MARY SEMINAR___
Part
05/08 - Stephen Bohr
The
Myth of Apostolic Succession
Dibuka dengan doa.
Perhaps some of you are wondering how the Roman
Catholic Church can teach certain doctrines, or dogmas, which are not
clearly contained in Scripture; dogmas such as Mary the mother of
God, such as the immaculate conception, the perpetual virginity of
Mary, and the assumption of Mary to heaven after her death. Perhaps
some of you are wondering, how can these doctrines be taught if there is
nothing in Scripture to corroborate these teachings?
We're going to study in our lecture today the reason why Roman Catholicism teaches these doctrines, even though they are not contained in Scripture, not even implicitly.
We're going to study in our lecture today the reason why Roman Catholicism teaches these doctrines, even though they are not contained in Scripture, not even implicitly.
Barangkali ada dari kalian yang bertanya-tanya, bagaimana
gereja Roma Katolik bisa mengajarkan doktrin-doktrin tertentu, atau dogma-dogma
yang jelas tidak terdapat dalam Kitab Suci; dogma-doma seperti Maria itu ibu
Tuhan, seperti pembuahan imakulata [tanpa dosa], seperti keperawanan Maria yang
terus-menerus, dan diangkatnya Maria ke Surga setelah kematiannya. Barangkali
ada dari kalian yang bertanya-tanya, bagaimana doktrin-doktrin seperti ini bisa diajarkan sementara di Kitab Suci tidak ada apa pun yang mendukung ajaran-ajaran ini? Kita akan mempelajari dalam ceramah kita hari ini
mengapa Roma Katolikisme mengajarkan doktrin-doktrin ini, walaupun hal-hal ini
tidak terdapat di dalam Kitab Suci, bahkan tersirat pun tidak.
We have to go back to the times of the Old
Testament. We have to go, in fact, back to the times of Moses. When
Moses went up to mount Sinai he received revelations
from God which he committed to writing. And those writings are known as the Pentateuch, the first five books of the Bible. But according to the concept of the Jews of Christ's day, we find that they taught that also God gave to Moses certain instructions and teachings which were not committed to writing. In other words, there was a deposit of teaching from God to Moses which was composed of written material, as well as unwritten traditions, and we could call this the deposit of the faith.
from God which he committed to writing. And those writings are known as the Pentateuch, the first five books of the Bible. But according to the concept of the Jews of Christ's day, we find that they taught that also God gave to Moses certain instructions and teachings which were not committed to writing. In other words, there was a deposit of teaching from God to Moses which was composed of written material, as well as unwritten traditions, and we could call this the deposit of the faith.
In the second place, the Jews of Christ's day, as well as
some earlier than this, believed that there had to be a
transmitting agent to transmit reliably what God had given Moses in
writing and orally. And so they developed the idea that there was a
transmitting mechanism to transmit the truth from generation to generation in
unbroken succession.
Kita harus kembali
ke zaman Perjanjian Lama. Sesungguhnya kita harus kembali ke zaman Musa. Ketika
Musa naik ke gunung Sinai, dia menerima wahyu dari Allah, yang kemudian diabadikan
dalam bentuk tulisan. Dan tulisan-tulisan itu dikenal sebagai Pentateuch, lima
buku pertama dalam Alkitab. Tetapi menurut konsep bangsa Yahudi di zaman Kristus,
kita dapati mereka mengajarkan
bahwa Allah juga memberikan Musa instruksi-instruksi dan ajaran-ajaran tertentu
yang tidak dituang dalam bentuk tulisan. Dengan kata lain, ada kumpulan
ajaran dari Allah kepada Musa yang terdiri atas bahan-bahan yang tertulis, dan
juga bahan-bahan yang tidak tertulis, dan ini
bisa kita sebut sebagai kumpulan ajaran agama.
Di tempat kedua, bangsa Yahudi di zaman Kristus,
dan bahkan juga sebelum itu, meyakini bahwa harus ada agen
penerus, suatu sarana untuk meneruskan dengan tepat apa yang telah diberikan
Allah kepada Musa secara tertulis maupun secara lisan. Maka mereka menciptakan
ide bahwa ada satu mekanisme penerus untuk
meneruskan penyampaian kebenaran dari generasi ke generasi secara terus-menerus
tanpa terputus.
I would like to read some statements from scholars of the day, as well as scholars of our day, on this idea of transmitting the deposit of faith from generation to generation in unbroken succession.
I'd like to begin by reading from Flavius Josephus. Josephus was a Jew, of course. He was a Pharisee, and he was born in the year 37 A.D., which means he was born only six years after the crucifixion of Jesus Christ. So I suppose he knew quite well the Hebrew, or the Jewish
concept of tradition in his day and age. This is what Josephus had to say: “The Pharisees had passed on to the people certain regulations handed down by former generations and not recorded in the Law of Moses.” [Antiquities of the Jews 13.10.6]
I want you to notice the technical
terminology: “passed on”, “handed down”, “sayings that Moses had spoken
orally, which were not recorded in the written Law of Moses”.
Saya ingin
membacakan beberapa pernyataan dari pakar-pakar Alkitab zaman itu dan zaman
kita sekarang, tentang konsep meneruskan kumpulan
ajaran agama dari generasi ke generasi secara berkesinambungan.
Saya ingin mulai
dengan membaca dari Flavius Josephus. Tentu saja, Flavius Josephus adalah seorang Yahudi, seorang Farisi,
dia dilahirkan tahun 37 AD, berarti dia lahir hanya enam tahun
setelah penyaliban Yesus Kristus. Jadi mestinya dia dukup mengenal budaya
Ibrani, atau konsep tradisi orang Yahudi pada zamannya. Inilah yang dikatakan
Josephus: “Orang-orang
Farisi telah meneruskan kepada umat, peraturan-peraturan tertentu yang
diwariskan oleh generasi-generasi sebelumnya, yang tidak tercatat dalam Hukum
Musa.” [Antiquities of the Jews 13.10.6]
Saya mau kalian
menyimak terminologi teknis ini: “meneruskan”, “diwariskan”,
“perkataan-perkataan yang diucapkan Musa secara lisan, yang tidak tercatat
dalam Hukum Musa.”
It's interesting, in the Jewish Talmud, which is
a collection of the traditions of the Jews, we find these significant
words, this is found in Aboth 1:1, 2, “Moses
received the Law from Sinai and committed it to Joshua, and Joshua to the
elders, and the elders to the prophets, and the prophets committed it to the
men of the Great Synagogue…” The
men of the Great Synagogue are those of the days of Ezra and Nehemiah.
So you'll notice that there was an unbroken
succession of transmission of what God had given Moses in this
concept of the days of Christ. Moses had given it to Joshua, Joshua
to the elders, the elders to the prophets, the prophets to the men of
the Great Synagogue. And then the final piece was added, which the men of
the Great Synagogue gave these messages, these traditions, to the
Rabbinical schools of the days of Christ.
Yang menarik, dalam Talmud Yahudi,
yaitu koleksi tradisi-tradisi bangsa Yahudi, kita menemukan kata-kata yang
signifikan ini, ini terdapat di Aboth 1:1, 2: “Musa menerima Hukum dari
Sinai dan mempercayakannya kepada Yosua, dan Yosua kepada para tua-tua, dan
para tua-tua kepada nabi-nabi, dan para nabi mempercayakannya kepada mereka
yang ada dalam Sinagog Besar…” Orang-orang dari Sinagog Besar adalah mereka yang dari
zaman Ezra dan Nehemiah.
Jadi kita lihat,
dalam konsep ini di zaman Kristus, ada kesinambungan yang tidak terputus pada
penyampaian yang telah diberikan Allah kepada Musa. Musa memberikannya kepada
Yosua, Yosua kepada para tua-tua, tua-tua kepada nabi-nabi, dan nabi-nabi
kepada anggota Sinagog Besar. Kemudian ditambahkan bagian yang terakhir,
orang-orang Sinagog Besar menyampaikan pesan-pesan itu, tradisi-tradisi itu
kepada sekolah-sekolah rabi-rabi [guru-guru agama] di zaman Kristus.
Now, significantly, Marcel Simon in the
book, Jewish Sects, has this to say
about the statement that I just read from the Jewish Talmud: “It is remarkable that after these words
from the Talmud of transmission, unbroken transmission, comes the
enumeration of several pairs of teachers. Antiginus of Soco, received the
law from Simeon the Just, etc., whose historical existence is more or
less certain. This list finally ends with Hillel and Shammai, famous
leaders of schools, that is in the days of Christ.”
So, basically, after the Talmud says that
the message of Moses was transmitted from Moses to Joshua, from
Joshua to the elders, from the elders to the prophets, from the prophets
to the men of the Great Synagogue, you have a list of twosomes; in other
words one leader,
transmitted to the next, and transmitted to the next. You have a long list of individuals who lived in succession, and passed on the information which God had given Moses; not only the written, but supposedly also the oral revelation which God had given to Moses.
In other words, there was a type of succession. We wouldn't call it apostolic succession, but we would call it a succession from one generation to another by passing it on from one rabbi, or one scribe to another.
transmitted to the next, and transmitted to the next. You have a long list of individuals who lived in succession, and passed on the information which God had given Moses; not only the written, but supposedly also the oral revelation which God had given to Moses.
In other words, there was a type of succession. We wouldn't call it apostolic succession, but we would call it a succession from one generation to another by passing it on from one rabbi, or one scribe to another.
Sekarang, secara signifikan,
Marcel Simon dalam bukunya Jewish Sects,
berkata demikian tentang pernyataan yang baru saya bacakan dari Talmud Yahudi: “Mengagumkan, bagaimana setelah kata-kata
ini dari kitab Talmud tentang penyampaian yang
berkesinambungan, muncul daftar nama beberapa pasang guru. Antiginus dari Soco
menerima hukum itu dari Simeon yang Adil, dll., yang eksistensinya kurang lebih bisa dibenarkan oleh sejarah. Daftar itu
akhirnya ditutup dengan nama Hillel dan Shammai, pemimpin-pemimpin sekolah
rabi-rabi yang terkenal di zaman Kristus.”
Jadi pada dasarnya, setelah
kitab Talmud berkata bahwa pesan-pesan Musa diteruskan dari Musa kepada Yosua,
dari Yosua kepada para tua-tua, dari tua-tua kepada nabi-nabi, dari nabi-nabi
kepada mereka yang di Sinagog Besar, ada daftar pasangan-pasangan nama;
dengan kata lain, satu pemimpin meneruskannya kepada yang berikutnya, dan yang
berikutnya meneruskan kepada yang berikutnya lagi. Ada suatu daftar panjang
dari nama orang-orang yang hidup berurutan, yang meneruskan informasi yang
diberikan Allah kepada Musa; bukan hanya yang tertulis, tetapi konon juga
wahyu-wahyu lisan yang diberikan Allah kepada Musa. Dengan kata lain, ada
sejenis suksesi. Kita tidak akan menyebutnya suksesi apostolik, tetapi kita akan menyebutnya suatu
suksesi dari satu generasi ke generasi yang lain dengan meneruskan dari satu
rabbi atau satu ahli Taurat kepada yang lain.
Now I'd like to read another statement by
Marcel Simon. He says this:
“In their eyes…” that is in the eyes of the Pharisees, “…the tradition that they invoked in doing this, far from opposing the Torah…” which is the written Revelation “…was the natural prolongation and explication of it….” In other words, the traditions which were shared, which supposedly Moses had received orally on Mt. Sinai, they were not actually additions to the written Torah. They were not actually information that had not existed before, they were the prolongation and explication of it. “…This tradition went back to Moses himself, just as did the Torah…” which is the written Revelation “…An oral Law was revealed to Moses along with the written Law, and this oral Law was faithfully transmitted from generation to generation.”
“In their eyes…” that is in the eyes of the Pharisees, “…the tradition that they invoked in doing this, far from opposing the Torah…” which is the written Revelation “…was the natural prolongation and explication of it….” In other words, the traditions which were shared, which supposedly Moses had received orally on Mt. Sinai, they were not actually additions to the written Torah. They were not actually information that had not existed before, they were the prolongation and explication of it. “…This tradition went back to Moses himself, just as did the Torah…” which is the written Revelation “…An oral Law was revealed to Moses along with the written Law, and this oral Law was faithfully transmitted from generation to generation.”
Sekarang saya
ingin membacakan pernyataan yang lain dari Marcel Simeon. Dia berkata demikian:
“Dalam
pemandangan mereka…” maksudnya dalam pemandangan orang-orang Farisi, “…tradisi yang mereka
pakai sebagai dasar wewenang melakukan ini, sama sekali tidak bertentangan
dengan Taurat…” yaitu wahyu yang tertulis, “…malah ialah perkembangannya yang alami
dan penjelasannya…” Dengan kata lain, tradisi-tradisi yang diteruskan, yang konon diterima
Musa secara lisan di Gunung Sinai, sesungguhnya bukanlah penambahan-penambahan
pada Taurat yang tertulis, itu bukanlah informasi yang sebelumnya tidak ada,
mereka adalah perkembangan dan penjelasan
dari Taurat yang tertulis itu. “…Tradisi ini berasal dari Musa sendiri,
sama seperti Taurat…” yaitu wahyu yang tertulis. “…Suatu Hukum yang lisan
dinyatakan kepada Musa bersama-sama dengan Hukum yang tertulis, dan Hukum yang lisan
ini diteruskan dari generasi ke generasi dengan setia.”
And so you have these scholars, among them
Flavius Josephus, who say that this deposit of truth, which God had
given to Moses, both the written books of Moses, and supposedly the
oral traditions, which God had given to Moses, which had not been committed to writing, were transmitted from generation to generation, from one scribe, from one religious
leader to another.
oral traditions, which God had given to Moses, which had not been committed to writing, were transmitted from generation to generation, from one scribe, from one religious
leader to another.
Jadi ada
pakar-pakar Taurat ini, di antaranya Flavius Josephus yang berkata bahwa
kumpulan kebenaran ini, yang telah diberikan Allah kepada Musa, baik kitab-kitab
yang ditulis Musa dan konon tradisi-tradisi lisan yang diberikan Allah kepada
Musa yang tidak dituangkan dalam tulisan, diteruskan dari generasi ke generasi,
dari satu ahli Taurat, dari satu pemimpin agama ke yang lain.
Perhaps I can read one more statement. This
one is by George Foot Moore, who wrote two
volumes called, Judaism. This is the standard in the field. He says this: “To be of any use such a chain of tradition must possess unbroken continuity.” [Vol.1 pg.35]
volumes called, Judaism. This is the standard in the field. He says this: “To be of any use such a chain of tradition must possess unbroken continuity.” [Vol.1 pg.35]
Mungkin saya bisa
membacakan satu pernyataan lagi. Yang ini dari George Foot Moore, yang menulis
dua jilid buku berjudul Judaism. Inilah
standarnya di bidangnya. Dia berkata demikian: “Agar bisa mempunyai
manfaat, rantai tradisi seperti ini haruslah berkesinambungan tanpa terputus.”
[Vol. 1 hal. 35]
So we've noticed two things so far.
1.
First
of all we found that, according to the Jewish concept of tradition, there
were the writings of Moses, and the unwritten revelation, which God had
also given Moses on Mt. Sinai, which formed a deposit of truth.
2.
We
also noticed secondly, that there was a process of transmission from
generation to generation, supposedly in unbroken succession from one
scholar, from one Rabbi, or one teacher to another.
3.
But
there's a third element in this concept, and that is that in every
age there needed to be a living interpreter of the tradition which had
been passed on. In other words, there had to be, we might call a
Magisterium, which would bring forth only that which
Moses had supposedly spoken, and only what was contained in the tradition
itself, according to this concept.
Jadi sampai di
sini kita telah melihat dua hal:
1.
Pertama, kita melihat bahwa menurut konsep tradisi
Yahudi, ada tulisan-tulisan Musa dan ada wahyu yang tidak tertulis, yang juga
diberikan Allah kepada Musa di Gunung Sinai, yang membentuk kumpulan kebenaran.
2.
Kedua, kita juga melihat ada proses penerusan dari
generasi ke generasi, konon dalam suksesi yang tidak pernah terputus, dari satu
ahli kitab, dari satu rabbi, atau dari satu guru ke yang lain.
3.
Tetapi ada unsur ketiga dalam konsep ini, dan itu ialah
bahwa setiap zaman harus ada seorang
penerjemah yang berwewenang untuk zaman itu, penerjemah atas tradisi yang telah
diturunkan itu. Dengan kata lain harus ada, bisa kita sebut, suatu Magisterium,
yang akan mengemukakan hanya apa yang konon pernah dikatakan Musa, dan hanya
apa yang terdapat dalam tradisi itu sendiri, menurut konsep ini.
Now this is what is meant in Matthew 23:1, 2 where Jesus is indicting the scribes and the Pharisees. He says this in Matthew 23:1, 2: “1 Then Jesus spoke to the multitudes and to His disciples, 2 saying,…” Now notice this “…‘The scribes and the Pharisees sit in Moses’ seat…” The word “seat” there is the word “cathedra”. It could be translated “throne”, because it's translated that way in other places in the New Testament. In other words the scribes and Pharisees sit on Moses' throne, or on Moses' seat.
Nah, inilah yang dimaksud oleh Matius 23:1-2 di mana Yesus menuduh para ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Dia berkata demikian di Matius 23:1-2: “1 Maka berkatalah Yesus kepada orang banyak dan kepada murid-murid-Nya, kata-Nya:…” sekarang, perhatikan, “…2 ‘Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi duduk di tempat duduk Musa.’…” kata “tempat duduk” di sini adalah kata “kathedra”. Kata itu bisa diterjemahkan “takhta” karena di bagian lain Perjanjian Baru, kata itu diterjemahkan demikian. Dengan kata lain, para ahli Taurat dan orang-orang Farisi duduk di takhta Musa atau di tempat duduk Musa.
Now what does this mean that they sat on Moses seat? The Roman Catholic Commentary, the Jerome Bible Commentary, explains what Moses' seat means. Notice the statement:
“The phrase [Moses’ seat] is most probably a metaphor for the authority of the scribes to teach. In rabbinical tradition, the interpretation of the Law was carried on in a scribal tradition that theoretically went back to an unbroken chain of scribes to Moses…” And, of course, Jerome, the author of this article is saying, “…This view is, of course, entirely unhistorical.”
Nah, apa artinya ini, mereka
duduk di tempat duduk Musa? The Jerome Bible
Commentary, buku komentar Alkitab Roma Katolik, menjelaskan apa makna
tempat duduk Musa. Perhatikan pernyataan ini: “Ungkapan itu [tempat
duduk Musa] kemungkinan besar adalah metafor dari wewenang para ahli Taurat
untuk mengajar. Menurut tradisi rabbinika, interpretasi Hukum dilakukan sesuai
tradisi para ahli Taurat yang secara theoretis berasal dari rantai para ahli
Taurat yang tidak terputuskan hingga ke Musa…” Dan tentu saja, Jerome, penulis artikel ini mengatakan, “…Pandangan ini,
tentunya, seluruhnya tidak berdasarkan sejarah.”
In other words, sitting on Moses' seat meant that the Pharisees were the living interpreters of what Moses had passed on from generation to generation. They were the ones who said if a tradition was genuine or not. They could bring forth teachings which, supposedly, Moses had spoken of, but had not been brought forth yet from the deposit of unwritten traditions. In other words, they had the authority to say what was a genuine tradition, and was not a genuine tradition. According to Simon, and I read once again: “The transmission of oral tradition,…” that's the things that were not written by Moses, “…made Phariseeism the living element of official Judaism. It was the tradition that allowed the Pharisees to justify all the elaborations that they introduced regarding the Scriptural precepts on the level of observances as well as on the level of doctrine.” So whenever they brought forth a teaching that was not contained in the writings of Moses, they would say, “We have the authority to say that this belongs to the unwritten tradition that was handed down by Moses.” And thus they could bring out new practices, they could bring out things that supposedly were in the deposit, which actually had not been there. But they had the authority because, supposedly, they were sitting on Moses' seat. In other words, they had the authority and the clout of Moses behind them.
Dengan kata lain, duduk di tempat duduk Musa
berarti orang-orang Farisi adalah penerjemah-penerjemah yang berwewenang saat
itu atas apa yang telah diwariskan Musa dari generasi ke generasi. Merekalah yang
menentukan apakah suatu tradisi itu tulen atau tidak. Mereka bisa mengemukakan
ajaran-ajaran yang konon pernah dikatakan Musa tetapi yang belum pernah diperkenalkan
dari kumpulan tradisi yang tidak tertulis. Dengan kata lain, mereka memiliki
wewenang untuk mengatakan tradisi yang tulen itu yang bagaimana, dan yang tidak
tulen, bagaimana. Menurut Simon, saya bacakan lagi, “Penyampaian tradisi lisan…”
yaitu hal-hal yang
tidak ditulis oleh Musa, “…membuat Farisi-isme menjadi unsur yang
berkuasa atas Yudaisme yang resmi. Tradisilah yang telah mengizinkan
orang-orang Farisi membenarkan semua penambahan yang mereka perkenalkan atas peraturan-peraturan
Kitab Suci yang menyangkut kepatuhan dan juga yang menyangkut doktrin.”
Jadi kapan saja
mereka mengemukakan suatu ajaran yang tidak terdapat dalam tulisan-tulisan
Musa, mereka akan berkata, “Kami memiliki wewenang untuk mengatakan bahwa hal
ini termasuk dalam tradisi yang tidak tertulis yang telah diwariskan
turun-temurun oleh Musa.” Dengan demikian mereka bisa memperkenalkan
praktek-praktek baru, mereka bisa memperkenalkan hal-hal yang konon terdapat dalam kumpulan
ajaran, yang sesungguhnya tidak ada. Tetapi orang-orang Farisi ini memiliki
wewenangnya karena
konon mereka sedang duduk di tempat duduk Musa.
Dengan kata lain mereka punya wewenang dan pengaruh istimewa Musa di belakang
mereka.
So let’s summarize the Hebrew, or the
Jewish view of tradition as it existed in the days of Christ.
1.
First
of all there was a deposit of truth composed of the writings of Moses, and the
unwritten traditions which God had spoken orally to Moses.
2.
Secondly
there was a
transmitting element. From generation to generation. These truths,
both the written and the unwritten, supposedly, were passed on in
unbroken succession all the way till the days of Christ.
3.
And
in the third place, you have the living interpreter in the days of Christ,
which are the scribes and the Pharisees who sit on the throne of Moses,
and speak
ex cathedra. In other words they speak from the throne, or they speak
from the seat of Moses. They are the ones who can say, “This
is a genuine tradition, and this is not a genuine tradition. This is
what is to be obeyed, and this is what is not necessarily to be
obeyed.” Interestingly enough, the people had to render blind obedience to
what was taught by the scribes and the Pharisees who sat on Moses'
seat.
Jadi, marilah kita
simpulkan pandangan bangsa Ibrani atau Yahudi tentang tradisi sebagaimana yang
terdapat di zaman Kristus.
1.
Pertama, ada
kumpulan kebenaran yang terdiri atas tulisan-tulisan Musa, dan tradisi-tradisi yang tidak
tertulis yang dikatakan Tuhan kepada Musa secara lisan.
2.
Yang kedua, ada suatu unsur penyampaian, dari generasi ke
generasi. Kebenaran-kebenaran ini, baik yang tertulis dan yang tidak tertulis,
konon diteruskan dalam suksesi
yang tidak terputus sejak Musa ingga zaman Kristus.
3.
Dan yang ketiga, ada penerjemah
yang berwewenang di zaman Kristus, yaitu para ahli Taurat dan
orang-orang Farisi yang duduk di takhta Musa dan berbicara “ex-cathedra”, dengan kata lain mereka berbicara dari atas
takhta, atau mereka berbicara dari tempat duduk Musa. Merekalah
yang berhak mengatakan, “Ini adalah tradisi yang tulen dan itu bukan tradisi
yang tulen. Ini yang harus dipatuhi, dan itu tidak perlu dipatuhi” Yang
menarik, umat harus percaya buta kepada
apa yang diajarkan oleh para ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang duduk di
tempat duduk Musa.
I want to read this statement that's found
in Antiquities of the Jews. It's
written by Flavius Josephus once again, the Jewish Pharisee. Notice what
he says: “The Pharisees have
delivered to the common people by tradition from a continuous succession of
fathers, certain legal regulations which are not written in the Law of Moses,
on which account the Sadducean sort rejects them, affirming that what is
written is to be regarded as law, but what comes from the tradition of the
fathers is not to be observed…” So notice there was a discrepancy between the Sadducees
and the Pharisees. The Pharisees believed that, according to
this, the common people had to accept the tradition which was passed
on in continuous succession from the fathers. Josephus continues
saying: “…On this point the Pharisees have the mass of
the people on their side, and they have so much influence that anything they
say, even against a king or a high priest, finds ready credence.” In other words, their word was final. If
they said that this was found in the deposit of oral tradition that God
gave Moses, even if it wasn't in the writings of Moses, people had to
accept it on their say so, because they spoke from Moses' seat; they spoke
from the cathedra.
Saya mau membaca
pernyataan yang terdapat di Antiquities of the
Jews. Ini ditulis oleh Flavius Josephus sekali lagi, orang Farisi Yahudi.
Perhatikan apa yang dikatakannya, “Orang-orang Farisi telah
menyampaikan kepada orang-orang awam, tradisi dari suksesi para bapak yang
terus berkesinambungan, peraturan-peraturan tertentu yang resmi yang tidak
tertulis dalam Taurat Musa. Karena itulah orang-orang Saduki menolak mereka,
menegaskan bahwa apa yang tertulis itulah yang harus dianggap sebagai Hukum,
tetapi apa yang berasal dari tradisi bapak-bapak tidak untuk dipatuhi…” Jadi perhatikan,
ada perbedaan antara orang-orang Saduki dan orang-orang Farisi. Menurut ini, orang-orang
Farisi meyakini, bahwa umat yang awam harus menerima tradisi yang telah diturunkan secara suksesif yang tidak pernah terputus dari para
bapak. Josephus melanjutkan berkata, “…Dalam hal ini orang-orang Farisi didukung
oleh mayoritas umat, dan orang-orang Farisi ini memiliki pengaruh yang begitu
besar sehingga apa pun yang mereka katakan, bahkan yang menentang seorang raja,
atau imam besar pun, mendapatkan kepercayaan dari umat.” Dengan kata lain,
apa yang mereka katakan itu harus diterima. Jika mereka
berkata bahwa ini terdapat dalam kumpulan tradisi lisan yang diberikan Allah
kepada Musa walaupun itu tidak terdapat dalam tulisan-tulisan Musa, umat harus
mempercayai apa yang mereka katakan, karena mereka berbicara dari tempat duduk
Musa, mereka berbicara dari kathedra.
Now is this concept of tradition clear in your mind? It's very important that we understand it because we're going to come back to this when we deal with the Roman Catholic view of tradition. However, allow me to ask the question, “What distinguished the authority of Jesus from the authority of the scribes and the Pharisees?”
It's interesting to notice that time and
again in the gospels the Pharisees and the scribes are questioning the
right of Jesus to teach. They're asking Him, “On what authority are
You doing this?” Because they were sitting on Moses' seat. They
said, “We can teach the writings of Moses, and we can say what is a
genuine oral tradition and what isn't, but this guy didn't even go to our
schools. By what authority are You teaching these things?”
Allow me to give you some examples. Matthew
7:28, 29, immediately after the parable of the man who built his house on
the rock, and the man who built his house upon the sand, we find these
words: “28 And
it came to pass, when Jesus had ended these sayings, the people were astonished
at His doctrine: 29 For He
taught them as one having authority, and not as the scribes.”
Jesus had never gone to the rabbinical
schools, and yet we're told that Jesus spoke with authority, and not
as the scribes.
Nah, apakah konsep
tradisi ini jelas bagi kalian? Sangat penting kita memahaminya karena nanti
kita akan kembali ke mari saat kita membahas pandangan Roma Katolik mengenai
tradisi. Tetapi, izinkan saya mengajukan pertanyaan, “Apa yang membedakan
wewenang Yesus dari wewenang para ahli Taurat dan orang-orang Farisi?”
Yang menarik ialah
kita melihat berulang-ulang dalam kitab Injil, orang-orang Farisi dan ahli-ahli
Taurat mempertanyakan wewenang Yesus untuk mengajar. Mereka bertanya kepadaNya,
“Atas wewenang apa Engkau melakukan ini?” Karena mereka kan duduk di tempat
duduk Musa, jadi mereka berkata, “Kami berhak mengajarkan tulisan-tulisan Musa,
dan kami berhak mengatakan mana tradisi lisan yang tulen dan mana yang bukan,
tetapi Orang ini bahkan tidak pernah bersekolah di sekolah kami. Berdasarkan
wewenang apa Engkau mengajarkan hal-hal ini?”
Izinkan saya
memberikan beberapa contoh. Matius 7:28-29, segera setelah perumpamaan orang
yang membangun rumahnya di atas batu karang dan orang yang membangun rumahnya
di atas pasir, kita mendapati kata-kata ini: “28 Dan setelah Yesus mengakhiri perkataan ini,
takjublah orang banyak itu mendengar pengajaran-Nya, 29 sebab Ia
mengajar mereka sebagai orang yang memiliki
kuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat mereka.”
Yesus tidak pernah
bersekolah di sekolah rabbi-rabbi, namun kita mendapat tahu bahwa Yesus
berbicara dengan kuasa, tidak seperti para ahli Taurat.
Once again in Matthew 13:54 we find these
words: “And when He was come into His own country, He
taught them in their synagogue,…” this is Jesus,
“…insomuch that they were astonished, and said, ‘Whence hath this man
this wisdom, and these mighty works?’…” In other words, “where does this Man get His wisdom
from? He hasn't come to learn from us, the theological cadre of
Israel; the ones who are able to say what is the genuine tradition and what isn't.”
Also in John 7:15 we find the same issue
coming forth again. We're told there: “And
the Jews marvelled, saying, ‘How knoweth this Man letters, having never
learned?’”
Sekali lagi di
Matius 13:54 kita mendapatkan kata-kata ini, “54 Ketika Dia…” ini Yesus, “… datang ke tempat asal-Nya, Yesus mengajar
orang-orang di situ di rumah ibadat mereka. Sehingga
takjublah mereka dan berkata: ‘Dari mana diperoleh-Nya hikmat itu dan kuasa
untuk mengadakan mujizat-mujizat itu?” Dengan kata lain, “Dari mana Orang ini mendapat hikmatNya?
Dia tidak pernah belajar dari kita, kader-kader theologi Israel, yang berhak
mengatakan apa tradisi yang tulen dan apa yang bukan.”
Juga di Yohanes
7:15 kita mendapatkan isu yang sama muncul lagi. Kita mendapat tahu di sana, “15 Maka
heranlah orang-orang Yahudi dan berkata: ‘Bagaimanakah Orang ini tahu tulisan-tuliasn, tanpa belajar?"
And if you read the gospels, you'll find that the multitudes followed Jesus. They admired His teaching. They were attracted to His teaching, whereas the teaching rooms of the Pharisees and the scribes were empty. And the gospels tell us that because of this reason, the scribes and Pharisees were jealous of Jesus. You see, Jesus had authority, even though He had not studied in the theological schools.
Dan jika kalian
baca kitab-kitab Injil, kalian akan mendapatkan banyak orang mengikuti Yesus.
Mereka mengagumi ajaran-ajaranNya. Mereka tertarik pada ajaran-ajaranNya,
sementara ruang-ruang kelas orang-orang Farisi dan para ahli Taurat, kosong. Dan kitab-kitab Injil
mengatakan kepada kita bahwa karena alasan inilah, para ahli Taurat dan
orang-orang Farisi iri hati pada Yesus. Kalian lihat, Yesus memiliki kuasa,
walaupun Dia tidak pernah belajar di sekolah-sekolah theologi.
In John 7:46 we find the officers of the
temple returning to bring back a report to the Pharisees, because they
had been sent to listen to Jesus. And notice what these officers
said: “Never man spake like this Man.” In other words there is something
powerful in His manner of speaking.
Di Yohanes 7:46, kita mendapati petugas-petugas Bait Suci kembali membawa
laporan kepada orang-orang Farisi karena mereka tadinya dikirim untuk
mendengarkan Yesus. Dan perhatikan apa kata petugas-petugas ini: “Belum pernah ada
manusia berbicara seperti Orang
itu!" Dengan kata lain cara Yesus berbicara
itu ada kekuatannya.
Once again, in Mark 11:27, 28, we find the
same phenomenon. We're told there: “27 And
they come again to Jerusalem: and as He was walking in the temple, there come
to Him the chief priests, and the scribes, and the elders, 28 and
say unto Him, ‘By what authority doest Thou these things? And who gave Thee
this authority to do these things?” In other words, “Where do You get Your authority
from? You should have gotten it from us, because we sit on the
cathedra. We say what can be taught and what can't be taught, what
is a genuine tradition, and what is not a genuine tradition.” Well, as we
read the gospels, we discover the reason why the teachings of Jesus had
power and authority. It's because
Jesus Christ, whenever He spoke, He corroborated what He said with Holy Scripture. You
will never find Jesus saying, “Rabbi Shammai said such and such a thing”,
or “Rabbi Hillel said such and such a thing.” You'll never find
Jesus quoting the theological experts of His day and age. You'll
never notice that Jesus quotes oral tradition that supposedly went back to
Moses. Jesus always confronted His enemies, and always taught from
the Word of God.
Sekali lagi di
Markus 11:27-28 kita mendapatkan fenomena yang sama. Kita diberitahu di sana: “27 Lalu Yesus dan murid-murid-Nya datang lagi ke Yerusalem. Ketika Yesus berjalan
di halaman Bait Allah, datanglah kepada-Nya imam-imam kepala, ahli-ahli Taurat
dan tua-tua, 28 dan bertanya kepada-Nya: ‘Dengan kuasa manakah
Engkau melakukan hal-hal itu? Dan siapakah yang memberikan kuasa itu kepada-Mu,
untuk melakukan hal-hal itu?" Dengan kata lain, “Dari mana Engkau memperoleh kuasaMu
itu? Engkau seharusnya memperolehnya dari kami karena kami yang duduk di
kathedra. Kami yang menentukan apa yang bisa diajarkan dan apa yang tidak, apa
tradisi yang tulen dan apa yang bukan.” Nah, jika kita membaca kitab-kitab
Injil kita menemukan alasan
mengapa ada kekuatan dan kuasa dalam
ajaran-ajaran Yesus. Itu karena setiap kali Yesus Kristus berbicara, Dia
membekking apa yang
dikatakanNya dengan Kitab Suci. Kita tidak akan
mendapati Yesus berkata, “Rabbi Shammai mengatakan demikian” atau “Rabbi Hillel
mengatakan demikian- demikian.” Kita
tidak akan menemukan Yesus mengutip ahli-ahli theolog zamanNya. Kita tidak akan
menemukan Yesus mengutip tradisi lisan yang konon berasal dari Musa. Yesus selalu
mengkonfrontasi musuh-musuhNya dan selalu mengajar
dari Firman Allah.
Allow me to give you some examples.
On the Mount of Temptation, according to Matthew 4, three times Jesus
said to the devil, “It
is written.” And, by the way,
He quoted three times from the book of Deuteronomy. Deuteronomy 8:3,
6:16, and 6:13. Jesus corroborated His mission, and defended Himself
against temptation through quoting the Word. When Jesus began His
ministry we find in Luke 4:21 that He quoted Isaiah 61:1, 2: “The Spirit of the Lord is upon Me…”
He authenticated His mission through
Scripture. When the young lawyer came to Jesus and asked Him what
the great commandment was, Jesus says, “Well, you're an expert in
the law. You're a lawyer. You're a scribe. You tell Me!” And then
this young man, of course, quotes Scripture, because Jesus said, “What is
it that the law contains about this?”
Izinkan saya memberikan beberapa contoh. Di Bukit
Pencobaan, menurut Matius pasal 4, tiga kali Yesus berkata kepada Iblis, “Ada
tertulis”. Dan ketahuilah tiga kali Yesus mengutip dari kitab Ulangan: Ulangan 8:3,
6:16, dan 6:13. Yesus membekking misiNya, dan mempertahankan DiriNya terhadap
pencobaan dengan mengutip Firman. Ketika Yesus mengawali pelayananNya, kita
lihat di Lukas 4:21 Dia mengutip Yesaya 61:1-2
“Roh Tuhan ALLAH ada padaKu…” Dia membuktikan keaslian pelayananNya melalui Firman
Allah. Ketika seorang ahli hukum muda datang ke Yesus dan bertanya, apakah
perintah yang agung itu, Yesus berkata, “Nah, kamu kan ahlinya dalam hukum.
Kamu ahli hukumnya, kamu ahli Taurat. Coba kamu yang memberitahu Aku!” Lalu
tentu saja orang muda ini mengutip Firman karena Yesus berkata, “Apa yang ada
dalam Hukum tentang hal ini?”
We find also in Matthew 21:42, in the
parable of the vineyard workers, that Jesus quotes Scripture by
saying, “the stone that the builders rejected has
become the chief cornerstone.”
Kita juga melihat
di Matius 21:42 di perumpamaan pekerja kebun anggur, bahwa Yesus mengutip
Firman dengan berkata, “batu yang ditolak oleh tukang-tukang bangunan
telah menjadi batu penjuru.”
Also, Matthew 22:29, the seven brothers. You remember the experience of the seven brothers? They died one by one, and this woman was left a widow each time, and so they asked Jesus, “Whose wife is this woman going to be in the resurrection?”
And Jesus says, “You err, not knowing the Scriptures or the power of God.” And then Jesus quotes the fact that God is the God of Abraham, Isaac, and Jacob, and God is not a God of the dead, but He is a God of the living. He quotes Scripture once again.
Juga, di Matius
22:29, tentang tujuh bersaudara. Kalian ingat pengalaman ketujuh saudara?
Mereka mati satu per satu, dan setiap kali perempuan itu menjadi janda. Maka
mereka bertanya kepada Yesus, “Pada saat kebangkitan, perempuan ini menjadi
istri siapa?” Dan Yesus berkata, “Kamu
sesat, sebab kamu tidak mengerti Kitab Suci maupun kuasa Allah!” Lalu Yesus mengutip faktanya bahwa Allah adalah Allah
Abraham, Ishak dan Yakub, dan Allah bukanlah Allah orang mati tetapi Dialah
Allah orang hidup. Sekali lagi Yesus mengutip Firman.
When Jesus cleansed the temple He quoted
Jeremiah saying,
“You have made My house a den of thieves.” Once again He's authenticating what He's
doing from Holy Scripture.
Ketika Yesus
membersihkan Bait Suci, Dia mengutip Yeremia berkata, “Kamu
telah membuat rumahKu menjadi sarang penyamun.” Sekali lagi Yesus membuktikan keaslian apa yang dilakukanNya dari Kitab Suci.
When the Pharisees came to Jesus and said, “Well,
Moses said that we could get divorced for any cause,” Jesus says, “Yeah,
you might say that, and you might interpret Moses that way, but let Me
tell you, at
the beginning it was not so. He who made them at the beginning made
them male and female. God
established marriage.” Once again Jesus resolves the issue by going to
Scripture.
Ketika orang-orang
Farisi datang pada Yesus dan berkata, “Nah, Musa berkata kami boleh bercerai
demi alasan apa pun.” Yesus berkata, “Yah, bisa dikatakan demikian dan kamu
mungkin menginterpretasikan Musa seperti itu, tetapi Aku katakan kepadamu, pada
awal mulanya tidak begitu. Dia yang membuat mereka [= manusia] pada awal
mulanya, membuat mereka laki-laki dan perempuan. [Mat. 19:4] Allah yang menciptakan perkawinan.” Sekali lagi Yesus
menyelesaikan isunya dengan merujuk Firman.
In fact when they questioned Jesus how He
can be witnessing in the things that He's talking about, Jesus says, “Well,
your Scriptures say that in the mouth of two or three witnesses every
word is confirmed.” He says, “Well, I have the witness of my Father,
and I have My witness, so that's two.” He's actually quoting Scripture in
John 8:17, 18.
When they asked Jesus how He thought He had
a right to call Himself the Messiah, Jesus quoted Psalm 110:1, 2. “Sit at My right hand until I make
Your enemies Your footstool.”
John 5, Jesus said, “If you believe Moses, you would
believe Me, for he wrote about Me.”
Bahkan saat mereka
bertanya kepada Yesus bagaimana Dia bisa bersaksi dalam hal-hal yang
dikatakanNya, Yesus berkata, “Nah, Kitab Sucimu berkata bahwa dari mulut dua
atau tiga orang saksi, setiap perkataan itu diteguhkan.” Yesus berkata, “Nah,
Bapa-Ku adalah saksi-Ku, dan Aku bersaksi tentang DiriKu sendiri, jadi itu
sudah dua.” Sebenarnya di Yohanes
8:17,18 Yesus sedang mengutip Firman [Ulangan 17:6]
Ketika mereka
menanyai Yesus bagaimana Dia menganggap Dia berhak menyebut DiriNya Sang
Mesias, Yesus mengutip Mazmur 110:1-2 “Duduklah
di sebelah kanan-Ku, sampai Kubuat musuh-musuhmu menjadi tumpuan kakimu."
Yohanes 5, Yesus
berkata, “Jikalau kamu percaya kepada
Musa, tentu kamu akan percaya juga kepada-Ku, sebab ia [= Musa] telah menulis
tentang Aku.”
Even after the resurrection on the road to
Emmaus, we're told, “And
beginning with Moses, and from all of the prophets, He told them in all
of the Scriptures the things concerning Himself.” What gave Jesus power and authority
was the fact that Jesus got His message from Scripture, not
from unwritten tradition.
Bahkan setelah
kebangkitanNya, dalam perjalanan ke Emaus, kita diberitahu, “Lalu Ia menjelaskan kepada mereka apa yang
tertulis tentang Dia dalam seluruh Kitab Suci, mulai dari kitab-kitab Musa dan
segala kitab nabi-nabi.” [Lukas 24:27] Yang memberi Yesus kuasa dan wewenang
adalah fakta bahwa Yesus mendapatkan
pekabaranNya dari Kitab suci, bukan dari tradisi yang tidak tertulis.
Now I would like to go to an example of this concept in the days of Jesus. This is the passage that we find in Mark 7:1-13. And I'm going to read this passage, and I'm going to stop as we go along to underline certain very important points.
Marks 7:1 “1
Then the Pharisees and some of the scribes…” I want you to notice that it's the same group, it's
the same group that sit on Moses cathedral. They are the ones who think
they have authority to define what is a true tradition handed down from
Moses. So it says: “1 Then the Pharisees and some of the scribes
came together to Him having come from Jerusalem. 2 Now when they saw some of His
disciples eat bread with defiled, that is, with unwashed hands, they found
fault…” Now this is not talking about
hygiene. This is not talking about washing your dirty hands before
you eat. This
is a practice which had been established by oral tradition that they
needed to ceremonially wash their hands several times as they were about
to partake of their meal. Notice verse 3: “ 3 For the
Pharisees and all the Jews do not eat unless they wash their hands in a special
way,…” And now I want you to notice: “…holding…”
remember that word. That's a
technical term, “…holding the tradition…” that also is a technical term, “…the tradition of the elders…” Holding the tradition of the elders. Why did they
practice the ceremonial washing? Because Moses said so? No, because
they hold the tradition of the elders. Now what does this expression
mean; “the tradition of the elders”? Notice what the Jerome Bible Commentary has to say. This
is a Roman Catholic Bible Commentary. “…the
expression ‘tradition of the elders’ is
a rabbinical term…” that is a term of the rabbi's
“…for the body of unwritten Laws that the Pharisees considered as
equally binding as the written Torah.” Did you
catch that? I'll read it again. “…This expression, ‘the
tradition of the elders’,
is a rabbinical term for the body of unwritten laws that the
Pharisees considered as equally binding as the written Torah.”
Sekarang saya
ingin ke sebuah contoh tentang konsep ini di zaman Yesus. Bacaannya kita dapati
di Markus 7:1-13, dan saya akan membacakan bacaan ini, dan saya akan berhenti
sambil membaca untuk menggarisbawahi poin-poin tertentu yang sangat penting.
Markus 7:1 “1 Lalu
orang-orang Farisi dan beberapa ahli Taurat…” saya mau kalian
simak bahwa ini adalah kelompok yang sama, kelompok yang sama yang duduk di
kathedra Musa. Mereka inilah yang beranggapan mereka memiliki wewenang untuk
menentukan apa tradisi yang tulen yang diturunkan Musa. Maka
dikatakan, “…“1 Lalu orang-orang Farisi dan beberapa ahli
Taurat dari Yerusalem datang bersama-sama menemui
Yesus. 2 Ketika mereka melihat,
bahwa beberapa orang murid-Nya makan roti dengan
tangan najis, yaitu dengan tangan yang tidak dibasuh, mereka mencari-cari kesalahan…”
nah, ini tidak berbicara tentang
kebersihan. Ini tidak berbicara tentang membasuh tangan yang kotor sebelum
makan. Ini adalah praktek yang
diciptakan oleh tradisi tidak tertulis bahwa mereka harus melakukan upacara
membasuh tangan mereka beberapa kali pada saat mereka akan makan.
Perhatikan ayat 3, “…3
Sebab orang-orang Farisi dan semua orang
Yahudi tidak makan kecuali mereka membasuh
tangan mereka secara khusus,…” dan sekarang saya
mau kalian perhatikan, “…berpegang…” ingat kata ini,
ini adalah istilah teknis, “…berpegang pada adat istiadat…” ini juga istilah
teknis, “…para tua-tua mereka…” Mengapa mereka mempraktekkan upacara pembasuhan ini?
Karena Musa memerintahkannya? Tidak. Karena mereka berpegang pada adat istiadat
[tradisi] para tua-tua mereka. Nah, apa maknanya “adat-istiadat para tua-tua”?
Perhatikan apa kata Jerome Bible Commentary.
Ini adalah Bible Commentary milik Roma Katolik. “’Istilah tradisi/adat-istiadat para tua-tua’ adalah
istilah rabbi-rabbi…” artinya ini adalah
istilah ciptaan para rabbi, “…karena orang-orang
Farisi menganggap kumpulan Hukum yang tidak tertulis, itu sama mengikatnya
sebagaimana Taurat yang tertulis.” Apakah kalian
menangkapnya? Saya bacakan lagi. “…’Istilah
tradisi/adat-istiadat para tua-tua’ adalah istilah rabbi-rabbi karena orang-orang
Farisi menganggap kumpulan Hukum yang
tidak tertulis, itu sama mengikatnya sebagaimana Taurat yang tertulis.”
Now notice verse 4. “ 4 And
when they come from the market
place, they do not eat unless they wash; and…” notice that this is only the tip of the
iceberg. There are many other things in which they go by tradition
also. “…And there are
many other things which they have received…” remember that word, “…which they have received and hold…” these are technical terms, “…received and
hold like the washing of cups, pitchers, copper vessels and couches.”
Now what terms have we noticed so far? “holding”,
“tradition”, “received”, “hold”, “passed on”, I want you to remember
those terms, because we're going to come back to them.
Notice verse 5: “ 5 The Pharisees and the scribes asked
Him, ‘Why do Your disciples not walk according to the tradition of the elders,
but eat bread with unwashed hands?" In other words, “Why don't they go by the tradition that
we say goes all the way back to the days of Moses, even though it's
not written in the writings of Moses?”
Sekarang, perhatikan ayat 4, ”…4
dan ketika mereka pulang dari pasar mereka
juga tidak makan kecuali mereka membasuh.
Dan…” perhatikan bahwa ini hanya puncak gunung esnya saja.
Masih ada banyak hal lain di mana mereka menuruti tradisi juga. “…Dan ada banyak hal
lain yang telah mereka terima…” ingat kata itu, “…yang telah mereka terima dan
pegang,…” ini adalah istilah-istilah teknis, “…yang telah
mereka terima dan pegang umpamanya hal mencuci cawan, kendi, tabung-tabung tembaga dan dipan-dipan.”
Nah, istilah-istilah apa saja yang
telah kita simak sampai di sini?
“berpegang”, “adat-istiadat/tradisi”, “terima”, “pegang”,
“meneruskan”, saya mau kalian mengingat istilah-istilah ini, karena nanti kita
akan kembali kemari.
Perhatikan ayat 5, “…5 Orang-orang Farisi dan
ahli-ahli Taurat itu bertanya kepada-Nya: ‘Mengapa murid-murid-Mu tidak hidup
menurut adat istiadat para tua-tua kita,
tetapi makan roti dengan tangan yang tidak dibasuh?’" Dengan kata lain, “Mengapa mereka tidak tunduk pada
tradisi yang kami katakan berasal dari zaman Musa, walaupun itu tidak tertulis
dalam tulisan-tulisan Musa?”
Notice verse 6: “ 6 And He said to them, "Well did
Isaiah prophesy of you hypocrites,…” How is Jesus going to face this issue? He's going
to quote Scripture. "…Well did
Isaiah prophesy of you hypocrites, as it is written: 'This people honors Me with their lips,
but their
heart is far away from Me…” And now notice this: “… 7'And in vain do they worship Me, teaching as
doctrines the commandments of men.'”
What happens when you follow the commandments of
men, and you follow tradition instead of the Word of God? You are
practicing what kind of worship? You are practicing vain
worship, which means useless worship. So when you follow the
traditions of men instead of the Word of God, you are following, actually
you are practicing vain or meaningless worship. We'll come back to
that later.
Perhatikan ayat 6, “…6
Jawab-Nya kepada mereka: ‘Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang
munafik,…” Bagaimana Yesus menghadapi isu ini? Dia akan mengutip
dari Firman, “… ‘Benarlah nubuat Yesaya
tentang kamu, hai orang-orang munafik,
sebagaimana ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal
hatinya jauh dari pada-Ku…” dan sekarang perhatikan ini, “…7
Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah
perintah manusia.’” Apa yang terjadi ketika kita mengikuti perintah
manusia, kita mengikuti tradisi [adat istiadat] dan bukannya Firman Allah? Kita
mempraktekkan ibadah macam apa? Kita mempraktekkan ibadah yang percuma, artinya
ibadah yang sia-sia. Jadi jika kita mengikuti tradisi manusia
dan bukan Firman Allah, kita mengikuti, sesungguhnya kita mempraktekkan ibadah
yang sia-sia dan tidak ada artinya. Nanti kita akan kembali kemari.
Now let’s go on to verse 8. “…8 For laying aside the commandment of
God, you hold to the tradition of men..." Let me ask you, what is the issue in this passage?
It's between tradition and the commandment of God. It's between tradition
and the Word of God. Notice once again: “…8 For laying aside the
commandment of God, you hold to the tradition of men ~ the washing of pitchers
and cups and…” and notice the tip of the iceberg again “…and many other such things you do…" The issue, once again, is
tradition versus the Word of God. And those who follow the
traditions of men are practicing what kind of worship? are practicing
vain worship.
Sekarang mari ke ayat 8, “…8
Dengan mengesampingkan Perintah Allah kamu
berpegang pada adat istiadat manusia…” coba saya tanya, dalam bacaan ini isunya apa? Isunya
adalah antara tradisi dan Perintah Allah, antara tradisi dan Firman Allah.
Perhatikan sekali lagi, “…8 Dengan mengesampingkan Perintah Allah kamu berpegang pada adat
istiadat manusia ~ tentang pembasuhan kendi dan
cawan, dan…” perhatikan puncak gunung esnya lagi, “…dan banyak hal lain yang seperti itu, kamu
lakukan…” Isunya, sekali lagi, ialah tradisi [adat-istiadat] versus
Firman Allah. Dan mereka yang mengikuti tradisi manusia, mempraktekkan ibadah macam apa? Mempraktekkan ibadah yang sia-sia.
Now notice verse 9: “…9 And
He said to them, ‘All too well you reject the commandment of God that you may
keep your…” what? “…tradition’…” And now He's going to quote Scripture
again. He's going to show how their tradition contradicts the
written Word of God. How their tradition contradicts a commandment of God.
Notice verse 10: “… 10 For Moses said,…” this is Exodus 20:17 “…Moses said, 'Honor your father and your mother';
and, 'He who
curses his father or mother, let him be
put to death'…” is that the commandment of God? Yes. Was
it written in the writings of Moses? Yes, it is. Verse 11, “… 11 but you say, 'If a man says to his father or mother, whatever profit
you might have received from me, is Qorban (that is a gift to God),' 12 then you no
longer let him do anything for his
father or his mother; 13 making the Word of God of no effect
through your tradition which you have…” now notice this,
“…handed down; and many such things you do."
Sekarang simak
ayat 9, “…9 Yesus berkata
kepada mereka: ‘Baguslah kamu menolak perintah Allah, supaya kamu dapat
memelihara…” apa? “…adat istiadatmu sendiri…” Dan sekarang Yesus
akan mengutip Kitab Suci lagi. Dia akan menunjukkan bagaimana tradisi mereka
bertentangan dengan Firman Allah yang tertulis, bagaimana tradisi mereka
bertentangan dengan sebuah Perintah Allah. Perhatikan ayat 10, “…10 Karena Musa telah berkata…” ini ada di kitab
Keluaran 20:12, “…Musa telah berkata: ‘Hormatilah ayahmu dan
ibumu!’ dan ‘Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya harus dibunuh.’…”
apakah ini Perintah Allah? Ya. Apakah
ini tertulis dalam Taurat Musa? Ya. Ayat 11, “…11 Tetapi kamu berkata: ‘Kalau
seorang berkata kepada bapaknya atau ibunya: Apa
pun yang engkau seharusnya menerima dariku, adalah untuk korban--yaitu
persembahan kepada Allah--, 12 maka kamu tidak lagi mengharuskan dia berbuat apa pun
untuk bapaknya atau ibunya, 13 ini menjadikan
Firman Allah tidak berlaku demi adat istiadat yang kamu miliki…”
sekarang simak ini, “…yang
diturunkan. Dan banyak hal lain
seperti itu yang kamu lakukan."
Now what Jesus is referring to, the
tradition that He's referring to here is the tradition of Qorban. Now, basically what Qorban
meant ~ the word “Qorban” means dedicated ~ children could actually
dedicate all of their possessions to the temple, but they could use all
of their possessions freely until they died, and then it passed over to
the temple, which means that their parents could be deprived while
they lived, because they could use everything, and they could say to
their parents, “Sorry, I can't help you, because this has been dedicated
to the temple.”
Interesting that this tradition of man
contradicted the commandment that said, “Honor
your father and your mother”. In other words, they were annulling the
written Word of God through this tradition.
Nah, apa yang
dimaksud Yesus, tradisi yang dimaksud Yesus di sini ialah tradisi Qurban. Nah,
pada dasarnya Qurban berarti ~ kata “kurban” berarti dipersembahkan ~ anak-anak
boleh mempersembahkan semua harta mereka ke Bait Suci, tetapi mereka bisa bebas
memakai harta tersebut sampai mereka mati, kemudian sisanya diambilalih Bait
Suci. Berarti orangtua mereka mungkin kekurangan selama mereka [anak-anaknya]
masih hidup karena anak-anak itu boleh memakai apa saja, dan mereka bisa
berkata kepada orangtua mereka, “Maaf, aku tidak bisa membantumu karena harta
itu sudah dipersembahkan ke Bait Suci.”
Yang menarik
tradisi ini bertentangan dengan Perintah Allah yang berkata, “Hormatilah
ayahmu dan ibumu…” Dengan kata lain, mereka membatalkan Firman Allah yang
tertulis melalui tradisi ini.
By the way, the Pharisees and scribes were expert at categorizing sin. You know, some of the violations of traditions they considered grave offenses while violations of clearly revealed duties by God were considered trivial. Allow me to read you this statement from The Desire of Ages, page 616. “They [the Pharisees] presumed to make nice distinctions as to the comparative guilt of various sins, passing over some lightly…” dare we call them maybe “venial sins”? “…passing over some lightly and treating others of perhaps less consequence as unpardonable…” could we call that maybe “mortal”? Now notice: “…for a money consideration they excused persons from their vows. And for large sums of money they sometimes passed over aggravated crimes. At the same time these priests and rulers would in other cases pronounce severe judgment for trivial offenses…”
And do you know what this concept of tradition led to?
It led to the
rejection of Jesus Christ, and to the rejection of the Jewish nation.
Nah, orang-orang
Farisi dan ahli-ahli Taurat adalah pakar-pakarnya dalam mengkategorikan dosa.
Kalian tahu, ada pelanggaran tradisi yang mereka anggap pelanggaran berat,
sementara pelanggaran-pelanggaran atas kewajiban yang jelas-jelas telah
diwahyukan Allah, mereka anggap sepele. Izinkan saya membacakan pernyataan ini
dari The Desire of Ages hal. 616. “Mereka [orang-orang
Farisi] menganggap mereka berhak membuat pembedaan yang tepat tentang tingkat
kesalahan bermacam-macam dosa, ada yang dilewati sebagai hal yang sepele…” apakah kita
berani menyebutnya “dosa kecil”? “…ada yang dilewati
sebagai hal yang sepele, sementara yang lain yang kurang penting, dianggap
tidak bisa diampuni…” bolehkah kita menyebut ini “dosa berat”? Sekarang simak: “…Atas pertimbangan uang,
mereka membebaskan orang-orang dari perjanjian mereka. Dan untuk jumlah uang
yang besar, terkadang mereka melewatkan tindakan-tindakan kriminal yang berat.
Pada waktu yang sama, dalam hal lain imam-imam ini dan para pemimpin akan
menjatuhkan hukuman yang berat untuk kasus-kasus pelanggaran sepele…”
Dan tahukah kalian
konsep tradisi ini mengarah ke
mana? Mengarah ke penolakan
Yesus Kristus dan akibatnya ke penolakan bangsa Yahudi [oleh Tuhan].
Now we need to move on to the Roman
Catholic view of tradition. And you're going to find a striking
similarity. First of all you're going to find that instead of
speaking about Moses, they speak about Peter and the apostles. You
see those are the ones who have the deposit of the faith. In fact the
Roman Catholic Church teaches that many of the things that the apostles
spoke are not found written. They are actually unwritten
traditions. They are oral traditions. And so we can't go only by
what the apostles wrote, we need to go also by what the apostles
spoke, which is preserved in the deposit of tradition. Interestingly
enough, in
the Roman Catholic Church there is also a mechanism for transmitting truth
in these unwritten traditions, and the writings of Moses. It's
known as apostolic succession. One bishop passing on the
authority to the next bishop by ordination, and successively all the way
till the bishops of our day and age; very similar to the situation of the
Jews in the days of Christ.
Sekarang kita
harus lanjut ke pandangan Roma
Katolik tentang tradisi. Dan kita akan melihat persamaan yang mencolok.
Pertama, kita akan melihat mereka
tidak berbicara tentang Musa, mereka berbicara tentang Petrus dan para rasul.
Kalian lihat, para rasul itulah yang memiliki kumpulan ajaran agama.
Bahkan gereja Roma Katolik mengajarkan bahwa banyak hal yang diucapkan para
rasul tidak tertulis, itu semata-mata tradisi yang tidak tertulis, itu adalah
tradisi lisan. Jadi kita tidak bisa hanya berpegang pada apa yang ditulis para
rasul, kita perlu juga berpegang pada apa yang dikatakan para rasul, yang
disimpan dalam kumpulan tradisi. Yang cukup menarik, di gereja Roma Katolik, juga ada mekanisme untuk meneruskan kebenaran dari tradisi-tradisi yang tidak tertulis ini, dan
tulisan-tulisan Musa. Ini dikenal sebagai suksesi apostolik, satu uksup [paus]
menyerahkan wewenangnya kepada uskup berikutnya melalui pengurapan, dan secara
suksesif terus menerus hingga uskup-uskup di zaman kita; sangat mirip dengan
situasi bangsa Yahudi di zaman Kristus.
Also the Roman Catholic Church believes that
there needs to be a living interpreter at every age to show
which traditions are genuine and reliable, and which traditions are
not. And they call this, by the way, the Magisterium of the church. It's
also called the teaching office of the church.
Gereja Roma Katolik juga meyakini harus ada seorang penerjemah yang berwewenang pada setiap masa,
untuk menunjukkan tradisi mana yang tulen dan bisa dipercaya, dan mana yang
tidak. Dan mereka menyebut ini Magisterium
gereja. Juga disebut departemen pengajar gereja.
I don't know whether you're aware of this,
but when
the Pope speaks for the bishops of the Roman Catholic Church, he
actually speaks ex-cathedra. That is the identical word that we
found in Matthew 23:2. The scribes and Pharisees sit on Moses'
cathedra. When the Pope speaks as a spokesman for all of the college
of bishops, the living voice of the church, the Magisterium of the church,
he speaks from the throne; he speaks ex-cathedra.
Entah apakah
kalian tahu tentang hal ini, tetapi ketika
Paus berbicara atas nama para uskup gereja Roma Katolik, sesungguhnya dia
berbicara ex-kathedra. Kata yang persis sama yang kita temukan
di Matius 23:2. Para ahli Taurat dan orang-orang Farisi duduk di kathedra Musa.
Ketika Paus berbicara sebagai jurubicara semua kumpulan uskup, sebagai suara
yang berwewenang dari gereja, Magisterium gereja, dia berbicara dari takhta,
dia berbicara ex-kathedra.
Now allow me to read you some remarkable
statements from Roman Catholicism, and I want you to remember the
terminology that we read from Mark 7. It's very, very similar,
strikingly similar.
I'm going to read now from Vatican II, documents of Vatican II, the specific
decree which is called Dei Verbum,
which is “On Revelation”, on the Word of God.
By the way, this is infallible because it
was proclaimed in a Church Council by the consensus of the bishops
who were present. Listen to this: “But
in order to keep the Gospel forever whole and alive within the church, the
apostles left bishops as their successors, handing over their own teaching
office to them, and so the apostolic preaching which is expressed in a special
way in the inspired books was to be preserved by a continuous succession of
preachers until the end of time. Therefore, the apostles handing on what they themselves had received
warn the faithful to hold fast…” Are
you noticing the terminology? Identical! “… warn the faithful to hold fast to the traditions which they have learned either by word of mouth or by
letter [2 Thes 2:15], and to fight in defense of the faith handed on once and for all.
Now what was handed on by the
apostles includes everything which contributes to the holiness of life and the
increase in faith of the people of God. And so the church in her teaching, life
and worship perpetuates and hands on to all
generations all that she herself is, all that she believes.” [Dogmatic Canons
and Decrees pg 115-118]
Sekarang izinkan
saya membacakan beberapa pernyataan yang mengagumkan dari Roma Katolikisme, dan
saya mau kalian ingat istilah-istilah yang tadi kita baca dari Markus 7. Ini
amat sangat mencolok miripnya.
Saya akan
membacakan sekarang dari Vatican II, dokumen
dari Vatican II, dekrit khusus yang disebut Dei
Verbum, yaitu “Tentang Wahyu” tentang Firman Allah.
Nah, ketahuilah
ini adalah kebenaran mutlak, ini diumumkan oleh Konsili Gereja atas konsensus
para uskup yang hadir. Dengarkan ini, “Tetapi, demi menjaga
agar Injil selamanya utuh dan hidup di dalam gereja, para rasul menurunkan
uskup-uskup sebagai penerus mereka, dengan menyerahkan jabatan mereka sendiri
kepada uskup-uskup ini, dengan demikian penyampaian Injil apostolik yang
dinyatakan dengan cara yang khas di dalam kitab-kitab yang terinspirasi itu, terpelihara
oleh suksesi yang terus-menerus dari para penyampai Injil itu, hingga akhir
zaman. Oleh karena itu, para rasul yang menurunkan
apa yang telah diterima mereka sendiri,
memperingatkan umat yang setia untuk berpegang
erat…” apakah kalian melihat istilahnya? Persis sama! “…memperingatkan umat yang setia untuk berpegang erat pada tradisi yang telah mereka pelajari
lewat komunikasi lisan maupun lewat tulisan [2 Tesa 2:15] dan berperang membela sepenuhnya ajaran
yang telah diturunkan. Nah, apa yang telah diturunkan oleh para rasul termasuk segala
yang berkontribusi untuk kekudusan dalam hidup dan pertumbuhan iman umat Allah.
Maka gereja, dalam ajarannya, hidupnya dan ibadahnya, mempertahankan
kelanggengan dan menurunkan kepada semua generasi seluruh eksistensinya, semua
yang diyakininya.” [Dogmatic Canons and Decrees hal. 115-118]
Now notice that this document is going to
speak about the authority of the Magisterium.
“This task of authentically interpreting
the Word of God whether written or handed on, has been entrusted exclusively to
the living teaching office of the church, whose authority is exercised in the
name of Jesus Christ. This teaching office is not above the Word of God, but
serves it, teaching only what has been handed down, listening to it devoutly,
guarding it scrupulously, and explaining it faithfully by divine commission and
with the help of the Holy Spirit; it draws from this one deposit of faith everything
which it presents for belief as divinely revealed. It is clear therefore, that
sacred traditions, sacred Scripture and the teaching authority of the church,
in accord with God’s most wise design,
are so linked and joined together that one cannot stand without the others, and
that all together and each in its own way under the action of the one Holy
Spirit, contribute effectively to the salvation of souls.”
Sekarang perhatikan dokumen
ini akan berbicara tentang wewenang Magisterium.
“Tugas ini, untuk
menginterpretasi Firman Allah menurut makna aslinya, baik yang tertulis maupun
yang diturunkan, telah dipercayakan secara eksklusif kepada departemen pengajar
gereja, yang menjalankan wewenangnya dalam nama Yesus Kristus. Departemen
pengajar ini tidak berada di atas Firman Allah, melainkan melayaninya,
mengajarkan hanya apa yang telah diturunkan, mendengarkan dengan tulus,
menjaganya dengan sangat hati-hati, dan menjelaskannya dengan tepat melalui
penugasan ilahi dan bantuan Roh Kudus. Dia mengambil dari kumpulan ajaran agama ini semua yang disampaikan sebagai
keyakinan sebagaimana diungkapkan secara ilahi. Karena itu, jelaslah, bahwa
tradisi-tradisi yang suci, Firman yang suci, dan wewenang mengajar milik gereja,
selaras dengan rancangan Allah yang sangat bijaksana, terkait sedemikian rupa
dan tergabung menjadi satu, sehingga yang satu tidak dapat berdiri sendiri
tanpa yang lain, dan semuanya bersama-sama dan masing-masing menurut caranya
sendiri di bawah aksi Roh Kudus, memberikan kontribusi secara efektif kepada
penyelamatan jiwa-jiwa.”
You know, there's a whole section in the
Roman Catholic Catechism of the Catholic Church ~ I'd just like to mention
it, because we don't have time to read all of the statements ~ but it is
article 2, paragraph 76-86, and you will be amazed at the number of times that
the words “received”, “handed on”, “tradition”, “hold”; the very
words that we found in Mark 7 are used in this particular section of
the Catholic Catechism of the Roman Catholic Church. Interestingly
enough, Pope Pius XII had these words to say: “Together with these sacred sources of
Scripture and tradition, God has given a living Magisterium to His church to
illumine and clarify what is contained
in the deposits of faith, obscurely and implicitly.” [Jaroslav Pelikan, The Riddle of Roman
Catholicism, pg.83]
In other words, if the deposit has
something that's implicit or obscure, the Magisterium can bring it forth
and say, “This was in the deposit of faith all the time.”
Tahukah kalian,
ada satu bagian dalam Katekismus Roma Katolik gereja Katolik ~ saya hanya ingin
menyinggungnya karena kita tidak punya waktu untuk membaca semua pernyataannya
~ tetapi di artikel 2, paragraf 76-86, kalian akan kagum melihat seringnya
kata-kata “diterima”, “diturunkan”, “tradisi”, “suci”, persis kata-kata yang
sama yang kita temukan di Markus pasal 7, dipakai dalam bagian khusus
Katekismus Katolik gereja Roma Katolik. Yang cukup menarik, Paus Pius XII,
mengucapkan kata-kata ini, “Bersama-sama dengan sumber-sumber suci dari
Firman Allah dan tradisi, Allah telah memberikan sebuah Magisterium yang
berwewenang kepada gerejaNya, untuk menerangi dan menjelaskan apa yang terdapat
dalam kumpulan ajaran yang samar-samar dan tidak langsung.” [Jaroslav Pelikan, The Riddle of Roman
Catholicism, hal.83]
Dengan kata lain
jika ada sesuatu yang tidak langsung atau samar-samar dalam kumpulan ajaran
itu, Magisterium bisa mengemukakannya dan berkata, “Inilah yang ada dalam
kumpulan ajaran sejak semula.”
Now allow me to read you another statement
from Francis Butler. These are all Roman Catholic theologians. “Some of the truths…” these are striking admissions! “…Some of the truths which God has
revealed and which has always been taught by the Catholic Church are not
contained in the Bible…” What an admission! “…These truths have come down to us by
what is called oral tradition, that is they have been handed down by word of
mouth. By Catholic Tradition, therefore, we understand all those truths which
the church received from Jesus Christ and the apostles, but which are not found
in the Bible. These truths we firmly believe, because they were revealed by God
and are proposed to us by the church. Some of the truths that have been handed
down to us by Tradition and are not recorded in the Sacred Scripture, are the
following: that there are just seven
sacraments, that there is a purgatory, that in the New Law Sunday should be
kept holy instead of the Sabbath, that infants should be baptized and that
there are precisely 72 books in the Bible…” We believe that there are 66. He continues
saying: “…The truths of Catholic
Tradition have been handed down in the church by means of the writings of the
fathers of the church as well as by the decrees of councils, by approved
creeds, and by the prayers and ceremonies of the church. These ancient
writings and institutions show plainly
what has been the faith of the church from the earliest times…” And now here comes the most critical part
of this statement. Butler says this:
“…However, it is only the infallible teaching office of the church that secures
us against error as to the truth contained in Tradition as well as in the Holy
Scripture. The voice of the church is the voice of God.” [Holy Family Series of Catholic Catechism pg.
63]
Sekarang, izinkan saya
membacakan pernyataan lain dari Francis Butler. Mereka semuanya theolog Roma
Katolik. “Beberapa
kebenaran…” ini adalah
pengakuan yang mencolok, “…Beberapa kebenaran yang diungkapkan Allah
dan yang selalu diajarkan oleh gereja Katolik, tidak terdapat dalam Alkitab…” Pengakuan yang luar
biasa! “…Kebenaran-kebenaran ini
diturunkan kepada kita melalui apa yang disebut tradisi lisan, yang telah
diturunkan melalui komunikasi lisan. Oleh karena itu melalui tradisi Katolik,
kita memahami semua kebenaran tersebut yang telah diterima gereja dari Yesus
Kristus dan para rasul, tetapi yang tidak terdapat di dalam Alkitab.
Kebenaran-kebenaran ini kita yakini dengan teguh karena mereka dinyatakan oleh
Allah dan disampaikan kepada kita oleh gereja. Beberapa kebenaran yang telah
diturunkan kepada kita melalui tradisi dan yang tidak tercatat dalam Firman
yang Kudus, adalah sbb.: bahwa hanya ada tujuh sakramen, bahwa ada api
pencucian, bahwa dalam Hukum yang baru, hari Minggu harus dipelihara
kekudusannya sebagai ganti hari Sabat, bahwa bayi-bayi harus dibaptis dan bahwa
tepatnya ada 72 kitab dalam Alkitab…” kami meyakini 66. Dia melanjutkan berkata, “…Kebenaran Tradisi Katolik
telah diturunkan dalam gereja melalui tulisan-tulisan bapak-bapak gereja, dan
juga oleh dekrit-dekrit konsili, yang disetujui oleh kredo-kredo (pernyataan
iman), dan oleh doa-doa dan upacara-upacara gereja. Tulisan-tulisan dan
institusi-institusi tua ini dengan jelas menunjukkan apa yang telah menjadi
keyakinan gereja sejak awal mula…” Dan sekarang muncul bagian paling kritikal dari
pernyataan ini. Butler berkata demikian, “…Namun demikian, hanya
departemen pengajar gereja yang tidak bisa berbuat kesalahan yang mengamankan
kita dari kesalahan-kesalahan dalam hal kebenaran yang terdapat dalam Tradisi
maupun dalam Kitab Suci. Suara gereja adalah suara Allah.” [Holy Family Series
of Catholic Catechism hal. 63]
The teaching office of the Catholic Church
has the same authority as the scribes and Pharisees. Only the
theological experts can tell you what tradition means, and how it applies
to life. And people must implicitly obey it. They cannot understand
the tradition on their own, they have to depend on the scholars.
Departemen
pengajar gereja Katolik memiliki wewenang yang sama seperti para ahli Taurat
dan orang-orang Farisi. Hanya pakar-pakar theologi yang boleh menentukan apa
makna tradisi, dan bagaimana itu diaplikasikan dalam hidup. Dan umat harus
mematuhinya secara buta. Mereka tidak bisa memahami tradisi dengan pengertian
mereka sendiri, mereka harus bergantung pada para pakar agama.
Notice this statement from John O'Brien,
who for quite a period of time taught at Notre Dame University in
Indiana. He actually wrote a very well known book, The Faith of Millions. Notice what he
has to say: “From all of which it
must be abundantly clear that the Bible alone is not a safe and
competent guide because it is not now, and has never been, accessible to all,
because it is not clear and intelligible to all, and because it does not
contain all the truths of the Christian religion…” That's amazing! He continues saying:
“…The simple fact is that the Bible, like all dead letters, calls for a
living interpreter…” Of course the Bible says that that living
interpreter is the Holy Spirit. But notice what he says: “…Just as the Supreme Court is the authorized
living interpreter of the Constitution, so the Catholic church is the living
authoritative interpreter of the Bible. She has been the preserver and
custodian of the Bible through the centuries, and she interprets it for us in
the name and with the authority of Jesus Christ.” [pg.137, 138]
Perhatikan pernyataan ini dari
John O’Brien yang untuk jangka waktu yang cukup lama mengajar di Universitas
Notre Dame di Indiana. Dia bahkan menulis sebuah buku yang sangat terkenal, The Faith of Millions. Perhatikan apa yang
dikatakannya, “Dari semuanya itu pastilah sangat jelas bahwa Alkitab
saja bukanlah penuntun yang aman dan kompeten karena tidak sekarang, dan tidak
pernah, bisa dimiliki oleh semua, karena dia tidak jelas dan tidak dapat dipahami
oleh semua, dan karena dia tidak berisikan semua kebenaran agama Kristen…” Luar biasa! Dia melanjutkan
berkata, “…Fakta
yang sederhana ialah, Alkitab sebagaimana semua surat yang mati, membutuhkan
penerjemah yang hidup…” Tentu saja Alkitab berkata bahwa penerjemah yang hidup
ialah Roh Kudus. Tetapi perhatikan apa katanya, “…Sebagaimana Mahkamah
Tinggi adalah penerjemah yang berwewenang dari Konstitusi, demikian pula gereja
Katolik adalah penerjemah yang berwewenang dari Alkitab. Gereja telah menjadi
pemelihara dan penjaga Alkitab selama berabad-abad, dan gereja menerjemahkan
Alkitab bagi kita dalam nama dan dengan kuasa Yesus Kristus. [hal. 137, 138].
One more interesting statement. This
comes from the book, A Course in Religion for
Catholic High Schools and Academies. This is actually a Bible
book for the schools of the Roman Catholic Church. The author is
John Laux, and notice what he says: “Scripture
and Tradition are called the remote rule of faith…”, In other words, the written Scriptures, and the oral traditions
that have been passed on are called the remote rule of faith. And
then he explains why. “…because the Catholic does not base his
faith directly on these sources. The proximate rule of faith…” that's closer, “…is for him the One, Holy, Catholic and
Apostolic Church, which alone has received from God the authority to interpret
infallibly the doctrines He has revealed, whether these be contained in
Scripture or in Tradition.” [part 1, pg 50-51]
Satu lagi
pernyataan yang menarik. Ini berasal dari buku A
Course in Religion for Catholic High Schools and Academies. Sebenarnya ini
adalah buku Alkitab bagi sekolah-sekolah gereja Roma Katolik. Penulisnya ialah
John Laux, dan perhatikan apa katanya, “Kitab Suci dan Tradisi
disebut standar-standar agama yang jauh…” dengan kata lain, Kitab Suci yang tertulis dan
tradisi-tradisi oral yang diturunkan disebut sebagai standar-standar agama yang
jauh. Kemudian dia menjelaskan mengapa. “…karena orang Katolik
tidak mendasarkan imannya langsung pada
sumber-sumber ini. Standar-standar agama yang dekat…” yang lebih dekat, “…bagi orang Katolik
ialah Satu-satunya, Gereja Katolik dan Apostolik yang Kudus, satu-satunya yang
telah menerima dari Allah, wewenang untuk menerjemahkan secara mutlak benar,
doktrin-doktrin yang telah dinyatakanNya, apakah ini terdapat dalam Kitab Suci
atau dalam Tradisi.” [bagian 1, hal. 50-51]
So just as in the days of Christ, the
scribes and the Pharisees sat on Moses' seat and said, “You must obey
this, because this is part of either the written Word of God, or
part of the passed on traditions.” In the same way the Roman Catholic Church
says the living interpreter of the Bible and oral tradition is the Magisterium
of the church. And therefore everyone should listen and obey what
the Magisterium defines as the truth.
Jadi, sebagaimana
di zaman Kristus, para ahli Taurat dan orang-orang Farisi duduk di tempat duduk
Musa dan berkata, “Kamu harus mematuhi ini karena ini adalah bagian dari entah
Firman Allah yang tertulis atau bagian dari tradisi yang diturunkan”, dengan
cara yang sama gereja Roma Katolik berkata, bahwa penerjemah Alkitab dan
tradisi oral yang berwewenang adalah Magisterium gereja. Maka dari itu semua
orang harus mendengarkan dan mematuhi apa yang ditentukan Magisterium sebagai
kebenaran.
Now there are many traditions that are not found in Scripture that are taught by the Roman Catholic Church. For example, the idea that Mary is the mother of God. You'll never find that expression in Scripture.
For example, the immaculate conception of
Mary; the Bible doesn't even address the birth of Mary.
The idea of the perpetual virginity of
Mary. We have a clear impression in Scripture by what we've
studied, that Mary most likely had other children.
The idea that Mary ascended to heaven after
she died on the third day: totally absent from Scripture.
The question is, “How can these teachings be accepted as genuine?” Simply because the Magisterium says that this is part of the deposit of the faith which has been transmitted by oral tradition.
The question is, “How can these teachings be accepted as genuine?” Simply because the Magisterium says that this is part of the deposit of the faith which has been transmitted by oral tradition.
Nah, ada banyak
tradisi yang diajarkan gereja Roma Katolik yang tidak terdapat dalam Kitab
Suci. Misalnya, konsep bahwa Maria adalah ibu Allah. Kita tidak akan pernah
menemukan istilah itu di dalam Kitab Suci.
Misalnya,
pembuahan tanpa dosa Maria, Alkitab bahkan tidak menyinggung tentang kelahiran
Maria
Konsep tentang
keperawanan Maria yang terus-menerus. Di Alkitab kita mendapatkan kesan yang
jelas dari apa yang telah kita pelajari, bahwa Maria sangat mungkin memiliki
anak-anak yang lain.
Konsep bahwa Maria
naik ke Surga pada hari ketiga setelah kematiannya, ini sama sekali tidak ada
di Kitab Suci.
Pertanyaannya,
ialah, “Kok bisa ajaran-ajaran ini diterima sebagai tulen?” Melulu karena
Magisterium berkata bahwa ini adalah bagian dari kumpulan ajaran yang telah
diturunkan oleh tradisi lisan.
Now allow me to provide you one great
example as we draw this study to a close.
Jesus, when He was on this earth, had great
controversies with the religious leaders, with the scribes and
Pharisees. The greatest source of conflict between Jesus and the scribes and
the Pharisees was over the observance of the Sabbath.
Jesus, in fact, most of His healings were done in chronic cases, people
who it was not an emergency. You know, they weren't gravely ill.
They weren't at the point of death. Jesus made it a point to heal these
people on the Sabbath. And the Pharisees and the scribes would say,
“It is not lawful for You to heal people on the Sabbath.” And Jesus said,
for example, in Matthew 12:12, “It
is lawful for Me to heal people on the Sabbath.” Now on what authority did the
Pharisees say that it wasn't lawful, and on what authority did Jesus
say that it was lawful? The fact is that after the Babylonian
captivity, where God's people had gone because they had fallen into
idolatry among the nations before this. After the captivity the leaders
of the Jewish nation said, “We're never going to fall into idolatry
again.” And they decided that they would protect the Sabbath from
being broken. And so they wrote 613 rules, or laws, which they called
“the fence around the law”. None of these traditions and ideas
were contained in Scripture. They were simply additions to
Scripture, supposedly from oral tradition which had been passed on.
And so when Jesus said, “It
is lawful to do good on the Sabbath”, He was going back to the Sabbath in the Old
Testament. When the Pharisees and the scribes said, “It is not
lawful to do good on the Sabbath”, they were going back to this
mass of traditions which had been written after the Babylonian
captivity.
Sekarang izinkan
saya memberikan satu contoh besar, sebelum mengakhiri pelajaran ini. Yesus,
ketika masih hidup di dunia, mengalami pertikaian hebat dengan para pemimpin
agama, dengan para ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Sumber konflik yang terbesar antara Yesus dengan para
ahli Taurat dan orang-orang Farisi adalah tentang pemeliharaan hari Sabat.
Bahkan, kebanyakan penyembuhan yang dilakukan Yesus adalah untuk kasus-kasus
yang kronis, bukan mereka yang penyakitnya mendesak. Kalian tahu, mereka bukan
yang sedang sakit keras, mereka tidak sedang sekarat. Yesus khusus sengaja
menyembuhkan orang-orang ini pada hari Sabat. Dan orang-orang Farisi dan para
ahli Taurat berkata, “Menyembuhkan orang pada hari Sabat itu melanggar hukum.”
Lalu Yesus berkata, misalnya di Matius 12:12, “…Buat
Aku menyembuhkan orang pada hari Sabat itu tidak melanggar hukum.”
Nah, atas wewenang
apa orang-orang Farisi berkata bahwa itu melanggar hukum, dan atas wewenang apa
Yesus berkata itu tidak melanggar hukum? Faktanya ialah, setelah penawanan
Babilon ~ di mana umat Allah ditawan karena sebelumnya mereka telah jatuh dalam
praktek penyembahan berhala bangsa-bangsa lain; maka setelah penawanan itu ~
para pemimpin bangsa Yahudi berkata, “Kita selamanya tidak boleh jatuh dalam
penyembahan berhala lagi.” Dan mereka memutuskan mereka harus melindungi supaya
Sabat tidak dilanggar lagi. Jadi mereka menulis 613 peraturan atau hukum, yang
mereka sebut “pagar yang mengelilingi Hukum”. Tidak satu pun tradisi dan konsep
itu terdapat dalam Kitab Suci. Mereka menambahkannya begitu saja kepada Kitab
Suci, konon dari tradisi lisan yang diturunkan.
Maka ketika Yesus berkata, “…Buat Aku menyembuhkan orang pada hari Sabat
itu tidak melanggar hukum.” Dia mengacu
kembali kepada Sabat di Perjanjian Lama. Ketika orang-orang Farisi dan para
ahli Taurat berkata, “Berbuat baik pada hari Sabat itu melanggar hukum”, mereka
mengacu kepada kumpulan tradisi yang ditulis setelah penawanan Babilon.
Interestingly enough, the Sabbath of the Pharisees was
actually a false Sabbath, because it was a Sabbath created by them.
The observance of the Sabbath, as taught by the Pharisees, was not the
observance of the Sabbath that God had taught in Holy Scripture, and
therefore they had established a Sabbath not created by God, but a Sabbath
created by man based on human tradition. And, by the way, this was
false worship, because they were worshipping on a Sabbath which
had been created by man, and had not been created by God. And I'm
not talking about the specific day, I'm talking about the manner
in which they kept the Sabbath. In Scripture God said how to keep
the Sabbath. They added all these traditions, and they said you're
supposed to keep it this way. But their traditions contradicted the
proper way of observing the Sabbath as Jesus had taught. In
other words, the controversy in the days of Christ was over the wrong way
of keeping the Sabbath. The issue was not the wrong day, the issue was
the wrong way of keeping the Sabbath. You see, this was the Sabbath
of the Pharisees, because they had created it. This was false
worship, because when people kept that Sabbath they were keeping the
Sabbath of the Pharisees. They were not keeping the Sabbath of the
Lord.
Yang cukup
menarik, Sabat orang Farisi sebenarnya
adalah Sabat palsu karena Sabat itu diciptakan mereka.
Pemeliharaan Sabat itu, sebagaimana yang diajarkan oleh orang-orang Farisi,
bukanlah pemeliharaan Sabat yang diajarkan Allah dalam Kitab Suci, dan dengan
demikian orang-orang Farisi itu telah menegakkan Sabat yang tidak diciptakan
Allah, melainkan Sabat yang diciptakan manusia berdasarkan tradisi manusia. Dan
ketahuilah, ini adalah ibadah
yang salah karena mereka beribadah berdasarkan Sabat yang
diciptakan oleh manusia dan bukan yang diciptakan oleh Allah. Dan saya tidak
berbicara tentang harinya, saya berbicara tentang
cara mereka memelihara Sabat itu. Dalam Kitab Suci, Allah sudah
menyatakan bagaimana seharusnya memelihara Sabat. Mereka menambahkan segala
macam tradisi dan mereka berkata orang harus memeliharanya menurut cara mereka
itu. Tetapi tradisi mereka
bertolak belakang dengan cara yang sebenarnya memelihara Sabat sebagaimana yang
diajarkan Yesus. Dengan kata lain, di zaman Kristus
kontroversinya adalah tentang cara yang salah dalam memelihara Sabat. Isunya
bukan tentang harinya, isunya adalah cara yang salah dalam memelihara Sabat.
Kalian lihat, ini ialah Sabat orang Farisi, karena mereka yang menciptakannya.
Ini adalah ibadah yang salah karena ketika umat memelihara Sabat, mereka
sebenarnya memelihara Sabat orang-orang Farisi. Mereka bukan memelihara Sabat
Tuhan.
Now let me ask you this, “Is the Sabbath
issue going to be the main point of controversy in the final
conflict on Planet Earth?” Yes, it is. “Is it going to be a
similar issue to the issue in the days of Christ?” Very similar;
only one difference. The conflict in the days of Christ was the right
way versus the wrong way of keeping the Sabbath. At the end
of time the controversy is going to be the right day versus the wrong
day. And so the issue in the days of Christ is the right
way or the wrong way. At the end of time it's going to be the right
day or the wrong day.
Sekarang, coba
saya tanya ini, “Apakah isu
Sabat akan menjadi titik utama kontroversi dalam konflik terakhir di planet
bumi?” Ya, betul.
“Apakah ini akan
menjadi isu yang mirip isu yang ada di zaman Kristus?” Sangat mirip. Hanya satu
perbedaannya: konflik di zaman Kristus adalah tentang cara yang benar versus
cara yang salah dalam memelihara Sabat. Pada akhir zaman, kontroversinya ialah hari yang benar versus hari yang
salah. Jadi, isunya di zaman Kristus adalah cara yang benar atau
cara yang salah. Dan pada akhir zaman, isunya adalah hari yang benar atau hari
yang salah.
Now the Roman Catholic Church teaches that we're supposed to keep Sunday in honor of the resurrection. Where do they get that idea from? You certainly don't find it in Scripture. Nowhere in Scripture does it say we're supposed to go to church on Sunday. Nowhere does it say that we're supposed to keep Sunday in honor of the resurrection of Jesus. Nowhere does it say that Sunday is a holy day dedicated to God. Scripture does not say this; Scripture uniformly says, the seventh day is the Sabbath of the Lord your God. Jesus went into the synagogue on Sabbath. Paul, and Peter, and the apostles in the book of Acts, went to the synagogue observing the Sabbath of the Lord. Now let me ask you, when the Roman Catholic Church says that it is Sunday and not the Sabbath, are they making of none effect the commandment of God? They most certainly are! In other words, by their tradition ~ which they admit , they say, “This came in by tradition. It didn't come in by the Word of God” ~ by their tradition are they actually contradicting a clearly revealed commandment of God? If Jesus were alive today would He say, “You have made of none effect the word of God, you have made of non effect the commandment of God by your tradition?” Absolutely!
Nah, gereja Roma
Katolik mengajarkan bahwa kita harus memelihara hari Minggu untuk menghormati
kebangkitan Kristus. Dari mana mereka mendapatkan ide ini? Jelas kita tidak
akan menemukannya di dalam Kitab Suci. Tidak
ada dalam Kitab Suci dikatakan kita harus ke gereja pada hari Minggu. Tidak ada
dikatakan di sana kita harus memelihara hari Minggu untuk menghormati
kebangkitan Yesus. Tidak ada di sana dikatakan bahwa hari Minggu itu hari yang
kudus yang didedikasikan kepada Allah. Kitab Suci tidak
mengatakan demikian. Kitab Suci secara seragam mengatakan, hari yang ketujuh
adalah hari Sabat Tuhan Allahmu. Yesus pergi ke rumah ibadah pada hari Sabat.
Paulus, Petrus dan para rasul di kitab Kisah Rasul-rasul, pergi ke rumah ibadah
untuk memelihara Sabat Tuhan.
Sekarang, coba
saya tanya, saat gereja Roma Katolik berkata hari Minggu dan bukan hari Sabat,
apakah mereka meniadakan perintah Allah? Betul sekali! Dengan kata lain,
melalui tradisi mereka ~ yang mereka akui sendiri, mereka berkata, “Ini berasal dari tradisi. Ini
tidak berasal dari Firman Allah” ~ apakah
melalui tradisi mereka tidak jelas-jelas
mengkontradiksi suatu perintah Allah yang sudah dinyatakan dengan jelas?
Seandainya Yesus hari ini masih hidup di dunia, akankah Dia berkata, “Kalian
telah meniadakan bobot Firman Allah, kalian telah meniadakan perintah Allah
dengan tradisi kalian”? Tentu saja!
And the controversy at the end, folks, is
not going to be over the way in which the Sabbath is kept, but it is over
the day in which the Sabbath is kept. Are you understanding what I
am saying? But it's the same issue. You see, Sunday is a day of worship
created by man, by the tradition of man. And, therefore, those who
observe Sunday, knowing that the Bible teaches that we're supposed to
observe the Sabbath, they are serving God in vain. They are
worshipping in vain. Do you remember Jesus said that by keeping
the tradition of the elders, the Jews were actually serving God,
and worshipping God in vain? You see, the reason why is because they were
keeping a Sabbath of their creation. And at the end of time the Christian
world, will keep a Sabbath of their creation. It wasn't a Sabbath
created by God. It was a Sabbath created by man. And when
we keep that day of worship, we're actually practicing vain worship,
because that's not the day on which God said that we are supposed to
worship. Are you understanding what I'm saying? That's what
it means to make of none effect the Word of God by our tradition, or the
commandment of God by our tradition.
Dan,
Saudara-saudara, kontroversinya pada akhir zaman tidaklah tentang cara
bagaimana Sabat itu harus dipelihara, tetapi tentang hari mana Sabat itu harus
dipelihara. Apakah kalian paham apa yang saya katakan? Tapi isunya sama. Kalian
lihat, hari Minggu adalah hari ibadah yang diciptakan manusia, melalui tradisi
manusia. Dan oleh karena itu, mereka
yang memelihara hari Minggu, padahal sudah tahu bahwa Alkitab mengajarkan kita
harus memelihara Sabat ~ mereka melayani Allah dengan sia-sia. Mereka beribadah
dengan sia-sia.
Apa kalian ingat
Yesus berkata bahwa dengan memelihara tradisi ketua-ketua, orang-orang Yahudi
sesungguhnya melayani Allah dan beribadah kepada Allah dengan sia-sia? Kalian
lihat, alasannya mengapa ialah karena mereka memelihara Sabat ciptaan mereka
sendiri. Dan pada akhir zaman
dunia Kristen akan memelihara Sabat ciptaan mereka sendiri. Itu bukan Sabat
ciptaan Allah. Itu Sabat ciptaan manusia. Dan jika kita
memelihara hari itu sebagai hari ibadah, sesungguhnya kita melakukan ibadah
yang sia-sia, karena itu bukanlah hari yang Allah katakan kita harus beribadah.
Apakah kalian paham apa yang saya katakan? Itulah
artinya meniadakan bobot Firman Allah melalui tradisi kita, atau meniadakan
perintah Allah dengan tradisi kita.
And, by the way, I find it very ironic that
the same individuals who were aggravated at Jesus because Jesus
healed people on the Sabbath, several times in the gospels we're
told that they plotted to kill Jesus on the Sabbath. In other
words, because Jesus didn't keep the Sabbath the way they said, according
to their traditions, on the Sabbath they actually plotted to kill.
So they were not only making of no effect the Sabbath commandment, but
they were also making of none effect the commandment that says, “Thou
shalt not kill.”
Dan ketahuilah,
menurut saya sangat ironis bagaimana orang-orang yang sama yang marah pada
Yesus karena Yesus menyembuhkan orang pada hari Sabat, kita membaca di Injil
bahwa beberapa kali mereka membuat rencana untuk membunuh Yesus pada hari
Sabat. Dengan kata lain, karena Yesus tidak memelihara Sabat menurut cara yang
mereka perintahkan menurut tradisi mereka, justru pada hari Sabat mereka
membuat rencana untuk membunuh. Jadi mereka bukan saja meniadakan perintah
tentang pemeliharaan Sabat, tetapi mereka juga meniadakan perintah yang
berkata, “Jangan membunuh!”
Now let me ask you, “Does Scripture say that in the last days the Christian world is going to rise against those who keep a different day than they keep?” Bible prophecy teaches that, folks. In other words, there will be a double violation of the commandment of God.
Number one, because they will seek to impose the wrong
day, by tradition, and will be aggravated against those who
keep the right day. And it will reach even to the point of giving a
law not to be able to buy or sell, or a law that those who do not live
by this law are to be what? are to be killed.
Sekarang coba saya
tanya, “Apakah Firman Allah
berkata bahwa pada hari-hari akhir, dunia Kristen akan bangkit melawan mereka
yang memelihara hari yang berbeda dari yang mereka pelihara?”
Nubuatan Alkitab mengajarkan demikian, Saudara-saudara. Dengan kata lain akan
terjadi pelanggaran ganda atas perintah Allah. Pertama, karena mereka akan berusaha memaksakan
hari yang salah, melalui tradisi, dan akan marah terhadap
orang-orang yang memelihara hari yang benar. Dan ini akan meningkat bahkan ke
tindakan mengeluarkan peraturan yang melarang orang-orang itu untuk membeli
atau menjual barang, atau suatu
peraturan bahwa orang-orang yang tidak mau patuh kepada peraturan ini akan
diapakan? Akan dibunuh.
You say, “This could never happen.”
The fact is that it happened in the days of
Christ. What makes you think that it's not going to happen at the
end of time?
Incidentally, the Jewish view of tradition
in the days of Christ led the supposed people of God to reject Jesus
Christ. Is it just possible that at the end of time the Christian world will
also claim to serve God, but will actually reject God by following
tradition, and having the same view of tradition as was held by
the Jews in the days of Christ? I believe the evidence shows that this is
so.
Kalian berkata,
“Ini tidak mungkin terjadi.”
Faktanya, ini
sudah pernah terjadi di zaman Kristus. Apa yang membuat kalian berpikir ini
tidak akan terjadi pada akhir zaman?
Kebetulan,
pandangan Yahudi tentang tradisi di zaman Kristus, membuat mereka yang
seharusnya adalah umat Allah, menolak Yesus Kristus.
Mungkinkah pada akhir zaman, dunia Kristen
juga akan mengklaim melayani Allah, tetapi justru akan menolak Allah dengan
mematuhi tradisi dan memiliki pandangan yang sama tentang tradisi
sebagaimana yang dimiliki oleh orang-orang Yahudi di zaman Kristus? Saya yakin,
bukti telah menunjukkan demikian adanya.
Allow me to say something about John Paul
II. I'm not being critical of him individually, but he wrote a
document which we can analyze, and we can be critical of if it's not in
harmony with Scripture. The name of the Pastoral Letter was Dies Domini, the Day of the Lord.
And in that document he quoted 212 references to scholars, church
councils, creeds, and church fathers of the Roman Catholic Church.
And he kind of splattered the document with a text here and there, the
same texts which have traditionally been used by Protestants to try and
prove that the Sabbath has been changed to Sunday. But no matter
how much philosophy he uses, and how much reasoning, and how many
arguments he uses, the Bible is very clear. It says “…the seventh day is the
Sabbath of the Lord your God.”
Izinkan saya
mengatakan sesuatu tentang Yohanes Paulus II. Saya tidak mengritiknya sebagai
individu, tetapi dia telah menulis suatu dokumen yang bisa kita analisa, yang
bisa kita kritisi jika itu tidak selaras dengan Kitab Suci. Nama surat pastoral
itu ialah Dies Domini, Hari Tuhan. Dan
dalam dokumen ini dia mengutip 212 referensi dari para pakar Alkitab,
konsili-konsili gereja, kredo-kredo, dan para pemuka gereja Roma Katolik. Dan
di dokumen itu dia menebarkan beberapa ayat di sana sini, ayat-ayat yang secara
tradisi dipakai oleh golongan Protestan untuk membuktikan bahwa Sabat telah
diubah ke hari Minggu. Namun, tak soal berapa pun filosofi yang dipakainya, dan
berapa banyak alasannya, dan berapa banyak argumentasi yang dipakainya, Alkitab sangat jelas. Alkitab
berkata, “…hari ketujuh adalah Sabat Tuhan Allahmu.”
Do you know that in the end time the
controversy is going to be over the same issue as in the days of
Jesus? Allow me to read you this statement from that classic
prophetic book that everyone should read, The Great Controversy, page
582. “The last great conflict
between truth and error is but the final struggle of the long-lasting
controversy concerning the Law of God. Upon this battle we are now entering, a
battle between the law of man and the precepts of Jehovah, between the religion
of the Bible and the religion of fable and tradition.”
Will we, as God's people, not live by
tradition, but live as Jesus did, by every word which proceeds out
of the mouth of God, as found in written Scripture?
Tahukah kalian
bahwa pada akhir zaman, kontroversinya adalah mengenai isu yang sama seperti
pada zaman Yesus? Izinkan saya membacakan pernyataan ini dari buku nubuatan
klasik yang harus dibaca oleh semua: The Great
Controversy, hal. 582. “Konflik besar yang terahir antara
kebenaran dan kesalahan hanyalah pergumulan terakhir dari kontroversi
berkepanjangan mengenai Hukum Allah. Kita sekarang sedang memasuki peperangan
ini, peperangan antara hukum buatan manusia dan ketentuan-ketenuan Yehova,
antara agama yang tertulis di Alkitab, dengan agama karangan manusia dan
tradisi.”
Apakah kita,
sebagai umat Allah, tidak akan hidup menurut tradisi melainkan hidup
sebagaimana Yesus hidup, oleh setiap Firman yang keluar dari mulut Allah
sebagaimana yang terdapat di Kitab Suci yang tertulis?
18 04 17