REGENERATION OF
CHARACTER,
THE WORK OF
GOD’S HOLY SPIRIT
Dennis Priebe
https://www.youtube.com/watch?v=6XCuVxbsIvc&t=7s
Dibuka dengan
doa.
The patient is not in good health, there are warning signs,
circulation is poor, some vital organs are not receiving nourishment.
A stewardship official reported in the year 2003 about 30% of
Adventist church members worldwide give tithe. 30%. In parts of Africa and
South America as few as 10% give tithe. Didn’t Jesus warn us where your
treasure is there will your heart be also?
Now, I agree that tithing is not the most important part of the
saving relationship with Christ, but it is a strong indicator of our priorities,
because our money is our precious possession, it’s our survival day by day.
Like a thermometer, tithing takes our spiritual temperature of the church as a
whole and of us as individuals. But you know the thermometer doesn’t tell you
much about the cause of the disease, does it? It tells us there is a problem,
but no resolve, no cause.
Is the cause of this problem
~ and it is a problem ~ lay at the seed of apathy, the cares of the
world, or maybe lack of baptismal preparation? Now all of these may be
contributing factors but I submit that the basic cause of this problem is the Gospel,
specifically the Gospel which has been drummed into us for the past 30 years by
scholars, and pastors, and writers, and books, and articles, and sermons, and
tapes, and even Sabbath school lessons. Not the Gospel of the Bible unfortunately, but a
different Gospel.
Pasiennya sedang
tidak sehat. Ada tanda-tanda peringatan, sirkulasi buruk, beberapa organ vital
tidak menerima asupan.
Suatu laporan
penatalayan yang resmi di tahun 2003 menyatakan sekitar 30% anggota gereja
Advent di seluruh dunia mengembalikan persepuluhan. 30%. Di beberapa bagian
Afrika dan Amerika Selatan hanya 10% yang
mengembalikan persepuluhan. Tidakkah Yesus mengingatkan kita, di mana harti
kita di sanalah juga hati kita?
Nah, saya
sependapat bahwa persepuluhan
bukanlah bagian yang paling penting dalam ikatan keselamatan dengan Kristus,
tetapi itu adalah indikator yang kuat tentang prioritas kita,
karena uang kita adalah harta kita yang sangat berharga, itu adalah sarana hidup
kita sehari-hari. Persepuluhan itu seperti sebuah thermometer, yang mengukur
suhu kerohanian kita, baik secara jemaat
keseluruhan dan juga secara pribadi. Tetapi, kita tahu bahwa thermometer tidak
memberi informasi apa-apa tentang penyebab penyakitnya, bukan? Dia hanya memberitahu kita bahwa ada masalah,
tetapi tidak memberitahukan solusi maupun penyebabnya.
Apakah penyebab
masalah ini ~ dan ini sungguh-sungguh adalah suatu masalah ~ terletak pada
benih ketidakpedulian, kekuatiran dunia, atau barangkali kurangnya persiapan
baptisan? Nah, semua itu mungkin adalah
faktor-faktor yang berkontribusi, tetapi menurut saya, penyebab mendasar dari masalah ini adalah Injil,
terutama injil yang telah dicekokkan terus-menerus kepada kita selama 30 tahun
yang terakhir oleh pakar-pakar Alkitab, para pendeta, para penulis, buku-buku,
artikel-artikel, khotbah-khotbah, tape-tape dan bahkan pelajaran-pelajaran
Sekolah Sabat. Sayangnya itu bukan
Injil Alkitab, tetapi injil yang lain.
I am going to share with you a little bit from an Adventist Review article, the title of it was “Can I know I am saved?” and I am going to
read a few things from this article.
“Justification
is not a transformation of inherent character, it does not impart
righteousness. Justification is God declaring a person righteous because of
Christ. It does not make a person intrinsically righteous. Sinners enjoy the
assurance of salvation because their standing rest not in what has been done to
them but in what has been done to Christ. Justification is like an umbrella…” and then there is a little illustration in this article of Justification
covering us, “…justification
complete ~ the work of Christ for us...”
and then under that is “…
‘Sanctification incomplete ~ the work of Jesus in us’.
When you messed
up in your family as a child, were you kicked out? No, you were still part of
the family. When we mess up in God’s family He does not kick us out. Christ’s
blood still covers us. We do not lose our salvation every time we sin. We lose
our salvation only when we decide that we no longer want to be surrendered to
God, when we no longer want Him in our lives.
Did David
always do only what was right in God’s eyes? No, he did not. But because he
lived in surrender to God, and was always repentant when he sinned, God looked
at him as if he had never sinned in the same way God looks at us through Jesus
Christ.”
Saya akan
berbagi sedikit dengan kalian dari sebuah artikel di Adventist Review, judulnya “Bisakah
saya tahu apakah saya selamat?” dan saya akan membacakan beberapa hal dari
artikel ini.
“Pembenaran bukanlah transformasi
pada karakter yang sudah melekat. Pembenaran tidak membuat orang
menjadi benar. Pembenaran itu pernyataan Allah bahwa seseorang benar karena
Kristus. Pembenaran tidak membuat orang pada hakekatnya menjadi benar.
Orang-orang berdosa bisa menikmati jaminan keselamatan karena posisi mereka itu
tidak tergantung pada apa yang telah dilakukan pada mereka, melainkan pada apa
yang telah dilakukan pada Kristus. Pembenaran itu seperti sebuah payung…” lalu di artikel ini ada sebuah ilustrasi
kecil dari Pembenaran memayungi kita, judulnya: “…
‘Pembenaran sudah lengkap ~ pekerjaan Kristus untuk kita’…” kemudian di bawahnya tulisan
“… ‘Pengudusan belum lengkap ~ pekerjaan Yesus dalam diri kita.’
Waktu kecil jika kita bikin berantakan di rumah, apakah kita
diusir? Tidak, kita tetap bagian dari keluarga kita. Ketika kita berbuat
kesalahan dalam keluarga Allah, Dia tidak mengusir kita. Darah Kristus tetap
menutupi kita. Kita tidak kehilangan keselamatan kita setiap kali kita berbuat
dosa. Kita kehilangan keselamatan kita hanya bila kita membuat keputusan kita
tak lagi mau berserah kepada Allah, bila kita tidak lagi menghendaki Allah
dalam hidup kita.
Apakah Daud selalu melakukan hanya yang benar di mata Allah?
Tidak. Tetapi karena dia hidup dalam penyerahan kepada Allah dan selalu
bertobat bila berdosa, Allah memandangnya seolah-olah dia tidak pernah berdosa,
dengan cara yang sama Allah memandang kita melalui Yesus Kristus.”
Now, we can all recognize some truth in what we have just heard
right there. But there are deadly errors mixed in with the truth that I’ve just read. Errors which convince sincere people that
they are on the narrow road to heaven when they are still walking the broad
road to destruction.
Nah, kita semua
bisa mengenali beberapa kebenaran dari apa yang baru saja kita dengar di sana.
Tetapi di sana juga ada
kesalahan-kesalahan fatal yang bercampur dengan kebenaran yang baru saja saya
bacakan. Kesalahan-kesalahan yang meyakinkan orang-orang yang
tulus bahwa mereka sedang berada di jalan sempit menuju ke Surga padahal mereka
sebenarnya sedang berada di jalan lebar menuju kebinasaan.
The first error is that Justification does not change our
character, it’s just a declaration on the books of heaven: you’ve been
pardoned.
The first error is that:
·
Justification does not change our character,
·
it does not make us righteous,
·
we have the assurance of
salvation before heart surrender, before transformation of minds, before the new birth.
That’s the first
error, that we are justified before we are changed in our hearts!
Kesalahan
pertama ialah bahwa Pembenaran itu tidak mengubah karakter kita, tapi itu hanya suatu pernyataan di kitab-kitab di Surga
bahwa kita sudah diampuni.
Kesalahan
pertama ialah:
·
Pembenaran
tidak mengubah karakter kita,
·
tidak
membuat kita menjadi orang benar,
·
kita
memiliki jaminan keselamatan sebelum kita
menyerahkan hati, sebelum ada transformasi
pikiran, sebelum mengalami kelahiran baru.
Itulah kesalahan pertama, bahwa kita
sudah dibenarkan sebelum ada perubahan di hati kita!
The second deadly error is
the result of the first:
·
Justification which is God’s
forgiveness is complete, and it saves us.
·
While Sanctification which is victory
over sin is incomplete, and has nothing to do
with our salvation.
Kesalahan fatal kedua adalah akibat kesalahan pertama:
· Pembenaran
yang adalah pengampunan Allah, itu sudah lengkap, dan itu menyelamatkan kita.
· Sementara Pengudusan
yang adalah kemenangan atas dosa, itu belum lengkap, dan tidak berkaitan dengan
keselamatan kita.
The third most deadly error is
the result of the first two:
·
Justification is like an umbrella,
which covers us with Christ’s blood while we are sinning! Even continuing to sin without repenting. The example of David
is given. They said, he did not lose his salvation even while committing
adultery and murder, and by the way, he did not repent of those sins for a full
year until Nathan came to him and you know the story there. So David, he was
saved during that entire year because he was a man after God’s own heart.
No, he wasn’t! Not during that year, not
during that experience.
So the third deadly error: we can be saved while sinning as long as we do not totally reject
Christ in our lives, we can be saved while sinning.
Kesalahan
ketiga yang paling fatal ialah
akibat dua kesalahan pertama:
·
Pembenaran itu seperti payung yang
menutupi kita dengan darah Kristus sementara kita sedang berbuat dosa! Bahkan selama masih tetap berbuat dosa
tanpa bertobat. Diberikanlah contoh tentang Daud. Mereka berkata, Daud tidak
kehilangan keselamatannya walaupun selagi dia berzinah dan membunuh. Dan kita
harus ingat, Daud tidak bertobat dari dosa-dosa tersebut selama satu tahun
penuh hingga nabi Natan datang kepadanya dan kalian sudah tahu kisah tersebut.
Jadi, Daud tetap dalam kondisi selamat selama satu tahun penuh tersebut karena
dia orang kesayangan Allah.
Tidak,
sama sekali! Tidak selama
tahun tersebut, tidak selama peristiwa tersebut.
Maka
kesalahan fatal yang ketiga ialah,
kita bisa tetap selamat selagi berbuat dosa asalkan kita tidak seluruhnya menolak Kristus dalam hidup
kita. Kita bisa selamat selagi berbuat dosa.
So it is pretty easy to see why tithing is down in the church. Tithing is
part of Sanctification, isn’t it? ~ not Justification ~ which is always incomplete, according to
this, and does not save us.
Since I am still part of the family even when messing up ~ as it
was said ~ I remain covered by the blood of Christ even when I am withholding
my tithe ~ which by the way is stealing from God according to what I read in the
Bible when I know it’s one of God’s commands ~ but I am still covered by the blood of Christ
because I have been pardoned.
Jadi, sangat
mudah untuk melihat mengapa persepuluhan merosot di dalam gereja. Persepuluhan bukan bagian
Pembenaran, tetapi adalah bagian dari Pengudusan, yang menurut
mereka adalah tidak lengkap, dan tidak menyelamatkan kita. Sebagaimana
dikatakan, bahwa saya masih tetap bagian dari keluarga saya walaupun saya
sedang berbuat kesalahan, maka saya tetap tertutup oleh darah Kristus walaupun
saya tidak mengembalikan persepuluhan, saya tetap tertutup oleh darah Kristus
karena saya telah diampuni ~ padahal menurut
apa yang saya baca di Alkitab sebenarnya
itu mencuri dari Allah karena saya sudah tahu itu salah satu
perintah Allah.
This gospel teaches that I remain saved
while willfully, knowingly, disobeying God, whether it’s tithing, or adultery, or anger, or
jewelry, or Sabbath breaking, or alcohol, or diet, or whatever it is, I remain
saved as long as I have a connection somehow with Jesus Christ. I still
pray, and I still come to church, so it’s OK.
Injil
ini mengajarkan bahwa saya tetap selamat ketika secara sengaja, secara sadar
saya tidak patuh pada Allah,
apakah itu tentang persepuluhan, atau perzinahan, atau suka marah, atau memakai
perhiasan, atau melanggar Sabat, atau minuman alkohol, atau makanan, atau apa
pun, saya tetap selamat asalkan
entah bagaimana saya masih memiliki hubungan dengan Yesus Kristus,
saya masih berdoa, saya masih ke gereja, jadi itu oke.
Can a host of acceptable sins be ever covered by the blood of
Christ without repentance? The Bible doesn’t teach that. That is
another gospel. That is a gospel which has been penetrating the Adventist
church for 30 years now, that I can be right with God while I am disobeying Him
knowingly.
Is there any wonder why the patient is sick? And why tithing is
not very strong? And we don’t have a lot of help in our work that we are
representing to the world outside?
Mungkinkah
serentetan dosa yang dianggap bisa diterima, ditutupi oleh darah Kristus tanpa
adanya pertobatan? Alkitab tidak
mengajarkan demikian. Itu adalah injil yang lain. Itu injil yang
telah menembus masuk ke gereja Advent selama 30 tahun ini, bahwa hubungan saya
dengan Allah tetap oke walaupun saya secara sadar sedang tidak mematuhiNya.
There is a very important warning by Ellen White that is often
made fun of because of this gospel. She says In
Heavenly Places page 254, “When
you go where sin is, and place yourself on the enemy’s ground, you place
yourself where the angels of God do not preserve you from evil influence.” That’s a strong statement! When you go on the enemy’s ground,
you go where angels cannot protect you. And the idea that angels do not accompany
us on the enemy’s ground is ridiculed today, openly ridiculed because the false
gospel teaches that we are justified and saved even while we are willfully
sinning on the enemy’s ground, so why shouldn’t angels be there?
Ada sebuah
peringatan yang sangat penting dari Ellen White, yang sering dilecehkan karena
injil tersebut. Di In Heavenly Places hal. 254
Ellen White berkata, “Jika kamu pergi ke tempat dosa,
dan menempatkan dirimu di teritori musuh, kamu menempatkan dirimu di mana
malaikat-malaikat Allah tidak melindungimu dari pengaruh yang jahat.” Itu pernyataan yang keras! Jika kita
pergi ke teritori musuh, kita pergi ke tempat di mana malaikat-malaikat tidak
bisa melindungi kita. Dan konsep bahwa malaikat-malaikat tidak mendampingi kita
di teritori musuh, sekarang ini ditertawakan, dilecehkan secara terbuka karena
injil yang palsu itu mengajarkan bahwa kita tetap dibenarkan dan dalam kondisi
selamat bahkan selagi kita secara sengaja berbuat dosa di teritori musuh, jadi
mengapa malaikat-malaikat tidak ada di sana?
On this point I found a very insightful quotation from a modern
writer. “Enemy
ground is not so much a place as it is a mind set. Enemy ground can be a movie
theatre, or your own living room.” Enemy ground is
right here (pointing to his forehead). The reality is, the most of the dangerous places where
Satan entraps us exist in our minds when we allow him in to excite our imaginations ~ aah, we
have those imaginations, don’t we? ~ to be the director of our fantasy
production right up here. That’s enemy ground. And that’s the most dangerous
place where Satan attacts us.
Tentang hal ini
saya menemukan kutipan yang sangat mencerahkan dari seorang penulis modern. “Teritori
musuh lebih tepat berarti pola pikir (mind set) kita daripada suatu tempat.
Teritori musuh bisa sebuah gedung bioskop, atau kamar tamu kita sendiri.” Teritori musuh ada tepat di sini
(menunjuk ke dahinya). Faktanya ialah, tempat
yang paling berbahaya di mana Setan bisa menjerat kita, ada di pikiran kita,
ketika kita mengizinkan Setan merangsang imajinasi kita ~ aaaah,
kita punya imajinasi-imajinasi itu, bukan? ~ kita mengizinkan Setan menjadi
sutradara fantasi yang kita produksi di kepala kita. Itulah teritori musuh. Dan
itulah tempat yang paling berbahaya yang diserang Setan.
Well, my friends, the false gospel has caused incalculable harm in
the SDA church. So we must, must, must be sure that we know the real
gospel and are experiencing it in our daily lives. We must know that.
Nah,
teman-teman, injil yang palsu
ini telah mengakibatkan kerugian yang tidak terbilang dalam gereja MAHK. Jadi kita harus,
harus, harus memastikan kita tahu apa Injil yang
benar, dan mengalami itu di dalam kehidupan kita setiap hari. Kita harus tahu
itu.
By the way, let’s just address that one point: DO WE LOSE OUR
SALVATION EVERY TIME WE SIN?
It all depends what you do next.
The human response: Let’s say you lose your temper. Let’s say,
you say cutting unkind cruel words to someone else, may be to a husband or a wife, or a son or a
daughter, or a parent. Let’s say, you say something that you know you shouldn’t
have said. There are two possible
reactions.
·
One reaction is the normal
human reaction: hold your hands behind
your back and say, “I will say I’m sorry when she says she’s sorry. I have the right
to be mad. She did something that was not right. I reserve that right to be
angry.” And we keep that little thought in our heads.
·
Then there is the other
way, which I call the divine way. When those words come out of our mouth and even when
we are justified in saying those words, the other person was at fault,
and we were justified in criticizing the other person, we recognized that
something has happened that we don’t see, angels of Satan are right there,
writing all those words down, they are there around us. And they are taking
those words and they are throwing them in the face of Jesus Christ and they
quote the Bible text which we profess to believe. Ellen White says all of that
by the way. That those angels of Satan throw those words in the face of Christ
as proof that His Gospel really doesn’t change much of anything, we are just
the same as we used to be. We just profess that we are Christians. And we
recognize that the moment those words come out of our mouth, we
recognize that we are just giving Satan ammunition to use to continue
the great controversy, we have voted for Satan by those words, because those
are his ways not God’s ways. And we immediately drop to our knees, or
figuratively drop to our knees, right then at that moment say, “Lord, I am so
sorry I have dishonored Your name. I have given Satan ammunition to use against
Your character. I have extended the great controversy.” And we say, “Lord, please forgive me
for being unchristlike even when I had the right to say those words. Please
forgive me.” If that is the response, you don’t lose your salvation. Because
God isn’t counting milliseconds, my friends. Did you sin, were you out of
Christ for 3 seconds? No, you said, “Lord, please forgive me.”
In other words, the principle is this:
Ă¼ when there is repentance there is relationship with the Lord.
Ă¼ when there is excuses or blame or holding on to feelings, there
is disconnection from the Lord. The Holy Spirit is not there, is not in
control.
For one year David was a lost man, absolutely 100% lost. And we
can be thankful that God protected him during that year so he could come to
repentance. Does He do the same for us? We are lost individuals. I’ve been
there. I’ve been a lost individual for a part of my life, professing one thing
living a different life, and God protected me and He’ll do the same for each of
us. To bring us to that point that Ellen White says, as long as there is hope
of repentance.
With repentance there is connection. If the sin is followed by
repentance, you do not disconnect from God.
If the sin is followed by blame, by excuses, by defenses, you disconnect from
God.
So that’s my answer to the question, do we lose our salvation every time we
sin? No, if there is repentance immediately following. But don’t put
that repentance off for a day or a month, that’s dangerous. We are living on
the wrong edge.
Nah, marilah
kita bicarakan poin yang satu itu: APAKAH
KESELAMATAN KITA HILANG SETIAP KALI KITA BERBUAT DOSA?
Semua tergantung
pada apa yang kita lakukan berikutnya.
Cara manusia:
Katakanlah kita marah. Katakanlah kita mengucapkan kata-kata yang tajam, yang
jahat, yang menyakitkan kepada orang lain, mungkin kepada seorang suami, atau
istri, atau putra, atau putri, atau orangtua. Katakanlah, kita mengucapkan
sesuatu yang kita tahu seharusnya tidak kita ucapkan.
Ada kemungkinan
dua reaksi.
·
Reaksi
yang satu ialah reaksi manusiawi normal: dengan meletakkan tangan kita di balik
punggung kita berkata, “Aku akan minta maaf bila dia minta maaf. Aku berhak
marah. Dia telah berbuat kesalahan. Aku punya hak marah.” Dan pikiran itu kita
pertahankan dalam benak kita.
·
Kemudian
ada cara yang lain, yang saya namakan cara
Ilahi. Ketika kata-kata keras itu keluar dari mulut kita, bahkan
walaupun kita dianggap benar
melontarkan kata-kata tersebut karena lawan kita memang salah dan kita
berhak mengritiknya, kita menyadari telah terjadi sesuatu yang tidak kita
lihat, malaikat-malaikat Setan ada di sana, mencatat semua kata-kata tersebut,
mereka ada di sekeliling kita. Dan mereka mencatat kata-kata itu dan mereka melontarkan
kata-kata itu ke wajah Yesus Kristus dan mereka mengutip ayat Alkitab yang kita
akui kita yakini. Semua ini dikatakan Ellen White. Malaikat-malaikat Setan
melemparkan kata-kata tersebut ke wajah Kristus sebagai bukti bahwa InjilNya ternyata
tidak banyak mengubah apa-apa, kita toh tetap sama seperti kita dulu. Kita
hanya mengaku sebagai orang Kristen. Dan pada saat kita menyadari hal itu,
ketika kata-kata keras itu keluar dari mulut kita, kita menyadari kita telah memberi Setan amunisi
untuk melanjutkan pertentangan besarnya, dengan kata-kata tersebut kita telah
memberikan suara kita kepada Setan, karena itu adalah cara Setan, bukan cara
Allah, dan kita segera melipat lutut,
baik secara literal maupun kiasan, dan pada saat itu kita berkata, “Tuhan, aku
menyesal telah memalukan namaMu. Aku telah memberi Setan amunisi untuk
menyerang karakterMu. Aku telah memperpanjang pertentangan besar.” Dan kita berkata, “Tuhan, mohon
ampuni aku sudah bertindak tidak seperti Kristus walaupun aku
berhak mengucapkan kata-kata itu. Mohon ampuni aku.” Jika itulah responsnya,
maka kita tidak akan kehilangan keselamatan kita, teman-teman, karena Allah tidak
menghitung setiap milisekon apakah kita telah berbuat dosa, apakah kita telah berada
di luar Kristus selama 3 sekon? Tidak, karena kita berkata, “Tuhan, mohon
ampuni aku.”
Dengan kata lain
prinsipnya demikian:
Ă¼
ketika
ada pertobatan, maka ada hubungan dengan Tuhan,
Ă¼
ketika
yang ada ialah pembelaan diri, atau menyalahkan orang lain, atau bersikokoh
mempertahankan emosi kita, maka putuslah hubungan kita dengan Tuhan, Roh Kudus
tidak di sana lagi, tidak mengendalikan lagi.
Selama satu
tahun, Daud adalah manusia yang tersesat, 100% mutlak sesat. Dan kita boleh bersyukur
Allah telah melindunginya selama tahun tersebut sehingga dia punya kesempatan
untuk bertobat.
Apakah Allah
berbuat yang sama untuk kita? Kita manusia yang tersesat. Saya pernah
mengalaminya. Selama sebagian waktu dari hidup saya, saya adalah manusia yang
tersesat, mengakui satu hal tapi
menghidupkan kehidupan yang berbeda. Dan Allah melindungi saya waktu itu. Dan
Allah akan melakukan yang sama bagi kita masing-masing, untuk membawa kita kepada
titik yang menurut Ellen White ialah selama masih ada harapan untuk bertobat.
Bila
ada pertobatan, ada hubungan. Jika dosa diikuti oleh pertobatan, hubungan kita
dengan Allah tidak putus.
Bila dosa
diikuti dengan menyalahkan orang lain, pembenaran diri, pembelaan, hubungan
kita dengan Tuhan putus.
Jadi itulah
jawaban saya untuk pertanyaan apakah
kita kehilangan keselamatan setiap kali kita berbuat dosa. Tidak, jika segera
diikuti oleh pertobatan. Tetapi jangan menunda pertobatan itu
satu hari atau satu bulan, itu berbahaya, karena kita sedang hidup di tebing
yang salah.
I want to direct our attention again this afternoon to that non-Adventist
author that I started with earlier, of
the 19th century, Andrew Murray
because he wrote another book, a book with a very theologically unpopular title
“Be Perfect”. Wow! Be perfect? I’m going to
read a little from it.
“There
can only be one opinion as to the fact that God asks and expects His children
to be perfect with Him…” now that’s a great way to start it. There can
only be one opinion on that? Well, there are
many opinions in the Adventist church on that.
“…There can only be one opinion as
to the fact that God asks and expects His children to be perfect with Him. It
is only he who has accepted the command ‘Be perfect’ in adoring submission and
obedience who can hope to know what the perfection is that God asks and gives…” In other words we may not even know what it is until we are
willing to say, “Lord, I’m willing. I don’t know how, I don’t even know what,
but I’m willing. “… Until
the church is seen prostrate before God seeking this blessing as her highest
good, it will be no wonder if the word
‘perfection’ instead of being an attraction and a joy, is a cause of
apprehension and anxiety of division and offense…” And
you know that word has become that way, hasn’t it, among us? “division” and
“offense”, and words that are not very positive about it. “…Trusting ever less a man’s thoughts and
teachings we will often retire into the secret of God’s presence, with the
assurance that the more we see God’s face and hear the secret voice that comes
directly from Him ‘Be perfect’, the more the Holy Spirit dwelling within us
will unfold the heavenly fullness and power of the words…” Once again he is
saying that we will not even understand what the words mean until we are
willing to say, “Lord, do whatever it takes to make me that way.” Someone has said, “Lord, make me as holy as
a pardoned sinner can be made.” That’s not bad. “…make me as holy as a pardoned
sinner can be made.”
Sore ini saya
mau mengarahkan perhatian kita lagi ke penulis non-Advent
abad ke-19 yang tadi saya sebutkan di awal khotbah ini, Andrew Murray, karena dia menulis buku yang lain, sebuah buku yang
secara theologi sangat tidak popular, berjudul “Be
Perfect” [= Jadilah Sempurna]. Wow! Jadilah sempurna? Saya akan membacakan
sedikit dari buku itu.
“Hanya bisa ada satu opini mengenai fakta Allah minta dan
berharap anak-anakNya menjadi sempurna bersama Dia…”
wah, dia mengawalinya dengan hebat. Hanya bisa ada satu opini mengenai hal itu?
Nah, di dalam gereja Advent ada banyak opini mengenai hal itu. “…Hanya bisa ada satu opini
mengenai fakta Allah minta dan berharap anak-anakNya menjadi sempurna bersama
Dia. Hanyalah orang yang menerima perintah ‘Jadilah sempurna’ dengan penyerahan
penuh cinta dan hati yang patuh, yang bisa berharap mengenal apa
kesempurnaan yang diminta dan diberikan Allah…” Dengan kata lain, kita bahkan tidak tahu itu apa
hingga kita rela berkata, “Tuhan, aku bersedia. Aku tidak tahu bagaimana, aku
bahkan tidak tahu itu apa, tetapi aku bersedia.
“…Hingga gereja sujud di hadapan Allah mencari berkat ini
sebagai manfaatnya yang paling tinggi, tidak mengherankan bila kata ‘sempurna’
yang sebenarnya adalah hal yang menarik dan menggembirakan, malah menjadi
sumber keprihatinan dan kekhawatiran, perpecahan dan sakit hati …” Dan kita tahu, kata-kata tersebut telah
menjadi demikian di antara kita, bukan? “Perpecahan dan sakit hati”, dan
kata-kata lain yang tidak positif. “…Dengan mengurangi
kepercayaan kita kepada pemikiran dan ajaran manusia, kita akan sering
menyendiri ke hadirat Allah yang rahasia. Dengan jaminan, semakin sering kita memandang
wajah Allah dan mendengar suara rahasia yang datang langsung dariNya ‘Jadilah
sempurna’, Roh Kudus yang diam di dalam kita akan semakin membuka seluruh arti
dan kuasa surgawi dari kata-kata tersebut…” Sekali lagi dia berkata bahwa kita tidak akan
paham makna kata-kata itu hingga kita bersedia berkata, “Tuhan, lakukanlah apa
yang perlu untuk menjadikan aku seperti itu.”
Ada orang yang pernah berkata, “Tuhan, jadikan aku sekudus seorang
pendosa yang telah diampuni bisa dikuduskan.”. Itu lumayan bagus. “Jadikan aku
sekudus seorang pendosa yang telah diampuni bisa dikuduskan.”
Well, if this is the true gospel, and I really believe it is. I
believe he hit it. Remember, without any
Adventist background, without any spirit of prophecy, just his Bible, it was
all he had, and he came to these conclusions.
Nah, jika ini
adalah Injil yang benar ~ dan saya sungguh meyakini itu benar ~ maka menurut
saya Andrew Murray telah mendapatkan kesimpulan yang tepat. Ingat, dia tidak
punya latar belakang Advent, tidak punya Roh Nubuat, hanya punya Alkitabnya,
itu saja yang dimilikinya, dan dia bisa tiba pada kesimpulan-kesimpulan itu.
If this is the will of God for us, then we need to know again
how, don’t we? How this can be done, how it can be since it is so impossible in human perception. So, let’s start at the
beginning of the process at the moment when the change is made from being a member
of Satan’s family to being a member of God’s family, and I’m going to start
with a little thing you’ll have a hard time looking up unless you have a CD Rom
or some access to the Ellen White’s writings.
Sermons
and Talks Vol. 1 pg 72, “A transformation has taken
place…” she says, “…and
you are a different man…” and remember now “man” is generic, men and
women included. “…You are not the same passionate
man that you used to be. You are not the same worldly man that you were. You
are not the man that was giving way to lusts and evil passions, evil surmisings,
and evil speakings. You are not this man at all because a transformation has
taken place. What is it? The image of Christ reflected in you.”
Jika inilah
kehendak Allah bagi kita, maka kita perlu lebih tahu bagaimana caranya, bukan?
Bagaimana ini bisa terlaksana, bagaimana ini bisa terjadi karena hal itu begitu
mustahil menurut pemikiran manusia. Jadi, marilah kita mulai dari awal proses
tersebut, pada saat perubahan itu
terjadi, dari seorang anggota keluarga Setan
menjadi anggota keluarga Allah. Dan saya akan mulai dengan suatu hal kecil yang
akan sulit kalian temukan kecuali kalian punya CD Rom atau akses kepada
tulisan-tulisan Ellen White.
Sermons
and Talks Vol. 1 hal. 72. “Sebuah
transformasi telah terjadi…”
katanya, “…dan kamu menjadi manusia yang berbeda…” ingat kata “manusia” itu generik,
laki-laki dan perempuan semuanya. “…Kamu bukan lagi manusia
yang emosional yang dulu. Kamu bukan manusia duniawi yang lama. Kamu bukan
manusia yang menyerah kepada nafsu dan dorongan-dorongan yang jahat,
dugaan-dugaan yang jahat dan kata-kata yang jahat. Kamu bukan lagi manusia ini
karena suatu transformasi telah terjadi. Apa itu? Gambar Kristus telah memantul
darimu.”
My friends, it all begins with a miracle, called “The New
Birth”. That is a miracle. It’s brains
being transformed, rewired, changes being made in our attitude. It’s a miracle,
the miracle of justifying grace when God turns our value system upside down,
and we hate what we loved, and we love what we hated. Changing everything. When Christ
comes to dwell and rule in our lives, that’s a miracle. We are no
longer what we were. The old man is dead, the old way of thinking. We are a new
creature never to be what we once were. That’s a miracle. And that’s
how it starts.
Teman-teman,
semuanya diawali dengan suatu mujizat, namanya “Kelahiran Baru”. Ini mujizat. Di
sini otak ditransformasi, diubah cara berpikirnya, sikap kita diubahkan. Ini
mujizat, mujizat dari kasih karunia yang membenarkan, ketika Allah menunggang
balikkan sistem penilaian kita dan kita jadi membenci apa yang tadinya kita
cintai, dan mencintai apa yang tadinya kita benci, mengubah segalanya. Ketika Kristus datang untuk
tinggal dan berkuasa dalam hidup kita, itu mujizat. Kita tidak lagi kita yang lama.
Orang lama kita mati, cara berpikir yang lama mati. Kita menjadi ciptaan baru,
selamanya tidak akan kembali lagi menjadi kita yang lama dulu.
Itu mujizat. Dan begitulah hal ini dimulai.
Perhaps, may be we have neglected the practice and teachings of
the early church which emphasize the miracle of the new birth. Would you turn
to Hebrew 6, speaks of the foundation of being a Christian. We are going to
look at verse 2, Hebrews 6:2, just the first half of the verse is the
interesting part, “Of the doctrine of
baptisms, and of laying on of hands…” that’s an unusual phrase. “baptisms”, I thought it’s
“baptism”. “baptisms” is an unusual phrasing
here in
the plural form. Could it refer
~ so let’s go back to another
place ~ could it refer to something in
the book of Mark, let’s go back to the book of Mark 1:8, John said, “I indeed have baptized
you with water: but He [Christ] shall baptize you with the Holy Ghost.” Are those the baptisms that Hebrew 6 is
talking about? Plural? Not just one but two
things involved here? Perhaps we need a little more on the emphasis of the
baptism of the Holy Spirit than we have traditionally done. Because that is
even more important that baptism in water, the baptism of the Holy Spirit.
Mungkin, kita
telah mengabaikan praktek dan ajaran gereja yang mula-mula yang menekankan
mujizat kelahiran baru. Silakan kalian membuka Ibrani pasal 6, yang berbicara
tentang fondasi seorang Kristen. Kita akan mengamati ayat 2. Ibrani 6:2, hanya
bagian pertama dari ayat itulah yang menarik, “tentang ajaran baptisan-baptisan, dan tentang
penumpangan tangan…” ini suatu istilah yang tidak umum:
“baptisan-baptisan” saya sangka tadinya “baptisan”. “Baptisan-baptisan” adalah
istilah yang tidak umum di sini dalam bentuk
jamak. Mungkinkah ini mengacu ~ marilah kita kembali ke ayat
yang lain ~ mungkinkah ini mengacu ke sesuatu di kitab Markus? Marilah kita
kembali ke kitab Markus 1:8, Yohanes berkata, “Memang aku membaptis kamu dengan air, tetapi Ia [Kristus] akan membaptis
kamu dengan Roh Kudus." Apakah ini
baptisan-baptisan yang dibicarakan di Ibrani pasal 6? Bentuk jamak? Bukan cuma satu tetapi dua hal yang
terlibat di sini? Barangkali kita perlu menekankan sedikit lebih banyak lagi
pada baptisan Roh Kudus daripada apa yang kita lakukan biasanya. Karena
baptisan Roh Kudus ini lebih penting daripada baptisan air.
There is another foundation, it’s in Acts 8:17, another
fundamental foundation, at the
beginning ~ remember we are just talking about the beginning of our walk with
Christ here. Acts 8:17, “Then laid they their hands on them, and they received the Holy
Ghost.” How many of us do that anymore? I’ve not seen that being done in
any churches that I am aware of, following baptism. It just doesn’t happen. I
think we need a clearer focus on the miracle of the new birth. And I think they
had it right in the early century that it is through water baptism, Holy Spirit
baptism by the laying on of hands which kind of emphasizes the miracle.
Now, none of these things will make it happen because we lay on
our hands and it will all be automatic, but it’s a symbol. Now I think we have
neglected it to our hurt, and we don’t think about it because we just say the
person is baptized, newness of life, and it’s all good from that point on.
Could this be why too many of us are buried alive, and we came out with the
same nature and the same self that we went into the water with?
The baptism by the Holy Spirit through the laying on of hands, I think, would make it much clearer that this is a miracle
of God and a transformation which is like night and day.
So again, I think we have lost something there. And maybe in
your local church in your Sabbath school class you need to ask questions. Think
about it. Maybe we could do better.
Ada satu lagi
fondasi yang lain, terdapat di Kisah 8:17, suatu fondasi yang fundamental pada awalnya ~ ingat bahwa kita hanya
berbicara mengenai awal perjalanan kita dengan Kristus di sini. Kisah 8:17, “Kemudian keduanya menumpangkan tangan di atas mereka, lalu mereka
menerima Roh Kudus.” Berapa di antara kita yang masih melakukan
hal ini? Saya tidak pernah melihat ini dilakukan di gereja mana pun yang saya ketahui, setelah pembaptisan.
Sudah tidak terjadi lagi. Saya rasa kita
perlu punya fokus yang lebih jelas tentang mujizat kelahiran baru. Dan
menurut saya mereka melaksanakannya dengan benar pada abad-abad yang mula-mula,
yaitu melalui baptisan air, baptisan Roh Kudus dilakukan dengan menumpangkan
tangan, dengan demikian menekankan pada mujizat tersebut.
Nah, tentunya
hanya karena kita menumpangkan tangan itu
tidak mendatangkan mujizat lalu semuanya terjadi secara automatis. Tetapi itu
adalah suatu simbol. Nah, saya rasa kita telah mengabaikan ini dan merugikan
kita sendiri, dan kita tidak memikirkannya karena kita berkata, orang itu sudah
dibaptis, hidup baru, dan semuanya berjalan lancar mulai dari sana. Mungkinkah
ini yang menyebabkan mengapa begitu banyak dari kita telah dikuburkan
hidup-hidup, dan kita bangkit dengan sifat yang sama dan pribadi yang sama
ketika kita masuk ke dalam air?
Baptisan
Roh Kudus melalui penumpangan tangan,
menurut saya, akan menjadikan
lebih jelas bahwa ini adalah mujizat dari Allah, dan merupakan suatu
transformasi seperti malam dengan siang.
Jadi, sekali
lagi, saya rasa kita telah kehilangan sesuatu di sini. Dan barangkali di
gereja kalian, di kelas Sekolah Sabat
kalian, kalian perlu mengajukan pertanyaan. Pikirkan. Barangkali kita bisa
berbuat yang lebih baik.
If in
the beginning it’s
properly taught and accomplished, the beginning step of transformation, we might
not be so fearful of continuing that process of transformation right down
through to maturity, because it is already there. Now we are just moving it
ahead to the ultimate goal of perfection.
Jika dari mula langkah-langkah awal
transformasi diajarkan
dengan benar dan berhasil, mungkin kita tidak begitu takut melanjutkan proses
transformasi tersebut terus hingga ke tahap matangnya, karena sudah ada di sana
dan kita hanya melanjutkannya saja menuju gol terakhir kesempurnaannya.
This is from Acts of the
Apostles pg. 532, “The work
of transformation from unholiness to holiness is a continuous one. Day by day
God labors for man’s sanctification and man is to cooperate with Him putting
forth persevering efforts in the cultivation of right habits…” so God is laboring everyday to get us moving along this
transformation pathway,
“…As he thus works on the plan of addition…” the human being, “…God works for him on the plan
of multiplication…” That’s kind of neat. We add something
and God multiplies it, and makes it happen faster. “…Before the believer is held out
the wonderful possibility of being like Christ, obedient to all the principles
of the law. … Man's obedience can be made
perfect only by the incense of Christ's righteousness, which fills with divine
fragrance every act of obedience. … He…” the
individual, “…has not
the wisdom or the strength to overcome; these belong to the Lord, and He
bestows them on those who in humiliation and contrition seek Him for
help…” Please
notice that any ‘let us go on to perfection’ gift is a gift from God. It is
not something we can accomplish. It’s a gift of God which is to lead to
the goal of righteousness by faith. She continues, “None
need fail of attaining, in his sphere, to perfection of Christian
character...” so
none of us needs feel that we are going to fail in that. “…God calls upon us to reach the standard of
perfection and places before us the example of Christ's character. … the
Saviour showed that through co-operation with Divinity, human beings may in this
life attain to perfection of character. ..”
wow, there it is! Black and white, in
this life we can attain to perfection of character. “…This is God's assurance to us that we, too, may obtain complete
victory.”
Ini dari Acts of the Apostles hal. 532, “Pekerjaan
transformasi dari tidak kudus menjadi kudus itu
berkesinambungan. Dari hari ke hari Allah bekerja untuk menguduskan manusia dan
manusia wajib bekerjasama dengan Allah, memberikan upaya yang tekun dalam
mengembangkan kebiasaan-kebiasaan yang benar…”
Jadi Allah bekerja setiap hari untuk membuat kita bergerak maju di jalur
transformasi ini. “…Sementara
dia bekerja menurut pola deret hitung…”
si manusia, maksudnya, “…Allah bekerja baginya menurut
pola deret ukur…” Ini bagus
sekali. Kita menambahkan satu hal, dan Allah melipatgandakannya dan
mempercepatnya. “…Di hadapan si orang percaya terbentang
kemungkinan yang indah bisa menjadi seperti Kristus, yang patuh kepada semua
ketentuan Hukum… Kepatuhan manusia hanya bisa disempurnakan oleh bau-bauan yang
harum dari kebenaran Kristus, yang memenuhi setiap kepatuhan dengan keharuman
Ilahi… Dia…” maksudnya
manusia itu, “…tidak memiliki hikmat maupun kekuatan untuk mengalahkan, itu
hanya milik Tuhan dan Dia mengaruniakannya kepada mereka yang datang padaNya
dengan kerendahan hati dan penyesalan yang mendalam, mencari bantuanNya…” Harap
diperhatikan bahwa pemberian “marilah
kita menjadi sempurna” macam apa pun, adalah
pemberian dari Allah. Itu
bukan sesuatu yang bisa kita capai. Itu adalah pemberian Allah yang mengantarkan kepada gol
pembenaran melalui iman. Ellen
White melanjutkan, “Tidak ada yang akan gagal mencapai
kesempurnaan karakter Kristen dalam tingkatannya sendiri…” jadi tak ada dari antara kita yang
perlu merasa bahwa kita akan gagal dalam hal itu. “…Allah
memanggil kita untuk mencapai tingkat kesempurnaan itu dan menempatkan teladan
karakter Kristus di hadapan kita… Sang Juruselamat telah menunjukkan bahwa
melalui kerjasama dengan Ilahi, manusia bisa dalam hidupnya yang sekarang ini
mencapai kesempurnaan karakter…” Wow, ini
dia! Hitam di atas putih. Di hidup kita yang sekarang ini kita bisa mencapai
kesempurnaan karakter. “…Inilah jaminan Allah kepada
kita, bahwa kita juga bisa memperoleh kemenangan yang sempurna.”
So I say, do we really believe the promise of grace? This is a
promise of grace that God has given. Are we really asking God for this gift?
And it is a gift of transformation moving ahead step by step, onward to the goal
of ultimate perfection.
Jadi saya
katakan, apakah kita benar-benar mempercayai janji kasih karunia? Inilah janji
kasih karunia yang diberikan Allah. Apakah kita benar-benar memohon Allah untuk
pemberian ini? Dan ini adalah pemberian untuk transformasi yang bergerak ke
depan, langkah demi langkah, terus maju menuju gol kesempurnaan yang tertinggi.
Now we need to remember that the word “perfection” has at least two
different meanings, may be more. It can refer to an attitude or spirit which is
perfect at every stage of Christian growth. The attitude and the spirit
are right with God.
Or it can refer to the mature developement which is the result of experiencing this
grace day by day.
Nah, sekarang
kita harus ingat bahwa kata “kesempurnaan”
itu memiliki sedikitnya dua arti yang berbeda, bahkan mungkin lebih. Kata itu bisa mengacu kepada sikap atau
roh yang sempurna pada setiap tingkat pertumbuhan Kekristian.
Sikap dan roh yang serasi dengan Allah.
Atau bisa mengacu kepada perkembangan
yang matang, yaitu hasil dari mengalami karunia itu dari hari ke hari.
So it can either refer to the daily attitude or to the end
process, and sometimes that’s what confusing.
For instance, a 10 year old child can have a perfect spirit
while immature in so many ways. But the spirit can be right. Christian growth
is designed to lead to that mature perfection the same as Christ’s character.
Here is the key point: God always accepts a perfect spirit even when we
are immature. If our life is cut short, He accepts that perfect spirit
that we can have in the end. We are told for instance that king “Asa’s heart was perfect with the Lord all his days”, that’s a nice testimony. That’s in 1 Kings 15:14.
Jadi “kesempurnaan”
itu bisa mengacu ke sikap sehari-hari atau ke hasil akhirnya, dan terkadang
itulah yang membingungkan.
Misalnya seorang
anak 10 tahun bisa memiliki roh yang sempurna sementara dia masih belum matang
dalam banyak hal. Tetapi rohnya bisa benar. Pertumbuhan Kristen dipola untuk
mencapai kesempurnaan yang matang sama
dengan karakter Kristus.
Inilah poin
kuncinya: Allah selalu menerima roh yang
sempurna walaupun kita belum matang. Jika hidup kita terpotong
singkat, Allah menerima roh yang sempurna itu yang bisa kita miliki pada
akhirnya.
Misalnya kita
diberitahu bahwa “…hati Asa sempurna bersama TUHAN
sepanjang umurnya.” Ini kesaksian yang indah. Ini terdapat
di 1 Raja 15:14.
Andrew
Murray once again.
“There
can be no hope of comprehending what perfection is except if we count all
things lost,
to live for, to accept it and to process it. We must first accept it and give
up our lives to it before we can understand it.”
So, may be the best
thing is not to be so precise in defining everything about what it is, but
plead for it. And then maybe we’ll understand it. Perhaps we debate so much on
the word “perfection” that we don’t plead for perfection at all. It’s just an
intellectual debate.
Andrew
Murray sekali lagi.
“Tidak mungkin ada harapan untuk bisa mengerti apa itu
kesempurnaan, kecuali jika kita menganggap segala yang lain tidak berarti, dan menjadikannya
fokus hidup kita, menerimanya, dan memprosesnya. Kita harus menerima lebih dulu,
dan menyerahkan hidup kita kepadanya sebelum kita bisa memahaminya.”
Jadi, mungkin
yang paling baik ialah tidak terlalu spesifik mendefinisikan segala sesuatu,
tentang apakah itu, tetapi sebaiknya kita mohon untuk memperolehnya, mungkin
setelah itu kita akan paham. Mungin kita berdebat terlalu banyak mengenai kata
“kesempurnaan” sehingga kita sama sekali tidak memohon untuk memperoleh
kesempurnaan. Hanya menjadi perdebatan intelektual.
Again from Andrew Murray.
“Have I
given myself up to say that there must be nothing, nothing whatever to share my
heart with God and His will? Is a heart perfect with the Lord my God the object
of my desire, my prayer, my faith and my hope?”
Lagi dari Andrew Murray.
“Sudahkah aku menyerahkan diri untuk berkata tidak boleh ada apa
pun, apa pun, yang membagi hatiku dengan Allah dan kehendakNya? Apakah objek
kerinduanku, doaku, iman dan harapanku adalah hati yang sempurna bersama Tuhan
Allahku?”
We will turn to the book
of Genesis.
Genesis 17:1, “And when Abram was ninety
years old and nine, the LORD appeared to Abram, and said unto him, ‘I am the
Almighty God; walk before me, and be thou perfect.’” Does
God command things that are impossible? Does God command things that will cause
us to be burdened? Or does He command things that will only bring us peace,
joy, and happiness?
Kita akan
kembali ke kitab Kejadian.
Kejadian 17:1, “Ketika
Abram berumur sembilan puluh sembilan tahun, maka TUHAN menampakkan diri kepada
Abram dan berfirman kepadanya: ‘Akulah Allah Yang Mahakuasa, hiduplah di
hadapan-Ku dan jadilah sempurna.’”
Apakah Allah
memerintahkan kita untuk melakukan hal-hal yang mustahil? Apakah Allah
memerintahkan melakukan hal-hal yang akan menjadi beban bagi kita? Atau apakah
Dia memerintahkan melakukan hal-hal yang hanya akan membawa damai, sukacita dan
kebahagiaan kepada kita?
So we want to know how to walk before God. I am going to share a
couple of statements now and how they are said, very interesting because we
don’t ever talk about it in these terms. These are statements from Ellen White.
“At every
step,” she says, “our
prayers should ascend to the throne of God, while working as if everything
depended upon our diligence and faithfulness…” Now,
what’s going on here? Let’s try again, “Prayer and effort, effort and prayer will be the business of
your life. You must pray as though the efficiency and praise were all due to
God, and labor as though duty were all your own.”
Wow! You must pray as if it were all due to God and you work as though you had
to do it on your own. That’s Testimony Vol. 4
pg. 538.
Jadi kita harus tahu
bagaimana caranya hidup di hadirat Allah. Saya akan membagikan beberapa
pernyataan dan bagaimana kalimatnya yang sangat menarik karena kita tidak
pernah berbicara tentang hal ini menggunakan istilah-istilah ini. Ini adalah
pernyataan-pernyataan Ellen White.
“Di setiap langkah,”
katanya, “doa-doa kita harus naik ke takhta Allah, sementara kita bekerja
seolah-olah segalanya bergantung pada kerajinan dan ketekunan kita…” Nah, apa yang terjadi di sini? Mari kita
coba lagi. “Doa dan upaya, upaya dan doa haruslah menjadi kewajibanmu
selama hidupmu. Kamu harus berdoa seakan-akan efisiensi dan pujian adalah karena
Allah, dan bekerja seakan-akan seluruh tanggung jawabnya semata-mata milikmu.” Wow! Kita harus berdoa seakan-akan semuanya
karena Allah, dan kita bekerja seakan-akan kita harus melakukannya sendiri. Itu
dari Testimony Vol. 4, hal 538.
Here’s another one. “You
should engage in the work as though all depended upon you, and yet with perfect
trust. God had entrusted to us the great work of warning the world of the
coming judgment. We are to act our part in bringing this truth to all we can.
We must pray to God to water the seeds so that they may spring up and bear
fruit to His glory.” Review and Herald July 8, 1890.
So we work as if everything depended on us, and we pray because
we know nothing depends on us. We are
really in a dilemma here.
Ada yang lain. “Kamu
harus mengerjakan pekerjaan itu seakan-akan semuanya tergantung padamu, namun
dengan penuh percaya pada Allah.
Allah telah mempercayakan kepada kita suatu pekerjaan besar untuk memberi
peringatan kepada dunia tentang penghakiman yang akan datang. Kita harus
menjalankan tugas kita membawa kebenaran ini kepada semua orang yang bisa kita
capai. Kita harus berdoa kepada Allah agar Allah memberi air pada benih-benih
itu supaya bisa tumbuh dan menghasilkan buah bagi kemuliaan Allah.” Review and Herald, 8 Juli 1890
Jadi, kita bekerja seakan-akan segalanya bergantung pada kita, dan kita
berdoa karena kita tahu tidak ada yang bergantung pada kita.
Kita benar-benar dalam dilema di sini.
"I humbled myself before God and earnestly presented
my petitions at the throne of grace. My faith was tried to the utmost. I
received no direct evidence that my prayers were answered but I decided to go
to work as though I have received the help I so greatly needed.” Signs of the Times, January 19, 1882.
So she didn’t get any evidence that her prayers were heard, but
she says she worked as if every word had been understood and accepted and that
God was right there with her.
“Aku merendahkan diriku
di hadapan Allah, dan dengan tulus menyampaikan permohonan-permohonanku ke takhta kasih karunia. Imanku
diuji habis-habisan. Aku sama sekali tidak mendapat bukti langsung bahwa
doa-doaku dijawab, tetapi aku memutuskan untuk bekerja seolah-olah aku telah
mendapatkan bantuan yang begitu aku butuhkan.” Signs of the Times, 19 Januari 1882.
Jadi Ellen White tidak mendapat bukti apa pun bahwa doa-doanya didengar,
tetapi dia berkata, dia bekerja seolah-olah setiap katanya telah dimengerti dan
diterima, dan bahwa Allah ada di sana mendampinginya.
One more.
“Be in
earnest, pray and work, and work and pray. And then act as though success
depended upon your efforts, due to the best of your ability and God will
cooperate with you. You are to work with all the powers of your being. Awake,
awake, I pray you.” Review and Herald, December 18, 1888.
Wow!
Satu lagi.
“Dengan sungguh-sungguh, berdoa dan bekerja, dan bekerja dan
berdoa. Lalu bersikaplah seolah-olah sukses bergantung pada upayamu, berkat
kemampuanmu yang paling baik, dan Allah akan bekerjasama dengan kamu. Kamu
harus bekerja dengan segala kemampuanmu yang hakiki. Bangkit, bangkitlah, aku
mohon padamu.” Review and Herald, 18
Desember 1888.
Wow!
What a delicate ~ and I mean delicate ~ combination here of prayer
and work, of dependence and effort. How do we put these two together? This is
one of the most ~ shall I say ~ challenging parts of righteousness by faith.
How do we make
those work in the right proportion and not over-emphasize one or over-emphasize
the other. All we are told is that we work as though the success depended
entirely on our efforts and pray because we know our efforts will lead only to
failure. How do you keep that all
together? This is one of the
challenging mysteries of the Gospel. Prayer, dependence versus effort and work.
And I’m just lost, I guess I’m still are.
So all of this is an area in which I suggest we spend a lot more
study time than we do. On this area of
doing
and trusting, yielding and working, how does it all fit together, how
can we make it work right.
Betapa halusnya ~ dan saya maksudkan, benar-benar halus ~ kombinasi di
sini antara doa dan kerja, antara ketergantungan dengan upaya. Bagaimana kita
harus mempersatukan keduanya? Ini salah satu bagian yang paling ~ katakanlah ~
menantang dari pembenaran melalui iman. Bagaimana kita bisa mengaplikasikan keduanya dengan
baik dalam proporsi yang tepat dan tidak terlalu melebihkan yang satu atau yang
lain. Kita hanya diberitahu bahwa kita harus bekerja seolah-oleh
keberhasilannya tergantung semata-mata pada upaya kita, dan berdoa karena kita
tahu upaya kita hanya akan gagal. Bagaimana kita bisa menyeimbangkan semuanya
itu? Inilah salah satu misteri Injil yang menantang. Doa, ketergantungan versus (melawan) upaya dan kerja.
Dan saya bingung. Sepertinya saya masih bingung sekarang.
Jadi semua ini adalah masalah yang saya usulkan harus kita beri lebih
banyak waktu untuk dipelajari daripada yang sekarang kita lakukan. Mengenai hal
ini: bekerja dan berserah, berserah
dan bekerja, bagaimana itu bisa klop satu sama lain, bagaimana
kita bisa membuat itu berhasil.
Ellen White said this in another passage. She said that, “Let the churches who claim to
believe the truth who are advocating the Law of God, keep that Law and depart from
all iniquity. Let the individual members of the church resist the temptations
to practice evil and indulge in sin…” see, there is the work
part of it: resist. “…Let
the church commence the work of purification for God by repentance,
humiliation, deep heart searching…. Let the individual members of the church be
pure, steadfast, unmovable, always abounding in the love of Jesus…. I want not
only to be pardoned for the transgression of God’s holy Law but I want to be
lifted into the sunshine of God’s countenance… Salvation is not to be baptized,
not to have our names upon the church
books, not to preach the truth, but is a living union with Jesus Christ to be
renewed in heart doing the works of Christ in faith and labor of love, in
patience, meekness and hope. Well may the question be asked with earnest,
anxious heart: is envy cherished, is jealousy permitted to find a place in my
heart. If so, Christ is not there.” That’s Selected Messages Vol.
2 pg. 377-382.
Ellen White mengatakan demikian dalam bacaan yang lain. Dia berkata, “Hendaknya
gereja-gereja yang mengaku mempercayai kebenaran, yang melaksanakan Hukum
Allah, memelihara Hukum tersebut dan meninggalkan semua dosa. Hendaknya semua
anggota gereja menolak pencobaan untuk berbuat jahat dan bermanja dalam
dosa…” lihat, ini bagian bekerjanya: menolak. “…Hendaknya gereja memulai pekerjaan pemurnian
oleh Allah melalui pertobatan, merendahkan diri, dan introspeksi yang mendalam…
Hendaknya anggota-anggota gereja menjadi murni, teguh, kokoh, selalu
berkelimpahan dalam kasih Yesus… saya tidak hanya ingin diampuni atas
pelanggaran Hukum kudus Allah, tetapi saya mau diangkat ke sinar kemuliaan
wajah Allah… Keselamatan itu bukan karena dibaptis, bukan karena nama kita
tercatat di kitab-kitab gereja, bukan mengkhotbahkan kebenaran, melainkan hidup
yang menyatu dengan Yesus Kristus, yang hatinya diperbarui, melakukan pekerjaan
Kristus dalam iman dan penuh pengorbanan, dalam kesabaran, kelemahlembutan, dan
pengharapan. Mungkin pertanyaan ini bisa ditanyakan dengan hati yang tulus dan
cemas: apakah iri hati dipelihara, apakah iri hati diizinkan mendapat tempat
dalam hati saya? Jika iya, maka Kristus tidak ada di sana.” Ini Selected
Messages Vol. 2, hal. 377-382.
So there we have it again, perhaps we need to have a clear
understanding of what a perfect heart or attitude really is. The spirit is,
whatever Your will is, God, I want to do it, and I’ll go ahead, but, Lord, I’m
going to fail unless You are there with me, I am not going to succeed. I can’t
resist temptation on my own but I will make the decided decision to walk away from
bad place where temptation comes. It’s a delicate balance.
Tuh, ada lagi.
Barangkali kita perlu punya pemahaman yang jelas, hati atau sikap yang sempurna
itu seperti apa. Rohnya ialah, apa pun kehendakMu, Allah, aku mau melakukannya,
dan aku akan melakukannya. Tetapi, Tuhan, aku akan gagal kecuali Engkau
mendampingi aku, aku tidak akan berhasil. Aku tidak bisa menolak pencobaan
dengan kekuatanku sendiri, tetapi aku
akan membuat keputusan yang menentukan untuk menjauhi tempat-tempat yang jahat
di mana pencobaan datang. Sebuah keseimbangan yang peka.
Friends, we can have a perfect heart while we are advancing
to maturity, that is the promise: a perfect spirit.
Teman-teman, kita bisa memiliki hati yang
sempurna sementara kita bertumbuh menuju kematangan, itulah janjinya: roh yang sempurna.
Now, can we have a perfect heart while we are ignoring God’s
commandments? Here I want to share something with you that is from Clifford Goldstein in one of his columns in
the Adventist Review.
“When the
laws of England wouldn’t allow England’s king Henry VIII to divorce his wife,
what did he do? He changed the law, that’s what. Henry didn’t change his
actions in order to meet the demands of the law. No, he changed the demands of
the law in order to meet his actions. Now, wouldn’t it have been so much easier
if God did what Henry VIII did, that is changed the Law to meet the
transgressors where they were in their transgressions? When you think about the
costs of the cross, God bearing in Himself the sins and the suffering and the
guilt of all humanity, wouldn’t it have been less costly to modify the Law, in
order that acts once being violations of the Law no longer were?” Ah, interesting option. “How much easier for God Himself to have changed the definition
of sin to meet humanity in its sin rather than to bear in Himself the penalty
for that sin.” You see, God handled that situation
completely differently than Henry VIII did, right? Henry VIII said, “I’ll
change the law so I can do what I want to do.” Instead, Christ took the
punishment for the Law so that we wouldn’t be punished. And so he continues, “Let’s be reasonable, if God
didn’t change the Law before Christ died on the cross, why do it after? Why not changed it beforehand and saved
Himself the punishment? Jesus’ death
shows that if the Law could have been changed, it would have been before, not
after the cross. Nothing that shows the continued validity of the Law more than
does the death of Jesus, a death the occurred precisely because the Law
couldn’t be changed. How could the death of Christ changed the Law when that
death proves that the Law can’t be changed?”
Nah, bisakah
kita memiliki hati yang sempurna sementara kita mengabaikan perintah-perintah
Allah? Di sini saya ingin berbagi sesuatu dengan kalian, yang datang dari Clifford Goldstein dalam salah satu kolomnya
di Adventist Review.
“Ketika hukum negara Inggris tidak mengizinkan raja Inggris
Henry VIII menceraikan istrinya, apa yang dia lakukan? Dia mengubah hukumnya.
Henry tidak mengubah perbuatannya supaya memenuhi tuntutan hukum. Tidak. Dia
mengubah tuntutan-tuntutan hukum supaya sesuai dengan perbuatannya. Nah, apa
tidak jauh lebih mudah jika Allah melakukan yang sama yang dilakukan Henry
VIII, yaitu dengan mengganti Hukum supaya klop dengan para pendosa dalam
dosa-dosa mereka. Bilamana kita renungkan harga yang dibayar di salib di mana
Allah menanggung Sendiri dosa-dosa dan penderitaan dan rasa bersalah semua
manusia, tidakkah akan lebih murah mengubah Hukumnya saja supaya
perbuatan-perbuatan yang tadinya termasuk melanggar Hukum, tidak lagi melanggar
Hukum?...” Ahh, opsi yang
menarik! “…Betapa lebih mudahnya
bagi Allah Sendiri untuk mengubah definisi dosa supaya bisa klop dengan
kemanusiaan dalam dosa mereka, daripada menanggung Sendiri hukuman bagi dosa.” Kalian
lihat, Allah menangani situasi tersebut amat berbeda dari cara Henry VIII,
bukan? Henry VIII berkata, “Aku akan mengubah hukum supaya aku bisa berbuat apa
yang mau aku lakukan.” Sebaliknya Kristus yang menanggung hukuman pelanggaran
Hukum agar kita tidak usah dihukum. Jadi, dia lanjutkan, “…Marilah
kita bersikap logis. Jika Allah tidak mengubah Hukum sebelum Kristus mati di
salib, mengapa dilakukan belakangan? Mengapa tidak diubah sebelumnya dan
menyelamatkan Dirinya dari hukuman? Kematian Yesus menunjukkan bahwa jika Hukum
bisa diubah, pasti sudah diubah sebelum salib, bukan setelahnya. Tidak ada yang
membuktikan keabsahan Hukum yang terus berkelanjutan lebih daripada kematian
Yesus, kematian yang terjadi justru karena Hukum tidak bisa diubah. Bagaimana
kematian Kristus bisa mengubah Hukum sementara kematian itu membuktikan bahwa
Hukum tidak bisa diubah?”
I thought that was very insightful. Couldn’t be changed after that. Nevertheless
Christians all over the world say it over and over again, that the death on the
cross was the decisive event that ended the rule of the Law in the 10
Commandments, therefore we don’t have to obey them. They point to Christ’s
grace as something that negates the obligation to the 10 Commandment Law, so we
just don’t have to do it.
Menurut saya itu
sangat mencerahkan. Tidak mungkin diubah setelah salib. Namun orang-orang
Kristen di seluruh dunia berulang-ulang berkata bahwa kematian di salib adalah
peristiwa yang menentukan, yang mengakhiri berlakunya Hukum 10 Perintah Allah,
karena itu kami tidak usah mematuhinya. Mereka menunjuk ke kasih karunia
Kristus sebagai sesuatu yang membatalkan kewajiban mematuhi Hukum 10 Perintah,
maka kami tidak perlu lagi melakukannya.
So, obviously one of the problems here, obviously the debate is not
over the 10 Commandments, it’s over one of the 10 Commandments and you know obviously
which that one is. There really this whole thing is an argument against Sabbath
keeping. It’s not about coveting, it’s not
about taking the name of Lord in vain. It is about the 4th commandment,
the 7th day Sabbath. If the 7th Sabbath was not the bone
of contention, all of the arguments against keeping the Law, I think would never
have been heard even once. But by fighting against the 4th
commandment as it reads “the 7th day is
the Sabbath of the Lord thy God”, many find
themselves unwillingly fighting against the whole Law. Because of one troubling
commandment many mainline churches have been playing down the entire Decalogue
for generations. Yet, it is only a matter of time when this playing down of the
10 Commandments uprooted the basic moral principles of society to what we see
today, in which there is a text that says, “they have sown the
wind and they shall reap the whirlwind”.
And you know that our immorality today has reached an all time high. No matter what it is, if it is
same sex marriage, if it’s on demand abortion, if it’s assisted suicide, and
a blizzard of other moral issues that we
are facing today.
Maka jelaslah,
salah satu masalahnya di sini, jelas debatnya bukan tentang ke 10 Perintah
Allah, tapi tentang satu dari antara ke-10 Perintah itu, dan kalian sudah tahu
yang mana itu. Seluruh masalah ini ialah perdebatan menentang pemeliharaan
Sabat. Bukan tentang iri hati, bukan tentang memakai nama Tuhan secara
sembarangan. Tapi mengenai Hukum ke-4, Sabat hari ketujuh. Seandainya Sabat
bukanlah objek pertentangannya, semua perdebatan terhadap pemeliharaan Hukum,
menurut saya, tidak akan terdengar satu kali pun. Tetapi dengan menentang
Perintah ke-4 yang bunyinya, “hari ketujuh adalah hari
Sabat TUHAN, Allahmu” banyak
orang mendapatkan dirinya terpaksa melawan seluruh Hukum. Karena satu perintah
yang menimbulkan masalah, banyak gereja mayoritas mengabaikan seluruh 10
Perintah selama turun-temurun. Namun, hanya tinggal menunggu waktu saja
pengabaian 10 Perintah Allah itu mencabut akar prinsip-prinsip moral yang mendasar
dalam masyarakat menjadi apa yang kita lihat dewasa ini, yaitu apa yang dikatakan
ayat ini, “…mereka telah menabur angin,
maka mereka akan menuai puting beliung…” [Hosea 8:7]. Dan kalian tahu amoralitas kita
hari ini telah mencapai tingkat yang tertinggi selama ini, entah itu tentang perkawinan sesama jenis, atau tentang
tuntutan aborsi, atau bantuan bunuh diri dan badai isu-isu moral lainnya yang
menerpa kita sekarang.
Many Christians now change their thinking after September 11,
2001. All of a sudden Christian leaders began talking about the Law of God in a
renewed interest. And they said, “Let’s have a Ten-Commandment-Day!” Remember
that? Ten-Commandment-Day. Here’s what they said, “Finally, a day in which we
can come together and celebrate God’s eternal moral Law and we want to restore
the supremacy of the tenets (religious doctrine) precepts and principles
contained in the Ten Commandments.” So now, we are getting an emphasis on the
Law and we either want to have it posted in public places as the moral guide to
our society today. But unfortunately in all of this process we still find the
same antagonism to that one commandment, don’t we? That hasn’t changed one bit.
While we want to restore the Law as reinterpreted by us human beings so it
isn’t quite so difficult for us today.
Setelah 11 September
2001, banyak orang Kristen sekarang mengubah pikiran mereka. Tiba-tiba
pemimpin-pemimpin Kristen mulai berbicara tentang Hukum Allah dengan minat yang
baru. Dan mereka berkata, “Ayo kita adakah Hari Sepuluh Perintah!” Ingat itu?
Hari Sepuluh Perintah. Inilah kata mereka, “Akhirnya, ada satu hari di mana
kita boleh berkumpul dan merayakan Hukum moral Allah yang abadi, dan kita ingin
mengembalikan kedaulatan keyakinan-keyakinan, ketentuan-ketentuan dan
prinsip-prinsip yang terkandung dalam ke-Sepuluh Perintah.” Maka sekarang kita
melihat penekanan pada Hukum, dan kita suruh pasang itu di tempat-tempat umum
sebagai petunjuk moral bagi masyarakat kita sekarang. Tetapi sayang, dalam
seluruh proses ini kita masih menemukan antagonisme yang sama terhadap satu
Perintah itu, bukan? Itu sama sekali tidak berubah sedikit pun. Sementara kita
mau memulihkan Hukum menurut interpretasi kita, manusia, maka sekarang tidaklah
begitu sulit bagi kita.
I want to share something with you that comes from a non-SDA source.
In fact he is the professor of Old Testament at Wheaten College in Illinois
which is an evangelical college. And he said something which I think everyone
of us needs to hear, he wrote specifically to other evangelicals. “Here’s what most Christians
believe: God gave the Ten Commandments to Israel to let them prove how
impossible it was to obey the Ten
Commandments, therefore under grace we don’t have to worry about those Ten
Commandments anymore. Look at Israel, see what they did. God gave that to them
as an object lesson of how impossible it is to obey for us today…”. That’s what most Christians believe. So here’s what he said, “Why would God rescue the
Israelites from the burdensome and death-dealing slavery of Egypt only to
impose upon them an even heavier burden of the Law which they in any case were
unable to keep and which would send them
to an even more horrible fate: damnation under His own wrath?” So He delivers them from Egypt and then gives them a Law under
which they couldn’t obey it, and therefore would be damned to eternal burning
hell fire. When you look at the Exodus this way, it turns out to be not such a
good deal after all. And then he makes his point. “God and Moses…” God
and
Moses, “…perceived obedience to the Law not as a way
or precondition to salvation but as a grateful response of those who had
already been saved. By grace alone through faith they crossed the Red Sea to
freedom.” God and Moses, perceived obedience to the Law not as the
precondition for salvation but as the precondition to Israel’s fulfilment of
the mission to which she had been called and the precondition to her own
blessing, in other words not to
precondition of salvation, that’s by grace; but the condition of God’s blessing
upon His people, the condition of God’s blessing. “God and Moses perceived God’s revelation of the Law to Israel
as a supreme and unique privilege contrary to contemporary evangelical opinion,
obedience to the Law for the genuinely faithful in Israel was a delight.”
Saya mau berbagi
sesuatu dengan kalian yang berasal dari sumber non-MAHK. Faktanya dia adalah
seorang professor Perjanjian Lama di Wheaten College di Illinois, yang adalah
perguruan tinggi Protestan. Dan dia mengatakan sesuatu yang menurut saya perlu
didengar kita semua. Dia menulis ini kepada orang-orang Protestan
lainnya:
“Inilah yang diyakini kebanyakan orang Kristen: Allah memberikan
ke-10 PerintahNya kepada bangsa Israel supaya mereka membuktikan betapa
mustahilnya ke-10 Perintah itu bisa dipatuhi. Karena itu di bawah kasih karunia
kita tidak usah membingungkan ke-10 Perintah itu lagi. Lihatlah Israel, lihat
apa yang mereka lakukan. Allah telah memberikan itu kepada mereka sebagai
contoh soal bagaimana mustahilnya kita bisa mematuhinya hari ini…” Itulah
yang diyakini mayoritas Kristen. Maka, inilah yang dikatakannya, “…Mengapa Allah sampai menyelamatkan bangsa
Israel dari perbudakan di Mesir yang sangat berat dan mematikan hanya untuk
memaksakan kepada mereka beban Hukum yang lebih berat, yang toh tidak bisa
mereka patuhi dan yang akan mengirim mereka ke takdir yang lebih mengerikan: yaitu
kebinasaan oleh murkaNya sendiri?” Maka,
Allah menyelamatkan mereka dari Mesir kemudian memberi mereka suatu Hukum yang
tidak bakal bisa mereka patuhi, oleh karena itu mereka akan dibinasakan oleh
api neraka yang kekal. Jika kita memandang penyelamatan dari Mesir dengan cara
ini, ternyata itu tidaklah terlalu menguntungkan. Kemudian dia membuat poinnya.
“…Allah dan Musa…” Allah dan
Musa, “…mengartikan
kepatuhan kepada Hukum bukan sebagai jalan atau prasyarat keselamatan,
melainkan sebagai respons syukur mereka yang telah diselamatkan. Oleh kasih
karunia saja melalui iman mereka menyeberangi Laut Merah menuju kebebasan...” Allah dan Musa
mengartikan penurutan kepada Hukum bukan sebagai prasyarat untuk memperoleh
keselamatan melainkan sebagai prasyarat Israel memenuhi misi yang diberikan
kepada mereka dan prasyarat mereka untuk memperoleh berkat. Dengan kata lain,
bukan prasyarat keselamatan, karena itu oleh kasih karunia; tetapi syarat untuk
memperoleh berkat Allah bagi umatNya, syarat untuk mendapatkan berkat Allah. “Berlawanan dengan pendapat
Protestan kontemporer, Allah dan Musa mengartikan pengungkapan Hukum kepada
Israel sebagai hak istimewa yang tertinggi dan unik, Kepatuhan kepada Hukum
adalah suatu kegemaran bagi bangsa Isrrael yang benar-benar setia…”
In fact right here we just got to look up one text because this
point is so important. Deuteronomy, would you turn to the book of Deuteronomy, it’s
in chapter 4 and we look at verse 6. It’s talking about the commandments. “6 Keep therefore and do them; for this is your wisdom and your
understanding in the sight of the nations, which shall hear all these statutes,
and say, ‘Surely this great nation is a wise and understanding people.’ 7 For what nation is there
so great, who hath God so nigh unto them, as the LORD our God is in all things
that we call upon him for? 8
And what nation is there so great, that hath statutes and judgments so
righteous as all this law’, which I set before you this day?”
That’s what commandment keeping was supposed to do for Israel.
So all the nations would look on them and say, “This is really special, this is
a people blessed by God.” No, there were many laws around in those days. Each
nation had its own laws. And these laws that God had given were to be the
example for all other nations as the way to find happiness and peace and joy
and all the rest. And that’s what Law-keeping was supposed to be all about and
that’s what he was referring to in this statement right here.
Sebenarnya di
sini kita perlu melihat satu bacaan karena poin ini begitu penting. Kitab
Ulangan, silakan ke kitab Ulangan, pasal 4 dan kita lihat ayat 6. Ini berbicara
mengenai Perintah-perintah Allah itu. “6 Karena itu peliharalah dan lakukan
mereka, sebab itulah kebijaksanaanmu dan akal budimu di mata bangsa-bangsa
yang akan mendengar segala ketetapan ini dan berkata: ‘Memang bangsa yang besar ini adalah umat yang bijaksana dan berakal
budi.’ 7 Sebab bangsa besar manakah yang mempunyai allah yang demikian dekat
kepadanya seperti TUHAN, Allah kita, yang kita
panggil dalam segala hal? 8 Dan bangsa besar manakah yang
mempunyai ketetapan dan peraturan demikian benar
seperti seluruh hukum ini, yang kubentangkan kepadamu pada hari ini?”
Itulah yang
seharusnya diperoleh Israel dari mematuhi Hukum Allah, supaya semua bangsa akan
memandang mereka dan berkata, “Ini sungguh istimewa, inilah umat yang diberkati
Allah.” Tidak, di zaman itu ada banyak hukum, setiap bangsa memiliki hukumnya
sendiri. Dan hukum-hukum ini yang telah diberikan oleh Allah tujuannya supaya
menjadi teladan bagi semua bangsa yang lain, bagaimana caranya mendapatkan
kebahagiaan dan damai dan sukacita dan yang lain-lain. Dan itulah intinya
mematuhi Hukum Allah, dan itulah yang dimaksud oleh pernyataannya di sini.
Let’s see what else he said. “On this matter,” he said, “Moses
and Paul are in perfect agreement. In fact Paul himself says that it’s not the
hearers of the Law that are righteous before God but the doers of the Law which
are justified. Unless the New Testament…”
this is really important, “…Unless
the New Testament expressly declares the end of an Old Testament ordinance, we
assume its authority continues for believers today. We are concerned about a
salvation that works, that is a salvation that resolves in a life that conforms to the will of God. At issue is the
believers’ sanctification. While obedience is not a prerequisite to salvation,
it is the key to the blessing of the
redeemed.”
And I say, I saw a marvelous,
marvelous call to obedience on the part of an evangelical scholar right there,
who say, “Look, let’s take another look at the Law of God, let’s find out what
it really is and why it’s important.” Calling modern Christians to take another look at the
commandments given by God.
Mari kita lihat
apa lagi yang ditulisnya. “Dalam hal ini,” katanya, “Musa dan
Paulus sepakat sepenuhnya. Bahkan Paulus sendiri berkata, bukan orang yang
mendengar Hukum Allah yang benar di hadapan Allah, tetapi para pelaku Hukumlah
yang dibenarkan. Kecuali bila di kitab Perjanjian
Baru…” ini
benar-benar penting, “…Kecuali bila di kitab
Perjanjian Baru ada pernyataan yang tegas tentang telah berakhirnya suatu
ketetapan (peraturan) Perjanjian Lama, kita menganggap itu tetap berlaku bagi
orang percaya zaman sekarang. Konsern kita ialah keselamatan yang berhasil,
yaitu keselamatan yang membuahkan suatu hidup yang selaras dengan kehendak
Allah. Yang menjadi isu ialah pengudusan umat percaya. Sementara kepatuhan
bukanlah prasyarat untuk mendapatkan keselamatan, ia adalah kunci untuk
mendapatkan berkat bagi orang-orang tebusan.”
Dan saya
katakan, di sini saya melihat suatu panggilan yang sangat hebat dari seorang
pakar Alkitab Protestan, yang berkata, “Ayo, marilah kita lihat lagi Hukum
Allah, marilah kita cari tahu apa itu sebenarnya dan mengapa itu penting.”
Memanggil orang-orang Kristen modern untuk meneliti lagi perintah-perintah yang
diberikan Allah.
A perfect heart, my friends, a perfect
spirit means whatever God says I will do. That’s what a perfect heart is. I may
not understand everything, but whatever I know about God I’m going to commit
myself to that, that’s a perfect heart,
a perfect spirit, not relative to changing circumstances but God’s authority is
permanent.
Hati yang
sempurna, teman-teman, roh yang sempurna berarti apa pun kata Allah, akan saya
lakukan. Itulah hati yang sempurna. Mungkin saya tidak mengerti semuanya,
tetapi apa yang saya tahu tentang Allah, saya akan komit pada hal itu. Itulah
hati yang sempurna, roh yang sempurna, yang tidak bergantung pada perubahan
sikon, tetapi pada autoritas Allah yang permanen.
Let’s read again 2 Corinthians 6
beginning with verse 17, here is Paul’s counsel to new covenant Christians
today, “17 ‘Wherefore come out from among them, and be ye separate,’ saith
the Lord, ‘and touch not the unclean thing; and I will receive you. 18
And will be a Father unto you, and ye shall be my sons and daughters,’ saith
the Lord Almighty. 1 Having therefore…” chapter 7 verse 1, “…Having therefore these promises, dearly
beloved, let us cleanse ourselves from all filthiness of the flesh and spirit,
perfecting holiness in the fear of God.”
Perfecting holiness in the fear of
God. If God is willing to dwell in us, He really is willing to dwell in us and
that makes us holy. Should we not be motivated to accept this gift of
perfection and holiness? Should not our hearts’ desire be to be cleansed from
all defilement so that there is no barrier inward or outward?
Mari kita baca
lagi 2 Korintus 6 mulai dengan ayat 17. Di sini nasihat Paulus kepada orang
Kristen Perjanjian Baru hari ini. “17 ‘Sebab itu keluarlah kamu dari antara mereka, dan pisahkanlah
dirimu dari mereka,’ firman Tuhan, ‘dan janganlah menjamah apa yang najis, maka
Aku akan menerima kamu. 18 Dan Aku akan menjadi Bapamu, dan kamu
akan menjadi anak-anak-Ku laki-laki dan anak-anak-Ku perempuan’, demikianlah
firman Tuhan Yang Mahakuasa. 1 Karena kita sekarang memiliki…” pasal 7 ayat 1, “…Karena kita sekarang
memiliki janji-janji itu, Saudara-saudaraku yang terkasih, marilah kita
menyucikan diri kita dari semua pencemaran jasmani dan rohani, menyempurnakan
kekudusan kita dalam takut akan Allah.”
Menyempurnakan
kekudusan dalam takut akan Allah. Jika Allah bersedia tinggal di dalam kita,
Dia sungguh-sungguh bersedia tinggal di dalam kita dan menjadikan kita kudus.
Tidakkah seharusnya kita termotivasi untuk menerima karunia kesempurnaan dan
kekudusan ini? Tidakkah kerinduan hati kita ialah dibersihkan dari segala
pencemaran sehingga tidak lagi ada pembatas baik di dalam maupun di luar?
Again from Andrew Murray.
“Beloved,
having these promises, let us perfect holiness. Lord, make me as perfectly holy
as a redeemed sinner can be on earth. I desire this day to come as near to
perfection as grace can make it possible for me. Some have said that they have
seen perfectionism slay its thousands. All must admit that imperfectionism has slain
its tens of thousands. No one is perfect, imperfection cannot be so dangerous.”
And guess what, that is just permeating
our beloved church today and we are being destroyed by it inch by inch.
One warning though, one warning! “True
perfection will never act superior to others…” I know more than you do, I’m doing God’s will better than you’re
doing, “…because
we will always be conscious of what we do not know yet about ourselves and
God’s will and how much still needs to be perfected in us, we’ll not be looking
at others while we are looking at us, at our own heart.” You know the greatest beauty of perfection is humility, that’s
the greatest beauty that perfection can offer us is a humble heart.
Dari Andrew Murray lagi.
“Kekasih, dengan memiliki janji-janji ini,
marilah kita menyempurnakan kekudusan. Tuhan, jadikan aku kudus, sesempurna
yang bisa dicapai seorang pendosa yang telah ditebus di dunia ini. Aku rindu
hari ini untuk datang sedekat mungkin kepada kesempurnaan yang bisa menjadi
milikku oleh kasih karunia. Ada yang berkata bahwa mereka telah melihat kesempurnaan
membunuh ribuan. Semua harus mengakui bahwa ketidaksempurnaan telah membunuh berpuluh-puluh
ribu. Karena tidak ada yang sempurna, maka tidak sempurna itu tidaklah terlalu
berbahaya.”
Tahukah kalian,
tepat konsep itulah yang sedang menembus masuk ke dalam gereja tercinta kita
sekarang dan kita sedang dihancurkan olehnya sedikit demi sedikit?
Namun, ada satu
peringatan, satu peringatan! “Kesempurnaan sejati tidak akan
bersikap lebih besar daripada orang lain…” aku
tahu lebih banyak daripada kamu, aku melakukan kehendak Allah lebih baik
daripada apa yang kamu lakukan, “… karena kita akan selalu
menyadari, masih ada yang belum kita
ketahui tentang diri kita sendiri dan apa kehendak Allah, dan masih seberapa
banyak yang harus disempurnakan dalam diri kita. Kita tidak akan melihat ke
orang-orang lain sementara kita melihat ke diri kita sendiri, melihat ke hati
kita sendiri.”
Kalian tahu,
keindahan terbesar dari menjdi sempurna ialah kerendahan hati, itulah keindahan
terbesar yang bisa ditawarkan kesempurnaan kepada kita, sebuah hati yang
merendah.
One more text and then we are done.
Hebrews
5:8-9, this is talking about Christ. “ 8 Though He were a Son,
yet learned He obedience by the things which He suffered; 9 And
being made perfect…” made
perfect? “…He became the author of eternal salvation unto all them that
obey Him…” If Christ was made perfect by learning how to obey, that’s what the
text says, and it’s using the fourth definition of perfection, obviously the result. If Christ was made
perfect by learning how to obey, then shouldn’t we want the same
experience? Can we learn to obey? Can we
do it? Yes, Christ was always sinless, yet He needed to be perfected, mature,
fully mature. His perfected obedience is then given to us. He gives us that
gift, we
can have His mind and His attitude. Are we willing to be perfected in
obedience?
So Paul urges us, “Let us go on to perfection” as the title of my message this
afternoon is directly what Paul said, “Let us go on to perfection”.
Do we believe that the God that perfected Christ will
perfect us in the same way?
Satu bacaan lagi lalu kita selesai.
Ibrani 5:8-9, ini berbicara tentang Kristus. “8 Dan sekali pun Ia adalah
Anak, namun Ia telah belajar taat dari apa
yang telah diderita-Nya, 9 dan sesudah Ia dijadikan sempurna…” dijadikan
sempurna? “…Ia
menjadi sumber keselamatan yang abadi bagi
semua orang yang taat kepada-Nya…”
Jika Kristus dijadikan sempurna dengan belajar mematuhi ~ itu kata
ayat ini, dan yang dipakai adalah definisi keempat dari kesempurnaan, yaitu
jelas kesempurnaan sebagai hasil akhirnya ~ jika Kristus dijadikan sempurna
dengan belajar mematuhi, tidakkah kita seharusnya mau pengalaman yang sama?
Bisakah kita belajar mematuhi? Bisakah kita melakukannya? Ya. Kristus tidak
pernah berdosa, namun Dia perlu disempurnakan, menjadi matang, matang sempurna.
KepatuhanNya yang disempurnakan
kemudian dikaruniakan kepada kita. Dia memberikan pemberian itu
kepada kita. Kita bisa memiliki
pikiranNya dan sikapNya. Bersediakah kita dijadikan sempurna dalam kepatuhan?
Jadi Paulus mendorong kita,
“Marilah kita maju terus menuju kesempurnaan” [Ibrani 6:1] itulah judul pekabaran saya sore ini,
seperti yang langsung dikatakan Paulus, “Marilah kita maju terus menuju
kesempurnaan.”
Apakah kita meyakini bahwa Allah yang telah
menyempurnakan Kristus akan menyempurnakan kita dengan cara yang sama?
Statement again from Ellen White, this is Testimonies Vol. 5 pg, 214-216, “Not all who profess to keep the Sabbath will be sealed…” that’s a warning. “…Not
one of us will ever receive the seal of God while our characters have one spot
or stain upon them. It is left with us to remedy the defects in our characters,
to cleanse the soul-temple of every defilement. No one needs say that his case
is hopeless that he cannot live the life of a Christian. Ample provision is
made by the death of Christ for every soul. Jesus is our ever-present help in
time of need. Only call upon Him in faith and He has promised to hear and
answer your petitions. It is now that we must keep ourselves and our children
unspotted from the world. It is now that we must overcome pride, passion, and
spiritual slothfulness. Those who are distrustful of self, who are humbling
themselves before God and purifying their souls by obeying the truth, these are
receiving the heavenly mold and preparing for the seal of God in their
foreheads.”
Pernyataan dari Ellen White lagi, ini Testimonies Vol. 5 hal. 214-216.
“Tidak semua yang mengaku memelihara hari Sabat akan dimeteraikan…” ini suatu
peringatan. “…Tidak satu pun dari antara kita akan pernah menerima meterai
Allah selagi masih ada satu noda atau cela pada tabiat kita. Tanggung jawab
kitalah untuk memperbaiki cacat dalam tabiat kita, untuk membersihkan Bait Suci
jiwa dari segala cemar. Tidak ada yang perlu berkata bahwa kasusnya tidak ada
harapan, bahwa dia tidak bisa menghidupkan kehidupan seorang Kristen.
Persediaan cukup telah dibuat oleh kematian Kristus bagi setiap jiwa. Yesus
selalu adalah penolong kita pada waktu dibutuhkan. Hanya dengan berseru padaNya
dalam iman, maka Dia telah berjanji untuk mendengar dan menjawab permohonanmu.
Sekarang inilah saatnya kita harus menjaga diri kita dan anak-anak kita agar
tidak tercemar dunia. Sekarang inilah kita harus mengalahkan kebanggaan, nafsu,
dan kemalasan spiritual. Mereka yang menyangsikan diri sendiri, yang
merendahkan diri di hadapan Allah, dan memurnikan jiwa mereka dengan mematuhi
kebenaran, mereka inilah yang sedang dibentuk menurut cetakan surgawi dan
dipersiapkan untuk menerima meterai Allah di dahi mereka.”
Now, what’s the purpose of all this purifying, what’s the
purpose of all this sealing? The Christian church has the assignment, the remnant
church has the assignment to vindicate the character of God. It’s not about our
salvation. It’s not about our hope of heaven. It’s about whether or not God’s
character can be vindicated, and it can’t be vindicated by disobedience.
It can’t be vindicated by sinning and repenting and sinning and repenting and
sinning and repenting until Jesus comes. It can be only vindicated as Jesus did
when He was on this earth by total
obedience to God.
Sekarang, apa tujuan semua pemurnian ini? Apa
tujuan pemeteraian itu? Gereja Kristen mempunyai tugas, gereja umat yang sisa
memiliki tugas untuk membersihkan reputasi karakter Allah. Ini bukan mengenai
keselamatan kita. Ini bukan mengenai harapan kita untuk bisa ke Surga. Ini
mengenai apakah karakter Allah
bisa atau tidak bisa dibersihkan dari semua tuduhan. Dan itu tidak bisa dibersihkan dengan
ketidakpatuhan kita. Itu tidak bisa dibersihkan dengan berdosa
lalu bertobat, berdosa lalu bertobat, berdosa lalu bertobat hingga kedatangan
Yesus. Karakter Allah hanya bisa dibersihkan dari segela tuduhan sebagaimana
yang dilakukan Yesus ketika hidup di dunia ini, yaitu melalui kepatuhan penuh
kepada Allah.
Can God be trusted? That’s the question. Can His word
produce the results it promises? Can we draw on the same power that Jesus drew
on when He was here on this earth? Will the power in the Gospel really restore
men and women to the character of Christ? Does it have that power? Did God
place an impossible burden upon His people when He said “Be perfect”? Did He ask too much when He said there would
be a people who would keep the Commandments of God? Is that just too much to
ask of any human being?
The main issue in the Great Controversy has always been
who’s telling the truth, God or Satan. Who has the blueprint for happiness. Who
do we trust? And when the last words are said, the universe will have all the
evidence it needs by looking at God’s last generation people on this earth after
the close of probation, invulnerable to the attempts of Satan to get them to
sin ever again for the rest of eternity.
Bisakah Allah dipercaya? Itulah pertanyaannya.
Bisakah FirmanNya menelurkan hasil yang dijanjikannya? Bisakah kita menyerap
dari kuasa yang sama yang diserap Yesus ketika Dia hidup di dunia ini? Akankah
kuasa dalam Injil benar-benar memulihkan manusia ke karakter Kristus? Apakah
memang FirmanNya memiliki kuasa itu? Apakah Tuhan telah menempatkan beban yang
mustahil pada umatNya ketika Dia berkata “Jadilah sempurna”? Apakah Tuhan
menuntut terlalu banyak ketika Dia berkata nanti akan ada umat yang memelihara
Perintah-Perintah Allah? Apakah itu tuntutan yang terlalu berat bagi manusia
siapa pun?
Isu utama dalam Pertentangan Besar selalu ialah
tentang siapa yang jujur, Allah atau Setan. Siapa yang memiliki cetak biru
kebahagiaan? Siapa yang kita percayai? Dan pada akhirnya, alam semesta akan
memiliki semua bukti yang dibutuhkannya dengan melihat umat Allah generasi terakhir di bumi ini setelah
ditutupnya pintu kasihan, yang untuk selama-lamanya akan kokoh tak mempan
terhadap usaha-usaha Setan membujuk
mereka berbuat dosa lagi.
Andrew Murray: “Believer, have you longed for this? Oh, claim it, claim it now.
I desire to serve You with a perfect heart. I thank You, oh, My Father, for the
blessed prospects your Word holds out of being perfected in love here on earth.
To Him be the glory. Amen.”
And I say, what else can we say? The promises are there. A
pastor of a century ago looked in his Bible and he found this. Can we find it
in our Bible today and can we live it, and plead for it?
Andrew Murray: “Umat
percaya, apakah kalian merindukan ini? Oh, ambillah sikap ini sekarang: aku
rindu melayani Engkau dengan hati yang sempurna. Aku berterimakasih kepadaMu,
ya, Bapaku, atas harapan-harapan yang indah yang disampaikan FirmanMu tentang
penyempurnaan dalam kasih di bumi di sini. KepadaNya-lah segala kemuliaan.
Amin.”
Dan saya katakan, apa lagi yang bisa saya
tambahkan? Janji-janji sudah ada di sana. Seorang pendeta dari satu abad yang
lalu, mencari dalam Alkitabnya dan dia menemukan ini. Bisakah kita mencarinya
dalam Alkitab kita sekarang, dan bisakah kita menghidupkannya, dan memohon
untuk mendapatkannya?
I’m going to ask as far as possible that we kneel together
and make a commitment to God to be that people that will vindicate His name.
Father in heaven, we come to you as very weak Christians.
We have tried but we have found out that we cannot carry out what we want to
do. We have lived in Roman 7, Lord, we want out of it. We want to find that
peace, that happiness, that assurance that comes because Your Holy Spirit is
controlling, has rewired our brain circuits, has changed us from the moment of
our new birth to growing us up every day so that we can become helpful in
vindicating Your name.
Lord, it is not about us that we ask this miracle. It is
about the ending of Satan’s rule on this planet. We are asking for this mighty
demonstration of Your power in obedience, because we want no more time under
Satan’s rule, and we realize that’s the only way out.
There is coming a close of probation. There is coming a
seal of God. There is coming a time in which all the evidence must be on the
table and all the universe will decide once and for all who is lying and who is
telling the truth. And Lord, may our commitment be for You not for Satan ever
again.
I just pray this for our hearts that we will make a
decided commitment that we will not be among those who are extending the great
controversy by our carelessness, by our false Gospel, by our sleepiness. But we
will be among those who are sealable, right now today by Your Holy Spirit. We
want to go home, Lord, we want this to be an end of this plan that Satan has
devised of sinning and repenting and sinning and repenting and sinning over and
over again on the same thing. Lord, make
us what we cannot be by ourselves. Make us holy and make us perfect.
I pray in Jesus’ name. Amen.
Saya ingin minta sebisanya kita bertelut
bersama-sama dan membuat suatu komitmen kepada Allah, agar kita bisa menjadi
umat yang membela nama baikNya.
Bapa di Surga, kami datang kepadaMu sebagai orang-orang
Kristen yang sangat lemah. Kami sudah berusaha tetapi kami dapati kami tidak
bisa melaksanakan apa yang ingin kami lakukan. Kami telah hidup di kondisi Roma
pasal 7. Tuhan, kami mau terbebas dari sana. Kami mau menemukan damai itu,
kebahagiaan itu, jaminan yang diperoleh karena Roh Kudus-Mu yang mengendalikan,
yang telah mengubah jalan pikiran otak kami, mengubah kami dari saat kelahiran
baru kami, hingga pertumbuhan kami setiap hari, agar kami bisa membantu membela
namaMu.
Tuhan, kami mohon mujizat ini bukan karena kami.
Ini demi mengakhiri kekuasaan Setan di planet ini. Kami mohon mendapat demonstrasi besar dari kuasaMu dalam penurutan kami, karena kami tidak
ingin lagi berada di bawah pemerintahan Setan, dan kami sadar bahwa inilah
satu-satunya jalan keluarnya.
Ke depan akan ada penutupan pintu kasihan. Akan ada
pemeteraian Allah. Akan ada saat di mana semua bukti harus diletakkan di atas
meja dan seluruh alam semesta akan menentukan untuk selama-lamanya siapa yang
berbohong dan siapa yang berkata sebenarnya. Dan Tuhan, semoga komitmen kami
ada padaMu dan bukan pada Setan lagi.
Saya berdoa ini untuk hati kami, agar kami mau
membuat komitmen yang tegas bahwa kami tidak akan ada di antara mereka yang
memperpanjang pertentangan besar itu melalui kecerobohan kami, injil palsu
kami, kantuk kami. Tetapi kami akan berada di antara mereka yang layak
dimeteraikan, sekarang juga hari ini, oleh Roh Kudus-Mu. Kami mau pulang,
Tuhan. Kami mau ini menjadi akhir dari rancangan yang diciptakan Setan yaitu berbuat
dosa dan bertobat, berbuat dosa dan bertobat, berbuat dosa berulang-ulang untuk
hal yang sama. Tuhan, jadikan kami apa yang tidak bisa kami jadikan diri kami
sendiri. Jadikan kami kudus dan jadikan kami sempurna.
Saya berdoa dalam nama Yesus. Amin.
Well, I thank you for your attention to two areas in which
I am convicted that we really, really need to take a second look: Absolute surrender
and growing to perfection.
Nah, saya ucapkan terima kasih
untuk perhatian kalian ke kedua hal yang saya yakini harus kita periksa kembali
dengan sungguh-sungguh, yaitu: penyerahan mutlak dan bertumbuh menuju
kesempurnaan.
08 08 2018
No comments:
Post a Comment