Friday, June 7, 2024

EPISODE 02/24 ~ WHAT JESUS SAID ~ THE UNCONDITIONAL LOVE OF GOD ~ STEPHEN BOHR

WHAT JESUS SAID

Part 02/24 - Stephen Bohr

THE UNCONDITIONAL LOVE OF GOD

https://www.youtube.com/watch?v=sIWUPf6detg

 

Dibuka dengan doa

 

 

Okay, we are on page 27 of our study notes, and we're just going to go through this lesson.  I think there's several insights here that I think will be really beneficial to our own spiritual life, and also in working with other individuals. Now Jesus taught many great truths of life by using everyday stories. We call those everyday stories “parables”. Now in these parables each character or each person is important to determine the meaning of the parable, in other words, we have to analyze each individual that is mentioned in the parable. Luke 15 contains three parables of Jesus, that's Luke 15:1-32, each of these parables illustrates a different kind of lost person and how to win them to Jesus. Each of these parables reveals the relentless pursuit on the part of God of those who are lost, wanting to save them.

 

Baiklah, kita di hal. 27 dari makalah kita, dan kita akan mengupas pelajaran ini. Menurut saya ada beberapa pemahaman di sini yang saya rasa akan sangat menguntungkan kehidupan spiritual kita, dan juga dalam bekerja dengan orang-orang lain. Nah, Yesus mengajarkan banyak kebenaran penting tentang hidup dengan menggunakan kisah-kisah sehari-hari. Kita menyebut kisah-kisah tersebut “perumpamaan”. Nah, setiap tokoh atau orang dalam perumpamaan-perumpamaan ini penting untuk menentukan makna perumpamaan itu. Dengan kata lain, kita harus menganalisa setiap individu yang disebutkan di perumpamaan tersebut. Lukas 15 berisikan tiga perumpamaan Yesus, di Lukas 15:1-32, setiap perumpamaan itu menyatakan upaya yang tak kunjung lelah di pihak Allah pada mereka yang hilang, karena mau menyelamatkan mereka.

 

 

The first of these parables is the parable of the lost sheep. It's in chapter 15 of Luke verses 3 to 7. The sheep knew that it was lost but it did not know how to find its way back. For this reason, the shepherd had to leave the security of the fold and risk his own safety to seek for the sheep that was lost, because sheep have a terrible sense of direction. Probably those who have worked with sheep know this. So the shepherd had to risk his own existence to go and find that sheep. When the shepherd found the lost sheep ~ and this is something that is not emphasized real frequently ~ when the shepherd finds the sheep, he proclaims a party, he calls his relatives and his friends, says, “Come on, let's celebrate. The sheep that has lost I have found.” Now what is this parable trying to teach us?

 

Yang pertama dari perumpamaan-perumpamaan ini adalah perumpamaan domba yang hilang. Ada di Lukas 15:3-7. Domba itu tahu dirinya hilang, tetapi dia tidak tahu bagaimana menemukan jalannya pulang. Karena itulah si gembala harus meninggalkan keamanan tempat kawanannya dan mempertaruhkan keselamatannya sendiri untuk mencari domba yang hilang, karena domba punya kemampuan orientasi yang sangat kurang. Mereka yang pernah bekerja dengan domba mengetahui ini. Jadi si gembala harus mempertaruhkan eksistensinya sendii untuk pergi mencari domba itu. Ketika si gembala menemukan domba itu  ~  dan ni adalah sesuatu yang jarang ditekankan ~ ketika si gembala menemukan domba itu, dia mengumumkan sebuah pesta, dia mengundang kerabat-kerabatnya dan teman-temannya, mengatakan, “Datanglah, ayo kita rayakan. Domba yang hilang telah aku temukan.” Nah, perumpamaan ini mengajarkan apa kepada kita?

 

 

At the bottom of the page we have the explanation of the parable. In this story:

ü   The fold represents the numberless worlds that are safe because they have never fallen.

ü   The lost sheep represents this little world that has gone astray from the fold.

ü   The shepherd leaving the security of the fold

and going out into a dangerous world to rescue the sheep represents Jesus Christ, who left the security of heaven to come to this world to save this world, and to return it to the fold.

ü   The celebration upon returning with the sheep to the fold

represents the final explosion of praise that will take place when all of the redeemed get back to heaven, and you have this joyous singing and celebration because that world that was lost has been found.

That's the first parable.

 

Di bagian bawah halaman ini ada penjelasan dari perumpamaan itu. Dalam kisah ini:

ü   Tempat kawanan melambangkan dunia-dunia yang tidak terbatas, yang aman, karena mereka tidak pernah jatuh dalam dosa.

ü   Domba yang hilang melambangkan dunia kita yang kecil ini yang telah tersesat dari tempat kawanannya.

ü   Si gembala yang meninggalkan keamanan tempat kawanannya

dan pergi ke dunia yang berbahaya untuk menyelamatkan si domba melambangkan Yesus Kristus, yang meninggalkan keamanan surga datang ke dunia ini untuk menyelamatkan dunia ini dan mengembalikannya ke tempat kawanannya.

ü   Perayaan pada saat kembalinya si gembala bersama si domba ke dalam kawanannya

melambangkan ledakan terakhir puji-pujian yang akan terjadi ketika semua umat tebusan kembali ke Surga, dan akan ada nyanyian sukacita dan perayaan karena dunia yang tadinya hilang telah ditemukan.

Inilah perumpamaan yang pertama.

 

 

The second parable is the parable of the lost coin. It illustrates a different kind of lost person. It's found in Luke 15:8 through 10. The coin was lost but it did not know that it was lost, and therefore it had to be sought. In the parable:

ü   the woman ~ remember the  characters in the parable are symbolic ~

the woman who searches for the coin represents the church, the body of Christ. Are we supposed to be searching the lost, those who don't know that they're lost?

ü   See, the sheep knows he's lost but the coin doesn't know that it's lost.

The coin represents those who are lost in the world and don't know it.

ü   And the lamp represents the Bible.

Thy Word is a lamp unto my feet and a light unto my paths”. And so these lost coins must be sought by turning on the lamp of God's Word, and that way then they can be found.

 

Perumpamaan kedua adalah perumpamaan koin (mata uang) yang hilang. Ini menggambarkan orang hilang yang berbeda. Ini ada di Lukas 15:8-10. Koin itu hilang tetapi di tidak tahu bahwa dia hilang, karenanya dia harus dicari. Di perumpamaan itu:

ü   perempuan ~ ingat, tokoh-tokoh dalam perumpamaan itu simbolis ~

perempuan yang mencari koin itu melambangkan gereja, tubuh Kristus. Apakah kita seharusnya mencari yang hilang, mereka yang tidak tahu bahwa mereka hilang?

ü   Lihat, dombanya tahu bahwa dia hilang, tetapi koin itu tidak tahu dia hilang.

Koin ini melambangkan mereka yang hilang di dunia tapi yang tidak menyadarinya.

ü   Dan pelita/lampunya melambangkan Alkitab.

Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku.” (Mazmur 119:105) Maka koin-koin yang hilang ini harus dicari dengan menyalakan pelita Firman Allah, dan dengan demikian mereka bisa ditemukan.

 

 

The third parable is the longest of the three. It covers from chapter 15 of Luke verses 11 to verse 32. It is the parable of the lost son, which we normally call the parable of the prodigal son. And we usually focus on the son that left home. But there's much more to this story than just that. We will dedicate most of our time in this class to this third parable. Now the parable illustrates three kinds of sinners, the parable has three kinds of sinners. Maybe you haven't thought about this before, but these are the types of sinners that are illustrated in the parable.

1.    the unrighteous type of sinner:

that's the son who left home. He's an unrighteous sinner.

2.    the second type is the self-righteous sinner,

the sinner that stays at home and thinks he's so good, and he's so obedient to the will of the father.

3.    and then the third kind is illustrated by this son that left home,

it's the repentant righteous type of sinner.

So you have three kinds of sinners illustrated in this parable of the lost son: the unrighteous type, the self-righteous type, and the repentant righteous type. Is that clear?

 

Perumpamaan ketiga adalah yang terpanjang dari ketiganya. Ini mulai dari ayat 11 Lukas pasal 15 hingga ayat 32. Ini adalah perumpamaan anak yang hilang, yang biasanya kita sebut perumpamaan anak yang boros. Dan biasanya kita fokus pada si anak yang meninggalkan rumah. Tetapi ceritanya berisikan lebih banyak daripada hanya itu. Kita akan mendedikasikan bagian terbesar dari waktu kita di kelas ini ke perumpamaan yang ketiga ini. Nah, perumpamaan ini menggambarkan tiga jenis orang berdosa. Ada tiga jenis orang berdosa di perumpamaan ini. Mungkin kalian belum pernah berpikir seperti ini sebelumnya, tetapi inilah ketiga jenis orang berdosa yang digambarkan dalam perumpamaan ini:                            

1.    Orang berdosa yang tidak dibenarkan:

dialah si anak yang meninggalkan rumah. Dia seorang pendosa yang tidak dibenarkan.

2.    Tipe kedua adalah orang berdosa yang merasa paling benar sendiri;

orang berdosa yang tinggal di rumah dan menyangka dia begitu baik, dan dia begitu patuh kepada kehendak ayahnya.

3.    Kemudian jenis ketiga digambarkan oleh si anak yang telah meinggalkan rumah,

yaitu orang berdosa yang bertobat dan dibenarkan.

Jadi ada tiga jenis orang berdosa yang digambarkan dalam perumpamaan anak yang hilang ini: jenis yang tidak dibenarkan, jenis yang merasa benar sendiri, dan jenis yang bertobat dan dibenarkan.  Apakah ini jelas?

 

 

Now we cannot understand the parable without understanding the context in which the parable appears. What is the context? This parable ~ actually its main purpose was not to show the love of the Father towards his lost son, although that is central to the parable. Really the context of the parable is that Jesus is comparing the Scribes and Pharisees who stayed at home. Did you hear that? That's the central theme of the parable as we can see at the beginning of Luke 15.

 

Nah, kita tidak bisa memahami perumpamaan ini tanpa memahami konteks bagaimana perumpamaan ini muncul. Apa konteksnya? Perumpamaan ini ~ sebetulnya tujuan utamanya bukan untuk menunjukkan kasih si ayah kepada anaknya yang hilang walaupun itu bagian inti dari perumpamaan ini. Sesungguhnya konteks perumpamaan ini ialah Yesus sedang membandingkan para ahli Taurat dan Farisi yang tinggal di rumah. Apakah kalian mendengar itu? Itulah tema sentral perumpamaan ini sebagaimana yang kita lihat di awal Lukas pasal 15.

 

 

Notice Luke 15:1 and 2, the context in which Jesus told these parables of the lost. 1Then all the tax collectors and the sinners drew near to Him to hear Him…” notice it's not the Scribes and Pharisees that are drawing near to hear Him,  it's the tax collectors and the sinners that drew near to Him.  “…And the Pharisees and Scribes complained, saying, ‘This Man…”  that is Jesus, “…receives sinners and eats with them.’…” Now when the Pharisees said He eats with publicans and sinners, they were saying not so sublimely, I might mention, “if this Man should be eating with anyone, He should be eating with us, because we are not tax collectors, we are not sinners, we are righteous. So He should hang out with us, He should not be hanging out with them.”

And now comes something very ironic, and that is, Jesus who was “holy, blameless, undefiled, and separated from sinners”, according to Hebrews 7:26 attracted to Himself the vilest and most unrighteous of sinners. Who was attracted to Jesus? The unrighteous, the crass sinners, what we might call the scum of the earth, although they really are not that way in the sight of God. So to speak, the scum of the earth loved to hang out with the purest Being in the universe, while those who considered themselves undefiled in their own opinion, felt very uncomfortable in His presence. The lesson is clear. The closer we come to Jesus, the more the scum of the earth will feel comfortable in our presence. Let's pause there for a moment. The closer we come to Jesus the more the scum of the earth will feel comfortable in our presence. The further we are from Jesus the more righteous we will feel, and the further we will separate ourselves from the undesirables. However, the closer we come to Jesus the more we will discern our own sinfulness and our need of Him.

 

Simak Lukas 15:1-2, konteks di mana Yesus menceritakan perumpamaan mereka yang hilang ini. 1 Lalu semua pemungut cukai dan orang-orang berdosa mendekati Yesus untuk mendengar Dia. …”  simak, bukan para ahli Taurat dan Farisi yang datang mendekat untuk mendengar Yesus, justru para pemungut cukai dan para pendosa yang datang dekat kepadaNya. “…2 Dan orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat  bersungut-sungutlah, berkata,Orang ini…”  yaitu Yesus, “…menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka.’ …”  Nah, ketika orang-orang Farisi berkata bahwa Dia makan dengan para pemungut cukai dan orang-orang berdosa; perlu saya katakan mereka tidak mengatakan itu sebagai bentuk mengagumi. “Jika Orang ini harus makan dengan seseorang, seharusnya Dia makan bersama kita, karena kita bukan pemungut cukai, kita bukan orang-orang berdosa, kita ini benar. Jadi seharusnya Dia berkumpul dengan kita, Dia seharusnya tidak berkumpul dengan mereka.”

Dan sekarang muncul sesuatu yang sangat ironis, dan itu ialah Yesus  “…yang kudus, tidak berniat jahat, tidak cemar, yang terpisah dari orang-orang berdosa”  menurut Ibrani 7:25, membuat DiriNya menarik bagi para pendosa yang paling parah dan paling jahat. Siapa yang tertarik pada Yesus? Mereka yang tidak benar, pendosa-pendosa kelas berat,  yang bisa kita sebut sampah masyarakat, walaupun sebenarnya di pemandangan Allah mereka tidak demikian. Jadi katakanlah, para sampah masyarakat ini suka berkumpul bersama Sosok yang paling murni di alam semesta, sementara mereka yang menganggap diri mereka tidak tercemar dalam pikiran mereka sendiri, merasa sangat tidak nyaman di hadapanNya. Pelajaran ini jelas. Semakin kita dekat pada Yesus, semakin mereka yang sampah masyarakat merasa nyaman bersama kita. Mari kita berhenti sejenak. Semakin dekat kita datang pada Yesus, yang sampah masyarakat merasa semakin nyaman di hadapan kita. Semakin jauh kita dari Yesus, kita akan merasa semakin benar, dan selanjutnya kita akan memisahkan diri kita dari mereka yang dijauhi orang. Namun, semakin dekat kita datang kepada Yesus, semakin kita akan menyadari keberdosaan kita sendiri dan kebutuhan kita akan Dia.

 

 

And here comes something very interesting. Jesus had words of encouragement for publicans and sinners, but words of rebuke for the Scribes and Pharisees. So Jesus condemned the holy ones and He said nice things about the ones who were less than holy in the estimation of the Pharisees. Jesus lifted up the down-hearted and brought low those who were puffed up and full of themselves.

 

Dan sekarang ada yang sangat menarik. Yesus memberikan kata-kata dorongan bagi para pemungut cukai dan orang-orang berdosa, tetapi memberikan kata-kata teguran bagi para ahli Taurat dan Farisi. Jadi Yesus menyalahkan orang-orang yang sok suci dan Dia mengatakan hal-hal yang baik tentang mereka yang jauh dari suci di pemandangan orang-orang Farisi. Yesus mengangkat mereka yang merasa hina dan merendahkan mereka yang sombong dan menganggap diri mereka hebat.

 

 

Notice the problem ~ let's read Matthew 23:23 to 28 where we find the problem with the Scribes and Pharisees, these are the rebukes of Jesus to the Scribes and Pharisees. Matthew 23:23 to 28, you see there was a conflict between the internal and the external. It says there in verse 23, Jesus is speaking, 23 Woe to you, Scribes and Pharisees, hypocrites! For you pay tithe of mint and anise and cummin, and have neglected the weightier matters of the Law: justice and mercy and faith. These you ought to have done, without leaving the others undone. 24 Blind guides, who strain out a gnat and swallow a camel!..” Do you know what the Pharisees did before they drank a glass of water? They strained it to make sure that there might not be a mosquito in the water, and they would be eating something that was unclean. That’s what Jesus means when He says you strain the gnat and you swallow the camel. Verse 25, “… 25 ‘Woe to you, Scribes and Pharisees, hypocrites! For you cleanse the outside of the cup and dish, but inside they are full of extortion and self-indulgence.26 Blind Pharisee, first cleanse the inside of the cup and dish, that the outside of them may be clean also. 27 Woe to you, scribes and Pharisees, hypocrites! For you are like whitewashed tombs which indeed appear beautiful outwardly, but inside are full of dead men’s bones and all uncleanness. 28 Even so you also outwardly appear righteous to men, but inside you are full of hypocrisy and Lawlessness.’...” What was the problem with the Pharisees? The outside was fine, but the inside was rotten. That's the context of the parable, folks. The Pharisees and the Scribes knew what they had inside and they tried to cover it up outside, this is why they felt very uncomfortable in the presence of Jesus, because they knew that He could read them like a book. The sinners knew that they were sinners, and didn't have anything to hide, and so they loved to hang around Jesus.

 

Simak masalahnya ~ mari kita  baca Matius 23:23-28 di mana kita lihat masalah para ahli Taurat dan Farisi, inilah teguran-teguran Yesus kepada para ahli Taurat dan Farisi. Matius 23:23-28, kalian lihat ada konflik antara bagian dalam dan bagian luarnya. Dikatakan di sana di ayat 23, Yesus sedang bicara, 23 Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, orang-orang munafik! Sebab kamu mengembalikan persepuluhan dari selasih, adas manis, dan jintan, dan telah mengabaikan yang lebih penting dalam Hukum Taurat: keadilan, dan belas kasihan, dan iman. Ini harus kamu lakukan, tanpa meninggalkan yang lain tidak dilakukan. 24 Pemandu-pemandu buta, yang menyaring ngengat dan menelan unta!…”  Tahukah kalian apa yang dilakukan orang-orang Farisi sebelum mereka minum segelas air? Mereka menyaringnya untuk memastikan tidak ada nyamuk di dalam air dan mereka nanti makan sesuatu yang najis. Itulah yang dimaksud Yesus ketika Dia berkata, kalian menyaring ngengat dan menelan unta. Ayat 25, “…25 Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, orang-orang munafik! Sebab kamu bersihkan sebelah luar cawan dan pinggan, tetapi sebelah dalamnya penuh pemerasan dan pemanjaan diri. 26 Hai orang Farisi yang buta, bersihkanlah dahulu sebelah dalam cawan dan pinggan itu, supaya sebelah luarnya juga akan bersih. 27 Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, orang-orang munafik! Sebab kamu sama seperti kuburan yang dicuci bersih, yang memang tampak indah sebelah luarnya, tetapi di dalamnya penuh tulang belulang orang mati dan pelbagai kenajisan. 28 Demikian juga, di luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di dalam kamu penuh kemunafikan dan pelanggaran Hukum.’…” Apa masalah orang-orang Farisi? Luarnya bagus tetapi dalamnya busuk. Itulah konteks dari perumpamaan ini, Saudara-suadara. Orang-orang Farisi dan para ahli Taurat tahu apa yang ada di dalam mereka, dan mereka berusaha menutup-nutupinya di luarnya. Inilah mengapa mereka merasa sangat tidak nyaman di hadirat Yesus karena mereka tahu Yesus bisa membaca mereka seperti sebuah buku.  Orang-orang yang berdosa tahu bahwa mereka itu berdosa, dan tidak menyembunyikan apa-apa, maka mereka senang berkumpul dekat Yesus.

 

 

Now let's take a look at the symbols of this parable because parables are symbolic stories. There are several symbols in the parable.

1.    First of all we have the father.

The father represents, God the Father. In other words, the father in the parable represents God the Father.

2.    the house represents the family of God or the church.

3.    the younger son away from home represents the unrighteous sinner.

4.    the rules of the household from which the son wanted to escape represent the Law of God.

5.    the elder son represents the self-righteous sinner.

6.    and the returned son represents the repentant sinner, covered with the robe of his father's righteousness.

7.    the joy of the household represents the rejoicing of the church when a repentant sinner returns to the family.

That is a bird's eye view of the meaning of the parable. But now we need to unpack it further.

 

Sekarang mari kita simak simbol-simbol dari perumpamaan ini, karena perumpamaan-perumpamaan adalah kisah-kisah simbolis. Ada beberapa simbol di perumpamaan ini.

1.    Pertama si ayah.

Si ayah melambangkan Allah Bapa, dengan kata lain si ayah di perumpamaan ini melambangkan Allah Bapa.

2.    Rumahnya melambangkan keluarga Allah atau gereja/jemaat.

3.    Anak yang bungsu yang meninggalkan rumah melambangkan orang berdosa yang tidak dibenarkan.

4.    Peraturan-peraturan rumahtangga dari mana si anak bungsu ini ingin melepaskan dirinya, melambangkan Hukum Allah.

5.    Anak yang sulung melambangkan orang berdosa yang merasa dirinya benar.

6.    Dan kembalinya anak yang bungsu melambangkan orang berdosa yang bertobat, diselimuti oleh jubah kebenaran ayahnya.

7.    Sukacita dalam rumahtangga melambangkan sukacita jemaat ketika seorang yang berdosa kembali ke gereja.

Inilah selayang pandang dari makna perumpamaan itu. Tetapi sekarang kita perlu mengupasnya lebih lanjut.

 

 

The younger son grew tired of the rules and regulations of his father's household. He looked upon these rules as restrictive of his freedom. He considered his father a task master and himself a slave. He looked at his father as condemnatory, stern, and severe. The younger son wanted his freedom, his independence. He desired to live his own life apart from the restraints of the household. The younger son was more concerned about the present enjoyment than about his future inheritance. His focus was on the here and now, not on the sweet by-and-by. His attitude was, who cares about the future, which might never come. I want to have fun now. His selfishness was manifested when he said to his father, “Give me my inheritance now.” Later on in the parable he's going to say to the father, “Make me a servant in your household.” Quite a contrast.

So the younger son departed into a far country, he wanted to be as far as possible from the restrictions of the household, from the restrictions of the father, he wanted to be free of the rules and regulations. We can only imagine the father attempting to reason with him and tried to explain, “If you leave, this is what is going to happen.” He wouldn't listen, at this point in the story. The father could not reason with the son because the son claimed to know it all.

For a while the pleasures of sin led to seeming enjoyment. Yes, sin can be pleasurable for a season. Do you agree with that? Sin can be pleasurable for a season. Oh yeah, sin can be very pleasurable, but it doesn't last. Eventually it will come back to bite you. The son had fun partying, playing around, and according to his brother even sleeping with harlots. He had loads of friends, he felt free, unrestricted to do his own thing. Finally, no rules, no regulations. His attitude was I can do what I want. Sadly, many times when things seem to go well, is when we forget God. When things go badly we have a tendency to remember God, when it should be the opposite. For a while the pleasures of sin filled his life with “joy” in quotation marks. Sin can be pleasurable and exhilarating even, but the pleasure lasts only for a season. It's kind of like Moses.

 

Anak yang bungsu merasa jemu dengan peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan rumahtangga ayahnya. Dia memandang peraturan-peraturan ini mengekang kebebasannya. Dia menganggap ayahnya seorang mandor yang garang dan dirinya seorang budak. Dia memandang ayahnya sebagai suka menghukum, keras, dan bengis. Anak bungsu ini menginginkan kebebasannya, kemerdekaannya. Dia ingin bebas hidup sesuka hatinya jauh dari pengekangan rumahtangganya. Anak yang bungsu lebih perduli tentang kesenangan masa kini daripada warisannya kelak. Fokusnya ada pada yang sekarang dan yang di sini, bukan pada masa depan yang cerah kelak. Sikapnya ialah, masa depan urusan nanti, yang mungkin tidak akan datang. Aku mau bersenang-senang sekarang. Keegoisannya diwujudkannya ketika dia berkata kepada ayahnya, “Berikan aku warisanku sekarang.” Nanti dalam perumpamaan ini dia akan berkata kepada ayahnya, “Biarlah aku dijadikan seorang hamba di rumahtanggamu.” Kontras yang cukup besar.

Maka anak yang bungsu ini pun pergi ke negeri yang jauh. Dia mau berada sejauh mungkin dari pengekangan rumahtangga, dari pengekangan ayahnya, dia mau bebas dari segala peraturan dan ketentuan. Kita hanya bisa membayangkan ayahnya berusaha untuk menyadarkannya dan menjelaskan, “Jika kamu pergi, ini yang akan terjadi.” Dia tidak mau dengar, pada saat cerita ini sampai di sini. Si ayah tidak bisa menyadarkan anaknya karena si anak menganggap dia sudah tahu segala.

Selama beberapa waktu kesenangan dosa sepertinya memberikan kenikmatan. Ya, dosa bisa menyenangkan untuk satu musim. Kalian setuju dengan itu? Dosa bisa menyenangkan untuk satu musim. Oh, iya, dosa bisa sangat menyenangkan, tetapi itu tidak bertahan lama. Pada akhirnya itu akan kembali untuk mengigit kita. Si anak bungsu sudah bersenang-senang, berpesta pora, berganti-ganti pacar, dan menurut saudaranya bahkan tidur dengan pelacur-pelacur. Dia punya banyak teman, dia merasa merdeka, tidak terkekang untuk berbuat sesuka hatinya. Akhirnya, tidak ada lagi peraturan, tidak ada lagi ketentuan-ketentuan. Sikapnya ialah, aku bisa berbuat sesuka hatiku. Sayangnya, seringkali ketika semua sepertinya lancar, saat itulah kita melupakan Allah. Ketika segala berjalan tidak lancar, ada tendensi kita ingat Allah, padahal seharusnya terbalik. Untuk sementara kesenangan dosa memenuhi hidupnya dengan “sukacita” dalam tanda kutip. Dosa bisa menyenangkan dan bahkan membuat kita melambung tinggi, tetapi kesenangan dosa hanya bertahan satu musim. Seperti Musa.

 

 

Let's go to Hebrews 11:24 to 26, we've read this before, in fact we dealt with this in one of our Sabbath School lessons. Hebrews 11:24. By the way do you know what Moses was  going to be if he stayed in Egypt and chose to become a pharaoh? He was going to have all the fame, and power, and riches in the world. He would be the most famous person in the world at that time. But he made what? A very difficult choice. Notice verse 24, 24 By faith Moses, when he became of age, refused to be called the son of Pharaoh’s daughter, 25 choosing…” that's an important word, right? It's all about choice,  “…choosing rather to suffer affliction with the people of God than to enjoy…” what?  “…the passing pleasures of sin,…” So can sin be pleasurable? Oh yeah, but what kind of pleasures are they? “…the passing pleasures of sin,26 esteeming the reproach of Christ greater riches than the treasures in Egypt; for he looked to the reward.” Moses looked to the future, not the pleasures of the present.

Let me ask you, where would Moses be if he had chosen to stay in Egypt? He would be a mummy perhaps in the basement of the British Museum. Where is Moses today? Moses is in Heaven. Did he make the right choice? He made the right choice, folks. It's not the here and now, it's the sweet by-and-by that we need to focus on.

 

Mari kita ke Ibrani 11:24-26, kita sudah pernah membaca ini, bahkan kita sudah membahas ini di salah satu pelajaran Sekolah Sabat kita. Ibrani 11:24. Nah, tahukah kalian Musa akan menjadi apa seandainya dia tetap tinggal di Mesir dan menjadi Firaun? Dia akan memiliki segala ketenaran, dan kuasa, dan kekayaan di dunia. Dia akan menjadi orang paling terkenal di dunia pada waktu itu. Tetapi dia membuat apa? Suatu pilihan yang sangat sulit. Simak ayat 24, 24  Oleh iman Musa ketika dia menjadi dewasa, menolak disebut anak puteri Firaun, 25 lebih memilih…”  ini kata yang penting, benar? Ini semuanya tentang pilihan, “…lebih memilih  untuk menderita sengsara bersama umat Allah daripada menikmati…” apa?   “…kenikmatan dosa yang sementara,…” Jadi apakah dosa itu nikmat? Oh, iya, tetapi kenikmatan macam apa? “…kenikmatan dosa yang sementara, 26 lebih menghargai penghinaan karena Kristus sebagai kekayaan yang lebih besar daripada harta karun di Mesir, sebab dia memandang kepada pahalanya.” Musa memandang ke masa depan, bukan ke kenikmatan hari ini.

Coba saya tanya, di mana Musa hari ini seandainya dia memilih untuk tinggal di Mesir? Dia akan menjadi sebuah mumi, mungkin disimpan di ruang bawah tanah Museum Inggris. Di mana Musa hari ini? Musa ada di Surga. Apakah dia telah membuat pilihan yang benar? Dia membuat pilihan yang tepat, Saudara-saudara. Kita perlu fokus bukan pada yang sekarang dan di sini, melainkan ke masa depan yang cerah

 

 

The son overtly broke two commandments,

ü   the fifth: “Honor your father and your mother”,

ü   and the seventh: “You shall not commit adultery” if what he was accused for by his brother was actually true.

He wanted to proclaim his liberty, but he became a slave, a slave of sin. In fact, in Ephesians 2:1-2 we’re told that the son was dead in trespasses and sins, he was alive but dead. That's important because in the parable when the son comes back, the father says, “My son was dead, but now he's alive.” He had had a resurrection, a spiritual resurrection. So as Ephesians 2:1-2 says, the son was “dead in trespasses and sins”, it would have done no good for his father to seek him. You know if when things were going well and he was having pleasure, if his father went to look for him, said, “Son, come back home.” “I’m having way too much fun, Father.” It would have done no good. The father had to wait until he hit rock bottom. That's a very important point. However, his so-called freedom became a nightmare. He wanted to live for the pleasures of the here and now without the restraint of the father's Law, and now he came upon very hard times. When we separate ~ this is a very important point ~ when we separate ourselves from God's family which is the church, we lose our freedom and dignity, and we become slaves. If you think that life in church is too restrictive, and that worldly life is better, think again. This is exactly what Satan wants you to think.

 

Anak bungsu ini jelas-jelas melanggar dua perintah:

ü   Yang kelima: “Hormatilah ayahmu dan ibumu”.

ü   Dan yang ketujuh: “Jangan berzinah” jika apa yang dituduhkan kepadanya oleh saudaranya itu memang benar.

Dia mau mengumumkan kemerdekaannya, tetapi dia malah menjadi budak, budak dosa. Sesungguhnya di Efesus 2:1-2 kita diberitahu bahwa anak bungsu ini mati dalam pelanggaran dan dosa, dia hidup namun mati. Itu penting karena di dalam perumpamaan itu ketika anak ini pulang, ayahnya berkata,  “anakku telah mati dan hidup kembali” (Lukas 15:24). Dia mengalami kebangkitan, kebangkitan rohani. Maka seperti kata Efesus 2:1-2, anak itu  “mati dalam pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosa” pada waktu itu tidak ada gunanya ayahnya mencarinya. Ketika kondisi sedang bagus dan dia sedang bersenang-senang, jika ayahnya pergi mencarinya dan berkata, “Nak, pulanglah.” Anak itu akan berkata, “Aku sedang sangat senang, Ayah.” Itu tidak ada gunanya. Si ayah harus menunggu hingga anak itu jatuh ke tempat yang paling rendah. Ini poin yang paling penting. Namun, kebebasannya yang palsu menjadi mimpi buruk. Anak itu mau hidup demi kesenangan yang sekarang dan yang di sini tanpa pengekangan dari Hukum ayahnya, dan sekarang dia menghadapi masa yang sangat sulit. Ketika kita menjauh ~ ini poin yang sangat penting ~ ketika kita menjauhkan diri kita dari keluarga Allah yaitu gereja, kita kehilangan kebebasan kita dan martabat kita dan kita menjadi budak. Jika kalian sangka bahwa hidup dalam gereja itu terlalu mengekang, dan kehidupan duniawi itu lebih baik, berpikirlah lagi. Persis pikiran inilah yang Setan mau kita punya.

 

 

The young man wasted all of his money, lost all of his friends, his bondage is described ~ and this is an important point ~ his bondage is described by an expression in Luke 15:15 where it says, “ 15 Then he went and joined himself ” a better translation would be “he glued himself together”. Now when you glue something like with super glue or with gorilla glue, what happens? You are really glued. In other words, he was bound and became a slave   “…to a citizen of that country…” who owned the swine that this young man ended competing for food with.  So that's the picture of the unrighteous sinner.

 

Orang muda itu menghabiskan semua uangnya, kehilangan semua temannya, belenggunya digambarkan ~ dan ini poin yang penting ~ belenggunya digambarkan oleh sebuah ungkapan di Lukas 15:15 di mana dikatakan, 15 Lalu ia pergi dan menggabungkan dirinya…”  terjemahan yang lebih baik adalah dia   “…melekatkan dirinya bersama…”  Nah, bila kita melekatkan sesuatu dengan lem super glue atau lem gorilla, apa yang terjadi? Kita benar-benar lengket. Dengan kata lain, anak bungsu ini terbelenggu dan menjadi budak   “…pada seorang penduduk negeri itu…”  pemilik babi-babi dengan siapa orang muda ini akhirnya harus berebut makanan. Jadi inilah gambaran seorang berdosa yang tidak dibenarkan.

   

 

Let's take a look now at the righteous sinner. The righteous sinner. For a Jew it was unthinkable to even touch a swine, and this young boy not only touched the swine but competed with them for food. Quite a fall, wasn't it? It wasn't real pleasurable now to be independent of the Laws of the household. In the sanctuary only clean animals were sacrificed and offered because they represented the fact that Jesus was clean. Unclean animals are a symbol of what? Of Satan and his angels.

 

Mari kita lihat sekarang si pendosa yang dibenarkan ini. Si pendosa yang dibenarkan. Bagi seorang Yahudi tidak terpikirkan untuk menyentuh seekor babi, sementara pemuda ini bukan hanya menyentuh babi tetapi harus berebut makanan dengan mereka. Suatu kejatuhan yang parah, bukan? Sekarang merdeka dari peraturan rumahtangganya tidak lagi menyenangkan. Di Bait Suci hanya hewan-hewan yang bersih (halal) yang dikurbankan dan dipersembahan karena mereka melambangkan fakta bahwa Yesus itu bersih. Hewan yang tidak bersih (tidak halal) itu lambang apa? Lambang Setan dan malaikat-malaikatnya.

 

 

Let's turn to Revelation chapter 18 to see that, Revelation 18:2-3, it's speaking about end time Babylon, but the principle applies. It says there in Revelation 18:2-3, “ And he cried mightily with a loud voice, saying, ‘Babylon the great is fallen, is fallen, and has become a dwelling place of demons,…’  three ways are going to express the same thought here, parallel, it says ‘…‘Babylon the great is fallen, is fallen, and has become (1) a dwelling place of demons, (2) a prison for every foul spirit, and (3) a cage for every unclean and hated bird!...” And so this young man was glued to the citizen of that place, and he was under the dominion of Satan and his angels.

Now here comes the beautiful part of this story of the righteous sinner. When the kid hit rock bottom, the memory of the father wooed him. It is knowable that the father did not seek him. He sought the father. The young man, we are told, came to himself. Now what does that mean? He regained his senses, he began thinking straight again. While he was in the world he was not himself, because he was under the control of another, he was out of it, in other words. The son now discerned how terrible his sin was, and was sorry that he had left home, and the fact that he had dishonored his father. He was ashamed of his behavior, not merely the consequences of his behavior. This is what the Bible calls repentance, sorrow for sin and turning away from it. You know there's a difference between admitting your sin and being sorry for your sin.

 

Mari kita ke Wahyu pasal 18 untuk melihat itu. Wahyu 18:2-3, ini bicara tentang Babilon akhir zaman, tetapi prinsipnya bisa diaplikasikan. Dikatakan di sana di Wahyu 18:2-3, 2 Dan ia berseru keras dengan suara yang nyaring, katanya: ‘Sudah roboh, sudah roboh Babel yang besar itu dan telah menjadi tempat kediaman roh-roh jahat…”  tiga cara dipakai di sini untuk menggambarkan ide yang sama, dikatakan,   “…‘Sudah roboh, sudah roboh Babel yang besar itu dan telah menjadi (1) tempat kediaman roh-roh jahat,  (2) penjara bagi setiap roh najis dan (3) sebuah sangkar untuk setiap  burung yang najis dan yang dibenci…” Maka orang muda ini telah melekat kepada penduduk tempat itu, dan dia berada di bawah kekuasaan Setan dan malaikat-malaikatnya.

Nah, sekarang muncul bagian yang indah dari kisah si pendosa yang dibenarkan ini. Ketika pemuda itu mencapai dasar yang paling bawah, ingatan tentang ayahnya merayunya. Diketahui bahwa si ayah tidak mencarinya. Dia yang mencari ayahnya. Pemuda itu, kita mendapat tahu, sadar. Nah apa artinya itu? Dia mendapatkan pikiran warasnya lagi, dia mulai berpikir jernih lagi. Selagi dia berada di keduniawian dia bukan dirinya sendiri, karena dia berada di bawah kendali yang lain, dengan kata lain dia di luar kendalinya sendiri. Anak bungsu ini sekarang mengerti betapa mengerikannya dosanya, betapa menyesalnya dia telah meninggalkan rumah, dan faktanya bahwa dia telah tidak menghormati ayahnya. Dia malu dengan kelakuannya, bukan sekadar dengan akibat dari kelakuannya. Inilah yang disebut Alkitab sebagai pertobatan, duka bagi dosa dan berpaling darinya. Kalian tahu, ada perbedaan antara mengakui dosa kita dan menyesali dosa kita.

 

 

When I was a kid I used to get into fights with my sisters, three of them. We don't fight anymore, that's kid stuff. But you know, my dad always took their side because they were girls, and sometimes he would say, “Son, don't fight with your sisters.” And he would take out his belt, and you know what, I would say to him, “Oh, Dad I’m sorry, I’m sorry, I’m sorry.” Was I sorry of fighting? No! I was sorry that I was going to get whipped. I was sorry about the consequences I wasn't sorry about the sin itself.

And so sin, when we are really sorry for the sin, is true repentance. When we are sorry for the consequences that sin produces, that is counterfeit repentance.

 

Ketika saya masih kecil, saya sering berkelahi dengan saudara-saudara perempuan saya, ada tiga orang dari mereka. Kami sekarang tidak berkelahi lagi, itu masalah anak-anak. Tetapi, ayah saya selalu membela mereka karena mereka perempuan dan terkadang ayah saya akan berkata, “Nak, jangan berkelahi dengan saudara-saudaramu.” Dan dia akan melepas ikat pinggangnya, dan kalian tahu, saya akan berkata kepadanya, “Oh, Ayah, aku menyesal, aku menyesal, aku menyesal.” Apakah saya menyesal berkelahi? Tidak! Saya menyesal karena saya akan kena pukul. Saya menyesali konsekuensinya tapi saya tidak menyesali dosa itu sendiri.

Maka dosa, bilamana kita benar-benar menyesali dosa, itu pertobatan yang sungguh-sungguh. Bilamana kita menyesali konsekuensi yang dihasilkan dosa, itu pertobatan yang palsu.

 

 

So now the story tells us that the memory of the goodness of his father and home drew him. So notice the father doesn't go to seek him, when things are going well, he doesn't feel any need of home; but now when things hit rock bottom, the young son says, he starts thinking of himself, “Oh my father was so nice, my father was such a good individual. There never was anything lacking. Now I know that my father loved me, I should have listened to him before I decided to leave. I know that my father is good, loving, and kind.” He now realized something very important, and that is, that the rules of the household were for his good, and for his happiness. But even at this point his constant concept of the father was partial and incomplete. He thought that his father might accept him as a servant because he says, “Father, make me a servant.” However, he would soon discover that the father would do far more for him than he could ever imagine, as it says in Ephesians 3:20.

 

Jadi sekarang kisah itu memberitahu kita bahwa ingatan tentang kebaikan ayahnya dan rumahnya menarik dirinya. Jadi perhatikan bahwa si ayah tidak pergi mencarinya. Ketika semuanya berjalan lancar, anak ini tidak merasa membutuhkan rumahnya; tetapi sekarang ketika dia sudah berada di dasar yang paling bawah, anak bungsu ini berkata, dia mulai memikirkan dirinya, “Oh, ayahku itu begitu baik hati, ayahku orang yang begitu baik. Aku tidak pernah kekurangan apa pun. Sekarang aku tahu bahwa ayahku mencintai aku, seharusnya aku menurutnya sebelum aku memutuskan untuk pergi. Aku tahu ayahku itu baik, mengasihi, dan berbelaskasihan.” Dia sekarang menyadari sesuatu yang sangat penting, dan itu ialah bahwa peraturan-peraturan rumahtangga adalah untuk kebaikannya sendiri dan demi kebahagiaannya. Tetapi bahkan di saat ini konsepnya tentang si ayah masih tidak lengkap. Dia pikir ayahnya mungkin mau menerimanya sebagai seorang pelayan karena dia berkata, “Ayah, jadikan aku hambamu.” Namun dia akan segera mengerti bahwa si ayah bersedia melakukan jauh lebih banyak baginya daripada yang dia bayangkan, seperti yang dikatakan di Efesus 3:20. 20 Sekarang bagi Dia yang dapat melakukan amat sangat banyak di atas apa yang kita mohon  atau pikirkan, menurut kuasa yang bekerja di dalam kita,”

 

 

Let's read Romans 2:4. You know, technically we don't repent, we don't initiate repentance. You know, we don't say, “Okay, I’m going to repent.” No! Do you know that that it's God that leads us to repent? So repentance is a work of God, it's not a work of ours. And what is it about God that leads us to repent? Notice Romans 2:4, beautiful  verse, “ Or do you despise the riches of His goodness, forbearance, and longsuffering, not knowing that the goodness of God leads you to repentance?”

So what is this young man saying? “Oh, my father is so good, and I’m so sorry.” It's the goodness of the father that draws him back home

 

Mari kita baca Roma 2:4, kalian tahu secara teknis kita tidak bertobat, kita tidak berinisiatif untuk bertobat. Kalian tahu, kita tidak berkata, “Baiklah, saya akan bertobat.” Tidak! Tahukah kalian bahwa Allah-lah yang menuntun kita untuk bertobat? Jadi pertobatan adalah pekerjaan Allah, itu bukan pekerjaan kita. Dan apakah tentang Allah yang membawa kita kepada pertobatan? Simak Roma 2:4, ayat yang indah, 4 Apakah engkau menganggap sepele kekayaan kemurahan-Nya, toleransi dan panjang sabar-Nya, tanpa mengetahui, bahwa kemurahan Allah itu menuntun engkau kepada pertobatan?”

Jadi apakah yang dikatakan orang muda ini? “Oh, ayahku begitu baik, dan aku begitu menyesal.” Kebaikan si ayahlah yang menariknya untuk pulang.

 

 

Ellen White expressed that this beautiful way, this is one of the few quotations in the study notes from Ellen White. It was too good to pass up. It says, “We do not repent in order that God may love us, but He reveals to us His love in order that we might repent.” (Christ’s Object Lessons pg. 189)  Isn't that beautiful? A beautiful way of putting it.

 

Ellen White menggambarkan itu dengan cara yang indah ini, ini adalah salah satu dari beberapa kutipan di makalah kita dari Ellen White. Ini terlalu bagus untuk dilewatkan. Dikatakan,   “…Kita tidak bertobat supaya Allah boleh mengasihi kita, tetapi Dia menyatakan kasihNya kepada kita supaya kita boleh bertobat.” (Christ’s Object Lessons hal. 189)  Tidakkah ini indah? Cara yang indah melukiskannya.

 

 

So we're on page 32. The young man carefully prepared his speech while he was still among the swines. Okay, I need to think about what I’m going to say to my father. So he prepares his speech of confession upon his return, and it's found in verses 18 and 19. He will confess that he has sinned, and that he is not worthy to be called his father's son, and he's going to beg him to receive him back as a servant. And the interesting thing is when he left home he said to his father, “Give me my inheritance.” Now he's going to say,  “Make me a servant of yours.” Quite a change. He was right. By leaving home, he had sinned against heaven and his father. This is a very important point. As Adventists we think that sin is breaking a list of rules, we think that sin is merely transgressing a Law. But listen, folks, the Law is a reflection of a Person. So when we break the Law we're breaking our relationship with the Person. Are you understanding me?

Let's continue here. His problem was sin. He recognized it. He said, “I have sinned against heaven and against you. I’m not worthy to be called your son.” Sin is transgression of the Law. Let me ask you, was it true that he was not worthy to be called his father's son? Is that true? You'd better believe it was true that he wasn't worthy, he was very unworthy to be called the father’s son, yes; but his father looked upon him still as what? Still looked upon him as a son. We have all sinned against our heavenly Father, and therefore none of us are worthy to be called His children. In fact, the Bible tells us that we are children of wrath by nature. 

 

Jadi kita di hal. 32. Orang muda itu mempersiapkan kata-katanya dengan hati-hati selagi dia masih di antara babi-babi. Baiklah, aku perlu memikirkan apa yang akan aku katakan kepada ayahku. Maka dia mempersiapkan kata-kata pengakuannya saat dia pulang, dan itu ada di ayat 18 dan 19. Dia akan mengakui bahwa dia telah berbuat dosa, dan bahwa dia tidak layak disebut anak ayahnya, dan dia akan memohon ayahnya untuk menerimanya kembali sebagai pelayannya. Dan hal yang menarik ialah ketika dia meninggalkan rumah, dia berkata kepada ayahnya, “Berikan warisanku kepadaku.” Sekarang dia akan berkata, “Jadikan aku hambamu.” Perubahan yang besar. Dia benar. Dengan meninggalkan rumah, dia telah berdosa terhadap Surga dan terhadap ayahnya. Ini adalah poin yang sangat penting. Sebagai orang Advent kita pikir dosa itu melanggar suatu daftar peraturan, kita anggap dosa itu sekadar pelanggaran sebuah Hukum. Tetapi dengarkan, Saudara-saudara, Hukum adalah pantulan satu Pribadi. Jadi ketika kita melanggar Hukum, kita memutuskan hubungan kita dengan Pribadi itu. Apakah kalian paham?

Mari kita lanjut di sini. Masalahnya ialah dosa. Dia mengenali itu. Dia berkata, “Aku telah berdosa terhadap Surga dan terhadap Ayah. Aku tidak layak disebut anakmu.” Dosa adalah pelanggaran Hukum. Coba saya tanya, benarkan dia tidak layak disebut anak ayahnya lagi? Benarkah itu? Percayalah, itu benar dia tidak layak, dia sangat tidak layak disebut anak ayahnya, iya; tetapi ayahnya masih memandang dia sebagai apa? Masih memandang dia sebagai anak. Kita semua telah berbuat dosa terhadap Bapa kita yang di Surga, dan oleh karena itu tidak ada dari antara kita yang layak disebut anakNya. Bahkan, Alkitab mengatakan kepada kita bahwa secara alami  kita adalah anak-anak yang dimurkai“Di antaranya juga termasuk kami semua dahulu, yang  berperilaku  mengikuti hawa nafsu daging kami, memuaskan kehendak daging dan pikiran, dan secara alami adalah anak-anak yang dimurkai, sama seperti yang lain.” (Efesus 2:3)

 

 

By the way is there grace in this story? What is grace? You know the definition, you usually hear it’s unmerited favor. Is there grace in this story? Oh, of course there's grace. Did the son merit the father to receive him back as a full son? No, he wasn't worthy, he recognized that he wasn't worthy. The son comes to his father, whose love has drawn him to the father. To his surprise the father was anxiously waiting for him. It says “while he was still far off in the distance” the father undoubtedly was there looking, saying, when is the son going to come back? Anxiously waiting for him. And when he comes back, the father embraces him and kisses him according to verse 20. Well, that must have been really something. He must have really smelled, but his father didn't pay any attention to that. This was his son who had come home. The son began his prepared speech, but the father did not allow him to finish it, the part where he says “make me a servant”. Forget it, forget your speech. The father did not lecture him, rebuke him, taunt him, conditionally accepted him, placed him on probation. He accepted him fully and completely. Does this give us a fantastic picture of God? Wow! Amazing grace, how sweet the sound that saved a wretch like me. For his hunger the father had the fatted calf killed, for his tired feet the father provided new sandals, for his rugged hands the father provided his signet ring, a sign of his authority, and to replace the filthy smelly garments he supplied the best robe, not a robe, the best robe. The signet ring now gave the son his father's authority, and the robe his father's righteousness. In the sanctuary service this is an important detail: fatted calves were offered for sin, the sacrifice in this story represents the sacrifice of Christ. In the sight of the father the past was buried, forgotten, blotted out. The dead son experienced a spiritual resurrection from the dead, and was now alive. The father said, “My son was dead but now my son is…” what?” “…alive.” This is spiritually speaking, of course. And because he was repentant, his father covered him with the robe of his righteousness.

 

Nah, apakah dalam kisah ini ada rahmat? Apa itu rahmat (kasih karunia)? Kalian tahu definisinya, biasanya kalian dengar itu adalah kebaikan bagi yang tidak layak menerimanya. Apakah di kisah ini ada rahmat? Oh, tentu saja ada rahmat. Apakah si anak layak untuk diterima kembali oleh ayahnya dengan status anak penuh? Tidak, dia tidak layak, anak bungsu itu menyadari bahwa dia tidak layak. Anak itu datang ke ayahnya, kasih ayahnya yang menariknya kepada si ayah. Dia terkejut karena ayahnya sedang menantikannya dengan gelisah. Dikatakan, 20 …. Ketika ia masih jauh, di kejauhan”,  si ayah tidak diragukan sedang menunggu, dan berkata, kapan anak ini akan pulang? Menunggu dengan gelisah untuknya. Dan ketika dia pulang, si ayah memeluknya dan menciumnya, menurut ayat 20. Nah, itu sesuatu yang luar biasa. Anak itu tentu baunya sangat tidak sedap, tetapi ayahnya tidak memperdulikan itu. Ini adalah anaknya yang telah pulang. Si anak mulai mengucapkan kata-kata yang telah disiapkannya, tetapi ayahnya tidak mengizinkan dia menyelesaikan kalimatnya. Ketika tiba di bagian di mana si anak berkata, “jadikan aku seorang hamba”, ayahnya berkata, “Sudah lupakan itu, lupakan kata-katamu. Si ayah tidak menguliahinya, tidak menegurnya, tidak mengejeknya, tidak menerimanya dengan syarat, tidak memberinya masa percobaan. Ayahnya menerimanya sepenuhnya tanpa reserve. Apakah ini memberi kita gambaran yang luar biasa tentang Allah? Wow! AnugrahNya yang mengagumkan, yang telah menyelamatkan orang celaka seperti aku.” Untuk laparnya si ayah menyuruh sembelih anak lembu yang tambun, untuk kakinya yang lelah si ayah menyediakan sandal baru, untuk tangannya yang kasar si ayah menyedidakan sebuah cincin stempel, tanda dari autoritasnya, dan untuk mengganti pakaiannya yang kotor dan bau, dia memberikan jubah yang terbaik, bukan asal jubah tapi jubah terbaik. Cincin stempel itu sekarang memberi si anak autoritas ayahnya, dan jubah itu memberinya kebenaran si ayah. Dalam pelayanan Bait Suci, ini adalah detail yang penting: anak lembu tambun dipersembahkan untuk dosa, kurban di kisah ini melambangkan kurban Kristus. Dalam pemandangan si ayah, apa yang lewat sudah dipendam, terlupakan, dihapus bersih. Anak yang mati mengalami kebangkitan spiritual dari kematian, dan sekarang hidup. Si ayah berkata, “Anakku mati, tapi sekarang anakku…”  apa?  “…hidup.” Tentu saja ini bicara secara spiritual. Dan karena anak itu bertobat, ayahnya menyelimutinya dengan jubah kebenarannya.

 

 

Now how can we describe a righteous sinner? Martin Luther once defined it in a very interesting way, which I think is correct. Luther used the expression “simul iustus simul peccator”,  at the same time just, and at the same time sinner. Now how can you be at the same time just, at the same time sinner? Because you are covered with what? With the righteousness of Christ. But you are still what? You're still a sinner, covered with the righteousness of Jesus Christ. And then Luther explained how you can be “simul iustus” in other words, at the same righteous; and “simul peccator” which means at the same time sinner. He used the expression “simul penitencia” that means at the same time penitent or repentant. Are you catching the picture?

Though he deserved to be a servant, he was restored by the father with full status as son. If the father had given him what he deserved he would have made him what? A slave. “You naughty boy has come back. Now you can stay here, but you have to live in the servant's quarters, and don't expect any special treatment.”  But the father didn't say that. The acceptance of the son by the father was on an unmerited gift.

 

Nah, bagaimana kita bisa menggambarkan seorang pendosa yang dibenarkan? Martin Luther suatu kali mendefinisikannya dengan cara yang sangat menarik, yang menurut saya benar. Luther memakai istilah “simul iustus, simul peccator” pada waktu yang sama benar, dan pada waktu yang sama, orang berdosa. Nah, bagaimana orang bisa pada waktu yang sama benar dan di waktu yang sama orang berdosa? Karena dia diselimuti oleh apa? Oleh kebenaran Kristus. Namun dia tetap apa? Tetap seorang berdosa, yang diselimuti oleh kebenaran Yesus Kristus. Kemudian Luther menjelaskan bagaimana orang bisa menjadi “simul iustus” dengan kata lain pada waktu yang sama benar; dan “simul peccator” yang artinya pada waktu yang sama seorang pendosa. Dia menggunakan istilah “simul penintencia” artinya pada waktu yang sama menyesali atau bertobat. Apakah kalian menangkap gambarnya?

Walaupun si anak layak menjadi seorang hamba, dia dipulihkan  oleh si ayah 100% ke statusnya sebagai seorang anak. Andaikan si ayah memberinya apa yang layak diterimanya, dia akan menjadikannya apa? Seorang budak. “Kamu anak nakal, sudah pulang. Sekarang kamu boleh tinggal di sini tetapi kamu harus tinggal di bagian para hamba, dan jangan mengharapkan perlakuan istimewa.” Tetapi si ayah tidak mengatakan begitu. Diterimanya si anak oleh ayahnya adalah pemberian yang tidak diberikan berdasarkan kelayakan. 

 

 

You know that verse in Romans 6:23, “the wages of sin is death…” let's  unpack that for a moment.

v   “wages” brings into mind an employee, right?

Okay,  so if you work for Mr. Sin (because sin is personified there) if you work for Mr. Sin, Mr. Sin says, “Well you work for me, I got to pay for it, pay you.” And what does the sin pay? Death, “the wages of sin is death”. And I can say, “Oh, no, no, I work for free.” The boss is going to say, “Tough luck, you're going to get paid.”

v   But then it says “the free gift of God is eternal life through Jesus Christ our Lord”.

Sin pays wages, but the salvation gift is free, to those who receive it.

 

Kalian tahu ayat di Roma 6:23,23 Sebab upah dosa ialah maut…” mari kita kupas ini sebentar.

v   “upah”  mengingatkan kita akan seorang karyawan, bukan?

Oke, jadi jika kita bekerja untuk Tn. Dosa (Karena di sini dosa dipersonifikasi), jika kita bekerja untuk Tn. Dosa, Tn. Dosa berkata, “Nah, kamu bekerja untuk saya, saya harus membayar upahmu.” Dan apa yang dibayarkan dosa? Maut,  “upah dosa ialah maut”.  Dan saya bisa berkata, “Oh, jangan, jangan, jangan, saya bekerja saja tanpa bayaran.” Si majikan akan berkata, “Tidak bisa, kamu akan menerima upah.”

v   Tetapi kemudian dikatakan, “tetapi karunia Allah ialah hidup yang kekal melalui Kristus Yesus, Tuhan kita”.

Dosa membayarkan upah, tetapi keselamatan yang diberikan itu gratis, bagi mereka yang menerimanya.

 

 

So let's go back to our study notes here. The return of the son brought what? Joy to the father and his household. The father called out the symphony and the choir. You say where did you get that from, the symphony and the choir? Well, the words are  χορός [choros] where we get the word “choir” from, and  συμφωνία [sumphōnia] where we get the word "symphony" from. There's a lot of music going on. There's a lot of joy, a lot of food, there's a celebration, because the son has come back. The Pharisees had this rephrased: “There is joy in heaven for one sinner who is destroyed”. What a contrast! How different the attitude of the father.  His son had passed from death to life, do you think the son would be tempted to leave home again? Does he think the son would say, "Oh I want to be free from the house, I want to go and I want to live it up”? Did the forgiveness of the father serve as an incentive even though the story doesn't say so? It makes sense. Would it be an incentive for the son now to be an obedient son, and a loving son, in response to the love of his father? See, folks, our obedience flows from our relationship with God, our understanding of the character of God. When we understand that God is loving, and kind, and generous, and good, and we experience that in our lives, it will be a natural thing, it will be the outflow of obedience in our lives. It will not become forced like many Seventh-Day Adventists believe. From this point on, the son will find it a joy to serve his father. There will be no more running away from home, the goodness, mercy, and love of the father have made the son an obedient son.

 

Jadi mari kita kembali ke makalah kita di sini. Kembalinya si anak membawa apa? Sukacita bagi ayahnya dan rumahtangganya.  Si ayah memanggil simfoni dan paduan suara. Kalian berkata di mana saya peroleh itu, simfoni dan paduan suara? Nah, kata-katanya adalah χορός [choros] dari mana kita peroleh kata “koor” dan συμφωνία [sumphōnia] dari mana kita peroleh kata “simfoni” (Lukas 15:25, συμφωνία [sumphōnia] diterjemahkan “musik" dan χορός [choros] diterjemahkan “tari-tarian”). Ada banyak musik di sana. Ada banyak sukacita, banyak makanan, ada perayaan, karena si anak telah pulang. Orang-orang Farisi mengganti ungkapan ini, “Ada sukacita di Surga bagi satu pendosa yang telah dibinasakan”. Kontras sekali! Betapa berbedanya dari sikap si ayah. Anaknya telah melewati dari kematian ke hidup, menurut kalian apakah anak ini akan tergoda untuk meninggalkan rumah lagi? Apakah dia pikir si anak akan berkata, “Oh, aku ingin bebas dari rumah, aku ingin pergi, dan aku ingin bersuka ria”? Apakah pengampunan si ayah menjadi insentif walaupun cerita ini tidak mengatakan demikian? Itu masuk akal. Apakah itu menjadi insentif bagi si anak sekarang untuk menjadi anak yang patuh, anak yang mengasihi, sebagai respons kepada kasih ayahnya? Lihat, Saudara-saudara, kepatuhan kita mengalir dari hubungan kita dengan Allah, pemahaman kita tentang karakter Allah. Ketika kita mengerti bahwa Allah itu mengasihi, dan baik, dan penuh rahmat, dan benar, dan kita mengalami itu dalam hidup kita, maka itu akan menjadi alami, kepatuhan akan mengalir dalam hidup kita. Itu tidak akan menjadi dipaksakan seperti yang diyakini banyak orang MAHK. Mulai saat itu si anak akan merasakan sukacita melayani ayahnya. Tidak bakal terjadi lagi lari dari rumah. Kebaikan, pengampunan, dan kasih si ayah telah membuat si anak menjadi anak yang patuh.

 

 

Oh, but we still have a different kind of sinner that we have to take a look at, which is really the central lesson of the parable. Really the purpose of the parable is to show the contrast between the love of God and the self-righteousness of the Scribes and Pharisees.

So let's pursue on page 33, the self-righteous sinner. There's another son in the story and we usually don't highlight this son, you know, when this story is told we usually tell, you know, the prodigal, he went away from home, the father received him because of his grace, he received him into his home his son, and they lived happily ever after. And we forget the entire theme of the parable. We forget that there's another son in the story, and that is the central focus of the story. While the younger son was lost away from home, the older son was lost at home. True? Yeah, the younger son was lost away from home but the older son was lost at home. He was an obedient son, don't get me wrong, he was an obedient son, but he served his father for what? For the inheritance, for the reward. He was a son with a servant's mentality. He thought that he deserved the inheritance because of his hard work. He was what we call a legalist, after all, his hard work had earned the favor of his father. His service was not joyful, but forced. He has served his father not because he loved him, but because he wanted his father's approval, recognition, and reward. He wanted to earn his father's favor. Like all self-righteous people, instead of embracing his brother and experiencing joy at having his brother back, he became critical of him. This is the holier-than-thou attitude of those who are characterized by the Pharisees.

The Pharisee is characterized by two things:

1.    he considers himself righteous, and holy,

2.    and secondly he always compares his righteousness with the righteousness of others.

 

Oh, tetapi masih ada jenis pendosa yang lain, yang harus kita simak, yang sesungguhnya adalah sentral dari pelajaran perumpamaan ini. Sesungguhnya tujuan perumpamaan ini ialah untuk menunjukkan kontras antara kasih Allah dan para ahli Taurat dan Farisi yang merasa benar sendiri.

Marilah kita simak hal. 33, pendosa yang merasa benar sendiri. Ada anak yang lain dalam kisah ini, dan biasanya kita tidak menyorot anak ini. Kalian tahu, ketika kisah ini diceritakan, biasanya kita menceritakan tentang anak yang boros, dia meninggalkan rumah, ayahnya menerimanya kembali karena rahmatNya, dia menerimanya ke dalam rumahnya, dan mereka hidup bahagia selama-lamanya. Dan kita lupa tema seluruhnya dari perumpamaan ini. Kita lupa bahwa ada anak yang lain dalam kisah ini, dan itulah fokus sentral dari kisah ini. Sementara anak yang bungsu hilang jauh dari rumah, anak yang sulung hilang di rumah. Benar? Iya, anak bungsu hilang jauh dari rumah, tetapi anak sulung hilang selagi di rumah. Anak sulung ini anak yang patuh, jangan salah, dia anak yang patuh. Tetapi dia melayani ayahnya untuk apa? Untuk mendapatkan warisan, untuk pahalanya. Dia adalah anak dengan mentalitas seorang hamba. Dia pikir dia layak mendapatkan warisan karena kerja kerasnya. Dia adalah yang kita sebut seorang legalis, bukankah semua kerja kerasnya yang membuat dia mendapatkan perkenan ayahnya? Pelayanannya bukan atas dasar sukacita, melainkan terpaksa. Dia melayani ayahnya bukan karena dia mencintai ayahnya, tetapi karena dia ingin mendapatkan perkenan ayahnya, pengakuannya, dan pahalanya. Dia ingin mendapatkan perkenan ayahnya. Seperti semua orang yang merasa benar, gantinya memeluk saudaranya dan merasakan sukacita karena saudaranya sudah pulang, dia malah bersikap kritis tentang saudaranya. Inilah sikap “aku lebih suci daripada kamu” dari mereka seperti karakter orang-orang Farisi.

Orang-orang Farisi dikenal oleh dua karakternya:

1.    Dia menganggap dirinya benar dan kudus,

2.    Dan kedua, dia selalu membandingkan kebenarannya dengan kebenaran orang-orang lain.

 

 

 

And let me mention something here about Last Generation Theology. I know that that's a controversial subject, which shouldn't be controversial; but you know when it comes to Last Generation Theology there are two dangers.

ü   one danger is where individuals say, you know, we have to be perfect before Jesus comes;

and we consider ourselves more perfect than other people. We're always looking at other people and comparing our holiness with theirs. This leads to strife in the church.

Ø    Oh, you know, I don't eat meat but he still continues eating meat.

Ø    You know, I have chosen to live in the country, he's a city liver.

that person is not part of the last generation, because that person is a self-righteous sinner.

I have enough to worry about myself than to be worrying about the sins of others. Are you catching the picture? So when we talk about Last Generation Theology we have to be afraid of being self-righteous and saying holier-than-thou.

ü   But on the other extreme, we have to be very careful about saying,

that because we are sinners, and because we have a sinful nature, we'll never be able to overcome sin until Jesus comes.

 

Two extremes. If you were driving down a snowy road in Colorado, which ditch would you rather fall into, the right ditch or the left ditch? In both cases you're going to need a riker  to pull you out, right? Satan doesn't care if we, oh I’m part of the last generation I don't eat flesh food, and you know, I don't have any cheese, and I live in the country, and you know I’m not like all those people who don't have all these things. The devil doesn't care if you're in that ditch, or in the other ditch, saying, oh you know we have a sinful nature, we can never overcome sin, it's an impossibility. He doesn't care which ditch you fall into. And I’ve made this clear when it comes to Last Generation Theology. And we receive criticism from every place in the planet, because we teach that God is going to have a last generation that is victorious over sin. The Bible teaches that, the Spirit of Prophecy teaches that. There are individuals in the Biblical Research Institute of the General Conference that believe that. It's not one of our fundamental doctrines. There are good people that believe one thing, and there are people who believe the other point of view, and yet those who speak about Last Generation Theology are kind of cast aside. Well, I’ve got that off my back now.

 

Dan izinkan saya bicara di sini tentang Theologi Generasi Terakhir. Saya tahu ini adalah subjek yang kontroversial yang seharusnya tidak kontroversial; tetapi kalian tahu sehubungan dengan Theologi Generasi Terakhir ada dua bahaya:

ü   Bahaya yang satu ialah di mana orang-orang berkata, kita harus menjadi sempurna sebelum Yesus datang,

dan kita menganggap diri kita lebih sempurna daripada orang lain. Kita selalu menilai orang lain dan membandingkan kekudusan kita dengan kekudusan mereka. Ini mengakibatkan perselisihan di dalam gereja.

Ø    Oh, kalian tahu, saya tidak makan daging tetapi dia masih terus makan daging.

Ø    Saya sudah memilih hidup di pedesaan, dia orang kota.

Orang ini bukan bagian dari generasi terakhir karena orang ini adalah pendosa yang merasa dirinya sudah benar.

Saya punya cukup kekhawatiran untuk diri saya sendiri tanpa memikirkan dosa-dosa orang lain. Apakah kalian menangkap gambarnya? Jadi ketika kita bicara tentang Theologi Generasi Terakhir kita harus takut menjadi merasa benar sendiri dan mengatakan aku lebih suci daripada kamu.

ü   Tetapi di sudut ekstrem yang lain, kita juga harus sangat berhati-hati

ü  Dengan mengatakan karena kita memiliki kodrat berdosa, kita tidak akan pernah bisa mengalahkan dosa hingga Yesus datang.

 

Dua ekstrem. Jika kita sedang berkendaraan menuruni jalan yang bersalju di Colorado, kita lebih suka terperosok ke parit yang mana, parit kanan atau parit kiri? Dalam hal keduanya kita akan butuh mobil derek untuk mengeluarkan kita dari parit itu, bukan?

Setan tidak perduli jika kita berkata, oh, saya bagian dari generasi terakhir, saya tidak makan daging, dan saya tidak makan keju, dan saya tinggal di desa, dan saya tidak seperti semua orang lain yang tidak berbuat demikian. Setan tidak perduli apakah kita masuk parit yang satu atau yang lain, mengatakan, oh, kita memiliki kodrat berdosa, kita tidak akan pernah bisa mengalahkan dosa, itu suatu kemustahilan. Setan tidak perduli kita masuk parit yang mana. Dan saya telah menjelaskan ini, bila berbicara tentang Theologi Generasi Terakhir. Kami telah menerima kritikan dari setiap tempat di planet ini karena kami mengajarkan bahwa Allah akan memiliki generasi terakhir yang mengalahkan dosa. Alkitab mengajarkan itu, dan Roh Nubuat mengajarkan itu. Ada individu-individu di Biblical Research Institute dari General Conference yang meyakini itu. Itu bukan salah satu dari doktrin fundamental kita. Ada orang-orang baik yang meyakini satu hal, dan ada orang-orang yang meyakini pendapat yang lain, namun mereka yang bicara tentang Theologi Generasi Terakhir disingkirkan. Nah, akhirnya saya sudah mengeluarkan uneg-uneg ini.

 

 

Let's go to the top of page 34. We are told ~ this is interesting ~ we are told that the older son would not so much as go into the house to talk with his father, or his brother. He stayed outside. He referred to his father as “you”, not as “Father” but as “you”, and when he referred to his brother he said “this son of yours”. Wow! That's the legalist, in his mind he could not socialize with such a sinner as his brother. And how could he condone his father's attitude towards such a sinner! The older son was lost at home. And his father came out of the house to seek him and reason with him.

 

Mari kita ke bagian atas hal. 34. Kita mendapat tahu ~ ini sangat menarik ~ kita mendapat tahu bahwa anak yang sulung bahkan sama sekali tidak mau masuk ke dalam rumah untuk bicara dengan ayahnya maupun dengan saudaranya. Dia tinggal di luar. Dia menyebut ayahnya sebagai “engkau” bukan sebagai “Ayah” tetapi sebagai “engkau”, dan ketika dia bicara tentang saudaranya dia berkata “anakmu ini. Wow! Ini si legalis. Di pikirannya dia tidak bisa bersosialisasi dengan seorang pendosa yang demikian seperti saudaranya itu. Dan mana mungkin dia bisa menerima sikap ayahnya terhadap seorang pendosa seperti itu! Anak yang sulung itu hilang di rumah. Dan ayahnya keluar dari rumah untuk mencarinya dan berdalih dengannya.

 

 

Now very important, the next paragraph, interestingly the story does not tell us how the older son responded to his father's reasoning. The story ended in suspense. The story of the self-righteous Pharisees and Scribes was still being written at that point. They still had not made their final decision. So Jesus is ending the story, by speaking about the older son, He's speaking about the Scribes and Pharisees, and He's saying, “Listen up, folks, you still have a chance. What is your decision going to be?” Not until they plotted to kill Christ did the story come to its conclusion. And what was that conclusion? They ended up rejecting Jesus Christ. They did not listen, so  to speak, to the counsel of the father.

 

Nah, sekarang sangat penting, paragraf berikutnya, yang menarik kisah ini tidak memberitahu kita bagaimana si anak sulung itu merespon penjelasan ayahnya. Kisah ini berakhir dalam ketidakpastian. Kisah dari orang-orang Farisi dan ahli Taurat yang merasa benar sendiri pada saat itu masih sedang ditulis. Mereka masih belum membuat keputusan akhir mereka. Maka Yesus mengakhiri ceritanya, dengan bicara tentang si anak sulung, Yesus bicara tentang para ahli Taurat dan orang-orang Farisi, dan Dia berkata, “Dengarkan, Saudara-saudara, kalian masih punya kesempatan. Kalian akan mengambil keputusan apa?” Tidak hingga mereka merencanakan untuk membunuh Kristus baru kisah itu tiba pada konklusinya. Dan apa konklusinya? Akhirnya mereka menolak Yesus Kristus. Katakanlah mereka tidak mendengarkan nasihat si ayah.

 

 

Like the rich young ruler. Would the rich young ruler have made a good elder of a Seventh-Day Adventist Church? Yea! “What do I need to do to have eternal life?” “Keep the commandments,” He says. This is sounding pretty good, and so he wants to make sure, he says, “Which?” And so Jesus quotes the last six commandments except that He takes out the one that says “you shall not covet” and in its place He puts, “you shall love your neighbor as yourself”, because loving your neighbor as yourself is the opposite of covetousness, it's a positive way of putting “thou shall not covet”. And so the young man says, “I’ve done this since  my youth. I return my tithe, I fast twice a week, I don't break the Sabbath, I practice the health principles. What do I still lack?” Jesus says, “Go sell everything that you have and give to the poor, and you will have treasure with Me, and come follow Me.” Was the rich young ruler legalist? He was a legalist, “I’ve kept these from my youth, I’m a Law keeper.” But you know what, he had no love. He said “If you love Me keep my commandments”. Is it possible to superficially keep the commandments without love? Yes, it is. And we need to learn that.

 

Sepeti pemimpin muda yang kaya. Apakah pemimpin muda yang kaya ini bisa menjadi ketua yang baik di gereja MAHK? Iya! “Apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” (Matius 19:16)  “…turutilah perintah-perintah Allah,” (Matius 19:17)  kata Yesus. Ini terdengarnya cukup bagus, maka si pemimpin muda itu mau memastikan, dia berkata, “Perintah yang mana?” (Matius 19:18). Maka Yesus mengutip enam Perintah terakhir kecuali dia tidak menyebut Perintah “Jangan mengingini” dan sebagai gantinya Dia mengatakan, “kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri” (Matius 19:19), karena mengasihi sesama seperti diri sendiri itu adalah lawan dari keserakahan, itu bentuk positif dari  “Jangan mengingini”. Maka pemimpin muda itu berkata, “Semuanya itu telah kuturuti dari masa aku kecil,…” aku mengembalikan persepuluhan, aku berpuasa dua kali seminggu, aku tidak melanggar Sabat, aku mempraktekkan prinsip-prinsip kesehatan, “…apa lagi yang masih kurang?” (Matius 19:20). Yesus berkata, “…juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan punya harta di sorga, kemudian datanglah, ikutlah Aku.” (Matius 19:21).  Apakah pemimpin muda yang kaya itu seorang legalis? Dia seorang legalis. “Semuanya itu telah kuturuti dari masa aku kecil…” aku seorang pemelihara Hukum. Tetapi kalian tahu apa?  Dia tidak punya kasih. Yesus berkata, “Jikalau kamu mengasihi Aku, turuti Perintah-perintah-Ku” (Yohanes 14:15) Apakah mungkin sekadar  memelihara Hukum tanpa kasih? Ya, dan kita perlu belajar tentang hal itu.

 

 

Remember the parable of the vineyard workers where the owner of a vineyard went out and got workers at six o'clock in the morning, then at nine o'clock, and then at noon, three o'clock, and then at five o'clock he still needed workers. And so you have those that worked 12 hours, and you have those who worked one hour, and when the time for payment came everybody was paid the same. Who complained? Those that worked the most, they say “If anybody deserve to be paid more, it's us, because of our work.” Are you following me?

So Jesus in His parables constantly taught this lesson of not being self-righteous.

 

Ingat perumpamaan para pekerja kebun anggur di mana pemilik kebun anggur itu keluar dan memanggil pekerja pada pukul 6 pagi, lalu pukul 9, kemudian pukul 12, pukul 3 siang dan pada pukul 5 sore dia masih memerlukan pekerja. Jadi ada yang bekerja 12 jam, dan ada yang bekerja 1 jam. Dan ketika tiba saatnya gajian, semua orang menerima upah yang sama. Siapa yang komplain? Mereka yang bekerja paling lama. Mereka berkata, “Jika ada yang layak dibayar lebih, itu kami, karena pekerjaan kami.” Apakah kalian bisa mengikuti saya?

Maka Yesus dalam perumpamaan-perumpamaannya selalu mengajarkan pelajaran ini untuk tidak menjadi merasa benar sendiri.

 

 

You remember the story of the Pharisee and the publican. Oh the Pharisee goes, “I thank you, Lord, that I’m not like other men. I fast twice a week, I tithe of all that I have, and Lord, I especially thank you that I’m not like this miserable publican.” That's the attitude of the older son in the parable. That's the central meaning of the parable. Jesus is saying, “Love like the father loved the son when he came home. Don't be self-righteous like the Pharisees and the Scribes.”

The older son compared that the father had killed the fatted calf for his sinful brother, but he complained that the father had not even killed a young goat for him. Fatted calf versus young goat, in other words, he's saying to his father, “You have done the maximum to reward a sinner, but you have not even done the minimum to reward a righteous person like me.” The father dedicated much interest and attention to his sinful son, while he  appeared to ignore and take for granted his older son.

Likewise Jesus dedicated the bulk of His time and effort to the publicans and sinners while He appeared to ignore to a great degree the Scribes and the Pharisees, other than to criticize them. The publicans and sinners felt their need but the self-righteous Scribes and Pharisees were rich. Now tell me if this sounds familiar?

 

Kalian ingat kisah orang Farisi dan pemungut cukai. Oh, orang Farisi itu berkata, “Terima kasih, Tuhan, aku tidak seperti orang-orang lain. Aku berpuasa dua kali seminggu, aku mengembalikan persepuluhan dari segala milikku, dan Tuhan, aku terutama berterimakasih kepadaMu aku tidak seperti si pemungut cukai yang menyedihkan ini.” Itulah sikap si anak sulung di perumpamaan itu. Itulah makna inti dari perumpamaan itu. Yesus berkata, “Kasihilah seperti si ayah mengasihi anaknya ketika dia pulang. Jangan bersikap merasa paling benar seperti orang-orang Farisi dan ahli Taurat.”

Anak yang sulung membandingkan bahwa ayahnya telah menyembelih anak lembu tambun bagi saudaranya yang berdosa, tetapi dia komplain bahwa ayahnya tidak pernah menyembelih seekor kambing muda baginya. Anak lembu tambun versus kambing muda; dengan kata lain dia berkata kepada ayahnya, “Engkau telah melakukan yang maksimm untuk memberi hadiah seorang pendosa, tetapi engkau bahkan tidak melakukan yang minimum untuk memberi hadiah seorang yang benar seperti aku.” Si ayah mendedikasikan banyak perhatian dan minat pada anaknya yang berdosa, sementara dia tampaknya mengabaikan atau menyepelekan anaknya yang sulung.

Demikian pula Yesus mendedikasikan bagian terbesar dari waktu dan upayaNya kepada para pemungut cukai dan pendosa, sementara Dia sepertinya cukup banyak mengabaikan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, selain untuk mengkritik mereka. Para pemungut cukai dan pendosa merasa kebutuhan mereka, tetapi ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang merasa benar sendiri merasa sudah kaya. Sekarang, apakah ini tidak terdengar familier?

 

 

“We're rich and increased with goods, and in need of nothing.” What church does that characterize? The Laodicean church. Of course those are the Baptists out there, and the Methodists, and the Presbyterians, and the Jehovah's Witnesses, the Mormons, that verse Laodicea applies especially to them. Who is Laodicea? We are! And we shouldn't be proud of that. Do you know that the church of Laodicea is not going to exist when Jesus comes? The church is going to return to the condition of the Philadelphian church. I have some study notes where I  show that from the Bible and the Spirit of Prophecy the church will become once again the church of brotherly love, not a church to conserve what we have, but a loving church, an open church, that receives those who are in need, dire need of Jesus Christ as Savior and Lord.

 

“Aku kaya, dan makmur dalam harta, dan tidak kekurangan apa-apa” (Wahyu 3:17). Ini melambangkan gereja apa? Gereja Laodekia. Tentu saja mereka adalah orang-orang Baptis, dan Methodis, dan Presbyterian, dan Saksi Yehovah, Mormon, ayat Laodekia ini berlaku terutama bagi mereka. Siapa Laodekia? Kita! Dan kita jangan bangga akan hal itu. Tahukah kalian gereja Laodekia tidak akan eksis ketika Yesus datang? Gereja itu akan kembali ke kondisi gereja Filadelfia. Saya punya makalah di mana saya tunjukkan dari Alkitab dan Roh Nubuat bahwa gereja akan sekali lagi menjadi gereja kasih persaudaraan, bukan sebuah gereja yang melestarikan apa yang kita punya, melainkan sebuah gereja yang mengasihi, gereja yang terbuka, yang menerima mereka yang membutuhkan, sangat membutuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat dan Tuhan.  

 

 

Now let's go to the conclusion. I have often heard people say, and I had a grandfather, my my mother's dad, left the Adventist church when she was young because he said, “Oh, the church is full of hypocrites.” So some people say, “I would rather be a sinner in the world than a hypocrite in church.” Actually, I would rather not be either, because both are lost. I would rather be a repentant sinner in church. When we leave our heavenly Father and church, we are lost and dead; but when we repent and confess our sins and come home, we are found and alive once again.

 

Sekarang mari kita ke kesimpulannya. Saya sering mendengar orang berkata, dan saya punya seorang kakek, ayah dari ibu saya, yang meninggalkan gereja Advent ketika ibu saya masih muda karena dia berkata, “Oh, gereja itu penuh orang munafik.” Jadi ada orang yang berkata, “Lebih baik saya menjadi seorang pendosa di dunia daripada seorang munafik di dalam gereja.” Sebenarnya lebih baik saya tidak mau menjadi keduanya karena keduanya sama-sama tidak selamat. Saya lebih baik menjadi seorang pendosa yang bertobat di gereja. Ketika kita meninggalkan Bapak surgawi kita dan gereja, kita hilang dan mati; tetapi ketika kita bertobat dan mengakui dosa-dosa kita dan pulang, kita ditemukan kembali dan hidup lagi.

 

 

By the way have you ever noticed in this parable that every single aspect of salvation is contained in the parable? I’m going to end by giving you a summary.

Ø    The young son was dead in trespasses and sins, like the world is.

The Law is involved because he felt that the Law was too what? The Law was too restrictive. The Laws of the household, the Laws of the church, were too restrictive. And so what does he do? He rebels against the Laws of the household. Is that true also, even in the Christian world rebelling against the Law of God? Because people want to be free. They say, “Adventist, you are in bondage, but we are free from the Law.” So the Law is involved.

Ø    Now is repentance contained in the parable? Yes! Repentance.

And what is it that brings about repentance? The goodness of the Father brings us to repentance. So you have repentance involved.

Ø    Do you have confession involved? Yes, he comes back and he says, “I’m repentant, father, and I confess that I have sinned against you and heaven, and I’m not worthy to be called your son.”

He realizes that sin is not merely against a list of regulation on tables of stones, he realizes that sin is breaking a relationship with his father. Have you noticed a number of times in the Bible that sin is described as breaking a relationship with a person? Now don't get me wrong, you know sin is the transgression of the Law, but the Law is a reflection of a Person. So when we break the relationship with the Law, we’re also breaking the relationship with the Person that is reflected in the Law. Sometimes we focus  on the bare Law: I’ve never committed adultery, I never killed anybody, but how about neglecting to help others?

So we have the dire condition of human beings, we have the Law involved, we have repentance involved in the story, you have confession involved in the story.

 

Ø    Do you also have  justification in the story? Yeah, because the father places his robe of righteousness upon his son.

Ø    Is the reinstatement as a member of the family included? Yes. The father gives his son the signet ring, the sign of his authority.

By implication, do you have the idea that when a person who has gone out into the world and lived it up, forsaken the church, and comes back, how the church should react to the return of that person? You know, many times you say, “Well, he came back, who knows how long he's going to be here, who knows how long his decision is going to stand.” And we kind of shun them. No, No, No, we don't shun them. We do ~ what happened in the parable? The father said, “Party time! Let's invite all the friends, all the relatives, and let's celebrate.” Do we celebrate in the church when somebody comes back to the church? Do we hug them? And you know in some countries even kiss them, and say welcome back to the family, we're glad you're home after your detour. That's what God wants us to do. And by the way, when we do that as a Seventh-Day Adventist Church our churches will be packed. Our churches will not be packed when we simply accept gay marriage, and gay clergy, and we say that transgender lifestyle is just as normal as other lifestyles, because the mainline churches, those mainline churches they  believe that by being you know, open to anything and everything, that people are going to fill the church. But the churches are empty. Last weekend I just preached at a church, I’m not going to tell you where because this will be broadcast ~  the church of another denomination that is rented by the Seventh-Day Adventist Church. It's a massive church, it has capacity for 800 people, beautiful, it's like a cathedral. I can show you pictures, I have them in my phone. And according to the pastor of the church, the Adventist pastor of the church, he says this church is in the dying mode. It's one of the mainstream churches, he says this church in its heyday had 800 people in attendance, and he says now if they're lucky they have 40, in a church that seats 800. Why? Because it’s one of those churches that has opened the door, said that any lifestyle is normal in the sight of God. The way in which the church will draw people is by being a loving and a kind church. We attract more bees with honey than with vinegar. I’m sure you heard that saying before.

 

Nah, pernahkah kalian memperhatikan di perumpamaan ini setiap aspek keselamatan ada di perumpamaan ini? Saya akan mengakhiri dengan memberikan kesimpulannya.

Ø    Si anak bungsu itu sudah mati dalam pelanggaran dan dosa, seperti dunia ini.

Hukum terlibat di sini karena dia merasa bahwa Hukumnya terlalu apa? Hukumnya terlalu mengekang. Hukum rumahtangganya, Hukum gerejanya itu terlalu mengekang. Maka apa yang dilakukannya? Dia memberontak terhadap Hukum rumahtangganya. Apakah begitu juga bahkan di dunia Kristen ada pemberontakan terhadap Hukum rumahtangga, karena orang ingin bebas? Mereka berkata, “Advent, kalian itu terbelenggu, tapi kami ini merdeka dari Hukum.” Maka Hukum terlibat di sini.

Ø    Nah, apakah pertobatan ada dalam perumpamaan ini? Ya! Pertobatan.

Dan apa yang membawa kepada pertobatan? Kebaikan Bapa membawa kita kepada pertobatan. Jadi pertobatan terlibat.

Ø    Apakah pengakuan terlibat? Ya, anak itu pulang dan dia berkata, “Aku bertobat, Ayah, dan aku mengakui bahwa aku telah berdosa terhadap Ayah dan Surga, dan aku tidak layak disebut anak Ayah.”

Dia menyadari bahwa dosa bukan saja melanggar suatu daftar peraturan di atas loh-loh batu, dia menyadari bahwa dosa memutuskan hubungan dengan ayahnya. Sudahkah kalian perhatikan berapa kali di Alkitab dosa digambarkan sebagai memutuskan hubungan dengan seseorang? Nah, jangan salah, dosa adalah pelanggaran Hukum, tetapi Hukum adalah pantulan dari Pribadi. Jadi ketika kita memutuskan hubungan dengan Hukum, kita juga memutuskan hubungan dengan Pribadi yang dipantulkan Hukum itu. Terkadang kita fokus pada Hukumnya saja: saya tidak pernah berzinah, saya tidak pernah membunuh orang, tapi bagaimana dengan mengabaikan menolong orang lain?

Jadi ada kondisi yang mendesak dari kemanusiaan, ada Hukum yang terlibat, ada pertobatan terlibat dalam kisah itu, ada pengakuan terlibat dalam kisah itu.

 

Ø    Apakah juga ada pembenaran dalam kisah itu? Iya, karena si ayah meletakkan jubah kebenarannya pada anaknya.

Ø    Apakah pemulihan status sebagai anggota keluarga termasuk di sini? Ya, si ayah memberi anaknya cincin stempel, tanda dari autoritasnya.

Melalui implikasi, apakah ada konsep bahwa ketika seorang telah keluar ke dunia dan memuaskan hatinya di dunia, meninggalkan gereja, lalu kembali, bagaimana gereja harus bersikap kepada kembalinya orang tersebut? Kalian tahu, seringkali kita berkata, “Nah, dia kembali, entah berapa lama dia akan ada di sini, siapa tahu berapa lama keputusannya ini akan bertahan.” Dan kita sepertinya menjauhi mereka. Jangan, jangan, jangan, kita jangan menjauhi mereka. Kita lakukan ~ apa yang terjadi di perumpamaan itu? Si ayah berkata, “Waktunya pesta! Ayo undang semua teman, semua kerabat, dan mari kita rayakan!” Apakah di gereja kita rayakan ketika seseorang kembali ke gereja? Apakah kita memeluk mereka? Tahukah kalian di beberapa negara bahkan mencium mereka dan mengatakan, “Selamat datang kembali ke dalam keluarga, kami senang kalian pulang setelah kepergian kalian. Itulah yang Allah ingin kita lakukan. Dan ketahuilah, bilamana kita berbuat begitu sebagai gereja MAHK, gereja-gereja kita akan penuh. Gereja-gereja kita tidak akan penuh ketika kita hanya menerima perkawinan sejenis, dan hamba-hamba Tuhan yang gay, dan kita katakan bahwa pola hidup transgender sama normalnya seperti pola hidup yang lain, karena gereja-gereja mayoritas  meyakini bahwa dengan bersikap terbuka terhadap apa pun dan siapa pun, orang-orang akan datang memenuhi gereja. Tetapi gereja-gereja itu kosong. Akhir pekan lalu saya berkhotbah di sebuah gereja, saya tidak akan mengatakan di mana karena ini akan disiarkan ~ di gereja denominasi lain yang disewa oleh gereja MAHK. Itu adalah sebuah gereja yang sangat besar, punya kapasitas duduk 800 orang, indah, seperti sebuah katedral. Saya bisa tunjukkan gambar-gambarnya, ada di HP saya. Dan menurut gembala gereja ini, gembala gereja Advent ini, dia katakan bahwa gereja ini sedang sekarat. Ini salah satu gereja aliran utama. Dia bilang gereja ini di masa jayanya dihadiri 800 orang, dan dia bilang sekarang ini kalau lagi beruntung hanya ada 40 orang, dalam sebuah gereja yang kapasitas duduknya 800 orang. Mengapa?  Karena itu salah satu gereja yang telah membuka pintu dan berkata bahwa pola hidup apa pun itu normal di pemandangan Allah. Cara bagaimana gereja akan menarik orang ialah dengan menjadi gereja yang mengasihi dan baik hati. Kita menarik lebih banyak lebah dengan madu daripada dengan cuka. Kalian pasti sudah pernah mendengar pepatah ini sebelumnya.

 

 

And so, folks, everything regarding the plan of salvation is found in this parable. One final thing,

Ø    do you think sanctification is involved in this parable?

Do you think the son had an incentive now to render loving obedience to his father? Yes. Sanctification is involved in the parable as well. It's implied, it's not explicit, but you know, it stands to reason that the son out of appreciation for his father, love for his father, is now going to serve his father not as a servant, but as a son.

So I trust that that will be our experience as we face sinners.

 

Jadi, Saudara-saudara, segala sesuatu mengenai rencana keselamatan ada dalam perumpamaan ini. Satu hal terakhir,

Ø    Apakah menurut kalian pengudusan terlibat dalam perumpamaan ini?

Menurut kalian apakah si anak sekarang punya insentif untuk memberikan kepatuhaan berdasarkan kasih sayang kepada ayahnya? Ya. Pengudusan terlibat dalam perumpamaan ini juga. Terimplikasi, tidak eksplisit. Tetapi kalian tahu, masuk akal jika si anak demi penghargaan kepada ayahnya, kasih bagi ayahnya, sekarang akan melayani ayahnya bukan sebagai seorang pelayan tetapi sebagai seorang anak.

Jadi saya yakin itulah yang akan menjadi pengalaman kita ketika menghadapi orang-orang berdosa.

 

 

 

 

07 06 24 

No comments:

Post a Comment