Tuesday, April 18, 2017

EPISODE 5 ~ MARY ~ STEPHEN BOHR

       MARY SEMINAR___
Part 05/08 - Stephen Bohr
The Myth of Apostolic Succession


Dibuka dengan doa.


Perhaps some of you are wondering how the  Roman Catholic Church can teach certain doctrines, or dogmas, which are not clearly contained in Scripture;  dogmas such as Mary the mother of God, such as the immaculate conception,  the perpetual virginity of Mary, and the assumption of Mary to heaven after her death.  Perhaps some of you are wondering, how can these  doctrines be taught if there is nothing in Scripture  to corroborate these teachings?
We're going to study in our lecture today the reason why  Roman Catholicism teaches these doctrines, even though they are not contained in Scripture, not even implicitly.

Barangkali ada dari kalian yang bertanya-tanya, bagaimana gereja Roma Katolik bisa mengajarkan doktrin-doktrin tertentu, atau dogma-dogma yang jelas tidak terdapat dalam Kitab Suci; dogma-doma seperti Maria itu ibu Tuhan, seperti pembuahan imakulata [tanpa dosa], seperti keperawanan Maria yang terus-menerus, dan diangkatnya Maria ke Surga setelah kematiannya. Barangkali ada dari kalian yang bertanya-tanya, bagaimana doktrin-doktrin seperti ini bisa diajarkan sementara di Kitab Suci tidak ada apa pun yang mendukung ajaran-ajaran ini? Kita akan mempelajari dalam ceramah kita hari ini mengapa Roma Katolikisme mengajarkan doktrin-doktrin ini, walaupun hal-hal ini tidak terdapat di dalam Kitab Suci, bahkan tersirat pun tidak.


We have to go back to the times of the Old Testament.  We have to go, in fact, back to the times of Moses.  When Moses went up to mount Sinai he received revelations
from God which he committed to writing. And those writings are known as the Pentateuch, the first five books of the Bible. But according to the concept of the Jews of Christ's day, we find that they taught that also God gave to Moses certain instructions and teachings which were not committed to writing. In other words, there was a deposit of teaching from God to Moses which was composed of written material,  as well as unwritten traditions, and we could call this the deposit of the faith
In the second place, the Jews of Christ's day, as well as some earlier than this, believed that there had to be a transmitting agent to transmit reliably what God had given Moses in writing and orally.  And so they developed the idea that there was a transmitting  mechanism to transmit the truth from generation to generation in unbroken succession

Kita harus kembali ke zaman Perjanjian Lama. Sesungguhnya kita harus kembali ke zaman Musa. Ketika Musa naik ke gunung Sinai, dia menerima wahyu dari Allah, yang kemudian diabadikan dalam bentuk tulisan. Dan tulisan-tulisan itu dikenal sebagai Pentateuch, lima buku pertama dalam Alkitab. Tetapi menurut  konsep bangsa Yahudi di zaman Kristus, kita  dapati mereka  mengajarkan bahwa Allah juga memberikan Musa instruksi-instruksi dan ajaran-ajaran tertentu yang tidak dituang dalam bentuk tulisan. Dengan kata lain, ada kumpulan ajaran dari Allah kepada Musa yang terdiri atas bahan-bahan yang tertulis, dan juga bahan-bahan yang tidak tertulis, dan ini bisa kita sebut sebagai kumpulan ajaran agama.
Di tempat kedua, bangsa Yahudi di zaman Kristus, dan bahkan juga sebelum itu, meyakini bahwa harus ada agen penerus, suatu sarana untuk meneruskan dengan tepat apa yang telah diberikan Allah kepada Musa secara tertulis maupun secara lisan. Maka mereka menciptakan ide bahwa ada satu mekanisme penerus untuk meneruskan penyampaian kebenaran dari generasi ke generasi secara terus-menerus tanpa terputus.


I would like to read some statements from scholars of the day, as well as scholars of our day, on this idea of transmitting the deposit of faith from generation to generation in unbroken succession.
I'd like to begin by reading from Flavius Josephus. Josephus was a Jew, of course. He was a Pharisee, and he was born in the year 37 A.D., which means he was born only six years after the crucifixion of Jesus Christ. So I suppose he knew quite well the Hebrew, or the Jewish
concept of tradition in his day and age. This is what Josephus had to say: 
“The Pharisees had passed on to the people certain regulations handed down by former generations and not recorded in the Law of Moses.”  [Antiquities of the Jews 13.10.6]
I want you to notice the technical terminology: “passed on”, “handed down”, “sayings that Moses had spoken orally, which were not recorded in the written Law of Moses”. 

Saya ingin membacakan beberapa pernyataan dari pakar-pakar Alkitab zaman itu dan zaman kita sekarang, tentang konsep meneruskan kumpulan ajaran agama dari generasi ke generasi secara berkesinambungan.
Saya ingin mulai dengan membaca dari Flavius Josephus. Tentu saja, Flavius Josephus adalah seorang Yahudi, seorang Farisi, dia dilahirkan tahun 37 AD, berarti dia lahir hanya enam tahun setelah penyaliban Yesus Kristus. Jadi mestinya dia dukup mengenal budaya Ibrani, atau konsep tradisi orang Yahudi pada zamannya. Inilah yang dikatakan Josephus: “Orang-orang Farisi telah meneruskan kepada umat, peraturan-peraturan tertentu yang diwariskan oleh generasi-generasi sebelumnya, yang tidak tercatat dalam Hukum Musa.” [Antiquities of the Jews 13.10.6]
Saya mau kalian menyimak terminologi teknis ini:  “meneruskan”, “diwariskan”, “perkataan-perkataan yang diucapkan Musa secara lisan, yang tidak tercatat dalam Hukum Musa.”


It's interesting, in the Jewish Talmud, which is a collection  of the traditions of the Jews, we find these significant words, this is found in Aboth 1:1, 2,   “Moses received the Law from Sinai and committed it to Joshua, and Joshua to the elders, and the elders to the prophets, and the prophets committed it to the men of the Great Synagogue…” The men of the Great Synagogue are those of the days of Ezra and Nehemiah. 
So you'll notice that there was an unbroken succession of transmission of what God had given Moses in this concept of the days of Christ. Moses had given it to Joshua, Joshua to the elders, the elders to the prophets, the prophets to the men of the Great Synagogue. And then the final piece was added, which the men of the Great Synagogue gave these messages, these traditions, to the Rabbinical schools of the days of Christ.

Yang menarik, dalam Talmud Yahudi, yaitu koleksi tradisi-tradisi bangsa Yahudi, kita menemukan kata-kata yang signifikan ini, ini terdapat di Aboth 1:1, 2: “Musa menerima Hukum dari Sinai dan mempercayakannya kepada Yosua, dan Yosua kepada para tua-tua, dan para tua-tua kepada nabi-nabi, dan para nabi mempercayakannya kepada mereka yang ada dalam Sinagog Besar…” Orang-orang dari Sinagog Besar adalah mereka yang dari zaman Ezra dan Nehemiah.
Jadi kita lihat, dalam konsep ini di zaman Kristus, ada kesinambungan yang tidak terputus pada penyampaian yang telah diberikan Allah kepada Musa. Musa memberikannya kepada Yosua, Yosua kepada para tua-tua, tua-tua kepada nabi-nabi, dan nabi-nabi kepada anggota Sinagog Besar. Kemudian ditambahkan bagian yang terakhir, orang-orang Sinagog Besar menyampaikan pesan-pesan itu, tradisi-tradisi itu kepada sekolah-sekolah rabi-rabi [guru-guru agama] di zaman Kristus.


Now, significantly, Marcel Simon in the book, Jewish Sects, has this to say about the statement that I just read from the Jewish Talmud: “It is remarkable that after these words from the Talmud of transmission, unbroken transmission, comes the enumeration of several pairs of teachers. Antiginus of Soco, received the law from Simeon the Just, etc., whose historical existence is more or less certain. This list finally ends with Hillel and Shammai, famous leaders of schools, that is in the days of Christ.”
So, basically, after the Talmud says that the message of Moses was transmitted from Moses to Joshua, from Joshua to the elders, from the elders to the prophets, from the prophets to the men of the Great Synagogue, you have a list of twosomes; in other words one leader,
transmitted to the next, and transmitted to the next. You have a long list of individuals who lived in succession, and passed on the information which God had given Moses; not only the written, but supposedly also the oral revelation which God had given to Moses.
In other words, there was a type of succession. We wouldn't call it apostolic succession, but we would call it a succession from one generation to another by passing it on from one rabbi, or one scribe to another. 

Sekarang, secara signifikan, Marcel Simon dalam bukunya Jewish Sects, berkata demikian tentang pernyataan yang baru saya bacakan dari Talmud Yahudi: “Mengagumkan, bagaimana setelah kata-kata ini dari kitab Talmud tentang penyampaian yang berkesinambungan, muncul daftar nama beberapa pasang guru. Antiginus dari Soco menerima hukum itu dari Simeon yang Adil, dll., yang eksistensinya kurang lebih bisa dibenarkan oleh sejarah. Daftar itu akhirnya ditutup dengan nama Hillel dan Shammai, pemimpin-pemimpin sekolah rabi-rabi yang terkenal di zaman Kristus.”
Jadi pada dasarnya, setelah kitab Talmud berkata bahwa pesan-pesan Musa diteruskan dari Musa kepada Yosua, dari Yosua kepada para tua-tua, dari tua-tua kepada nabi-nabi, dari nabi-nabi kepada mereka yang di Sinagog Besar, ada daftar pasangan-pasangan nama; dengan kata lain, satu pemimpin meneruskannya kepada yang berikutnya, dan yang berikutnya meneruskan kepada yang berikutnya lagi. Ada suatu daftar panjang dari nama orang-orang yang hidup berurutan, yang meneruskan informasi yang diberikan Allah kepada Musa; bukan hanya yang tertulis, tetapi konon juga wahyu-wahyu lisan yang diberikan Allah kepada Musa. Dengan kata lain, ada sejenis suksesi. Kita tidak akan menyebutnya suksesi apostolik, tetapi kita akan menyebutnya suatu suksesi dari satu generasi ke generasi yang lain dengan meneruskan dari satu rabbi atau satu ahli Taurat kepada yang lain.


Now I'd like to read another statement by Marcel Simon. He says this:
“In their eyes…”  that is in the eyes of the Pharisees, “…the tradition that they invoked in  doing this, far from opposing the Torah…” which is the written Revelation “…was the natural prolongation and explication of it….” In other words, the traditions which were shared, which supposedly Moses had received orally on Mt. Sinai, they were not actually additions to the written Torah. They were not actually information that had not existed before, they were the prolongation and explication of it. “…This tradition went back to Moses himself, just as did the Torah…”  which is the written Revelation  “…An oral Law was revealed to Moses along with the written Law, and this oral Law was faithfully transmitted from generation to generation.”

Sekarang saya ingin membacakan pernyataan yang lain dari Marcel Simeon. Dia berkata demikian: “Dalam pemandangan mereka…” maksudnya dalam pemandangan orang-orang Farisi, “…tradisi yang mereka pakai sebagai dasar wewenang melakukan ini, sama sekali tidak bertentangan dengan Taurat…” yaitu wahyu yang tertulis, “…malah ialah perkembangannya yang alami dan penjelasannya…” Dengan kata lain, tradisi-tradisi yang diteruskan, yang konon diterima Musa secara lisan di Gunung Sinai, sesungguhnya bukanlah penambahan-penambahan pada Taurat yang tertulis, itu bukanlah informasi yang sebelumnya tidak ada, mereka adalah perkembangan dan penjelasan dari Taurat yang tertulis itu. “…Tradisi ini berasal dari Musa sendiri, sama seperti Taurat…” yaitu wahyu yang tertulis. “…Suatu Hukum yang lisan dinyatakan kepada Musa bersama-sama dengan Hukum yang tertulis, dan Hukum yang lisan ini diteruskan dari generasi ke generasi dengan setia.”


And so you have these scholars, among them Flavius Josephus, who say that this deposit of truth, which God had given to Moses, both the written books of Moses, and supposedly the
oral traditions, which God had given to Moses, which had not been committed to writing, were transmitted from generation to generation, from one scribe, from one religious
leader to another. 

Jadi ada pakar-pakar Taurat ini, di antaranya Flavius Josephus yang berkata bahwa kumpulan kebenaran ini, yang telah diberikan Allah kepada Musa, baik kitab-kitab yang ditulis Musa dan konon tradisi-tradisi lisan yang diberikan Allah kepada Musa yang tidak dituangkan dalam tulisan, diteruskan dari generasi ke generasi, dari satu ahli Taurat, dari satu pemimpin agama ke yang lain.


Perhaps I can read one more statement. This one is by George Foot Moore, who wrote two
volumes called, Judaism. This is the standard in the field. He says this: 
“To be of any use such a chain of tradition must possess unbroken continuity.” [Vol.1 pg.35]

Mungkin saya bisa membacakan satu pernyataan lagi. Yang ini dari George Foot Moore, yang menulis dua jilid buku berjudul Judaism. Inilah standarnya di bidangnya. Dia berkata demikian: “Agar bisa mempunyai manfaat, rantai tradisi seperti ini haruslah berkesinambungan tanpa terputus.” [Vol. 1 hal. 35]


So we've noticed two things so far.
1.   First of all we found that, according to the Jewish concept of tradition, there were the writings of Moses, and the unwritten revelation, which God had also given Moses on Mt. Sinai, which formed a deposit of truth.
2.   We also noticed secondly, that there was a process of transmission from generation to generation, supposedly in unbroken succession from one scholar, from one Rabbi, or one teacher to another. 
3.   But there's a third element in this concept, and that is that in every age there needed to be a living interpreter of the tradition which had been passed on. In other words, there had to be, we might call a Magisterium, which would bring forth only that which Moses had supposedly spoken, and only what was contained in the tradition itself, according to this concept. 

Jadi sampai di sini kita telah melihat dua hal:
1.   Pertama, kita melihat bahwa menurut konsep tradisi Yahudi, ada tulisan-tulisan Musa dan ada wahyu yang tidak tertulis, yang juga diberikan Allah kepada Musa di Gunung Sinai, yang membentuk kumpulan kebenaran.
2.   Kedua, kita juga melihat ada proses penerusan dari generasi ke generasi, konon dalam suksesi yang tidak pernah terputus, dari satu ahli kitab, dari satu rabbi, atau dari satu guru ke yang lain.
3.   Tetapi ada unsur ketiga dalam konsep ini, dan itu ialah bahwa setiap zaman harus ada seorang penerjemah yang berwewenang untuk zaman itu, penerjemah atas tradisi yang telah diturunkan itu. Dengan kata lain harus ada, bisa kita sebut, suatu Magisterium, yang akan mengemukakan hanya apa yang konon pernah dikatakan Musa, dan hanya apa yang terdapat dalam tradisi itu sendiri, menurut konsep ini.


Now this is what is meant in Matthew 23:1, 2 where Jesus is indicting the scribes and the Pharisees. He says this in Matthew 23:1, 2: 
1 Then Jesus spoke to the multitudes and to His disciples,  2 saying,…” Now notice this  “…‘The scribes and the Pharisees sit in Moses’ seat…” The word “seat” there is the word “cathedra”. It could be translated “throne”, because it's translated that way in other places in the New Testament. In other words the scribes and Pharisees sit on Moses' throne, or on Moses' seat. 

Nah, inilah yang dimaksud oleh Matius 23:1-2 di mana Yesus menuduh para ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Dia berkata demikian di Matius 23:1-2: 1 Maka berkatalah Yesus kepada orang banyak dan kepada murid-murid-Nya, kata-Nya:…”  sekarang, perhatikan,   “…2 ‘Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi duduk di tempat duduk Musa.’…”  kata “tempat duduk” di sini adalah kata “kathedra”. Kata itu bisa diterjemahkan “takhta” karena di bagian lain Perjanjian Baru, kata itu diterjemahkan demikian. Dengan kata lain, para ahli Taurat dan orang-orang Farisi duduk di takhta Musa atau di tempat duduk Musa.


Now what does this mean that they sat on Moses seat? The Roman Catholic Commentary, the Jerome Bible Commentary, explains what Moses' seat means. Notice the statement:
“The phrase [Moses’ seat] is most probably a metaphor for the authority of the scribes to teach. In rabbinical tradition, the interpretation of the Law was carried on in a scribal tradition that theoretically went back to an unbroken chain of scribes to Moses…” And, of course, Jerome, the author of this article is saying,    “…This view is, of course, entirely unhistorical.”

Nah, apa artinya ini, mereka duduk di tempat duduk Musa? The Jerome Bible Commentary, buku komentar Alkitab Roma Katolik, menjelaskan apa makna tempat duduk Musa. Perhatikan pernyataan ini: “Ungkapan itu [tempat duduk Musa] kemungkinan besar adalah metafor dari wewenang para ahli Taurat untuk mengajar. Menurut tradisi rabbinika, interpretasi Hukum dilakukan sesuai tradisi para ahli Taurat yang secara theoretis berasal dari rantai para ahli Taurat yang tidak terputuskan hingga ke Musa…” Dan tentu saja, Jerome, penulis artikel ini mengatakan, “…Pandangan ini, tentunya, seluruhnya tidak berdasarkan sejarah.”


In other words, sitting on Moses' seat meant that the Pharisees were the living interpreters of what Moses had passed on from generation to generation. They were the ones who said if a tradition was genuine or not. They could bring forth teachings which, supposedly, Moses had spoken of, but had not been brought forth yet from the deposit of unwritten traditions. In other words, they had the authority to say what was a genuine tradition, and was not a genuine tradition. According to Simon, and I read once again:
“The transmission of oral tradition,…”  that's the things that were not written by Moses, “…made Phariseeism the living element of official Judaism. It was the tradition that allowed the Pharisees to justify all the elaborations that they introduced regarding the Scriptural precepts on the level of observances as well as on the level of doctrine.”  So whenever they brought forth a teaching that was not contained in the writings of Moses, they would say, “We have the authority to say that this belongs to the unwritten tradition that was handed down by Moses.” And thus they could bring out new practices, they could bring out things that supposedly were in the deposit, which actually had not been there. But they had the authority because, supposedly, they were sitting on Moses' seat. In other words, they had the authority and the clout of Moses behind them. 

Dengan kata lain, duduk di tempat duduk Musa berarti orang-orang Farisi adalah penerjemah-penerjemah yang berwewenang saat itu atas apa yang telah diwariskan Musa dari generasi ke generasi. Merekalah yang menentukan apakah suatu tradisi itu tulen atau tidak. Mereka bisa mengemukakan ajaran-ajaran yang konon pernah dikatakan Musa tetapi yang belum pernah diperkenalkan dari kumpulan tradisi yang tidak tertulis. Dengan kata lain, mereka memiliki wewenang untuk mengatakan tradisi yang tulen itu yang bagaimana, dan yang tidak tulen, bagaimana. Menurut Simon, saya bacakan lagi, “Penyampaian tradisi lisan…” yaitu hal-hal yang tidak ditulis oleh Musa, “…membuat Farisi-isme menjadi unsur yang berkuasa atas Yudaisme yang resmi. Tradisilah yang telah mengizinkan orang-orang Farisi membenarkan semua penambahan yang mereka perkenalkan atas peraturan-peraturan Kitab Suci yang menyangkut kepatuhan dan juga yang menyangkut doktrin.”
Jadi kapan saja mereka mengemukakan suatu ajaran yang tidak terdapat dalam tulisan-tulisan Musa, mereka akan berkata, “Kami memiliki wewenang untuk mengatakan bahwa hal ini termasuk dalam tradisi yang tidak tertulis yang telah diwariskan turun-temurun oleh Musa.” Dengan demikian mereka bisa memperkenalkan praktek-praktek baru, mereka bisa memperkenalkan  hal-hal yang konon terdapat dalam kumpulan ajaran, yang sesungguhnya tidak ada. Tetapi orang-orang Farisi ini memiliki wewenangnya karena konon  mereka sedang duduk di tempat duduk Musa. Dengan kata lain mereka punya wewenang dan pengaruh istimewa Musa di belakang mereka.
 

So let’s summarize the Hebrew, or the Jewish view of tradition as it existed in the days of Christ. 
1.   First of all there was a deposit of truth composed of the writings of Moses, and the unwritten traditions which God had spoken orally to Moses.
2.   Secondly there was a transmitting element. From generation to generation. These truths, both the written and the unwritten, supposedly, were passed on in unbroken succession all the way till the days of Christ. 
3.   And in the third place, you have the living interpreter in the days of Christ, which are the scribes and the Pharisees who sit on the throne of Moses, and speak ex cathedra. In other words they speak from the throne, or they speak from the seat of Moses. They are the ones who can say, “This is a genuine tradition, and this is not a genuine tradition. This is what is to be obeyed, and this is what is not necessarily to be obeyed.” Interestingly enough, the people had to render blind obedience to what was taught by the scribes and the Pharisees who sat on Moses' seat. 

Jadi, marilah kita simpulkan pandangan bangsa Ibrani atau Yahudi tentang tradisi sebagaimana yang terdapat di zaman Kristus.
1.   Pertama, ada kumpulan kebenaran yang terdiri atas tulisan-tulisan Musa, dan tradisi-tradisi yang tidak tertulis yang dikatakan Tuhan kepada Musa secara lisan.
2.   Yang kedua, ada suatu unsur penyampaian, dari generasi ke generasi. Kebenaran-kebenaran ini, baik yang tertulis dan yang tidak tertulis, konon diteruskan dalam suksesi yang tidak terputus sejak Musa ingga zaman Kristus.
3.   Dan yang ketiga, ada penerjemah yang berwewenang di zaman Kristus, yaitu para ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang duduk di takhta Musa dan berbicara “ex-cathedra”, dengan kata lain mereka berbicara dari atas takhta, atau mereka berbicara dari tempat duduk Musa. Merekalah yang berhak mengatakan, “Ini adalah tradisi yang tulen dan itu bukan tradisi yang tulen. Ini yang harus dipatuhi, dan itu tidak perlu dipatuhi” Yang menarik, umat harus percaya buta kepada apa yang diajarkan oleh para ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang duduk di tempat duduk Musa.

I want to read this statement that's found in Antiquities of the Jews. It's written by Flavius Josephus once again, the Jewish Pharisee. Notice what he says:  “The Pharisees have delivered to the common people by tradition from a continuous succession of fathers, certain legal regulations which are not written in the Law of Moses, on which account the Sadducean sort rejects them, affirming that what is written is to be regarded as law, but what comes from the tradition of the fathers is not to be observed…”  So notice there was a discrepancy between the Sadducees and the Pharisees. The Pharisees believed that, according to this, the common people had to accept the tradition which was passed  on in continuous succession from the fathers. Josephus continues saying:   “…On this point the Pharisees have the mass of the people on their side, and they have so much influence that anything they say, even against a king or a high priest, finds ready credence.” In other words, their word was final. If they said that this was found in the deposit of oral tradition that God gave Moses, even if it wasn't in the writings of Moses,  people had to accept it on their say so, because they spoke from Moses' seat; they spoke from the cathedra. 

Saya mau membaca pernyataan yang terdapat di Antiquities of the Jews. Ini ditulis oleh Flavius Josephus sekali lagi, orang Farisi Yahudi. Perhatikan apa yang dikatakannya, “Orang-orang Farisi telah menyampaikan kepada orang-orang awam, tradisi dari suksesi para bapak yang terus berkesinambungan, peraturan-peraturan tertentu yang resmi yang tidak tertulis dalam Taurat Musa. Karena itulah orang-orang Saduki menolak mereka, menegaskan bahwa apa yang tertulis itulah yang harus dianggap sebagai Hukum, tetapi apa yang berasal dari tradisi bapak-bapak tidak untuk dipatuhi…” Jadi perhatikan, ada perbedaan antara orang-orang Saduki dan orang-orang Farisi. Menurut ini, orang-orang Farisi meyakini, bahwa umat yang awam harus menerima tradisi yang telah diturunkan secara suksesif yang tidak pernah terputus dari para bapak. Josephus melanjutkan berkata, “…Dalam hal ini orang-orang Farisi didukung oleh mayoritas umat, dan orang-orang Farisi ini memiliki pengaruh yang begitu besar sehingga apa pun yang mereka katakan, bahkan yang menentang seorang raja, atau imam besar pun, mendapatkan kepercayaan dari umat.” Dengan kata lain, apa yang mereka katakan itu harus diterima. Jika mereka berkata bahwa ini terdapat dalam kumpulan tradisi lisan yang diberikan Allah kepada Musa walaupun itu tidak terdapat dalam tulisan-tulisan Musa, umat harus mempercayai apa yang mereka katakan, karena mereka berbicara dari tempat duduk Musa, mereka berbicara dari kathedra.


Now is this concept of tradition clear in your mind? It's very important that we understand it because we're going to come back to this when we deal with the Roman Catholic view of tradition. However, allow me to ask the question, “What distinguished the authority of Jesus from the authority of the scribes and the Pharisees?” 
It's interesting to notice that time and again in the gospels the Pharisees and the scribes are questioning the right of Jesus to teach. They're asking Him, “On what authority are You doing this?”  Because they were sitting on Moses' seat. They said, “We can teach the writings of Moses, and we can say what is a genuine oral tradition and what isn't, but this guy didn't even go to our schools.  By what authority are You teaching these things?” 
Allow me to give you some examples. Matthew 7:28, 29, immediately after the parable of the man  who built his house on the rock, and the man who built his house upon the sand, we find these words:  28 And it came to pass, when Jesus had ended these sayings, the people were astonished at His doctrine:  29 For He taught them as one having authority, and not as the scribes.”
Jesus had never gone to the rabbinical schools, and yet we're told that Jesus spoke with authority, and not as the scribes. 

Nah, apakah konsep tradisi ini jelas bagi kalian? Sangat penting kita memahaminya karena nanti kita akan kembali ke mari saat kita membahas pandangan Roma Katolik mengenai tradisi. Tetapi, izinkan saya mengajukan pertanyaan, “Apa yang membedakan wewenang Yesus dari wewenang para ahli Taurat dan orang-orang Farisi?”
Yang menarik ialah kita melihat berulang-ulang dalam kitab Injil, orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat mempertanyakan wewenang Yesus untuk mengajar. Mereka bertanya kepadaNya, “Atas wewenang apa Engkau melakukan ini?” Karena mereka kan duduk di tempat duduk Musa, jadi mereka berkata, “Kami berhak mengajarkan tulisan-tulisan Musa, dan kami berhak mengatakan mana tradisi lisan yang tulen dan mana yang bukan, tetapi Orang ini bahkan tidak pernah bersekolah di sekolah kami. Berdasarkan wewenang apa Engkau mengajarkan hal-hal ini?”
Izinkan saya memberikan beberapa contoh. Matius 7:28-29, segera setelah perumpamaan orang yang membangun rumahnya di atas batu karang dan orang yang membangun rumahnya di atas pasir, kita mendapati kata-kata ini:28 Dan setelah Yesus mengakhiri perkataan ini, takjublah orang banyak itu mendengar pengajaran-Nya, 29 sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang memiliki kuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat mereka.”
Yesus tidak pernah bersekolah di sekolah rabbi-rabbi, namun kita mendapat tahu bahwa Yesus berbicara dengan kuasa, tidak seperti para ahli Taurat.


Once again in Matthew 13:54 we find these words:  And when He was come into His own country, He taught them in their synagogue,…”  this is Jesus,  “…insomuch that they were astonished, and said, ‘Whence hath this man this wisdom, and these mighty works?’…” In other words, “where does this Man get His wisdom from? He hasn't come to learn from us, the theological cadre of Israel; the ones who are able to say what is the  genuine  tradition and what isn't.” 
Also in John 7:15 we find the same issue coming forth again.  We're told there: And the Jews marvelled, saying, ‘How knoweth this Man letters, having never learned?’”

Sekali lagi di Matius 13:54 kita mendapatkan kata-kata ini, 54 Ketika Dia…”  ini Yesus,   “… datang ke tempat asal-Nya, Yesus mengajar orang-orang di situ di rumah ibadat mereka. Sehingga takjublah mereka dan berkata: ‘Dari mana diperoleh-Nya hikmat itu dan kuasa untuk mengadakan mujizat-mujizat itu?” Dengan kata lain, “Dari mana Orang ini mendapat hikmatNya? Dia tidak pernah belajar dari kita, kader-kader theologi Israel, yang berhak mengatakan apa tradisi yang tulen dan apa yang bukan.”
Juga di Yohanes 7:15 kita mendapatkan isu yang sama muncul lagi. Kita mendapat tahu di sana,15 Maka heranlah orang-orang Yahudi dan berkata: ‘Bagaimanakah Orang ini tahu tulisan-tuliasn,  tanpa belajar?"


And if you read the gospels, you'll find that the multitudes  followed Jesus. They admired His teaching. They were attracted to His teaching, whereas the teaching rooms of the Pharisees and the scribes were empty. And the gospels tell us that because of this reason, the scribes and Pharisees were jealous of Jesus.  You see, Jesus had authority, even though He had not studied  in the theological schools. 

Dan jika kalian baca kitab-kitab Injil, kalian akan mendapatkan banyak orang mengikuti Yesus. Mereka mengagumi ajaran-ajaranNya. Mereka tertarik pada ajaran-ajaranNya, sementara ruang-ruang kelas orang-orang Farisi dan para ahli Taurat, kosong.  Dan kitab-kitab Injil mengatakan kepada kita bahwa karena alasan inilah, para ahli Taurat dan orang-orang Farisi iri hati pada Yesus. Kalian lihat, Yesus memiliki kuasa, walaupun Dia tidak pernah belajar di sekolah-sekolah theologi.


In John 7:46 we find the officers of the temple returning to bring back a report to the Pharisees, because they had  been sent to listen to Jesus.  And notice what these officers said: Never man spake like this Man.” In other words there is something powerful in His manner of speaking.
 
Di Yohanes 7:46, kita mendapati petugas-petugas Bait Suci kembali membawa laporan kepada orang-orang Farisi karena mereka tadinya dikirim untuk mendengarkan Yesus. Dan perhatikan apa kata petugas-petugas ini: Belum pernah ada manusia berbicara seperti Orang itu!" Dengan kata lain cara Yesus berbicara itu ada kekuatannya.


Once again, in Mark 11:27, 28, we find the same phenomenon. We're told there: 27 And they come again to Jerusalem: and as He was walking in the temple, there come to Him the chief priests, and the scribes, and the elders, 28 and say unto Him, ‘By what authority doest Thou these things? And who gave Thee this authority to do these things?” In other words, “Where do You get Your authority from? You should have gotten it from us, because we sit on the  cathedra.  We say what can be taught and what can't be taught, what is a genuine tradition, and what is not a genuine tradition.”  Well, as we read the gospels, we discover the reason why  the teachings of Jesus had power and authority.  It's because Jesus Christ, whenever He spoke, He corroborated what He said with Holy Scripture. You will never find Jesus saying, “Rabbi Shammai said such and such a thing”, or “Rabbi Hillel said  such and such a thing.”  You'll never find Jesus quoting the theological experts of His day and age. You'll never notice that Jesus quotes oral tradition that supposedly went back to Moses.  Jesus always confronted His enemies, and always taught from the Word of God. 

Sekali lagi di Markus 11:27-28 kita mendapatkan fenomena yang sama. Kita diberitahu di sana: 27  Lalu Yesus dan murid-murid-Nya datang lagi ke Yerusalem. Ketika Yesus berjalan di halaman Bait Allah, datanglah kepada-Nya imam-imam kepala, ahli-ahli Taurat dan tua-tua, 28 dan bertanya kepada-Nya: ‘Dengan kuasa manakah Engkau melakukan hal-hal itu? Dan siapakah yang memberikan kuasa itu kepada-Mu, untuk melakukan hal-hal itu?"  Dengan kata lain, “Dari mana Engkau memperoleh kuasaMu itu? Engkau seharusnya memperolehnya dari kami karena kami yang duduk di kathedra. Kami yang menentukan apa yang bisa diajarkan dan apa yang tidak, apa tradisi yang tulen dan apa yang bukan.” Nah, jika kita membaca kitab-kitab Injil kita menemukan alasan mengapa ada kekuatan dan kuasa dalam  ajaran-ajaran Yesus. Itu karena setiap kali Yesus Kristus berbicara, Dia membekking apa yang dikatakanNya dengan Kitab Suci. Kita tidak akan mendapati Yesus berkata, “Rabbi Shammai mengatakan demikian” atau “Rabbi Hillel mengatakan demikian- demikian.” Kita tidak akan menemukan Yesus mengutip ahli-ahli theolog zamanNya. Kita tidak akan menemukan Yesus mengutip tradisi lisan yang konon berasal dari Musa. Yesus selalu mengkonfrontasi musuh-musuhNya dan selalu mengajar dari Firman Allah.


Allow me to give you some examples.  On the Mount of Temptation, according to Matthew 4,  three times Jesus said to the devil, “It is written.”  And, by the way, He quoted three times from the  book of Deuteronomy. Deuteronomy 8:3, 6:16, and 6:13.  Jesus corroborated His mission, and defended Himself against temptation through quoting the Word.  When Jesus began His ministry we find in Luke 4:21 that He quoted Isaiah 61:1, 2: “The Spirit of the Lord is upon Me…” 
He authenticated His mission through Scripture. When the young lawyer came to Jesus and asked Him what the  great commandment was, Jesus says, “Well, you're an expert in the law.  You're a lawyer. You're a scribe. You tell Me!” And then this young man, of course, quotes Scripture, because Jesus said, “What is it that the law contains about this?”

Izinkan  saya memberikan beberapa contoh. Di Bukit Pencobaan, menurut Matius pasal 4, tiga kali Yesus berkata kepada Iblis, “Ada tertulis”. Dan ketahuilah tiga kali Yesus mengutip dari kitab Ulangan: Ulangan 8:3, 6:16, dan 6:13. Yesus membekking misiNya, dan mempertahankan DiriNya terhadap pencobaan dengan mengutip Firman. Ketika Yesus mengawali pelayananNya, kita lihat di Lukas 4:21 Dia mengutip Yesaya 61:1-2  “Roh Tuhan ALLAH ada padaKu…” Dia membuktikan keaslian pelayananNya melalui Firman Allah. Ketika seorang ahli hukum muda datang ke Yesus dan bertanya, apakah perintah yang agung itu, Yesus berkata, “Nah, kamu kan ahlinya dalam hukum. Kamu ahli hukumnya, kamu ahli Taurat. Coba kamu yang memberitahu Aku!” Lalu tentu saja orang muda ini mengutip Firman karena Yesus berkata, “Apa yang ada dalam Hukum tentang hal ini?”  


We find also in Matthew 21:42, in the parable of the vineyard workers, that Jesus quotes Scripture by saying, “the stone that the builders rejected has become the chief cornerstone.” 

Kita juga melihat di Matius 21:42 di perumpamaan pekerja kebun anggur, bahwa Yesus mengutip Firman dengan berkata, “batu yang ditolak oleh tukang-tukang bangunan telah menjadi batu penjuru.”


Also, Matthew 22:29, the seven brothers. You remember the experience of the seven brothers?  They died one by one, and this woman was left a widow each time, and so they asked Jesus, “Whose wife is this  woman going to be in the resurrection?”
And Jesus says,
“You err, not knowing the Scriptures  or the power of God.” And then Jesus quotes the fact that God is the God of Abraham, Isaac, and Jacob, and God is not a God of the dead,  but He is a God of the living. He quotes Scripture once again.
 
Juga, di Matius 22:29, tentang tujuh bersaudara. Kalian ingat pengalaman ketujuh saudara? Mereka mati satu per satu, dan setiap kali perempuan itu menjadi janda. Maka mereka bertanya kepada Yesus, “Pada saat kebangkitan, perempuan ini menjadi istri siapa?” Dan Yesus berkata, Kamu sesat, sebab kamu tidak mengerti Kitab Suci maupun kuasa Allah!” Lalu Yesus mengutip faktanya bahwa Allah adalah Allah Abraham, Ishak dan Yakub, dan Allah bukanlah Allah orang mati tetapi Dialah Allah orang hidup. Sekali lagi Yesus mengutip Firman.
 

When Jesus cleansed the temple He quoted Jeremiah saying,  “You have made My house a den of thieves.”  Once again He's authenticating what He's doing  from Holy Scripture. 

Ketika Yesus membersihkan Bait Suci, Dia mengutip Yeremia berkata, “Kamu telah membuat rumahKu menjadi sarang penyamun.” Sekali lagi Yesus membuktikan keaslian apa yang dilakukanNya dari Kitab Suci.
 

When the Pharisees came to Jesus and said, “Well, Moses said that we could get divorced for any cause,” Jesus says, “Yeah, you might say that, and you might interpret  Moses that way, but let Me tell you, at the beginning it was not so.  He who made them at the beginning made  them male and female.  God established marriage.”  Once again Jesus resolves the issue by going to Scripture. 

Ketika orang-orang Farisi datang pada Yesus dan berkata, “Nah, Musa berkata kami boleh bercerai demi alasan apa pun.” Yesus berkata, “Yah, bisa dikatakan demikian dan kamu mungkin menginterpretasikan Musa seperti itu, tetapi Aku katakan kepadamu, pada awal mulanya tidak begitu. Dia yang membuat mereka [= manusia] pada awal mulanya, membuat mereka laki-laki dan perempuan. [Mat. 19:4] Allah yang menciptakan perkawinan.” Sekali lagi Yesus menyelesaikan isunya dengan merujuk Firman.


In fact when they questioned Jesus how He can be witnessing  in the things that He's talking about, Jesus says, “Well,  your Scriptures say that in the mouth of two or three witnesses  every word is confirmed.” He says, “Well, I have the witness of my Father,  and I have My witness, so that's two.” He's actually quoting Scripture in John 8:17, 18. 
When they asked Jesus how He thought He had a right to call Himself the Messiah, Jesus quoted Psalm 110:1, 2.  “Sit at My right hand until I make Your  enemies Your footstool.” 
John 5, Jesus said, “If you believe Moses, you would believe  Me, for he wrote about Me.” 

Bahkan saat mereka bertanya kepada Yesus bagaimana Dia bisa bersaksi dalam hal-hal yang dikatakanNya, Yesus berkata, “Nah, Kitab Sucimu berkata bahwa dari mulut dua atau tiga orang saksi, setiap perkataan itu diteguhkan.” Yesus berkata, “Nah, Bapa-Ku adalah saksi-Ku, dan Aku bersaksi tentang DiriKu sendiri, jadi itu sudah dua.”  Sebenarnya di Yohanes 8:17,18 Yesus sedang mengutip Firman [Ulangan 17:6]
Ketika mereka menanyai Yesus bagaimana Dia menganggap Dia berhak menyebut DiriNya Sang Mesias, Yesus mengutip Mazmur 110:1-2 Duduklah di sebelah kanan-Ku, sampai Kubuat musuh-musuhmu menjadi tumpuan kakimu."
Yohanes 5, Yesus berkata, “Jikalau kamu percaya kepada Musa, tentu kamu akan percaya juga kepada-Ku, sebab ia [= Musa] telah menulis tentang Aku.”


Even after the resurrection on the road to Emmaus,  we're told, “And beginning with Moses, and from all of the  prophets, He told them in all of the Scriptures the things  concerning Himself.”  What gave Jesus power and authority was the fact that Jesus got His message from Scripture,  not from unwritten tradition. 

Bahkan setelah kebangkitanNya, dalam perjalanan ke Emaus, kita diberitahu, Lalu Ia menjelaskan kepada mereka apa yang tertulis tentang Dia dalam seluruh Kitab Suci, mulai dari kitab-kitab Musa dan segala kitab nabi-nabi.” [Lukas 24:27] Yang memberi Yesus kuasa dan wewenang adalah fakta bahwa Yesus mendapatkan pekabaranNya dari Kitab suci, bukan dari tradisi yang tidak tertulis.


Now I would like to go to an example of this concept  in the days of Jesus.  This is the passage that we find in Mark 7:1-13.  And I'm going to read this passage, and I'm going to  stop as we go along to underline certain very important points. 
Marks 7:1 “1 Then the Pharisees and some of the scribes…” I want you to notice that it's the same group,  it's the same group that sit on Moses cathedral.  They are the ones who think they have authority to define  what is a true tradition handed down from Moses. So it says: “1 Then the Pharisees and some of the scribes came together to Him having come from Jerusalem. 2             Now when they saw some of His disciples eat bread with defiled, that is, with unwashed hands, they found fault…” Now this is not talking about hygiene.  This is not talking about washing your dirty  hands before you eat. This is a practice which had been established by oral tradition that they needed to ceremonially wash their hands several times as they were about to partake of their meal. Notice verse 3:  3   For the Pharisees and all the Jews do not eat unless they wash their hands in a special way,…” And now I want you to notice:    “…holding…” remember that word.  That's a technical term,   “…holding the tradition…” that also is a technical term,  “…the tradition of the elders…”  Holding the tradition of the elders. Why did they practice the ceremonial washing?  Because Moses said so?  No, because they hold the tradition of the elders.  Now what does this expression mean;  “the tradition of the elders”?  Notice what the Jerome Bible Commentary has to say.  This is a Roman Catholic Bible Commentary. “…the expression ‘tradition of the elders’ is  a rabbinical term…”  that is a term of the rabbi's  “…for the body of unwritten Laws that the Pharisees considered as equally binding as the written Torah.”   Did you catch that? I'll read it again.  “…This expression, ‘the tradition of the elders, is a rabbinical  term for the body of unwritten laws that the Pharisees  considered as equally binding as the written Torah.” 

Sekarang saya ingin ke sebuah contoh tentang konsep ini di zaman Yesus. Bacaannya kita dapati di Markus 7:1-13, dan saya akan membacakan bacaan ini, dan saya akan berhenti sambil membaca untuk menggarisbawahi poin-poin tertentu yang sangat penting.
Markus 7:1  1 Lalu orang-orang Farisi dan beberapa ahli Taurat…”  saya mau kalian simak bahwa ini adalah kelompok yang sama, kelompok yang sama yang duduk di kathedra Musa. Mereka inilah yang beranggapan mereka memiliki wewenang untuk menentukan apa tradisi yang tulen yang diturunkan Musa. Maka dikatakan, “…“1 Lalu orang-orang Farisi dan beberapa ahli Taurat dari Yerusalem datang bersama-sama menemui Yesus. 2 Ketika mereka melihat, bahwa beberapa orang murid-Nya makan roti dengan tangan najis, yaitu dengan tangan yang tidak dibasuh, mereka mencari-cari kesalahan…”  nah, ini tidak berbicara tentang kebersihan. Ini tidak berbicara tentang membasuh tangan yang kotor sebelum makan. Ini adalah praktek yang diciptakan oleh tradisi tidak tertulis bahwa mereka harus melakukan upacara membasuh tangan mereka beberapa kali pada saat mereka akan makan. Perhatikan ayat 3, “…3 Sebab orang-orang Farisi dan semua orang Yahudi tidak makan kecuali mereka membasuh tangan mereka secara khusus,…”  dan sekarang saya mau kalian perhatikan, “…berpegang…”  ingat kata ini, ini adalah istilah teknis, “…berpegang pada adat istiadat…”  ini juga istilah teknis, “…para tua-tua mereka…”  Mengapa mereka mempraktekkan upacara pembasuhan ini? Karena Musa memerintahkannya? Tidak. Karena mereka berpegang pada adat istiadat [tradisi] para tua-tua mereka. Nah, apa maknanya “adat-istiadat para tua-tua”? Perhatikan apa kata Jerome Bible Commentary. Ini adalah Bible Commentary milik Roma Katolik. “’Istilah tradisi/adat-istiadat para tua-tua’ adalah istilah rabbi-rabbi…” artinya ini adalah istilah ciptaan para rabbi, “…karena orang-orang Farisi menganggap kumpulan Hukum yang tidak tertulis, itu sama mengikatnya sebagaimana Taurat yang tertulis.” Apakah kalian menangkapnya? Saya bacakan lagi. “…’Istilah tradisi/adat-istiadat para tua-tua’ adalah istilah rabbi-rabbi karena orang-orang Farisi  menganggap kumpulan Hukum yang tidak tertulis, itu sama mengikatnya sebagaimana Taurat yang tertulis.”


Now notice verse 4. 4 And when they come from the market place, they do not eat unless they wash; and…” notice that this is only the tip of the iceberg. There are many other things in which they go by tradition also.  “…And there are many other things which they have received…” remember that word, “…which they have received and hold…” these are technical terms, “…received and hold like the washing of cups, pitchers, copper vessels and couches.”
Now what terms have we noticed so far? “holding”, “tradition”, “received”, “hold”, “passed on”,  I want you to remember those terms, because we're going to come back to them. 
Notice verse 5: 5   The Pharisees and the scribes asked Him, ‘Why do Your disciples not walk according to the tradition of the elders, but eat bread with unwashed hands?" In other words, “Why don't they go by the tradition that we say  goes all the way back to the days of Moses,  even though it's not written in the writings of Moses?” 

Sekarang, perhatikan ayat 4, ”…4 dan ketika mereka pulang dari pasar mereka juga tidak makan kecuali mereka membasuh.  Dan…”  perhatikan bahwa ini hanya puncak gunung esnya saja. Masih ada banyak hal lain di mana mereka menuruti tradisi juga.  “…Dan ada banyak hal lain yang telah mereka terima…”  ingat kata itu, “…yang telah mereka terima dan pegang,…” ini adalah istilah-istilah teknis, “…yang telah mereka terima dan pegang umpamanya hal mencuci cawan, kendi, tabung-tabung tembaga dan dipan-dipan.”
Nah, istilah-istilah apa saja yang telah kita simak sampai di sini?  “berpegang”, “adat-istiadat/tradisi”, “terima”, “pegang”, “meneruskan”, saya mau kalian mengingat istilah-istilah ini, karena nanti kita akan kembali kemari.
Perhatikan ayat 5, “…5 Orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat itu bertanya kepada-Nya: ‘Mengapa murid-murid-Mu tidak hidup menurut adat istiadat para tua-tua kita, tetapi makan roti dengan tangan yang tidak dibasuh?’" Dengan kata lain, “Mengapa mereka tidak tunduk pada tradisi yang kami katakan berasal dari zaman Musa, walaupun itu tidak tertulis dalam tulisan-tulisan Musa?”


Notice verse 6: 6   And He said to them, "Well did Isaiah prophesy of you hypocrites,…” How is Jesus going to face this issue?  He's going to quote Scripture.   "…Well did Isaiah prophesy of you hypocrites, as it is written: 'This people honors Me with their lips, but their heart is far away from Me…” And now notice this: “… 7'And in vain do they worship Me, teaching as doctrines the commandments of men.'”  What happens when you follow the commandments of men,  and you follow tradition instead of the Word of God?  You are practicing what kind of worship?  You are practicing vain worship, which means useless worship.  So when you follow the traditions of men instead of  the Word of God, you are following, actually you are practicing vain or meaningless worship.  We'll come back to that later. 

Perhatikan ayat 6, “…6 Jawab-Nya kepada mereka: ‘Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik,…”  Bagaimana Yesus menghadapi isu ini? Dia akan mengutip dari Firman, “… ‘Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik, sebagaimana ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku…”  dan sekarang perhatikan ini,   “…7 Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia.’” Apa yang terjadi ketika kita mengikuti perintah manusia, kita mengikuti tradisi [adat istiadat] dan bukannya Firman Allah? Kita mempraktekkan ibadah macam apa? Kita mempraktekkan ibadah yang percuma, artinya ibadah yang sia-sia. Jadi jika kita mengikuti tradisi manusia dan bukan Firman Allah, kita mengikuti, sesungguhnya kita mempraktekkan ibadah yang sia-sia dan tidak ada artinya. Nanti kita akan kembali kemari.


Now let’s go on to verse 8. “…8     For laying aside the commandment of God, you hold to the tradition of men..." Let me ask you, what is the issue in this passage?  It's between tradition and the commandment of God.  It's between tradition and the Word of God.  Notice once again: “…8 For laying aside the commandment of God, you hold to the tradition of men ~ the washing of pitchers and cups and…”  and notice the tip of the iceberg again  “…and many other such things you do…"   The issue, once again, is tradition  versus the Word of God.  And those who follow the traditions of men are practicing  what kind of worship? are practicing vain worship.

Sekarang mari ke ayat 8, “…8 Dengan mengesampingkan Perintah Allah kamu berpegang pada adat istiadat manusia…”  coba saya tanya, dalam bacaan ini isunya apa? Isunya adalah antara tradisi dan Perintah Allah, antara tradisi dan Firman Allah. Perhatikan sekali lagi,   “…8 Dengan mengesampingkan Perintah Allah kamu berpegang pada adat istiadat manusia ~ tentang pembasuhan kendi dan cawan, dan…”  perhatikan puncak gunung esnya lagi,  “…dan banyak hal lain yang seperti itu, kamu lakukan…” Isunya, sekali lagi, ialah tradisi [adat-istiadat] versus Firman Allah. Dan mereka yang mengikuti tradisi manusia, mempraktekkan ibadah macam apa? Mempraktekkan ibadah yang sia-sia.  

 
Now notice verse 9: “…9 And He said to them, ‘All too well you reject the commandment of God that you may keep your…”  what? “…tradition’…” And now He's going to quote Scripture again.  He's going to show how their tradition contradicts  the written Word of God.  How their tradition contradicts a commandment of God.  Notice verse 10: “… 10 For Moses said,…” this is Exodus 20:17  “…Moses said, 'Honor your father and your mother'; and, 'He who curses his father or mother, let him  be put to death'…”  is that the commandment of God? Yes.  Was it written in the writings of Moses? Yes, it is. Verse 11, “… 11           but you say, 'If a man says to his father or mother, whatever profit you might have received from me, is Qorban (that is a gift to God),' 12 then you no longer let him do anything for his father or his mother; 13 making the Word of God of no effect through your tradition which you have…” now notice this,  “…handed down; and many such things you do."

Sekarang simak ayat 9, “…9 Yesus berkata kepada mereka: ‘Baguslah kamu menolak perintah Allah, supaya kamu dapat memelihara…”  apa?   “…adat istiadatmu sendiri…”  Dan sekarang Yesus akan mengutip Kitab Suci lagi. Dia akan menunjukkan bagaimana tradisi mereka bertentangan dengan Firman Allah yang tertulis, bagaimana tradisi mereka bertentangan dengan sebuah Perintah Allah. Perhatikan ayat 10, “…10 Karena Musa telah berkata…”  ini ada di kitab Keluaran 20:12,  “…Musa telah berkata: ‘Hormatilah ayahmu dan ibumu!’ dan ‘Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya harus dibunuh.’…”  apakah ini Perintah Allah? Ya. Apakah ini tertulis dalam Taurat Musa? Ya. Ayat 11,  “…11 Tetapi kamu berkata: ‘Kalau seorang berkata kepada bapaknya atau ibunya: Apa pun yang engkau seharusnya menerima dariku, adalah untuk korban--yaitu persembahan kepada Allah--, 12 maka kamu tidak lagi mengharuskan dia berbuat apa pun untuk bapaknya atau ibunya, 13 ini menjadikan Firman Allah tidak berlaku demi adat istiadat yang kamu miliki…”  sekarang simak ini, “…yang diturunkan.  Dan banyak hal lain seperti itu yang kamu lakukan."


Now what Jesus is referring to, the tradition that He's referring to here is the tradition of Qorban.  Now, basically what Qorban meant ~ the word “Qorban” means dedicated ~  children could actually dedicate all of their possessions to the  temple, but they could use all of their possessions freely until they died, and then it passed over to the temple,  which means that their parents could be deprived while they  lived, because they could use everything, and they could say to their parents, “Sorry, I can't help you, because this has  been dedicated to the temple.”
Interesting that this tradition of man contradicted  the commandment that said, “Honor your   father and your mother”.  In other words, they were annulling the written Word of God through this tradition. 

Nah, apa yang dimaksud Yesus, tradisi yang dimaksud Yesus di sini ialah tradisi Qurban. Nah, pada dasarnya Qurban berarti ~ kata “kurban” berarti dipersembahkan ~ anak-anak boleh mempersembahkan semua harta mereka ke Bait Suci, tetapi mereka bisa bebas memakai harta tersebut sampai mereka mati, kemudian sisanya diambilalih Bait Suci. Berarti orangtua mereka mungkin kekurangan selama mereka [anak-anaknya] masih hidup karena anak-anak itu boleh memakai apa saja, dan mereka bisa berkata kepada orangtua mereka, “Maaf, aku tidak bisa membantumu karena harta itu sudah dipersembahkan ke Bait Suci.”
Yang menarik tradisi ini bertentangan dengan Perintah Allah yang berkata, “Hormatilah ayahmu dan ibumu…” Dengan kata lain, mereka membatalkan Firman Allah yang tertulis melalui tradisi ini.


By the way, the Pharisees and scribes were expert at categorizing sin.  You know, some of the violations of traditions they considered grave offenses while violations of clearly revealed duties by God were considered trivial. Allow me to read you this statement from The Desire of Ages, page 616. 
“They [the Pharisees] presumed to make nice distinctions as to the comparative guilt of various sins, passing over some lightly…”  dare we call them maybe “venial sins”?  “…passing over some lightly and treating others of perhaps less consequence as unpardonable…”  could we call that maybe “mortal”? Now notice: “…for a money consideration they excused persons from their vows. And for large sums of money they sometimes passed over aggravated crimes. At the same time these priests and rulers would in other cases pronounce severe judgment for trivial offenses…”
And do you know what this concept of tradition led to?  It led to the rejection of Jesus Christ, and to the rejection of the Jewish nation. 

Nah, orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat adalah pakar-pakarnya dalam mengkategorikan dosa. Kalian tahu, ada pelanggaran tradisi yang mereka anggap pelanggaran berat, sementara pelanggaran-pelanggaran atas kewajiban yang jelas-jelas telah diwahyukan Allah, mereka anggap sepele. Izinkan saya membacakan pernyataan ini dari The Desire of Ages hal. 616. “Mereka [orang-orang Farisi] menganggap mereka berhak membuat pembedaan yang tepat tentang tingkat kesalahan bermacam-macam dosa, ada yang dilewati sebagai hal yang sepele…” apakah kita berani menyebutnya “dosa kecil”?  “…ada yang dilewati sebagai hal yang sepele, sementara yang lain yang kurang penting, dianggap tidak bisa diampuni…” bolehkah kita menyebut ini “dosa berat”? Sekarang simak: “…Atas pertimbangan uang, mereka membebaskan orang-orang dari perjanjian mereka. Dan untuk jumlah uang yang besar, terkadang mereka melewatkan tindakan-tindakan kriminal yang berat. Pada waktu yang sama, dalam hal lain imam-imam ini dan para pemimpin akan menjatuhkan hukuman yang berat untuk kasus-kasus pelanggaran sepele…” 
Dan tahukah kalian konsep tradisi ini mengarah ke mana? Mengarah ke penolakan Yesus Kristus dan akibatnya ke penolakan bangsa Yahudi [oleh Tuhan].


Now we need to move on to the Roman Catholic  view of tradition.  And you're going to find a striking similarity.  First of all you're going to find that instead of speaking  about Moses, they speak about Peter and the apostles. You see those are the ones who have the deposit of the faith.  In fact the Roman Catholic Church teaches that many of the things that the apostles spoke are not found written.  They are actually unwritten traditions.  They are oral traditions.  And so we can't go only by what the apostles wrote,  we need to go also by what the apostles spoke, which is preserved in the deposit of tradition.  Interestingly enough, in the Roman Catholic Church there is also a mechanism for transmitting truth in these  unwritten traditions, and the writings of Moses.  It's known as apostolic succession.  One bishop passing on the authority to the next bishop  by ordination, and successively all the way till the bishops  of our day and age; very similar to the situation of the Jews in the days of Christ.

Sekarang kita harus lanjut ke pandangan Roma Katolik tentang tradisi. Dan kita akan melihat persamaan yang mencolok. Pertama, kita akan melihat mereka tidak berbicara tentang Musa, mereka berbicara tentang Petrus dan para rasul. Kalian lihat, para rasul  itulah yang memiliki kumpulan ajaran agama. Bahkan gereja Roma Katolik mengajarkan bahwa banyak hal yang diucapkan para rasul tidak tertulis, itu semata-mata tradisi yang tidak tertulis, itu adalah tradisi lisan. Jadi kita tidak bisa hanya berpegang pada apa yang ditulis para rasul, kita perlu juga berpegang pada apa yang dikatakan para rasul, yang disimpan dalam kumpulan tradisi. Yang cukup menarik, di gereja Roma Katolik, juga ada mekanisme untuk meneruskan kebenaran dari tradisi-tradisi yang tidak tertulis ini, dan tulisan-tulisan Musa. Ini dikenal sebagai suksesi apostolik, satu uksup [paus] menyerahkan wewenangnya kepada uskup berikutnya melalui pengurapan, dan secara suksesif terus menerus hingga uskup-uskup di zaman kita; sangat mirip dengan situasi bangsa Yahudi di zaman Kristus.


Also the Roman Catholic Church believes that there needs to be a living interpreter at every age to show which traditions are genuine and reliable, and which traditions are not.  And they call this, by the way, the Magisterium of the church.  It's also called the teaching office of the church. 

Gereja Roma Katolik juga meyakini harus ada seorang penerjemah yang berwewenang pada setiap masa, untuk menunjukkan tradisi mana yang tulen dan bisa dipercaya, dan mana yang tidak. Dan mereka menyebut ini Magisterium gereja. Juga disebut departemen pengajar gereja.


I don't know whether you're aware of this, but when the Pope speaks for the bishops of the Roman Catholic Church, he actually speaks ex-cathedra.  That is the identical word that we found in Matthew 23:2. The scribes and Pharisees sit on Moses' cathedra.  When the Pope speaks as a spokesman for all of the college of bishops, the living voice of the church, the Magisterium of the church, he speaks from the throne; he speaks ex-cathedra.

Entah apakah kalian tahu tentang hal ini, tetapi ketika Paus berbicara atas nama para uskup gereja Roma Katolik, sesungguhnya dia berbicara ex-kathedra. Kata yang persis sama yang kita temukan di Matius 23:2. Para ahli Taurat dan orang-orang Farisi duduk di kathedra Musa. Ketika Paus berbicara sebagai jurubicara semua kumpulan uskup, sebagai suara yang berwewenang dari gereja, Magisterium gereja, dia berbicara dari takhta, dia berbicara ex-kathedra.


Now allow me to read you some remarkable statements from Roman Catholicism, and I want you to remember the terminology that we read from Mark 7.  It's very, very similar, strikingly similar. 
I'm going to read now from Vatican II, documents of  Vatican II, the specific decree which is called Dei Verbum,  which is “On Revelation”, on the Word of God. 
By the way, this is infallible because it was proclaimed  in a Church Council by the consensus of the bishops  who were present. Listen to this: “But in order to keep the Gospel forever whole and alive within the church, the apostles left bishops as their successors, handing over their own teaching office to them, and so the apostolic preaching which is expressed in a special way in the inspired books was to be preserved by a continuous succession of preachers until the end of time. Therefore, the apostles handing on what they themselves had received warn the faithful to hold fast…”   Are you noticing the terminology? Identical!    “… warn the faithful to hold fast to the traditions which they have learned either by word of mouth or by letter [2 Thes 2:15], and to fight in defense of the faith handed on once and for all.  Now what was handed on by the apostles includes everything which contributes to the holiness of life and the increase in faith of the people of God. And so the church in her teaching, life and worship perpetuates and hands on to all generations all that she herself is, all that she believes.” [Dogmatic Canons and Decrees pg 115-118]

Sekarang izinkan saya membacakan beberapa pernyataan yang mengagumkan dari Roma Katolikisme, dan saya mau kalian ingat istilah-istilah yang tadi kita baca dari Markus 7. Ini amat sangat mencolok miripnya.
Saya akan membacakan sekarang dari Vatican II, dokumen dari Vatican II, dekrit khusus yang disebut Dei Verbum, yaitu “Tentang Wahyu” tentang Firman Allah.
Nah, ketahuilah ini adalah kebenaran mutlak, ini diumumkan oleh Konsili Gereja atas konsensus para uskup yang hadir. Dengarkan ini, “Tetapi, demi menjaga agar Injil selamanya utuh dan hidup di dalam gereja, para rasul menurunkan uskup-uskup sebagai penerus mereka, dengan menyerahkan jabatan mereka sendiri kepada uskup-uskup ini, dengan demikian penyampaian Injil apostolik yang dinyatakan dengan cara yang khas di dalam kitab-kitab yang terinspirasi itu, terpelihara oleh suksesi yang terus-menerus dari para penyampai Injil itu, hingga akhir zaman. Oleh karena itu, para rasul yang menurunkan apa yang telah diterima mereka sendiri, memperingatkan umat yang setia untuk berpegang erat…” apakah kalian melihat istilahnya? Persis sama!  “…memperingatkan umat yang setia untuk berpegang erat pada tradisi yang telah mereka pelajari lewat komunikasi lisan maupun lewat tulisan [2 Tesa 2:15] dan berperang membela sepenuhnya ajaran yang telah diturunkan. Nah, apa yang telah diturunkan oleh para rasul termasuk segala yang berkontribusi untuk kekudusan dalam hidup dan pertumbuhan iman umat Allah. Maka gereja, dalam ajarannya, hidupnya dan ibadahnya, mempertahankan kelanggengan dan menurunkan kepada semua generasi seluruh eksistensinya, semua yang diyakininya.” [Dogmatic Canons and Decrees hal. 115-118]

    
Now notice that this document is going to speak about the  authority of the Magisterium. 
“This task of authentically interpreting the Word of God whether written or handed on, has been entrusted exclusively to the living teaching office of the church, whose authority is exercised in the name of Jesus Christ. This teaching office is not above the Word of God, but serves it, teaching only what has been handed down, listening to it devoutly, guarding it scrupulously, and explaining it faithfully by divine commission and with the help of the Holy Spirit; it draws from this one deposit of faith everything which it presents for belief as divinely revealed. It is clear therefore, that sacred traditions, sacred Scripture and the teaching authority of the church, in accord  with God’s most wise design, are so linked and joined together that one cannot stand without the others, and that all together and each in its own way under the action of the one Holy Spirit, contribute effectively to the salvation of souls.”

Sekarang perhatikan dokumen ini akan berbicara tentang wewenang Magisterium.
“Tugas ini, untuk menginterpretasi Firman Allah menurut makna aslinya, baik yang tertulis maupun yang diturunkan, telah dipercayakan secara eksklusif kepada departemen pengajar gereja, yang menjalankan wewenangnya dalam nama Yesus Kristus. Departemen pengajar ini tidak berada di atas Firman Allah, melainkan melayaninya, mengajarkan hanya apa yang telah diturunkan, mendengarkan dengan tulus, menjaganya dengan sangat hati-hati, dan menjelaskannya dengan tepat melalui penugasan ilahi dan bantuan Roh Kudus. Dia mengambil dari kumpulan ajaran agama ini semua yang disampaikan sebagai keyakinan sebagaimana diungkapkan secara ilahi. Karena itu, jelaslah, bahwa tradisi-tradisi yang suci, Firman yang suci, dan wewenang mengajar milik gereja, selaras dengan rancangan Allah yang sangat bijaksana, terkait sedemikian rupa dan tergabung menjadi satu, sehingga yang satu tidak dapat berdiri sendiri tanpa yang lain, dan semuanya bersama-sama dan masing-masing menurut caranya sendiri di bawah aksi Roh Kudus, memberikan kontribusi secara efektif kepada penyelamatan jiwa-jiwa.”  


You know, there's a whole section in the Roman Catholic  Catechism of the Catholic Church ~ I'd just like to mention it, because we don't have time to  read all of the statements ~ but it is article 2, paragraph 76-86, and you will be amazed at the number of times that the words “received”, “handed on”, “tradition”, “hold”; the very words  that we found in Mark 7 are used in this particular section of the Catholic Catechism of the Roman Catholic Church.  Interestingly enough, Pope Pius XII  had these words to say: “Together with these sacred sources of Scripture and tradition, God has given a living Magisterium to His church to illumine and clarify what is contained  in the deposits of faith, obscurely and implicitly.”  [Jaroslav Pelikan, The Riddle of Roman Catholicism, pg.83]
In other words, if the deposit has something that's implicit or  obscure, the Magisterium can bring it forth and say, “This was in the deposit of faith all the time.” 

Tahukah kalian, ada satu bagian dalam Katekismus Roma Katolik gereja Katolik ~ saya hanya ingin menyinggungnya karena kita tidak punya waktu untuk membaca semua pernyataannya ~ tetapi di artikel 2, paragraf 76-86, kalian akan kagum melihat seringnya kata-kata “diterima”, “diturunkan”, “tradisi”, “suci”, persis kata-kata yang sama yang kita temukan di Markus pasal 7, dipakai dalam bagian khusus Katekismus Katolik gereja Roma Katolik. Yang cukup menarik, Paus Pius XII, mengucapkan kata-kata ini, “Bersama-sama dengan sumber-sumber suci dari Firman Allah dan tradisi, Allah telah memberikan sebuah Magisterium yang berwewenang kepada gerejaNya, untuk menerangi dan menjelaskan apa yang terdapat dalam kumpulan ajaran yang samar-samar dan tidak langsung.”   [Jaroslav Pelikan, The Riddle of Roman Catholicism, hal.83]
Dengan kata lain jika ada sesuatu yang tidak langsung atau samar-samar dalam kumpulan ajaran itu, Magisterium bisa mengemukakannya dan berkata, “Inilah yang ada dalam kumpulan ajaran sejak semula.”


Now allow me to read you another statement from Francis Butler.  These are all Roman Catholic theologians.  “Some of the truths…” these are striking admissions! “…Some of the truths which God has revealed and which has always been taught by the Catholic Church are not contained in the Bible…”  What an admission! “…These truths have come down to us by what is called oral tradition, that is they have been handed down by word of mouth. By Catholic Tradition, therefore, we understand all those truths which the church received from Jesus Christ and the apostles, but which are not found in the Bible. These truths we firmly believe, because they were revealed by God and are proposed to us by the church. Some of the truths that have been handed down to us by Tradition and are not recorded in the Sacred Scripture, are the following:  that there are just seven sacraments, that there is a purgatory, that in the New Law Sunday should be kept holy instead of the Sabbath, that infants should be baptized and that there are precisely 72 books in the Bible…” We believe that there are 66.  He continues saying:  “…The truths of Catholic Tradition have been handed down in the church by means of the writings of the fathers of the church as well as by the decrees of councils, by approved creeds, and by the prayers and ceremonies of the church. These ancient writings  and institutions show plainly what has been the faith of the church from the earliest times…” And now here comes the most critical part of this statement.  Butler says this: “…However, it is only the infallible teaching office of the church that secures us against error as to the truth contained in Tradition as well as in the Holy Scripture. The voice of the church is the voice of God.”  [Holy Family Series of Catholic Catechism pg. 63]

Sekarang, izinkan saya membacakan pernyataan lain dari Francis Butler. Mereka semuanya theolog Roma Katolik. “Beberapa kebenaran…” ini adalah pengakuan yang mencolok, “…Beberapa kebenaran yang diungkapkan Allah dan yang selalu diajarkan oleh gereja Katolik, tidak terdapat dalam Alkitab…” Pengakuan yang luar biasa!  “…Kebenaran-kebenaran ini diturunkan kepada kita melalui apa yang disebut tradisi lisan, yang telah diturunkan melalui komunikasi lisan. Oleh karena itu melalui tradisi Katolik, kita memahami semua kebenaran tersebut yang telah diterima gereja dari Yesus Kristus dan para rasul, tetapi yang tidak terdapat di dalam Alkitab. Kebenaran-kebenaran ini kita yakini dengan teguh karena mereka dinyatakan oleh Allah dan disampaikan kepada kita oleh gereja. Beberapa kebenaran yang telah diturunkan kepada kita melalui tradisi dan yang tidak tercatat dalam Firman yang Kudus, adalah sbb.: bahwa hanya ada tujuh sakramen, bahwa ada api pencucian, bahwa dalam Hukum yang baru, hari Minggu harus dipelihara kekudusannya sebagai ganti hari Sabat, bahwa bayi-bayi harus dibaptis dan bahwa tepatnya ada 72 kitab dalam Alkitab…” kami meyakini 66. Dia melanjutkan berkata, “…Kebenaran Tradisi Katolik telah diturunkan dalam gereja melalui tulisan-tulisan bapak-bapak gereja, dan juga oleh dekrit-dekrit konsili, yang disetujui oleh kredo-kredo (pernyataan iman), dan oleh doa-doa dan upacara-upacara gereja. Tulisan-tulisan dan institusi-institusi tua ini dengan jelas menunjukkan apa yang telah menjadi keyakinan gereja sejak awal mula…” Dan sekarang muncul bagian paling kritikal dari pernyataan ini. Butler berkata demikian, “…Namun demikian, hanya departemen pengajar gereja yang tidak bisa berbuat kesalahan yang mengamankan kita dari kesalahan-kesalahan dalam hal kebenaran yang terdapat dalam Tradisi maupun dalam Kitab Suci. Suara gereja adalah suara Allah.” [Holy Family Series of Catholic Catechism hal. 63]

  
The teaching office of the Catholic Church has the same authority as the scribes and Pharisees.  Only the theological experts can tell you what tradition means,  and how it applies to life.  And people must implicitly obey it.  They cannot understand the tradition on their own,  they have to depend on the scholars. 

Departemen pengajar gereja Katolik memiliki wewenang yang sama seperti para ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Hanya pakar-pakar theologi yang boleh menentukan apa makna tradisi, dan bagaimana itu diaplikasikan dalam hidup. Dan umat harus mematuhinya secara buta. Mereka tidak bisa memahami tradisi dengan pengertian mereka sendiri, mereka harus bergantung pada para pakar agama.


Notice this statement from John O'Brien, who for quite a period  of time taught at Notre Dame University in Indiana.  He actually wrote a very well known book,  The Faith of Millions.  Notice what he has to say:  “From all of  which it  must be abundantly clear that the Bible alone is not a safe and competent guide because it is not now, and has never been, accessible to all, because it is not clear and intelligible to all, and because it does not contain all the truths of the Christian religion…” That's amazing! He continues saying:   “…The simple fact is that the Bible, like all dead letters, calls for a living interpreter…”  Of course the Bible says that that living interpreter  is the Holy Spirit.  But notice what he says:   “…Just as the Supreme Court is the authorized living interpreter of the Constitution, so the Catholic church is the living authoritative interpreter of the Bible. She has been the preserver and custodian of the Bible through the centuries, and she interprets it for us in the name and with the authority of Jesus Christ.”  [pg.137, 138]

Perhatikan pernyataan ini dari John O’Brien yang untuk jangka waktu yang cukup lama mengajar di Universitas Notre Dame di Indiana. Dia bahkan menulis sebuah buku yang sangat terkenal, The Faith of Millions. Perhatikan apa yang dikatakannya, “Dari semuanya itu pastilah sangat jelas bahwa Alkitab saja bukanlah penuntun yang aman dan kompeten karena tidak sekarang, dan tidak pernah, bisa dimiliki oleh semua, karena dia tidak jelas dan tidak dapat dipahami oleh semua, dan karena dia tidak berisikan semua kebenaran agama Kristen…” Luar biasa! Dia melanjutkan berkata, “…Fakta yang sederhana ialah, Alkitab sebagaimana semua surat yang mati, membutuhkan penerjemah yang hidup…” Tentu saja Alkitab berkata bahwa penerjemah yang hidup ialah Roh Kudus. Tetapi perhatikan apa katanya, “…Sebagaimana Mahkamah Tinggi adalah penerjemah yang berwewenang dari Konstitusi, demikian pula gereja Katolik adalah penerjemah yang berwewenang dari Alkitab. Gereja telah menjadi pemelihara dan penjaga Alkitab selama berabad-abad, dan gereja menerjemahkan Alkitab bagi kita dalam nama dan dengan kuasa Yesus Kristus. [hal. 137, 138].


One more interesting statement.  This comes from the book, A Course in Religion for Catholic  High Schools and Academies.  This is actually a Bible book for the schools of the  Roman Catholic Church.  The author is John Laux, and notice what he says: “Scripture and Tradition are called the remote rule of faith…”, In other words, the written Scriptures, and the oral traditions that have been passed on are called  the remote rule of faith.  And then he explains why.    “…because the Catholic does not base his faith directly on these sources. The proximate rule of  faith…” that's closer,   “…is for him the One, Holy, Catholic and Apostolic Church, which alone has received from God the authority to interpret infallibly the doctrines He has revealed, whether these be contained in Scripture or in Tradition.”  [part 1, pg 50-51]

Satu lagi pernyataan yang menarik. Ini berasal dari buku A Course in Religion for Catholic High Schools and Academies. Sebenarnya ini adalah buku Alkitab bagi sekolah-sekolah gereja Roma Katolik. Penulisnya ialah John Laux, dan perhatikan apa katanya, “Kitab Suci dan Tradisi disebut standar-standar agama yang jauh…” dengan kata lain, Kitab Suci yang tertulis dan tradisi-tradisi oral yang diturunkan disebut sebagai standar-standar agama yang jauh. Kemudian dia menjelaskan mengapa. “…karena orang Katolik tidak mendasarkan imannya  langsung pada sumber-sumber ini. Standar-standar agama yang dekat…” yang lebih dekat, “…bagi orang Katolik ialah Satu-satunya, Gereja Katolik dan Apostolik yang Kudus, satu-satunya yang telah menerima dari Allah, wewenang untuk menerjemahkan secara mutlak benar, doktrin-doktrin yang telah dinyatakanNya, apakah ini terdapat dalam Kitab Suci atau dalam Tradisi.” [bagian 1, hal. 50-51]


So just as in the days of Christ, the scribes and the  Pharisees sat on Moses' seat and said, “You must obey this,  because this is part of either the written Word of God,  or part of the passed on traditions.” In the same way the Roman Catholic Church says the living  interpreter of the Bible and oral tradition is the  Magisterium of the church. And therefore everyone should listen and obey what the  Magisterium defines as the truth. 

Jadi, sebagaimana di zaman Kristus, para ahli Taurat dan orang-orang Farisi duduk di tempat duduk Musa dan berkata, “Kamu harus mematuhi ini karena ini adalah bagian dari entah Firman Allah yang tertulis atau bagian dari tradisi yang diturunkan”, dengan cara yang sama gereja Roma Katolik berkata, bahwa penerjemah Alkitab dan tradisi oral yang berwewenang adalah Magisterium gereja. Maka dari itu semua orang harus mendengarkan dan mematuhi apa yang ditentukan Magisterium sebagai kebenaran.


Now there are many traditions that are not found in Scripture  that are taught by the Roman Catholic Church.  For example, the idea that Mary is the mother of God.  You'll never find that expression in Scripture. 
For example, the immaculate conception of Mary;  the Bible doesn't even address the birth of Mary. 
The idea of the perpetual virginity of Mary.  We have a clear impression in Scripture by what we've studied,  that Mary most likely had other children. 
The idea that Mary ascended to heaven after she died  on the third day: totally absent from Scripture.
The question is, “How can these teachings be  accepted as genuine?”  Simply because the Magisterium says that this is part of the deposit of the faith which has been transmitted  by oral tradition. 

Nah, ada banyak tradisi yang diajarkan gereja Roma Katolik yang tidak terdapat dalam Kitab Suci. Misalnya, konsep bahwa Maria adalah ibu Allah. Kita tidak akan pernah menemukan istilah itu di dalam Kitab Suci.
Misalnya, pembuahan tanpa dosa Maria, Alkitab bahkan tidak menyinggung tentang kelahiran Maria
Konsep tentang keperawanan Maria yang terus-menerus. Di Alkitab kita mendapatkan kesan yang jelas dari apa yang telah kita pelajari, bahwa Maria sangat mungkin memiliki anak-anak yang lain.
Konsep bahwa Maria naik ke Surga pada hari ketiga setelah kematiannya, ini sama sekali tidak ada di Kitab Suci.
Pertanyaannya, ialah, “Kok bisa ajaran-ajaran ini diterima sebagai tulen?” Melulu karena Magisterium berkata bahwa ini adalah bagian dari kumpulan ajaran yang telah diturunkan oleh tradisi lisan.  


Now allow me to provide you one great example as we draw this study to a close. 
Jesus, when He was on this earth, had great controversies  with the religious leaders, with the scribes and Pharisees.  The greatest source of conflict between Jesus  and the scribes and the Pharisees was over  the observance of the Sabbath.  Jesus, in fact, most of His healings were done in chronic  cases, people who it was not an emergency.  You know, they weren't gravely ill.  They weren't at the point of death. Jesus made it a point to heal these people on the Sabbath.  And the Pharisees and the scribes would say,  “It is not lawful for You to heal people on the Sabbath.”  And Jesus said, for example, in Matthew 12:12, “It is lawful for Me to heal people on the Sabbath.”  Now on what authority did the Pharisees say that it wasn't  lawful, and on what authority did Jesus say  that it was lawful? The fact is that after the Babylonian captivity,  where God's people had gone because they had fallen into  idolatry among the nations before this.  After the captivity the leaders of the Jewish nation said,  “We're never going to fall into idolatry again.”  And they decided that they would protect the Sabbath  from being broken.  And so they wrote 613 rules, or laws, which they called “the  fence around the law”.  None of these traditions and ideas were  contained in Scripture.  They were simply additions to Scripture, supposedly from oral tradition which had been passed on.  And so when Jesus said, “It is lawful to do good on the Sabbath”, He was going back to the Sabbath  in the Old Testament.  When the Pharisees and the scribes said, “It is not lawful to do good on the Sabbath”, they were going back to this mass of traditions which had been written after the Babylonian captivity. 

Sekarang izinkan saya memberikan satu contoh besar, sebelum mengakhiri pelajaran ini. Yesus, ketika masih hidup di dunia, mengalami pertikaian hebat dengan para pemimpin agama, dengan para ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Sumber konflik yang terbesar antara Yesus dengan para ahli Taurat dan orang-orang Farisi adalah tentang pemeliharaan hari Sabat. Bahkan, kebanyakan penyembuhan yang dilakukan Yesus adalah untuk kasus-kasus yang kronis, bukan mereka yang penyakitnya mendesak. Kalian tahu, mereka bukan yang sedang sakit keras, mereka tidak sedang sekarat. Yesus khusus sengaja menyembuhkan orang-orang ini pada hari Sabat. Dan orang-orang Farisi dan para ahli Taurat berkata, “Menyembuhkan orang pada hari Sabat itu melanggar hukum.” Lalu Yesus berkata, misalnya di Matius 12:12,  “…Buat Aku menyembuhkan orang pada hari Sabat itu tidak melanggar hukum.”
Nah, atas wewenang apa orang-orang Farisi berkata bahwa itu melanggar hukum, dan atas wewenang apa Yesus berkata itu tidak melanggar hukum? Faktanya ialah, setelah penawanan Babilon ~ di mana umat Allah ditawan karena sebelumnya mereka telah jatuh dalam praktek penyembahan berhala bangsa-bangsa lain; maka setelah penawanan itu ~ para pemimpin bangsa Yahudi berkata, “Kita selamanya tidak boleh jatuh dalam penyembahan berhala lagi.” Dan mereka memutuskan mereka harus melindungi supaya Sabat tidak dilanggar lagi. Jadi mereka menulis 613 peraturan atau hukum, yang mereka sebut “pagar yang mengelilingi Hukum”. Tidak satu pun tradisi dan konsep itu terdapat dalam Kitab Suci. Mereka menambahkannya begitu saja kepada Kitab Suci, konon dari tradisi lisan yang diturunkan. Maka ketika Yesus berkata, “…Buat Aku menyembuhkan orang pada hari Sabat itu tidak melanggar hukum.”    Dia mengacu kembali kepada Sabat di Perjanjian Lama. Ketika orang-orang Farisi dan para ahli Taurat berkata, “Berbuat baik pada hari Sabat itu melanggar hukum”, mereka mengacu kepada kumpulan tradisi yang ditulis setelah penawanan Babilon.  


Interestingly enough, the Sabbath of the Pharisees  was actually a false Sabbath, because it was a  Sabbath created by them.  The observance of the Sabbath, as taught by the Pharisees,  was not the observance of the Sabbath that God had taught  in Holy Scripture, and therefore they had established a Sabbath  not created by God, but a Sabbath created by man  based on human tradition.  And, by the way, this was false worship,  because they were worshipping on a Sabbath which had been created by man, and had not been created by God.  And I'm not talking about the specific day, I'm talking about  the manner in which they kept the Sabbath.  In Scripture God said how to keep the Sabbath. They added all these traditions, and they said you're supposed  to keep it this way.  But their traditions contradicted the proper way of observing the Sabbath as Jesus had taught.  In other words, the controversy in the days of Christ was over the wrong way of keeping the Sabbath.  The issue was not the wrong day, the issue was the wrong way of keeping the Sabbath.  You see, this was the Sabbath of the Pharisees,  because they had created it. This was false worship, because when people kept that Sabbath they were keeping the Sabbath of the Pharisees.  They were not keeping the Sabbath of the Lord. 

Yang cukup menarik, Sabat orang Farisi sebenarnya adalah Sabat palsu karena Sabat itu diciptakan mereka. Pemeliharaan Sabat itu, sebagaimana yang diajarkan oleh orang-orang Farisi, bukanlah pemeliharaan Sabat yang diajarkan Allah dalam Kitab Suci, dan dengan demikian orang-orang Farisi itu telah menegakkan Sabat yang tidak diciptakan Allah, melainkan Sabat yang diciptakan manusia berdasarkan tradisi manusia. Dan ketahuilah, ini adalah ibadah yang salah karena mereka beribadah berdasarkan Sabat yang diciptakan oleh manusia dan bukan yang diciptakan oleh Allah. Dan saya tidak berbicara tentang harinya, saya berbicara tentang cara mereka memelihara Sabat itu. Dalam Kitab Suci, Allah sudah menyatakan bagaimana seharusnya memelihara Sabat. Mereka menambahkan segala macam tradisi dan mereka berkata orang harus memeliharanya menurut cara mereka itu. Tetapi tradisi mereka bertolak belakang dengan cara yang sebenarnya memelihara Sabat sebagaimana yang diajarkan Yesus. Dengan kata lain, di zaman Kristus kontroversinya adalah tentang cara yang salah dalam memelihara Sabat. Isunya bukan tentang harinya, isunya adalah cara yang salah dalam memelihara Sabat. Kalian lihat, ini ialah Sabat orang Farisi, karena mereka yang menciptakannya. Ini adalah ibadah yang salah karena ketika umat memelihara Sabat, mereka sebenarnya memelihara Sabat orang-orang Farisi. Mereka bukan memelihara Sabat Tuhan.


Now let me ask you this, “Is the Sabbath issue going to be  the main point of controversy in the final  conflict on Planet Earth?” Yes, it is.  “Is it going to be a similar issue to the issue  in the days of Christ?”  Very similar; only one difference.  The conflict in the days of Christ was the right way  versus the wrong way of keeping the Sabbath.  At the end of time the controversy is going to be  the right day versus the wrong day.  And so the issue in the days of Christ is the right  way or the wrong way.  At the end of time it's going to be the right  day or the wrong day. 

Sekarang, coba saya tanya ini, “Apakah isu Sabat akan menjadi titik utama kontroversi dalam konflik terakhir di planet bumi?” Ya, betul.
“Apakah ini akan menjadi isu yang mirip isu yang ada di zaman Kristus?” Sangat mirip. Hanya satu perbedaannya: konflik di zaman Kristus adalah tentang cara yang benar versus cara yang salah dalam memelihara Sabat. Pada akhir zaman, kontroversinya ialah hari yang benar versus hari yang salah. Jadi, isunya di zaman Kristus adalah cara yang benar atau cara yang salah. Dan pada akhir zaman, isunya adalah hari yang benar atau hari yang salah.


Now the Roman Catholic Church teaches that we're supposed to keep Sunday in honor of the resurrection.  Where do they get that idea from?  You certainly don't find it in Scripture. Nowhere in Scripture does it say we're supposed to go to church on Sunday.  Nowhere does it say that we're supposed to keep Sunday in honor of the resurrection of Jesus.  Nowhere does it say that Sunday is a holy day dedicated to God.  Scripture does not say this; Scripture uniformly says,  the seventh day is the Sabbath of the Lord your God. Jesus went into the synagogue on Sabbath.  Paul, and Peter, and the apostles in the book of Acts, went to the synagogue observing the Sabbath of the Lord.  Now let me ask you, when the Roman Catholic Church says that it is Sunday and not the Sabbath, are they making of  none effect the commandment of God?  They most certainly are!  In other words, by their tradition ~ which they admit , they say, “This came in by tradition.  It didn't come in by the Word of God”  ~ by their tradition are they actually contradicting a clearly revealed commandment of God?  If Jesus were alive today would He say, “You have made of  none effect the word of God, you have made of non effect  the commandment of God by your tradition?” Absolutely! 

Nah, gereja Roma Katolik mengajarkan bahwa kita harus memelihara hari Minggu untuk menghormati kebangkitan Kristus. Dari mana mereka mendapatkan ide ini? Jelas kita tidak akan menemukannya di dalam Kitab Suci. Tidak ada dalam Kitab Suci dikatakan kita harus ke gereja pada hari Minggu. Tidak ada dikatakan di sana kita harus memelihara hari Minggu untuk menghormati kebangkitan Yesus. Tidak ada di sana dikatakan bahwa hari Minggu itu hari yang kudus yang didedikasikan kepada Allah. Kitab Suci tidak mengatakan demikian. Kitab Suci secara seragam mengatakan, hari yang ketujuh adalah hari Sabat Tuhan Allahmu. Yesus pergi ke rumah ibadah pada hari Sabat. Paulus, Petrus dan para rasul di kitab Kisah Rasul-rasul, pergi ke rumah ibadah untuk memelihara Sabat Tuhan.
Sekarang, coba saya tanya, saat gereja Roma Katolik berkata hari Minggu dan bukan hari Sabat, apakah mereka meniadakan perintah Allah? Betul sekali! Dengan kata lain, melalui tradisi mereka ~ yang mereka akui sendiri,  mereka berkata, “Ini berasal dari tradisi. Ini tidak berasal dari Firman Allah” ~  apakah melalui tradisi mereka tidak jelas-jelas  mengkontradiksi suatu perintah Allah yang sudah dinyatakan dengan jelas? Seandainya Yesus hari ini masih hidup di dunia, akankah Dia berkata, “Kalian telah meniadakan bobot Firman Allah, kalian telah meniadakan perintah Allah dengan tradisi kalian”? Tentu saja!


And the controversy at the end, folks, is not going to be over the way in which the Sabbath is kept, but it is over the day  in which the Sabbath is kept.  Are you understanding what I am saying?  But it's the same issue.  You see, Sunday is a day of worship created by man,  by the tradition of man.  And, therefore, those who observe Sunday,  knowing that the Bible teaches that we're supposed to observe the Sabbath, they are serving God in vain.  They are worshipping in vain.  Do you remember Jesus said that by keeping the tradition  of the elders, the Jews were actually serving God,  and worshipping God in vain? You see, the reason why is because they were keeping a Sabbath of their creation.  And at the end of time the Christian world,  will keep a Sabbath of their creation.  It wasn't a Sabbath created by God.  It was a Sabbath created by man.  And when we keep that day of worship,  we're actually practicing vain worship, because that's not  the day on which God said that we are supposed to worship.  Are you understanding what I'm saying?  That's what it means to make of none effect the Word of God  by our tradition, or the commandment of God by our tradition. 

Dan, Saudara-saudara, kontroversinya pada akhir zaman tidaklah tentang cara bagaimana Sabat itu harus dipelihara, tetapi tentang hari mana Sabat itu harus dipelihara. Apakah kalian paham apa yang saya katakan? Tapi isunya sama. Kalian lihat, hari Minggu adalah hari ibadah yang diciptakan manusia, melalui tradisi manusia. Dan oleh karena itu, mereka yang memelihara hari Minggu, padahal sudah tahu bahwa Alkitab mengajarkan kita harus memelihara Sabat ~ mereka melayani Allah dengan sia-sia. Mereka beribadah dengan sia-sia.
Apa kalian ingat Yesus berkata bahwa dengan memelihara tradisi ketua-ketua, orang-orang Yahudi sesungguhnya melayani Allah dan beribadah kepada Allah dengan sia-sia? Kalian lihat, alasannya mengapa ialah karena mereka memelihara Sabat ciptaan mereka sendiri. Dan pada akhir zaman dunia Kristen akan memelihara Sabat ciptaan mereka sendiri. Itu bukan Sabat ciptaan Allah. Itu Sabat ciptaan manusia. Dan jika kita memelihara hari itu sebagai hari ibadah, sesungguhnya kita melakukan ibadah yang sia-sia, karena itu bukanlah hari yang Allah katakan kita harus beribadah. Apakah kalian paham apa yang saya katakan? Itulah artinya meniadakan bobot Firman Allah melalui tradisi kita, atau meniadakan perintah Allah dengan tradisi kita.   

And, by the way, I find it very ironic that the same individuals  who were aggravated at Jesus because Jesus healed  people on the Sabbath, several times in the gospels we're told  that they plotted to kill Jesus on the Sabbath.  In other words, because Jesus didn't keep the Sabbath  the way they said, according to their traditions, on the Sabbath  they actually plotted to kill.  So they were not only making of no effect the Sabbath  commandment, but they were also making of none effect  the commandment that says, “Thou shalt not kill.” 

Dan ketahuilah, menurut saya sangat ironis bagaimana orang-orang yang sama yang marah pada Yesus karena Yesus menyembuhkan orang pada hari Sabat, kita membaca di Injil bahwa beberapa kali mereka membuat rencana untuk membunuh Yesus pada hari Sabat. Dengan kata lain, karena Yesus tidak memelihara Sabat menurut cara yang mereka perintahkan menurut tradisi mereka, justru pada hari Sabat mereka membuat rencana untuk membunuh. Jadi mereka bukan saja meniadakan perintah tentang pemeliharaan Sabat, tetapi mereka juga meniadakan perintah yang berkata, “Jangan membunuh!”


Now let me ask you, “Does Scripture say that in the last  days the Christian world is going to rise against those  who keep a different day than they keep?”  Bible prophecy teaches that, folks.  In other words, there will be a double violation of the commandment of God. 
Number one, because they will seek to impose the wrong day, by tradition, and will be aggravated against those who  keep the right day.  And it will reach even to the point of giving a law  not to be able to buy or sell, or a law that those who do not live by this law are to be what? are to be killed. 

Sekarang coba saya tanya, “Apakah Firman Allah berkata bahwa pada hari-hari akhir, dunia Kristen akan bangkit melawan mereka yang memelihara hari yang berbeda dari yang mereka pelihara?” Nubuatan Alkitab mengajarkan demikian, Saudara-saudara. Dengan kata lain akan terjadi pelanggaran ganda atas perintah Allah. Pertama, karena mereka akan berusaha memaksakan hari yang salah, melalui tradisi, dan akan marah terhadap orang-orang yang memelihara hari yang benar. Dan ini akan meningkat bahkan ke tindakan mengeluarkan peraturan yang melarang orang-orang itu untuk membeli atau menjual barang, atau suatu peraturan bahwa orang-orang yang tidak mau patuh kepada peraturan ini akan diapakan? Akan dibunuh.


You say, “This could never happen.” 
The fact is that it happened in the days of Christ.  What makes you think that it's not going to happen  at the end of time? 
Incidentally, the Jewish view of tradition in the days of Christ  led the supposed people of God to reject Jesus Christ.  Is it just possible that at the end of time the Christian world  will also claim to serve God, but will actually reject God  by following tradition, and having the same view  of tradition as was held by the Jews in the days of Christ?  I believe the evidence shows that this is so. 

Kalian berkata, “Ini tidak mungkin terjadi.”
Faktanya, ini sudah pernah terjadi di zaman Kristus. Apa yang membuat kalian berpikir ini tidak akan terjadi pada akhir zaman?
Kebetulan, pandangan Yahudi tentang tradisi di zaman Kristus, membuat mereka yang seharusnya adalah umat Allah, menolak Yesus Kristus.
Mungkinkah pada akhir zaman, dunia Kristen juga akan mengklaim melayani Allah, tetapi justru akan menolak Allah dengan mematuhi tradisi dan memiliki pandangan yang sama tentang tradisi sebagaimana yang dimiliki oleh orang-orang Yahudi di zaman Kristus? Saya yakin, bukti telah menunjukkan demikian adanya.


Allow me to say something about John Paul II.  I'm not being critical of him individually, but he wrote a  document which we can analyze, and we can be critical of  if it's not in harmony with Scripture.  The name of the Pastoral Letter was Dies Domini,  the Day of the Lord.  And in that document he quoted 212 references to scholars,  church councils, creeds, and church fathers  of the Roman Catholic Church.  And he kind of splattered the document with a text  here and there, the same texts which have traditionally been  used by Protestants to try and prove that the Sabbath has  been changed to Sunday.  But no matter how much philosophy he uses,  and how much reasoning, and how many arguments he uses,  the Bible is very clear.  It says “…the seventh day is the Sabbath of the Lord your God.” 

Izinkan saya mengatakan sesuatu tentang Yohanes Paulus II. Saya tidak mengritiknya sebagai individu, tetapi dia telah menulis suatu dokumen yang bisa kita analisa, yang bisa kita kritisi jika itu tidak selaras dengan Kitab Suci. Nama surat pastoral itu ialah Dies Domini, Hari Tuhan. Dan dalam dokumen ini dia mengutip 212 referensi dari para pakar Alkitab, konsili-konsili gereja, kredo-kredo, dan para pemuka gereja Roma Katolik. Dan di dokumen itu dia menebarkan beberapa ayat di sana sini, ayat-ayat yang secara tradisi dipakai oleh golongan Protestan untuk membuktikan bahwa Sabat telah diubah ke hari Minggu. Namun, tak soal berapa pun filosofi yang dipakainya, dan berapa banyak alasannya, dan berapa banyak argumentasi yang dipakainya, Alkitab sangat jelas. Alkitab berkata, “…hari ketujuh adalah Sabat Tuhan Allahmu.”


Do you know that in the end time the controversy is going to be over the same issue as in the days of Jesus?  Allow me to read you this statement from that classic  prophetic book that everyone should read,  The Great Controversy, page 582.  “The last great conflict between truth and error is but the final struggle of the long-lasting controversy concerning the Law of God. Upon this battle we are now entering, a battle between the law of man and the precepts of Jehovah, between the religion of the Bible and the religion of fable and tradition.”
Will we, as God's people, not live by tradition,  but live as Jesus did, by every word which proceeds  out of the mouth of God, as found in written Scripture?

Tahukah kalian bahwa pada akhir zaman, kontroversinya adalah mengenai isu yang sama seperti pada zaman Yesus? Izinkan saya membacakan pernyataan ini dari buku nubuatan klasik yang harus dibaca oleh semua: The Great Controversy, hal. 582. “Konflik besar yang terahir antara kebenaran dan kesalahan hanyalah pergumulan terakhir dari kontroversi berkepanjangan mengenai Hukum Allah. Kita sekarang sedang memasuki peperangan ini, peperangan antara hukum buatan manusia dan ketentuan-ketenuan Yehova, antara agama yang tertulis di Alkitab, dengan agama karangan manusia dan tradisi.”
Apakah kita, sebagai umat Allah, tidak akan hidup menurut tradisi melainkan hidup sebagaimana Yesus hidup, oleh setiap Firman yang keluar dari mulut Allah sebagaimana yang terdapat di Kitab Suci yang tertulis?









18 04 17



No comments:

Post a Comment