Monday, November 6, 2023

EPISODE 09/32 ~ THE FINAL GENERATION ~ THE LAST PIECE OF THE PUZZLE ~ DENNIS PRIEBE

 

THE FINAL GENERATION SYMPOSIUM

Part 09/32 – Dennis Priebe

THE LAST PIECE OF THE PUZZLE

https://www.youtube.com/watch?v=kGX_eR9Vv3Q&list=PLIWJyuxBfZ7i2O8wOtdyuCvOndkH4jq9L&index=9&t=2s

 

Dibuka dengan doa

 

Do you know what life is really like for those who eliminate God from their worldview and then stop to think about their future?

A philosopher at Oxford had been a member of the British parliament, an author well-known, by his own admission life was great. One slight problem.  “In the middle of it all, I  was overwhelmed almost literally so by a sense of mortality. The realization hit me like a demolition crane, that I was inevitably going to die. Death, my death, the literal destruction of me, was totally inevitable and had been so from the instant of my conception. Nothing that I could ever do now or at any other time could make any difference to that, nor could it ever have done so at any moment of my life. In the eye of eternity a human lifespan is barely a flicker. Death will be upon us before we know where we are, and once we are dead it will be forever. What can anything I do mean or matter to me when I have gone down into complete nothingness, for the rest of eternity? What can it matter to anyone else either, when they too are eternally nothing? If the void is the permanent destination of all of us, all value and all significance are merely pretended for the purpose of carrying on our little human game, like children dressing up.” He wrote very eloquently about his struggle with meaninglessness, the realization that no matter what he did or what he would do would mean anything, when he'd gone down into complete nothingness for the rest of eternity; whether he married or not, whether he had books to sell, whether he was a member of parliament, what could it mean? What is the difference? He said,  “It could therefore make no difference when I died and would have made no difference if I had never been born. That I was in any event to be for all eternity what I would have been, if I never had been born; that there was no meaning in any of it; no point in any of it; and that in the end everything was nothing.”

He wrote a book called “Confessions of a Philosopher” and he wrote that after all these years of seeking and thinking. “I am as baffled now by the larger metaphysical questions of my existence as I was when I was a child, indeed more so, because my understanding of the depths and difficulties of the questions themselves is now so much greater.”

 

Tahukah kalian hidup sesungguhnya itu seperti apa bagi mereka yang telah mengeliminasi Allah dari konsep Penciptaan dunia di filosofi kehidupan mereka, kemudian mereka berhenti memikirkan masa depan mereka?

Seorang filsuf di Oxford, yang pernah menjadi anggota parlemen Inggris, seorang penulis yang terkenal, mengaku sendiri bahwa hidupnya nyaman. Hanya ada satu masalah kecil. “Di tengah-tengah semuanya itu, secara literal aku merasa nyaris tenggelam oleh makna mortalitas. Kesadaran itu menghantam aku seperti sebuah kendaraan derek penghancur, bahwa tidak bisa dielakkan aku akan mati. Kematian, kematianku, pemusnahan diriku secara literal, sama sekali tidak terelakkan, dan memang sejak dari saat pembuahanku itu tidak bisa dielakkan. Tidak ada apa pun yang bisa aku lakukan sekarang atau kapan pun yang mungkin bisa mengubah hal itu, dan apa pun yang aku lakukan pada tahap mana pun dari hidupku juga tidak mungkin bisa mengubahnya. Di mata kekekalan, waktu hidup seorang manusia hanyalah sekejap. Kematian akan datang kepada kita sebelum kita sadar di mana kita berada, dan begitu kita mati, itu untuk selamanya. Apalah makna atau gunanya dari apa pun yang bisa aku lakukan untuk diriku pada waktu aku sudah tenggelam dalam ketiadaan yang total untuk selama-lamanya? Apalah artinya itu bagi orang lain juga, ketika mereka juga tidak ada selamanya? Jika kehampaan adalah tujuan permanen kita semua, segala nilai dan segala makna semata-mata hanyalah suatu kepura-puraan demi tujuan melanjutkan permainan kecil kemanusiaan kita, seperti anak-anak berdandan.”  Dia menulis dengan sangat fasih tentang pergumulannya dengan ketidakberartian, kesadaran bahwa tidak perduli apa pun yang telah dilakukannya atau yang akan dilakukannya, itu tidak ada artinya bila dia telah tenggelam dalam ketiadaan yang total untuk selama-lamanya, entah dia menikah atau tidak, entah dia punya buku untuk dijual atau tidak, entah dia anggota parlemen, apalah artinya itu? Apa bedanya? Dia berkata, “Oleh karena itu, hal itu tidak membuat perbedaan apa pun bila aku mati, dan tidak membuat perbedaan apa pun seandainya aku tidak pernah dilahirkan. Bahwa bagaimana pun juga aku adalah apa yang seharusnya aku jadi untuk selama-lamanya andai aku tidak pernah dilahirkan; bahwa tidak ada maknanya dalam semua itu, tidak ada tujuannya dalam semua itu, dan pada akhirnya segala sesuatu itu hampa.”

Dia menulis sebuah buku berjudul “Confessions of a Philosopher” (Pengakuan Seorang Filsuf) dan dia menulis bahwa setelah bertahun-tahun mencari dan berpikir,  “Aku sama bingungnya sekarang dengan pertanyaan-pertanyaan metafisik yang lebih luas tentang keberadaanku seperti saat aku masih seorang anak kecil, bahkan malah lebih bingung  sekarang, karena pemahamanku tentang dalamnya dan sulitnya  pertanyaan-pertanyaan itu sendiri, sekarang jauh lebih besar.”

 

 

Now many try to ignore this reality by not thinking about it, just going through life. But without God that's the only reality there is. Unless you can answer the problem of death, you cannot answer the problem of life. Death is the great neutralizer, the destroyer.

 

Nah, banyak yang berusaha untuk mengacuhkan realita ini dengan tidak memikirkannya, hanya menjalani kehidupan. Tetapi tanpa Allah, itulah satu-satunya realita yang ada. Kecuali kita bisa menjawab masalah kematian, kita tidak bisa menjawab masalah kehidupan. Kematian adalah penetralisir yang hebat, si pembinasa.

 

 

Clifford Goldstein wrote a piece in the Adventist Review.  “Last year, in front of students at a secular college in California I spoke about the existence of God. I said, ‘You know, when I was about the age of most of you, and not believing in God, when something convicted me every now and then that maybe God did exist, I always pushed the notion out of my mind. Why? Because something told me that if indeed God did exist, then considering how I was living, I was in deep trouble.’” He says, “The mood shifted instantly, dozens of consciences in sync started grinding against themselves. It was almost as if the temperature in the room rose from the friction behind all those suddenly uncomfortable faces. And you know even for those who don't want to think about it, every now and then conscience comes alive, and we're forced to think even if just for a moment.”

 

Clifford Goldstein menulis di Adventist Review,   “…Tahun lalu, di hadapan para mahasiswa di sebuah perguruan sekuler di California, saya bicara tentang eksistensi Allah. Saya berkata, ‘Kalian tahu, ketika saya berusia sekitar kebanyakan dari kalian, dan tidak percaya pada Allah, bilamana dari waktu ke waktu sesuatu meyakinkan saya bahwa mungkin Allah itu ada, saya selalu mendorong gagasan itu keluar dari pikiran saya. Mengapa? Karena ada yang mengatakan kepada saya bahwa jika Allah benar-benar ada, maka melihat bagaimana saya hidup, saya dalam masalah besar…”  Dia berkata,  “…Suasana langsung berubah, beberapa lusin hati nurani secara sinkron mulai bergumul di antara mereka sendiri. Hampir seakan-akan suhu di dalam ruangan itu naik akibat gesekan di balik semua wajah yang mendadak tampak tidak nyaman. Dan kalian tahu, bahkan bagi mereka yang tidak mau memikirkan hal itu, dari waktu ke waktu hati nurani menjadi hidup, dan kita dipaksa untuk berpikir walaupun hanya untuk sejenak.”

 

 

An atheist said this. “I want atheism to be true, and if made uneasy by the fact that some of the most intelligent and well-informed people I know are religious believers. It isn't just that I don't believe in God and naturally hope that I’m right in my belief, it's that I hope there is no God. I don't want there to be a God. I don't want the universe to be like that.” And I thought that was an amazingly honest admission. Because you see, if God exists then it comes with moral implications. If God exists, then there is a transcendent moral power that we will have to come face to face with, and most people sense they're not quite right ready to do that.

 

Seorang atheis berkata demikian,    “…Saya ingin konsep atheisme itu benar, dan itu dibuat tidak mudah oleh fakta bahwa beberapa dari orang-orang yang paling inteligen dan berpengetahuan yang saya kenal, adalah orang-orang beriman yang relijius. Bukan hanya karena saya tidak mempercayai Allah, dan dengan demikian berharap bahwa apa yang saya yakini itu benar, tetapi saya berharap tidak ada Allah. Saya tidak mau ada Allah. Saya tidak mau alam semesta yang seperti itu…” Dan menurut saya itu adalah suatu pengakuan mengagumkan yang jujur. Karena kalian lihat, jika Allah eksis, maka itu disertai adanya implikasi-implikasi moral. Jika Allah eksis, maka ada suatu kekuasaan moral yang transenden (lebih tinggi di atas manusia) yang akan harus kita hadapi, dan kebanyakan orang merasa mereka masih belum siap untuk melakukan itu.

 

 

You know the real reason, the real reason that Evolution has become so popular in our world today, it offers a temporary escape from a nagging conscience. And Paul wrote about such people. It's in the book of Romans. If you happen to be listening to this at home and want to take a look in your Bible and follow along, I recommend that you do. Romans 1:20- 22, 20 For the invisible things of Him from the creation of the world are clearly seen, being understood by the things that are made, even His eternal power and Godhead; so that they are without excuse: 21 Because that, when they knew God, they glorified Him not as God, neither were thankful; but became vain in their imaginations, and their foolish heart was darkened. 22 Professing themselves to be wise, they became fools.”

 

Tahukah kalian, alasan yang sesungguhnya, alasan yang sesungguhnya Evolusi menjadi begitu populer di dunia kita sekarang, ialah karena Evolusi memberikan pelarian sementara dari hati nurani yang mengganggu. Dan Paulus menulis tentang orang-orang demikian. Ada di kitab Roma. Jika kalian sedang mendengarkan ini di rumah dan mau melihat di Alkitab kalian dan mengikutinya, saya rekomen kalian lakukan itu. Roma 1:20-22.20 Sebab apa-apa yang tidak nampak dariNya saat penciptaan dunia, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahianNya, jelas terlihat, bisa dipahami melalui apa-apa yang diciptakan, sehingga mereka (manusia yang tidak percaya) tidak punya alasan (untuk tidak percaya) 21 Karena itu, ketika mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah, maupun bersyukur; melainkan menjadi sombong dalam imajinasi mereka,  dan hati mereka yang bodoh menjadi gelap. 22 Dengan menganggap mereka sendiri berhikmat, mereka menjadi orang-orang bodoh.”

 

 

So are you thankful today? Are you thankful that you don't have to write or speak what I have just read? Are you thankful that we have a reasonable and logical solution to the apparent meaninglessness of life? And that answer is found in the book of Romans also. In Romans  8:1-2. 1 There is therefore now no condemnation to them which are in Christ Jesus, who walk not after the flesh, but after the Spirit. 2 For the law of the Spirit of life in Christ Jesus hath made me free from the law of sin and death.”

The answer:  I am covered by the righteousness of Christ, the only righteousness that can take away my deep-seated guilt.

Because we know a guilty conscience when it simmers within us, and that guilt should drive us to Him, it should drive us to the foot of the cross and kneel before our crucified Savior and claim His grace as our only hope.

 

Jadi, apakah kalian bersyukur hari ini? Apakah kalian bersyukur kalian tidak harus menulis atau berbicara seperti apa yang baru saya bacakan? Apakah kalian bersyukur bahwa kita punya solusi yang masuk akal dan logis untuk ketidakberartian hidup? Dan jawaban itu ditemukan di kitab Roma juga. Di Roma 8:1-2. 1 Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus yang tidak hidup menurut daging melainkan menurut Roh. 2 Karena hukum Roh yang memberi hidup dalam Kristus telah memerdekakan aku dari hukum dosa dan maut.”

Jawabannya: Aku telah ditutupi oleh kebenaran Kristus, satu-satunya kebenaran yang bisa mengangkat pergi rasa bersalahku yang mendalam.

Karena kita tahu ketika perasaan bersalah muncul di dalam kita, perasaan itu seharusnya membawa kita kepada Dia, itu seharusnya membawa kita ke kaki salib dan berlutut di hadapan Juruselamat kita yang tersalib dan mengklaim anugerahNya sebagai satu-satunya harapan kita.

 

 

And so this evening I want to spend a little time reflecting on the One who gives us hope when things seem hopeless, who provides the way out from meaninglessness. And I think we can only marvel at what we know about our faith. The Creator, the most exalted Being in all of the universe, the One greater than the universe, became the lowest of the low, and died the sinner's death, in order that no sinner should have to die that death. The One who is equal with God, the One who is God, the One who is the highest and most exalted  Being in all creation, becomes at the cross the lowest of the low, and a curse for us, in order that we will never have to face that curse ourselves.

 

Maka malam ini saya mau minta sedikit waktu untuk merefleksi pada Dia yang memberi kita harapan ketika tampaknya seakan-akan tidak ada harapan, Dia yang menyediakan jalan keluar dari ketidakberartian. Dan menurut saya, kita hanya bisa mengagumi apa yang kita ketahui dari iman kita. Sang Pencipta, Sosok yang paling ditinggikan di seluruh alam semesta, Dia yang lebih besar daripada alam semesta, menjadi yang paling rendah dari yang rendah, dan menjalani kematian orang berdosa, supaya tidak usah ada orang berdosa yang harus menjalani kematian tersebut. Dia yang sejajar dengan Allah, Dia yang adalah Allah, Dia yang Sosok tertinggi dan paling ditinggikan, di salib menjadi yang paling rendah dari yang rendah, dan kutuk bagi kita, agar kita tidak usah menghadapi kutukan itu sendiri.

 

 

Let's look briefly at Philippians chapter 2, which is one of the most marvelous passages in all the Bible about our Savior Jesus Christ.

Philippians chapter 2 beginning with verse 6. 6 Who, being in the form of God, thought it not robbery to be equal with God: 7 But made Himself of no reputation, and took upon Him the form of a servant, and was made in the likeness of men: 8 And being found in fashion as a man, He humbled himself, and became obedient unto death, even the death of the cross….” and that cross was not an ordinary death, it was not a martyr's death, it was a totally different experience.

 

Mari kita lihat sejenak Filipi pasal 2, yang adalah salah satu dari bacaan di Alkitab yang paling luar biasa tentang Juruselamat kita, Yesus Kristus.

Filipi pasal 2 dimulai dari ayat 6, 6  yang dalam bentuk Allah tidak berpikir untuk memegang erat kedudukan itu untuk menjadi setara dengan Allah. 7 melainkan telah menjadikan Diri-Nya Sendiri bukan apa-apa, mengambil bentuk seorang hamba, dan datang dalam keserupaan manusia. 8 Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan Diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan kematian di kayu salib…” dan salib itu bukanlah sebuah kematian biasa, itu bukan sebuah kematian martir, itu adalah pengalaman yang sama sekali berbeda.

 

 

Ellen White wrote this in Desire of Ages page 25-26, “…in Christ we become more closely united to God than if we had never fallen. In taking our nature, the Saviour has bound Himself to humanity by a tie that is never to be broken. Through the eternal ages He is linked with us… God has adopted human nature in the person of His Son, and has carried the same into the highest heaven.  It is theSon of Man’ who shares the throne of the universe.”    

Not only did Christ take our humanity but He keeps that humanity forever. Humanity in the Person of Christ will share the throne of God for all eternity.

Numerous times while He was here in the flesh He referred to Himself as the Son of Man again linking Himself with His ties to the human family. You see, He had to become human, He had to take upon Himself our humanity in order to be both our Substitute and our Example.

 

Ellen White menulis ini di Desire of Ages hal. 25-26,  “…Di dalam Kristus kita menjadi lebih dekat dipersatukan kepada Allah daripada seandainya kita tidak pernah jatuh dalam dosa. Dengan mengambil kodrat kita, Sang Juruselamat telah mengikat DiriNya kepada kemanusiaan dengan suatu ikatan yang tidak pernah akan putus. Sepanjang masa kekekalan Dia terkait kepada kita… Allah telah mengambil kodrat alami manusia dalam pribadi AnakNya, dan telah membawa itu ke surga yang tertinggi. ‘Anak Manusia’-lah yang berbagi takhta alam semesta…”

Kristus bukan hanya mengambil kemanusiaan kita, tetapi Dia mempertahankan kemanusiaan itu untuk selamanya. Kemanusiaan dalam Pribadi Kristus akan berbagi takhta Allah untuk selama-lamanya.

Berkali-kali selagi Dia ada di dunia sebagai Manusia, Dia menyebut DiriNya sebagai Anak Manusia, lagi-lagi mengaitkan DiriNya dengan ikatanNya kepada keluarga manusia. Kalian lihat, Kristus harus menjadi manusia, Dia harus mengambil kemanusiaan kita pada DiriNya sendiri, untuk menjadi baik Pengganti kita maupun Teladan kita.   

 

 

A text which we want to read right now is in the book of Hebrews. Hebrews chapter 2 describing this One who took our place. Hebrews chapter 2 beginning with verse 14 and continuing through verse 18. 14 Forasmuch then as the children are partakers of flesh and blood, He also Himself likewise…”  is Paul trying to make a point there? “…He also Himself likewise took part of the same; that through death He might destroy him that had the power of death, that is, the devil; 15 And deliver them who through fear of death were all their lifetime subject to bondage. 16 For verily He took not on Him the nature of angels; but He took on Him the seed of Abraham. 17 Wherefore in all things it behoved Him to be made like unto His brethren, that He might be a merciful and faithful high priest in things pertaining to God, to make reconciliation for the sins of the people. 18 For in that, He Himself hath suffered being tempted, He is able to succor…” or help  “…them that are tempted.”

Not only did Jesus take upon Himself human nature, He needs that nature if He will be a merciful and faithful high priest in heaven. The humanity of Christ is the bond by which He has linked Himself with the human family which lasts long after this earth has finished its course and that's a link that is crucial to His work as our high priest in the sanctuary.

 

Ayat-ayat yang mau kita baca sekarang ini ada di kitab Ibrani. Ibrani pasal 2 menggambarkan Dia yang menggantikan kita. Ibrani pasal 2 mulai dari ayat 14 dan lanjut hingga ayat 18,  “…14 Oleh sebab itu sebagaimana anak-anak itu adalah anak-anak dari daging dan darah, maka Ia Sendiri juga…”  apakah Paulus berusaha menekankan sesuatu di sini? “…Ia Sendiri  juga mengambil bagian dalam hal yang sama; agar melalui kematian-Nya Ia bisa memusnahkan dia yang berkuasa atas maut,  yaitu Iblis. 15 dan membebaskan mereka yang karena takutnya kepada maut,  seumur hidupnya berada di bawah belenggu. 16 Sebab sesungguhnya, Dia tidak mengambil kodrat malaikat-malaikat bagi DiriNya sendiri, melainkan Dia mengambil bagi DiriNya sendiri (kodrat) benih Abraham (= manusia). 17      Itulah sebabnya, dalam segala hal Ia cocok dijadikan sama seperti saudara-saudara-Nya supaya Ia  bisa menjadi Imam Besar yang menaruh belas kasihan dan yang setia dalam segala hal yang berkaitan dengan Allah, untuk membuat pendamaian bagi dosa-dosa umat. 18 Sebab sebagaimana Ia sendiri telah menderita karena dicobai, maka Ia dapat menolong mereka yang dicobai…”  Bukan saja Yesus mengambil untuk DiriNya sendiri kodrat manusia, Dia perlu kodrat tersebut jika Dia mau menjadi imam besar yang maha murah dan setia di Surga. Kemanusiaan Kristus adalah ikatan dengan mana Dia telah mengaitkan DiriNya dengan keluarga manusia yang akan tetap ada lama setelah dunia ini mengakhiri masanya; dan itu adalah ikatan yang krusial untuk pekerjaanNya sebagai imam besar kita di Bait Suci.

 

 

One more text 1 Timothy 2:5, 5 For there is one God, and one mediator between God and men, the man Christ Jesus.”   Notice the phrasing is very specific:  “the man Christ Jesus”. Of course Jesus is divine, but He retains the humanity that He took upon Himself when He was first born into this world, and this humanity will never leave Him. The Bible gives us powerful reasons to believe that Jesus is forever to retain His human nature, the nature that He took with Him to heaven after His work on earth was done.

And these words of Ellen White become even more powerful, from Great Controversy page 674 writing about the end of sin, “One reminder…”  one reminder “…alone remains: Our Redeemer will  ever bear the marks of His crucifixion. Upon His wounded  head, upon His  side, His  hands and  feet, are the only traces of the cruel work that sin has wrought. …  And the  tokens of His humiliation are  His highest honor; through the  eternal ages the wounds of Calvary will show forth  His praise and declare  His power.”

 

Satu ayat lagi, 1 Timotius 2:5, 5 Karena Allah itu satu, dan Pengantara itu satu antara Allah dan manusia, yaitu Manusia Kristus Yesus…”  Simak frasenya sangat spesifik:   “…Manusia Kristus Yesus…” Tentu saja Yesus itu Ilahi, tetapi Dia mempertahankan kemanusiaan yang dipakaiNya ketika Dia pertama dilahirkan ke dunia ini, dan kemanusiaan ini tidak akan pernah meninggalkanNya. Alkitab memberi kita alasan-alasan kuat untuk meyakini bahwa Yesus selamanya mempertahankan kodrat kemanusiaanNya, kodrat yang dibawaNya serta ke Surga setelah pekerjaanNya di dunia selesai.

Dan kata-kata Ellen White ini menjadi lebih berbobot, dari Great Controversy hal. 674, menulis tentang berakhirnya dosa, “…Ada satu peninggalan…”  satu peninggalan “…Ada satu peninggalan yang tersisa: Penebus kita akan selamanya memiliki bekas-bekas penyalibanNya. Di atas kepalaNya yang terluka, di sisi tubuhNya, di tangan dan kakiNya, adalah satu-satunya bekas kekejaman yang dikerjakan dosa. … Dan tanda-tanda penghinaanNya adalah kehormatanNya yang tertinggi, sepanjang masa kekekalan luka-luka Kalvari akan menunjukkan pujian bagiNya dan menyatakan kuasaNya.”

 

 

Now let's take a little time right now to look back at His incarnation and ask the question, what is this humanity that He took mean for us? We struggle, we struggle with our emotions, we struggle with failure, we struggle with discouragement, and strong pulls to our lower nature; but Jesus, does He really understand what I am going through on a day-by-day basis? How much like me was He really? So we're going to look at some Bible texts right now that are pretty interesting about our Savior and His similarity to us.

 

Nah mari kita ambil sedikit waktu untuk melihat kembali pada inkarnasiNya dan mengajukan pertanyaan, kemanusiaan yang telah diambilNya ini, apakah artinya itu bagi kita? Kita bergumul, kita bergumul dengan emosi kita, kita bergumul dengan kegagalan kita, kita bergumul dengan kekecewaan, dan tarikan-tarikan kuat dari kodrat rendah kita; tetapi Yesus ini, apakah Dia sungguh-sungguh mengerti apa yang kita alami dari kehidupan hari ke hari? Sebenarnya seberapa samanyakah Dia dengan kita? Jadi kita akan melihat beberapa ayat Alkitab sekarang yang cukup menarik mengenai Juruselamat kita dan persamaanNya dengan kita.

 

 

The first one is Mark chapter 3 and the first six verses. Mark chapter 3 beginning with verse 1. 1 And He entered again into the synagogue; and there was a man there which had a withered hand. 2 And they watched Him, whether He would heal him on the sabbath day; that they might accuse Him. 3 And He saith unto the man which had the withered hand, ‘Stand forth.’ 4 And He saith unto them, ‘Is it lawful to do good on the sabbath days, or to do evil? to save life, or to kill?’ But they held their peace. 5 And when He had looked round about on them with anger, being grieved for the hardness of their hearts, He saith unto the man, ‘Stretch forth thine hand.’ And he stretched it out: and his hand was restored whole as the other. 6 And the Pharisees went forth, and straightway took counsel with the Herodians against Him, how they might destroy Him.”

Now let's be very clear. This is not a temper tantrum when He is viewing with them with anger. This is legitimate anger that His Father's name is being dishonored, and His grief for their willful blindness and their murderous hatred.

 

Yang pertama ialah Markus pasal 3, enam ayat yang pertama. Markus pasal 3 dimulai dari ayat 1. “…1 Kemudian Yesus masuk lagi ke rumah ibadat. Di situ ada seorang yang lumpuh sebelah tangannya. 2 Dan  mereka mengamat-amati Yesus, kalau-kalau Ia akan menyembuhkan orang itu pada hari Sabat, supaya mereka bisa menuduh Dia. 3 Dan  Yesus berkata kepada orang yang lumpuh sebelah tangannya itu: ‘Majulah kemari!’ 4 Dan kata-Nya kepada mereka, ‘Apakah sesuai Hukum berbuat baik pada hari Sabat atau berbuat jahat? menyelamatkan nyawa atau membunuh?’ Tetapi mereka diam saja. 5 Dan setelah Ia memandang berkeliling mereka dengan geram, karena berduka dengan kekerasan hati mereka, Ia berkata kepada orang itu, ‘Ulurkanlah tanganmu!’ Dan orang itu mengulurkannya, dan tangannya pun dipulihkan sembuh sama seperti tangannya yang lain. 6 Dan keluarlah orang-orang Farisi dan segera bersekongkol dengan orang-orang Herodian terhadap Dia, bagaimana mereka bisa membunuhNya. 

Nah, kita harus sangat paham. Ini bukanlah marah-marah emosional ketika Yesus memandang mereka dengan geram. Ini adalah amarah yang dibenarkan Hukum, karena nama BapaNya sedang dihina, dan karena dukacitanya atas kebutaan mereka yang disengaja dan kebencian mereka dengan niat membunuh.

 

 

Let's try another one. This is just a few pages back, Matthew 26:37-38. This is at Gethsemane. 37 And He took with Him Peter and the two sons of Zebedee, and began to be sorrowful and very heavy. 38 Then saith He unto them, ‘My soul is exceeding sorrowful, even unto death: tarry ye here, and watch with Me.’…”

And I thought of a very interesting statement in the old Spirit of Prophecy volumes, Vol. 3 page 94. “…they (the disciples) had frequently seen Him depressed.” So being discouraged, not seeing things that you would like to have seen, discouraged Christ.

 

Mari kita coba yang lain. Ini hanya mundur beberapa halaman, Matius 26:37-38. Ini di Getsemane. 37 Dan Ia membawa Petrus dan kedua anak Zebedeus serta-Nya dan mulailah Ia merasa sedih dan sangat berat. 38 Lalu kataNya kepada mereka, ‘Hati-Ku sangat sedih, bahkan sampai mati. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan Aku.’…” 

Dan terpikirkan oleh saya suatu pernyataan yang sangat menarik di jilid-jilid lama Spirit of Prophecy, Vol. 3 hal. 94,   “…mereka (para murid) sudah sering melihat Dia depresi…”  Jadi, patah semangat, tidak melihat kondisi seperti yang ingin kita lihat, itu membuat semangat Kristus jatuh.

 

 

Then there's John, John chapter 13. We're asking the question, how much like us was He in His daily functioning? John 13:21, 21 When Jesus had thus said, He was troubled in spirit, and testified, and said, ‘Verily, verily, I say unto you, that one of you shall betray Me.’…”

Now that word that He was ταράσσω [tarassō] “troubled in spirit” is the same emotion the disciples felt when they saw Jesus walking toward them on the water and they didn't know who He was. It's the same emotion that Herod felt when the wise men asked about a newborn king. The word means “anxiety” or “uncertainty” or “fear”. Jesus  did not know what the future had in store except as the Father revealed bits and pieces to Him.

Kemudian ada Yohanes, Yohanes pasal 13. Kita mengajukan pertanyaan, seberapa miripkah Yesus dengan kita dalam kehidupanNya sehari-hari? Yohanes 13:21,21 Setelah Yesus berkata demikian, hatiNya merasa berat, dan bersaksi, dan berkata, ‘Sesungguhnya Aku berkata kepadamu, seorang di antara kamu akan mengkhianati Aku.’ …” 

Nah, kata ταράσσω [tarassō] itu bahwa Dia hatiNya merasa berat  adalah emosi yang sama yang dirasakan para murid ketika mereka melihat Yesus berjalan ke arah mereka di atas air dan mereka tidak tahu siapa Dia. Itu adalah emosi yang sama yang dirasakan Herodes ketika orang-orang majus bertanya tentang Raja yang baru lahir. Kata tersebut berarti “khawatir”, atau “ketidakpastian” atau “rasa takut”. Yesus tidak tahu apa yang ada di depanNya kecuali potongan-potongan kecil yang dinyatakan Bapa kepadaNya.     

 

 

I’m going to read short sentences from the writings of Ellen White. I’ll not comment on them, I just want you to hear them.

ü   “He had all the strength of passion of humanity” ~  In Heavenly Places 155.

ü   “He blessed children that were possessed of passions like His own” ~ Signs of the Times April 19, 1896.

ü   “the Son of God wrestled with the very same fierce apparently overwhelming temptations that assail men” ~  Selected Messages Vol. 1 page 95.

ü   “He knows how strong are the inclinations of the natural heart”  ~  Testimonies Vol. 5,  177.

ü   “He knows by experience what are the weaknesses of humanity and where lies the strength of our temptations” ~  Ministry of Healing 71.

ü   In a letter she wrote to her 18 year old nephew, she said,

“Jesus once stood in age just where you now stand. He is acquainted with your temptations, His mind like yours, could be harassed and perplexed. You have not a difficulty that did not press with equal weight upon Him. His feelings could be hurt with neglect, with indifference of professed friends as easily as yours.” ~  Our High Calling 57-59

Does that sound like someone who really experienced the way we live and the uncertainties, and the fears?

 

Saya akan membacakan kalimat-kalimat singkat dari tulisan-tulisan Ellen White. Saya tidak akan mengomentari mereka, saya hanya ingin kalian mendengarkan mereka.

ü   “Dia memiliki seluruh kekuatan nafsu kemanusiaan” ~ In Heavenly Places hal. 155.

ü   “Dia memberkati anak-anak yang dikuasai oleh nafsu-nafsu seperti milikNya” ~ Signs of the Times, 19 Apri 1896.

ü   “Anak Allah bergumul dengan godaan-godaan yang sama hebatnya yang ternyata menguasai dan menyerang manusia” ~ Selected Messages Vol. 1 hal. 95.

ü   “Dia tahu betapa kuatnya kecenderungan-kecenderungan hati yang alami” ~ Testimonies Vol. 5 hal. 177.

ü  “Dia tahu dari pengalaman apa kelemahan-kelemahan kemanusiaan dan di mana letak kekuatan godaan-godaan kita.” ~ Ministry of Healing hal. 71.

ü   Di sebuah surat yang ditulis Ellen White kepada kemenakannya yang berusia 18 tahun, dia berkata,

“Yesus pernah berada pada usia yang sama dengan usiamu sekarang. Dia kenal godaan-godaanmu. PikiranNya, seperti pikiranmu, bisa digoda dan dibuat bingung. Kamu tidak memiliki kesukaran yang tidak menekan dengan bobot yang sama padaNya. PerasaanNya bisa terluka karena diabaikan, karena diacuhkan oleh yang mengaku sebagai teman-teman sama seperti perasaanmu.” ~ Our High Calling hal. 57-59.

Apakah itu terdengar seperti seseorang yang sungguh-sungguh telah mengalami cara hidup kita, ketidakpastiannya, dan rasa takutnya?

 

 

Let's go back to Hebrews. Hebrews 4:15-16. 15 For we have not an high priest which cannot be touched with the feeling of our infirmities; but was in all points tempted like as we are, yet without sin. 16 Let us therefore come boldly unto the throne of grace, that we may obtain mercy, and find grace to help in time of need.”

That's the real issue. Do we realize how fully human Jesus was, how well He knows our struggles? Therefore we can come boldly to the throne of grace, because we can talk to Him about anything. He has been there before us, and He understands our struggles. He knows what we're going through.

 

Mari kita kembali ke Ibrani. Ibrani 4:15-16,   “…15 Sebab kita bukan punya seorang imam besar yang tidak dapat disentuh oleh perasaan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya dalam segala hal telah dicobai sama dengan kita, namun tidak berbuat dosa. 16 Sebab itu marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih karunia, supaya kita boleh menerima rahmat dan menemukan kasih karunia untuk membantu pada waktu dibutuhkan…” 

Itulah isu yang sesungguhnya. Apakah kita menyadari betapa Yesus itu sepenuhnya manusia, betapa akrabnya Dia mengenal pergumulan-pergumulan kita? Oleh karena itu kita bisa datang dengan berani ke takhta kasih karunia, karena kita bisa bicara kepadaNya tentang apa saja. Dia sudah pernah mengalaminya sebelum kita, dan Dia mengerti pergumulan-pergumulan kita. Dia tahu apa yang sedang kita alami.

 

 

Now after 33 years of this ongoing daily experience Christ comes to the most difficult moment of His entire eternal existence. We read about it back in the book of Matthew. Let's go back there, Matthew 26:39. In Gethsemane 39 And He went a little farther, and fell on His face, and prayed, saying, ‘O My Father, if it be possible, let this cup pass from Me: nevertheless not as I will, but as Thou wilt.”  What's the meaning of this prayer that Jesus is praying to His heavenly Father, that He prays three times? What cup is He deathly afraid of? What is happening here that is totally different than anything else He has ever experienced in His life?

In Testimonies Vol. 2 page 214, “Some have limited views of the atonement.   They think that Christ suffered only a small portion of the penalty of the law of God; they suppose that, while the wrath of God was felt by His dear Son, He had, through all His painful sufferings, the evidence of His Fathers love and acceptance;  that the portals of the tomb before Him were illuminated  with bright hope, and that He had the abiding evidence of His future glory.  Here is a great mistake….” 

 

 

Sekarang setelah 33 tahun menjalani pengalaman ini setiap hari, Kristus tiba pada momen yang paling sulit dalam seluruh hidupNya yang kekal. Kita baca tentang ini di kitab Matius. Mari kita kembali ke sana, Matius 26:39. Di Getsemane,   “…39 Dan Ia berjalan sedikit lebih jauh, lalu sujud dengan wajahNya sampai ke tanah dan berdoa, kata-Nya: ‘Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lewat dari Aku, namun demikian janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki.’…”  Apa makna doa ini yang dipanjatkan Yesus kepada Bapa surgawiNya, yang dipanjatkanNya sampai tiga kali? Cawan apakah yang begitu ditakutiNya? Apa yang terjadi di sini yang sama sekali berbeda daripada apa pun yang pernah dialamiNya dalam hidupNya?

Di Testimonies Vol. 2 hal. 214, “…Ada mereka yang punya pandangan yang terbatas tentang penebusan. Mereka pikir Kristus hanya menderita sebagian kecil hukuman dari Hukum Allah; mereka menganggap bahwa sementara murka Allah dirasakan oleh Anak yang dikasihiNya, sepanjang penderitaanNya Dia menerima bukti akan kasih dan penerimaan BapaNya, bahwa gerbang kubur di hadapanNya diterangi oleh harapan yang cerah, dan bahwa Dia telah mendapatkan bukti yang tetap akan kemuliaanNya yang akan datang. Ini adalah kesalahan yang besar.”

 

 

You see the ultimate fate of the lost as we all know is the second death. And what is the second death? It's really not about burning, there is something much more terrifying, the horror of the second death is the all-consuming realization that they are about to cease to exist, their suffering includes agonizing unrelenting thoughts of how their sins have brought them to this place, they are consumed with intolerable feelings of unrelenting desolation knowing they are lost forever and can do nothing to stop their destruction. There is no one who can come to their aid, to stop the carrying out of the sentence. They know they are going to die alone, and cease to exist forever. This unimaginable price was the price paid for our salvation, my friends.

 

Kalian lihat, pada akhirnya nasib mereka yang tidak selamat seperti yang sudah kita ketahui ialah mengalami kematian kedua. Dan kematian kedua itu apa? Itu sesungguhnya bukan tentang pembakaran, tapi ada sesuatu yang jauh lebih mengerikan. Kengerian kematian kedua ialah kesadaran mutlak bahwa mereka akan lenyap dari eksistensi, penderitaan mereka termasuk merasakan pikiran-pikiran yang menyiksa tidak henti-hentinya mengenai bagaimana dosa-dosa mereka telah membawa mereka ke tempat ini, mereka tak henti-hentinya dikonsumsi oleh perasaan akan dilelantarkan yang tak tertahankan, menyadari bahwa mereka selamanya tidak selamat dan tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikan pemusnahan diri mereka sendiri. Tidak ada seorang pun yang bisa datang memberi bantuan kepada mereka, untuk menghentikan eksekusi vonis ini. Mereka tahu mereka akan mati sendirian, dan akan lenyap dari eksistensi selamanya. Harga yang tidak bisa dibayangkan inilah yang dibayar Juruselamat bagi keselamatan kita, teman-teman.

 

 

The most incredible paragraph I think I have ever read in the book Desire of Ages is page 753. While He's on the cross, “The Savior could not see through the portals of the tomb.  Hope did not present to Him His coming forth from the grave  a conqueror,  or tell Him of His Father's acceptance of the sacrifice. He feared that sin was so offensive to God that Their separation was to be eternal. Christ felt the anguish which the sinner will feel when mercy shall no longer plead for the guilty race. It was the sense of sin, bringing the Father's wrath upon Him as man’s substitute, that made the cup He drank so bitter and broke the heart of the Son of God… The withdrawal of the divine countenance from the  Savior in this hour of supreme anguish pierced His heart with a sorrow that can never…” never  “…be fully understood by man. So great was this agony that His physical pain was hardly felt.”

Now this is death by crucifixion one of the most painful deaths ever devised, and He hardly felt it. Something dramatic is happening here.

 

Paragraf yang paling luar biasa menurut saya, yang pernah saya baca di buku Desire of Ages ialah hal. 753. Selagi Dia tergantung di salib,  “…Sang Juruselamat tidak bisa melihat melampaui gerbang kubur. Harapan tidak menampakkan kepadaNya kebangkitanNya dari kubur sebagai seorang pemenang, atau menyampaikan kepadaNya bahwa BapaNya berkenan menerima kurban itu. Dia takut dosa itu begitu menjijikkan bagi Allah sehingga perpisahan Mereka bersifat kekal. Kristus merasakan penderitaan yang akan dirasakan orang berdosa ketika tidak ada lagi belas kasihan yang memohon bagi umat yang berdosa. Keberadaan dosalah yang mendatangkan murka Bapa ke atas DiriNya sebagai pengganti manusia, yang membuat cawan yang diminumnya begitu pahit dan menghancurkan hati Anak Allah…   Dipalingkannya wajah Ilahi dari Sang Juruselamat di saat puncak ketakutanNya, menikam hatiNya dengan kesedihan yang tidak pernah…”  tidak pernah    “…bisa dipahami seluruhnya oleh manusia. Begitu besar kesengsaraanNya sehingga sakit fisikNya nyaris tidak terasa.

Nah, ini adalah mati disalibkan, salah satu kematian yang paling menyiksa yang pernah diciptakan dan Kristus nyaris tidak merasakannya. Sesuatu yang dramatis sedang terjadi di sini.

 

 

Let's go back to Matthew 27:46, 46 And about the ninth hour Jesus cried with a loud voice, saying, ‘Eli, Eli, lama sabachthani?’ that is to say, My God, My God, why hast Thou forsaken Me?”

Ellen White comments in Signs of the Times August 14, 1879, “Doubts…” key word,  “Doubts rent His soul in regard to His oneness with the Father.”  Doubts about whether He was totally in the hands of His Father doing His Father's will. This is the Son of God, the Son of Man questioning if He will ever see His Father again, His anxiety, His uncertainty, is real because He is going through the experience of the second death. He is dying the quality of the second death, in which all hope is gone. My brothers and sisters, our Savior chose death even eternal death over life without us. Christ loved us enough to die forever if that was necessary. This is the cup He was afraid to drink.

 

Mari kita kembali ke Matius 27:46, 46 Dan pada kira-kira jam kesembilan berserulah Yesus dengan suara nyaring, ‘Eli, Eli, lama sabakhtani?’ artinya, ‘Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?’…”

Ellen White membuat komentar di Signs of the Times 14 Agustus 1879, “…Keragu-raguan…” kata kunci, “…Keragu-raguan tentang kesatuanNya dengan Bapa, mencabik-cabik nyawaNya…” Keragu-raguan apakah Dia seluruhnya dalam tangan BapaNya melakukan kehendak BapaNya. Ini adalah Anak Allah, Anak Manusia mempertanyakan apakah Dia akan pernah melihat BapaNya lagi, kekhawatiranNya, ketidakpastianNya, itu nyata karena Dia sedang menjalani pengalaman kematian kedua. Dia sedang mengalami kualitas kematian kedua, di mana semua harapan sirna. Saudara-saudara, Juruselamat kita memilih mati, yaitu kematian kekal daripada hidup tanpa kita. Kristus cukup mencintai kita untuk mati selama-lamanya, jika itu perlu. Inilah cawan yang Dia takut minum.

 

 

There's another aspect that is not really fully appreciated. Where was the Father during all this experience? What was happening there?

From Manuscript Releases Vol. 12 page 407,  “In the darkest hour, when Christ was enduring the greatest suffering that Satan could bring to torture His humanity, His Father hid from Him His face of love, comfort, and pity. In this trial His heart broke.

 

Ada aspek yang lain yang tidak sepenuhnya dihargai. Di manakah Sang Bapa selama pengalaman ini? Apa yang terjadi di sana?

Dari Manuscript Releases Vol. 12 hal. 407,    “…Di saat yang paling gelap, ketika Kristus sedang mengalami penderitaan yang paling hebat yang bisa dibawa Setan untuk menyiksa kemanusiaanNya, BapaNya menyembunyikan wajahNya dari Dia, wajah kasihNya, penghiburan dan belas kasihan. Dalan ujian ini hatiNya hancur.

 

 

You see during those afternoon hours, the Father was there, He was right at His Son's side but because of the covenant They had made in eternity past, the Father must hide His presence from Jesus during His suffering. He must not reach out to Jesus for the salvation of the human race was dependent on the Father's control at that moment. The Father must  exert infinite Godly restraint to control His infinite Godly desire to reach His arms out to help His frightened suffering and dying Son. Jesus must have no awareness of the Father's presence nor the eternal bond of love that had been between Them for all eternity because Jesus was dying the quality of the second death in which there is no hope. The divine love of the Father for you and me restrained the overwhelming impulse of the Father to reach out and hold Jesus in His arms and assure Him that He was with Him during this time. But God couldn't. He wouldn't, because all of us would have been lost. What pain the infinite heart of the Father must have endured watching His beloved innocent Son feel that He had been abandoned and left alone. How the Father withheld His divine embrace, I think will be the study of the redeemed for all eternity.

 

Kalian lihat, selama jam-jam siang itu, Bapa ada di sana, Dia ada di samping AnakNya, tetapi karena adanya Perjanjian yang telah Mereka buat di masa kekekalan lampau, Sang Bapa harus menyembunyikan kehadiranNya dari Yesus selama masa penderitaanNya. Dia tidak boleh menghubungi Yesus karena keselamatan bangsa manusia tergantung pada bagaimana Sang Bapa mengendalikan DiriNya pada saat itu. Sang Bapa harus mengerahkan seluruh pengendalian IlahiNya yang tidak terbatas untuk mengontrol kerinduan Ilahinya yang tidak terbatas untuk mengulurkan tanganNya membantu AnakNya yang ketakutan, menderita, dan sedang sekarat. Yesus tidak boleh punya kesadaran akan kehadiran Sang Bapa maupun ikatan kasih yang abadi yang pernah ada di antara Mereka sepanjang masa kekekalan karena Yesus sedang menjalani kualitas kematian kedua di mana tidak ada harapan. Kasih ilahi Sang Bapa bagi kalian dan saya menahan dorongan yang besar dari Sang Bapa untuk meraih dan memeluk Yesus dalam lenganNya dan meyakinkan Dia bahwa BapaNya ada bersamaNya selama waktu itu, tetapi Allah tidak bisa, Dia tidak mau, karena andai begitu kita semua akan mati. Betapa pedihnya yang dirasakan hati Ilahi Sang Bapa melihat AnakNya yang tidak berdosa, yang terkasih, merasa bahwa Dia telah ditelantarkan dan ditinggalkan sendiri. Bagaimana Sang Bapa menahan diri untuk tidak memberikan pelukan ilahiNya, menurut saya, akan menjadi bahan pelajaran umat tebusan selama kekekalan.

 

 

We sometimes forget that the atonement is the suffering of the Godhead. The Father, the Son, and the Holy Spirit were purchasing our redemption. There was only one time in all eternity that there was a sundering  of the Godhead, only once was the everlasting bond between Them severed, only once was One of the eternal Trio forced to experience the total abandonment and separation from the others, a separation that literally broke the heart of the Son of God.

 

Terkadang kita lupa bahwa penebusan adalah penderitan Keallahan. Sang Bapa, Anak, dan Roh Kudus yang membayar penebusan kita. Hanya ada satu kali sepanjang masa kekekalan di mana terjadi perpecahan dalam Keallahan, hanya satu kali ikatan kekal Mereka terputus, hanya satu kali, Satu dari Trio Surgawi terpaksa mengalami penelantaran total dan perpisahan dari Yang Lain, perpisahan yang secara literal menghancurkan hati Anak Allah.

 

 

From Manuscript 93,  1899, “It was necessary for the awful darkness to gather about His soul because of the withdrawal of the Father's love and favor; for He was standing in the sinner's place and this darkness every sinner must experience. … the heart of God yearned with greatest sorrow when His Son, the Guiltless, was suffering the penalty of sin. This sundering of the divine powers will never again occur throughout the eternal ages.” (7BC 924.2)

 

Dari Manuscript 93, 1899,   “…Kegelapan yang mengerikan memang harus mengelilingi DiriNya karena telah ditariknya kasih dan perkenan Sang Bapa; sebab Dia sedang berdiri di tempat orang-orang berdosa, dan kekelaman ini harus dialami oleh setiap orang berdosa. …  hati Allah rindu dengan kepedihan yang hebat ketika AnakNya, Yang tidak berdosa, menjalani penderitaan hukuman dosa. Pecahnya kekuatan ilahi ini tidak akan pernah terjadi lagi sepanjang masa kekekalan. (7BC 924.2) 

 

 

And remember throughout this entire experience Jesus had choices to make. He did not save Himself even when He feared He might be lost forever. He knew He could call out, “Enough! Let the sinful race perish!”  and every angel in heaven would come to His rescue. Remember, this is God our Creator, there was never a time when He did not exist. But if Jesus had come down from the cross and saved Himself, the human race would have been lost.

And of course as He hung on the cross, Satan continued to tempt Him, hurling at Him discouraging thoughts such as, there are so few will accept Your death, why bother? It's not worth all the suffering, no one cares, You are wasting away Your life and Your death for people who don't even care about You at all, they are an unthankful race of evil people, let them perish, give up, come down from the cross and save Yourself.

The emotional pain that the Son of God endured

ü    from the sense of His Father's frown,

ü    from the filthiness and shame of the sins of the world that had been laid upon  His shoulders,

ü    from the anguish of a soul in the absence of mercy,

ü    and being unable to sense His Father's presence,

this is what broke the heart of the Son of God literally, and completely.

 

Dan ingatlah, sepanjang pengalamanNya itu Yesus harus membuat pilihan. Dia tidak menyelamatkan DiriNya sendiri walaupun Dia khawatir Dia bisa selamanya binasa. Dia tahu Dia bisa berseru, “Cukup! Biarkan bangsa yang berdosa ini binasa!” dan setiap malaikat di Surga akan datang melepaskanNya. Ingat ini adalah Allah Pencipta kita, tidak pernah ada waktu di mana Dia tidak eksis. Tetapi andaikan Yesus turun dari salib dan menyelamatkan DiriNya sendiri, bangsa manusia akan selamanya binasa.

Dan tentu saja selagi Dia tergantung di atas salib, Setan terus mencobaiNya, melemparkan pikiran-pikiran yang mengecilkan hati seperti, hanya sedikit yang mau menerima kematianMu, ngapain repot-repot? Itu tidak sepadan dengan semua penderitaan ini, tidak ada yang peduli, Engkau membuang-buang hidupMu dan kematianMu bagi manusia-manusia yang bahkan tidak peduli padaMu sama sekali, mereka adalah bangsa jahat yang tidak tahu berterimakasih, biarkan saja mereka mati, menyerahlah, turunlah dari salib dan selamatkan DiriMu.

Penderitaan emosional yang dirasakan Anak Allah

ü    dari merasa tidak diperkenan BapaNya,

ü    dari kejijikan dan aib dosa-dosa sedunia yang telah diletakkan di atas bahuNya,

ü    dari kegalauan hatiNya di mana tidak ada pengampunan,

ü    dan ketidaksanggupanNya merasakan kehadiran BapaNya,

itulah yang telah sepenuhnya menghancurkan hati Anak Allah secara literal.

 

 

Very simply Jesus chose death over life without us. He didn't want to be God if we couldn't be with Him. God chose not to exist forever if that is what it would take, so we could live forever. Do you see why the trial of the cross was the greatest victory this universe has ever witnessed or ever will? Jesus’ death was the death of faith, and its victory. Throughout the darkest hours of His existence on the cross, Jesus had to rely on His previous knowledge of His relationship with His Father, and this is what sustained Him as He endured the sense of God's disapproval and separation.

 

Sederhana sekali, Yesus memilih mati daripada hidup tanpa kita. Dia tidak mau menjadi Allah jika kita tidak bisa berada bersamaNya. Allah memilih untuk tidak eksis selamanya jika itulah yang diperlukan supaya kita boleh hidup selamanya. Apakah kalian melihat mengapa ujian salib adalah kemenangan terbesar yang pernah atau akan disaksikan oleh alam semesta ini? Kematian Yesus adalah kematian oleh iman, dan kemenangannya. Sepanjang jam-jam yang paling kelam dari eksistensiNya di atas salib, Yesus harus bergantung pada pengetahuanNya sebelumnya akan hubunganNya dengan BapaNya, dan inilah yang membuatNya bertahan sementara Dia menanggung perasaan ditolak Allah dan perpisahannya.

 

 

I am so glad that Desire of Ages 753 was followed three pages later by Desire of Ages page 756. “…Amid the awful darkness, apparently forsaken of God, Christ had drained the last dregs in the cup of human woe. In those dreadful hours He had relied upon the evidence of His Father’s acceptance heretofore given Him. He was acquainted with the character of His Father. He understood His justice, His mercy, and His great love. By faith He rested in Him whom it had ever been His joy to obey. . And as in submission He committed Himself to God, the sense of the loss of His Father’s favor was withdrawn. By faith, Christ was victor.…”

I am so glad that the Father let Him have that final assurance that He had won, and the victory was His.

 

Saya sangat bersyukur Desire of Ages hal. 753 diikuti tiga halaman kemudian oleh Desire of Ages hal.756. “…Di tengah kegelapan yang mengerikan, jelas-jelas telah ditinggalkan Allah, Kristus meneguk tetes terakhir dari cawan yang berisikan celaka bagi manusia. Di saat-saat yang sangat berat itu Dia bersandar pada bukti perkenan BapaNya yang telah diberikan kepadaNya sampai saat itu. Dia kenal tabiat BapaNya Dia mengerti keadilanNya, kemurahanNya, dan kasihNya yang besar. Dengan iman, Dia bersandar pada Sang Bapa yang selalu Dia patuhi dengan penuh sukacita. Dan sebagai tanda kepatuhanNya, Dia menyerahkan Dirinya kepada Tuhan, maka memudarlah perasaan bahwa Dia telah kehilangan perkenan BapaNya. Dengan mengandalkan iman, Kristus menjadi pemenang…”

Saya sangat bersyukur Sang Bapa mengizinkan Kristus mendapatkan kepastian akhir bahwa Dia telah menang, dan kemenangan adalah milikNya.

 

 

One more aspect needs to be considered right now. Let's go to the book of Revelation. How can we bring this experience down to our time, and make sense of it. Revelation 15:2. 2 And I saw as it were a sea of glass mingled with fire: and them that had gotten the victory over the beast, and over his image, and over his mark, and over the number of his name, stand on the sea of glass, having the harps of God. 3 And they sing the song of Moses the servant of God, and the song of the Lamb…” What's this song? The song of Moses and the Lamb. Well, let's find out what Moses has to do with this. We go all the way back to the book of Exodus and we're going to look at chapter 32, Exodus 32:10, God says, 10 Now therefore let Me alone, that My wrath may wax hot against them, and that I may consume them: and I will make of thee (Moses) a great nation.” So God threatens to destroy Israel and start over again with Moses. Let's get this right, let's do better.  And Moses pleads with God not to give the heathen nations around them a chance to ridicule the God who delivers His people from captivity only to get tired of them and just wipe them out of existence in the desert. And so the rest of the story you find in verse 31 and 32,31 And Moses returned unto the LORD, and said, ‘Oh, this people have sinned a great sin, and have made them gods of gold. 32 Yet now, if Thou wilt forgive their sin--…” and he can't continue anymore  “…and if not, blot me, I pray Thee, out of Thy book which Thou hast written.’…”

 

Satu aspek lagi perlu kita pertimbangkan sekarang. Mari kita ke kitab Wahyu. Bagaimana kita bisa membawa pengalaman ini turun ke zaman kita, dan memahaminya. Wahyu 15:2,  “…2 Dan aku melihat sesuatu bagaikan lautan kaca bercampur api, dan mereka yang telah mendapat kemenangan atas Binatang itu, dan atas patungnya, dan atas tandanya, dan atas bilangan namanya, berdiri di atas laut kaca,  membawa kecapi Allah. 3Dan mereka menyanyikan nyanyian Musa,  hamba Allah, dan nyanyian  Sang  Domba, …”  Lagu apa ini? Nyanyian Musa dan Sang Domba. Nah, mari kita cari tahu apa kaitannya Musa dengan ini. Kita mundur jauh ke kitab Keluaran dan kita akan melihat pasal 32, Keluaran 32:10, Allah berkata, “…10 Jadi sekarang biarkanlah Aku, supaya murka-Ku boleh menyala panas terhadap mereka, dan agar Aku boleh melahap mereka, dan Aku akan membuat engkau (Musa) bangsa yang besar…” Jadi Allah mengancam untuk membinasakan Israel dan mulai lembaran baru dengan Musa. Ayo kali ini kita buat yang benar, ayo kita buat yang lebih baik. Dan Musa memohon kepada Allah agar tidak memberikan bangsa-bangsa kafir di sekitar mereka kesempatan untuk mengolok-olok Allah yang telah menyelamatkan umatNya dari perbudakan hanya untuk menjadi kesal pada mereka dan menghapus mereka dari eksistensi di padang gurun. Maka sisa kisahnya kalian bisa baca di ayat 31-32,   “…31 Lalu kembalilah Musa menghadap TUHAN dan berkata: ‘O, bangsa ini telah berbuat dosa besar, mereka telah membuat allah-allah emas bagi mereka. 32 Namun demikian, jika Engkau mau mengampuni dosa mereka…”  dan Musa tidak bisa melanjutkan kalimatnya,   “…dan jika tidak, aku mohon, hapuskanlah kiranya namaku dari dalam kitab yang telah Kautulis.’…”

 

 

Moses ~  believe it or not ~  is asking for eternal death, if God's character is discredited and His plan ruined.  So Moses and Christ share one thing in common: eternal death is preferable to the failure of God's plan of redemption.

The song of Moses and the Lamb for the last generation, the remnant. What is important to them is not their eternal life, their hope of heaven but the vindication of God's character and the success of the plan of salvation. Do you see how this changes everything? And I mean everything in our religious experience.

 

Musa ~ percaya atau tidak ~ minta kematian kekal jika karakter Allah didiskredit dan rencanaNya gagal. Jadi Musa dan Kristus punya satu hal yang sama: kematian kekal itu lebih baik daripada gagalnya rencana penyelamatan Allah.

Nyanyian Musa dan Sang Domba bagi generasi terakhir, umat yang sisa. Apa yang penting bagi mereka bukanlah hidup kekal mereka, harapan mereka akan Surga, melainkan pembelaan karakter Allah dan keberhasilan rencana keselamatan. Apakah kalian melihat bagaimana ini mengubah segalanya? Dan saya maksud, segalanya dalam pengalaman relijius kita.

 

 

Our reason for being Seventh-Day Adventists is to complete God's plan of redemption to vindicate His name and His character by disproving Satan's last accusation against God. And what is that?

Active sinners with fallen natures cannot possibly obey God 100% of the time, that's his last accusation. The gospel simply doesn't have that kind of power.

 

Alasan kita menjadi MAHK ialah menyelesaikan rencana penyelamatan Allah untuk memberikan pembelaan kepada nama dan karakterNya dengan membuktikan betapa tidak benarnya tuduhan Setan terhadap Allah. Tuduhan apa?

Para pendosa aktif dengan sifat alami yang jahat tidak mungkin mematuhi Allah 100% sepanjang waktu, itulah tuduhannya yang terakhir. Injil semata-mata tidak memiliki kuasa untuk itu.

 

 

So our motivation for resisting temptation and overcoming sin is not, is not our hope for heaven or our fear of hell. We are not making daily decisions and asking questions about what is right or wrong, because of our desire to be saved. Our motivation for being the remnant and keeping God's Commandments is to be the last piece in the picture puzzle of God's plan of redemption, the final argument in the courtroom drama that has been going on for 6’000 years, proving finally and forever that Satan is lying, and his way doesn't work.

 

Jadi motivasi kita untuk menolak godaan dan mengalahkan dosa bukanlah, bukanlah harapan kita untuk sampai ke Surga atau ketakutan kita akan neraka. Kita tidak membuat keputusan setiap hari dan bertanya tentang apa yang benar atau salah karena keinginan kita untuk diselamatkan. Motivasi kita sebagai umat yang sisa dan memelihara Perintah-perintah Allah ialah menjadi keping pamungkas dalam gambaran puzzle rancangan penyelamatan Allah, perdebatan terakhir dalam drama pengadilan yang telah berlangsung selama 6’000 tahun, membuktikan pada akhirnya untuk selama-lamanya bahwa Setan itu berbohong, dan caranya tidak berfungsi.

 

 

Our decisions about what is right and what is wrong, both individually and corporately as a church, are not based on what is allowable, because of God's mercy and our hardness of hearts; but what will prove God right and Satan wrong, that's all that matters to us. No longer will we ask what we can do and still be saved. Our only desire will be to vindicate God's name. We will abandon forever looking for the minimum necessary to be saved, we now want to know and do whatever will honor God. That's all that matters.

 

Keputusan-keputusan yang kita buat mengenai apa yang benar dan apa yang salah, baik secara pribadi maupun secara korporasi sebagai jemaat, tidak didasarkan pada apa yang masih diizinkan karena kemurahan Allah dan kekerasan hati kita; melainkan pada apa yang akan membuktikan bahwa Allah yang benar dan Setan yang salah, itulah yang penting bagi kita. Kita tidak lagi bertanya apa yang boleh kita lakukan dan masih boleh selamat. Keinginan kita satu-satunya hanyalah untuk membela nama Allah. Kita akan selamanya meninggalkan kebiasaan mencari yang paling minimum yang dibutuhkan supaya bisa selamat, kita sekarang mau tahu dan melakukan apa pun yang memuliakan Allah. Itulah yang penting.

 

 

After the close of probation we're going to have a lot of fear and anxiety, but it will not be a fear that we're going to be lost. We will fear that we are misrepresenting God in some way, that's the fear that we'll have as Jesus had. When we come to the point, my friends, that we would rather be blotted out of the book of life and go into eternal non-existence than to tarnish the name of God in any way, then we will learn the song of Moses and the Lamb, a song which no other generation has ever been asked to learn, and no other generation will ever learn, the song of the 144’000 who follow the Lamb exclusively with no more forays into Satan's land either knowingly or believe it or not unknowingly.

 

Setelah tutupnya pintu kasihan kita akan punya banyak rasa takut dan kekhawatiran tetapi itu bukanlah takut bahwa kita akan binasa. Kita akan takut dalam hal apakah kita telah salah merepresentasikan Allah, itulah ketakutan yang akan kita miliki, seperti yang dimiliki Yesus.  Teman-teman, bilamana kita sudah tiba di titik di mana kita lebih baik memilih untuk dihapus namanya dari kitab kehidupan dan untuk selamanya lenyap dari eksistensi daripada untuk mencemarkan nama Allah dengan cara apa pun, maka pada waktu itu kita akan belajar nyanyian Musa dan Sang Domba, suatu nyanyian yang generasi lain tidak pernah diminta untuk mempelajarinya, dan yang tidak akan pernah dipelajari oleh generasi lain, nyanyian ke-144’000 yang mengikuti Sang Domba secara ekslusif tanpa pernah masuk lagi ke wilayah Setan baik secara sadar maupun ~ percayalah ~ secara tidak sadar.

 

 

And so my only fervent hope and wish is that this generation, this generation here and now will learn that song, and complete God's salvation puzzle with no more loose ends or pieces that don't fit. That's what Adventism was called to be and do. God has saved people all down through the centuries. He doesn't need us just to do that job a little more. This is a different message, a different calling, and a different people that will finish the puzzle of salvation for all eternity.

And then our job isn't done, because once we have walked with Christ on the sea of glass, we will be sent out on another mission, to go to all of the unfallen worlds and tell them our story. In the worst of possible all possible situations, how God provided unimaginable help and power and strength. And now the universe is safe for the rest of eternity because of this final demonstration. That's Adventism, my friends, that's what Adventism has always been, and will always be.

Let's pray.

 

Maka satu-satunya harapan dan keinginan saya yang menyala-nyala ialah agar generasi ini, generasi ini yang ada di sini sekarang akan mempelajari nyanyian itu dan menyelesaikan puzzle penyelamatan Allah tanpa meninggalkan apa-apa yang tidak selesai atau keping-keping yang tidak cocok. Untuk itulah Adventisme dipanggil untuk bekerja. Allah telah menyelamatkan manusia selama berabad-abad. Dia tidak butuh kita melakukan pekerjaan itu sedikit lebih banyak lagi. Ini adalah pekabaran yang berbeda, panggilan yang berbeda, dan umat yang berbeda yang akan menyelesaikan puzzle penyelamatan untuk selama-lamanya.

Dan setelah itu pekerjaan kita masih belum selesai, karena sekali kita sudah berjalan bersama Kristus di laut kaca, kita akan diutus untuk misi yang lain, yaitu pergi ke semua dunia yang tidak pernah berdosa dan menceritakan kisah kita kepada mereka. Bagaimana dalam kondisi terburuk yang mungkin ada, Allah telah menyediakan bantuan dan kuasa dan kekuatan yang tidak bisa dibayangkan, dan bagaimana alam semesta menjadi aman untuk sisa masa kekekalan karena demonstrasi yang terakhir ini. Itulah Adventisme, teman-teman, itulah Adventisme dari dulu dan akan selamanya begitu.

Mari kita berdoa.

 

 

 

 

 

 

06 11 23

No comments:

Post a Comment