penciptaan, tanpa bentuk, kosong, dan dalam kegelapan.  Setelah millenium, Allah akan menciptakan ulang bumi ini dalam waktu enam hari harafiah. ~ Kalian berkata, “Dari mana Anda mendapat itu?” Nanti saya akan kembali ke sana. ~ Dan berhenti pada hari ketujuh yang harafiah sebagaimana Allah berhenti pada awal mulanya. Kemudian umat Allah akan hidup tenteram dan damai dalam dunia yang sempurna tanpa dosa untuk selama-lamanya, di mana Yesus akan memerintah untuk selama-lamanya.

Dan sebagai peringatan kuasa penciptaan Allah, umatNya akan datang ke takhta Allah pada Sabat hari ketujuh setiap minggu untuk menyembah Dia.

22Sebab sama seperti langit yang baru dan bumi yang baru yang akan Kujadikan itu, tinggal tetap di hadapan-Ku,’ demikianlah firman TUHAN, ‘demikianlah keturunanmu dan namamu akan tinggal tetap.  23 Dan yang akan terjadi,  dari satu bulan baru ke bulan baru yang lain…”  nah, ini artinya dari satu bulan ke bulan yang lain. Dan kita akan datang setiap bulan untuk makan dari pohon kehidupan karena pohon kehidupan menghasilkan buahnya setiap bulan. Jadi dikatakan,   “…dari satu bulan baru ke bulan baru yang lain, dari satu sabat ke sabat yang lain, maka semua daging akan datang untuk sujud menyembah di hadapan-Ku,’ firman TUHAN.” [Yesaya 66:22-23]

 

 

Now, you are saying, “Are you saying that God is going to recreate the world in six days and we are going to rest the seventh day in commemoration of the new creation?”

Absolutely. Listen, if we are going to go to worship before the Lord on the seventh day, to commemorate the new creation, you’d have to have the previous six. And by the way the world will be in the condition they were in the Millennium like it was in before creation week. So, is God going to have to do creation all over again? Absolutely. And then God’s people ~ after God finishes His work in six days ~ then God’s people will rest, in commemoration of creation, redemption and also recreation and the restoration.

God’s plan for the Sabbath has never changed.

 

Sekarang kalian berkata, “Apakah maksud Anda Allah akan menciptakan kembali dunia ini dalam enam hari dan kita akan berhenti pada hari ketujuh untuk memperingati penciptaan baru?” Betul sekali. Dengar, jika kita akan datang untuk menyembah di hadapan Allah pada hari ketujuh untuk memperingati penciptaan baru, kita harus memiliki enam hari sebelumnya. Dan ketahuilah pada saat Millenium dunia akan berada dalam kondisi seperti saat sebelum minggu penciptaan. Jadi, apakah Allah harus melakukan penciptaan kembali dari awal? Tentu saja. Kemudian umat Allah ~ setelah Allah menyelesaikan pekerjaanNya dalam enam hari ~ kemudian umat Allah akan berhenti, sebagai peringatan akan penciptaan, penebusan, dan juga penciptaan ulang dan pemulihan.

Rencana Allah untuk Sabat tidak pernah berubah.

 

 

Now, tomorrow morning we will deal with the Roman Catholic view of the beginning and the end. It is diametrically opposed to the biblical view. So don’t miss the next exciting episode tomorrow morning.

Let’s pray.

 

Nah, besok pagi kita akan membahas pandangan Roma Katolik tentang awal dan akhir. Itu adalah pandangan yang sama sekali bertentangan dengan pandangan Alkitab. Jadi jangan melewatkan episode berikutnya yang menarik besok pagi.


Mari kita berdoa.



04 12 16

1 comment: