Wednesday, May 20, 2020

EPISODE 04/04 FRANCIS THE SOCIALIST PART 2 ~ STEPHEN BOHR


Part 04/04 - Stephen Bohr
FRANCIS, THE SOCIALIST 2 – Jan 2020

Dibuka dengan doa.


When Pope Benedict retired, the Conclave gathered together to elect a new Pope, and when the white smoke came forth from the chimney of the Sistine Chapel, a new Pope had been elected, a first in the history of the Roman Catholic Church, the first Jesuit Pope in history. His lay name is Bergoglio, Italian-Argentinian but he chose the name Francis, the only Francis in the history of the Roman Catholic Church, Francis I.  Now why did he call himself Francis I if there'd never been another Pope with the name Francis? Well, fortunately he gives us the explanation himself in his encyclical Laodato Si paragraph 10, he explained why he adopted the name and actually he's explaining what his agenda is in the papacy. This is what he wrote,  “St. Francis…” he is talking about St. Francis of Assisi. “…St. Francis is the patron saint of all who study and work in the area of ecology…” You think it's a coincidence that he chose the name Francis and he pushes for care for our common home? He continues, “…Saint Francis is the patron saint of all who study and work in the area of ecology and he is also much loved by non-Christians…”  so who does he want to impress? Non-Christians. And he continues, “…he was particularly…” Francis, “…was particularly concerned for God's creation and for the poor and the outcast…”  Is that the emphasis of this Pope? Ecology, our common home, the poor, and the outcast? That's why he adopted the name Francis. He is announcing what his agenda as Pope is going to be.

Ketika Paus Benedict pensiun, Konklaf berkumpul untuk memilih seorang Paus baru, dan ketika asap putih keluar dari cerobong asap kapel Sistine, seorang Paus baru telah terpilih, yang pertama dalam sejarah gereja Roma Katolik, Paus Jesuit yang pertama dalam sejarah. Nama awamnya Bergoglio, kelahiran Italia-Argentina, tetapi dia memilih nama Francis, satu-satunya Francis dalam sejarah gereja Roma Katolik, Francis I. Nah, mengapa dia menyebut dirinya Francis I jika belum pernah ada Paus yang memakai nama Francis? Nah, untungnya dia menjelaskannya sendiri kepada kita di ensiklikalnya, Laodato Si, paragraf 10, dia menjelaskan mengapa dia mengambil nama itu, dan dia menjelaskan apa agendanya dalam Kepausan. Inilah yang ditulisnya, “…St. Francis(kus) …”  dia berbicara tentang St. Francis dari Assisi,   “…St. Francis  adalah santo pelindung semua yang mau belajar dan bekerja di area ekologi…”  menurut kalian apakah kebetulan dia memilih nama Francis dan dia mementingkan pemeliharaan tempat tinggal bersama kita? Dia melanjutkan,   “…St. Francis adalah santo pelindung semua yang mau belajar dan bekerja di area ekologi dan dia sangat disayangi juga oleh yang non-Kristen…”  jadi dia mau menarik hati siapa? Non-Kristen. Dia melanjutkan,   “…Dia terutama sangat…”  St. Francis,   “…terutama sangat memikirkan ciptaan Allah, dan yang miskin dan yang terbuang…”  Itukah yang ditekankan Paus? Ekologi, tempat tinggal kita bersama, orang miskin, orang yang terbuang? Itulah mengapa dia mengambil nama Francis. Dia sedang menyatakan apa yang akan menjadi agendanya sebagai Paus.


How much interest has this Pope shown in the teachings of the dogmas of the church and the authority of the papal chair? I want to read you an article, from an article that is written by Francis X. Rocca, it appeared in The Wall Street Journal, the title of the article is “Shifting Lines ~ the Pope's uncertainty principle” this is what he wrote, “…Part of Pope Francis' strategy has been generally to play down the importance of formal teaching…” what is it that’s a part of Francis' strategy? To play down what? The importance of formal teaching, that means the doctrines of the church.  Now, notice, “…Under St. John Paul II and Pope Benedict XVI, the Vatican's doctrinal office was the source of many definitive documents on major issues, including controversial questions of sexual and medical ethics like gay marriage, LGBTQ, euthanasia…”, that's what they, John Paul II and Benedict XVI talked about, according to him. Now, notice, “…it also…” these particular documents that were written by these conservative Popes,  “…it also investigated and disciplined theologians who deviated from orthodoxy…”  and then he writes, “…Under Pope Francis both of those functions have practically ceased…”  What has ceased during Pope Francis? The emphasis on doctrine and what else? The disciplining of theologians who deviate from the doctrines of the church.  He’s not interested in doctrines, in other words.

Berapa besar minat yang ditunjukkan Paus ini pada pengajaran dogma-dogma gereja dan autoritas takhta Kepausan? Saya mau membacakan sebuah artikel dari tulisan yang dibuat Francis X. Rocca, yang muncul di Wall Street Journal, judul dari artikel tersebut ialah, Garis-garis yang Bergeser ~ Prinsip-prinsip Paus yang Tidak Pasti”, inilah yang ditulisnya, “…Sebagian dari strategi Paus Francis secara umum ialah mengurangi peranan pengajaran yang formal…”  apa yang menjadi bagian dari strategi Francis? Mengurangi peranan apa? Peranan pengajaran yang formal, artinya doktrin-doktrin gereja. Sekarang, simak,    “…Di bawah St. Yohanes Paulus II dan Paus Benedict XVII, departemen doktrin Vatikan adalah sumber dari banyak dokumen definitif tentang isu-isu utama, termasuk pertanyaan-pertanyaan kontroversial mengenai etika seksual dan medis, seperti perkawinan gay, LGBTQ, euthanasia…”  itulah yang dibicarakan oleh Yohanes Paulus II dan Benedict XVI, menurut penulis ini. Sekarang simak,   “…Juga…”  dokumen-dokumen khusus tersebut yang ditulis oleh Paus-paus yang konservatif ini,   “…Juga memeriksa dan memberikan disiplin kepada theolog-theolog yang menyimpang dari keortodoksan. …”  Lalu dia menulis,  “…Di bawah Paus Francis kedua fungsi itu sudah praktis berhenti…”  apa yang berhenti selama masa Paus Francis? Penekanan pada doktrin, dan apa lagi? Memberikan disiplin kepada para theolog yang menyimpang dari doktrin-doktrin gereja. Dengan kata lain, Paus Francis tidak tertarik pada doktrin.   


One example of Francis' disinterest in papal authority was an event that I already mentioned that transpired on a press conference on a trip that he took. He gave a press conference on the plane that he was traveling in, and somebody asked him, “What do you believe about gay marriage?” Now if this had been John Paul II or Pope Benedict they would have immediately said it's a no-no, but what did the Pope say? Let me read once again from this article in The Wall Street Journal,  “The single most famous statement of his pontificate made during an in-flight news conference remains, ‘Who am I to judge?’”

Salah satu contoh ketidaktertarikan Francis pada autoritas Kepausan adalah suatu peristiwa yang sudah saya singgung, yang terjadi pada suatu konferensi pers dalam perjalanan yang dilakukannya. Dia memberikan konferensi pers di atas pesawat yang dinaikinya, dan seseorang bertanya padanya, “Apa pendapat Anda tentang perkawinan gay?” Nah seandainya ini Yohanes Paulus II atau Paus Benedict, mereka pasti akan segera berkata: tidak boleh, tidak boleh! Tetapi apa yang dikatakan Paus Francis? Saya akan membacakan lagi dari artikel ini yang di Wall Street Journal, “…Pernyataan tunggalnya yang paling terkenal selama pemerintahannya, yang dibuatnya dalam suatu konferensi pers ketika dalam  suatu penerbangan, masih tetap: ‘Siapalah saya mau menghakimi?’”


Let me read you from another writer, his name is James Carroll, and I want you to notice what he says about this Pope's different emphasis. Remember he's a Jesuit and what are we studying about the Jesuits? They downplay what? Doctrine and the authority of the Pope; because they know that Protestants will not go along if they emphasize that the Pope is the absolute arbiter of truth, and they know that the nations won't come on board if the papacy continues with its traditional talking points. This is what this writer, this article appeared in, the title of the article is “Who am I to judge? A Radical Pope's First Year”, it appeared in The New Yorker, December 15, 2013.  This is what he wrote, when the Pope,  commenting on the Pope saying “Who am I to judge?” “…This gesture of openness which startled the Catholic world, would prove not to be an isolated event….”  In other words, this wasn't just one slip of the tongue. “…In a series of interviews and speeches in the first few months after his election in March, the Pope unilaterally declared a kind of truce in the culture wars that have divided the Vatican and much of the world. Repeatedly he argued that the church's purpose was more to proclaim God's merciful love for all people than to condemn sinners for having fallen short of strictures, especially those having to do with gender and sexual orientation…” It’s love, don't talk about the issues of gender and sexual orientation. Then once again, “…His break from his immediate predecessors…” what did Francis do? He broke from whom? Who was his immediate predecessors? John Paul II and Benedict XVI, “…his break from his immediate predecessors John Paul II who died in 2005, and Benedict XVI the traditionalist German theologian who stepped down from the papacy in February, is less ideological than intuitive, an inclusive vision of the church centered on an identification with the poor. From this vision theological and organizational innovations flow…”

Saya akan membacakan dari seorang penulis lain, namanya James Carroll, dan saya mau kalian menyimak apa katanya tentang penekanan yang berbeda Paus ini. Ingat, Paus ini adalah seorang Jesuit dan apa yang sedang kita pelajari tentang Jesuit? Mereka mengurangi apa? Peranan doktrin dan autoritas Kepausan. Karena mereka tahu bahwa Protestan tidak akan mau ikut jika mereka bersikokoh bahwa Paus adalah hakim kebenaran, dan mereka tahu bahwa bangsa-bangsa lain juga tidak akan ikut jika Kepausan berlanjut dengan titik-titik pembicaraannya yang tradisional. Itulah yang ditulis penulis ini, artikel ini muncul dengan judul “Siapalah saya mau menghakimi? Tahun Pertama seorang Paus Radikal” ini muncul di The New Yorker, 15 Desember 2013. Inilah yang ditulisnya, mengomentari Paus yang berkata, “Siapalah saya mau menghakimi?”     “…Isyarat keterbukaan ini, yang mengejutkan dunia Katolik, ternyata terbukti bukanlah kejadian satu-satunya…”  dengan kata lain ini bukan hanya satu kali salah omong.    “…Dalam serangkaian wawancara dan pidatonya dalam beberapa bulan pertama setelah pemilihannya di bulan Maret, Paus secara sepihak membuat pernyataan, semacam gencatan senjata dalam peperangan budaya yang telah memisahkan Vatikan dari sebagain besar dunia. Berulang-ulang dia mendebat bahwa tujuan gereja itu lebih kepada memproklamasikan kasih Allah yang mahamurah bagi semua orang daripada menghukum para pendosa karena tidak bisa mencapai peraturan-peraturan yang ketat, terutama yang berkaitan dengan gender dan orientasi seksual…”  Kasih! Jangan bicara tentang isu gender dan orientasi seksual. Lalu sekali lagi,   “…Pemutusan hubungannya dari pendahulu-pendahulu langsungnya…”  apa yang dilakukan Francis? Dia memutuskan hubungan dari siapa? Siapakah pendahulu-pendahulu langsungnya? Yohanes Paulus II dan Benedict XVI,   “…Pemutusan hubungannya dari pendahulu-pendahulu langsungnya, Yohanes Paulus II yang wafat 2005, dan Benedict XVI theolog tradisional Jerman yang turun dari takhtanya bulan Februari, lebih karena intuisi daripada karena idiologi, yaitu suatu visi yang inklusif dari gereja yang secara utama mengidentifikasikan dirinya dengan orang miskin. Dari visi ini akan mengalir inovasi-inovasi theologis dan organisatoris…”


So during the pontificate of Francis I,  the first Jesuit Pope in history, the traditional social talking points on sexual ethics and medical ethics have disappeared from the Roman Catholic Church. The Pope rarely mentions church doctrine, he rarely mentions the authority of the papal chair, “Who am I to judge?” he says.

Jadi selama pemerintahan Francis I, Paus Jesuit yang pertama dalam sejarah, titik-titik pembicaraan sosial yang tradisional mengenai etika seksual dan etika medis telah lenyap dari gereja Roma Katolik. Paus jarang menyebut doktrin gereja, dia jarang menyebut autoritas takhta Kepausan, “Siapalah saya mau menghakimi?” katanya.


In this same article by Francis Rocca whom I'm assuming is a Roman Catholic, he speaks about the Pope's visit to a prison where he washed the feet of a prisoner. The prison visit in Rome also displayed the Pope's characteristic emphasis on social and economic justice, themes he has elevated above questions of sexual and medical ethics, matters he has deemed too much of a preoccupation for the church. The church no longer needs to discuss these issues of medical ethics and sexual ethics, no,  now the talking points are immigration, the poor, open borders, etc.

Di artikel yang sama oleh Francis Rocca ~ yang saya rasa adalah seorang Roma Katolik ~ dia berbicara tentang kunjungan Paus ke sebuah penjara di mana Paus membasuh kaki seorang narapidana. Kunjungan ke penjara di Roma ini juga memamerkan penekanan karakteristik Paus pada keadilan sosial dan ekonomi, tema-tema yang telah diangkatnya di atas masalah tentang etika seksual dan medikal, hal-hal yang dianggapnya terlalu merepotkan kesibukan gereja. Gereja tidak lagi perlu berdiskusi tentang isu-isu etika medikal dan seksual, tidak, sekarang titik-titik pembicaraan ialah imigrasi, orang miskin, membuka perbatasan, dsb.


Four decades earlier or almost four decades earlier, Malachi Martin the Jesuit wrote the following, this is written actually 33 years ago, he described the Jesuits in the following way, “…In place of the other worldly purpose of the traditional church, the Society of Jesus has substituted the here-and-now struggle for the liberation of one class of men and women in our society today…” so he doesn't emphasize what's going to happen in the times to come, the future world, his concern is only this world, and upon “…one class of men and women in our society today, those millions who suffer from social economic and political injustice…” the very emphasis of the United Nations, that's in page 15 of his book The Jesuits.
On page 23 he wrote, “…Marriage, homosexuality, business ethics, human liberty, piety, every sphere of human existence were all to set adrift on the ever-changing tides of redefinition…”

Empat dekade sebelumnya, atau hampir empat dekade sebelumnya, Jesuit Malachi Martin menulis sebagai berikut, ini tepatnya ditulis 33 tahun yang lalu, dia menggambarkan Jesuit dengan cara berikut, “…Untuk menggantikan tujuan-tujuan duniawi yang lain gereja tradisional, Perkumpulan Yesus (= Jesuit) telah menukarnya dengan perjuangan hari ini demi memerdekakan satu golongan manusia di masyarakat kita sekarang…”  Jadi dia tidak menekankan pada apa yang akan terjadi kemudian di dunia yang akan datang. Perhatiannya hanya ada pada dunia ini sekarang, dan pada   “…satu golongan manusia di masyarakat kita sekarang, yaitu jutaan manusia yang menderita ketidakadilan sosio-ekonomi dan politik…”  penekanan yang persis sama dengan PBB. Ini di hal. 15 dari bukunya The Jesuit.
Di hal. 23 dia menulis,   “…Perkawinan, homoseksualitas, etika bisnis, kebebasan manusia, kerelijiusan, setiap aspek eksistensi manusia, semuanya  dihanyutkan dalam naik-turunnya gelombang pemberian definisi ulang.


I would recommend that you read the Pope's encyclical Laodato Si, all you have to do is google Laodato Si and you know immediately the first thing to come up is the encyclical as published by the Roman Catholic Church. I want you to notice the terms that the Pope uses in the encyclical. I made a collection of them. He speaks about the common good, our common home, he speaks against consumerism, he speaks about structures of power that are obstacles, he says we require a new and universal solidarity, he refers repeatedly to the poor, that there needs to be changes of lifestyle, production, and consumption. He speaks about migration caused by environmental degradation, speaks about production and consumption, he speaks against large multinational businesses, he refers to economic interests of transnational corporations, the cry of the earth, and the cry of the poor, extreme and selective consumerism, subordination of private property to the universal destination of goods, he speaks about maximizing profits, a better distribution of the world's wealth, everything is connected, everything is interrelated.
You read the encyclical and very little is said in the encyclical about the traditional talking points of the Roman Catholic Church. The talk is about the need to care for our common home, the environment, the need to help the poor, by the way these are all good causes ~ I'm not saying they're bad causes ~ the problem is the agenda behind it. Speaking about open borders no walls, etc.

Saya merekomendasikan kalian membaca ensiklikal Paus, Laodato Si. Kalian hanya perlu menggoogle Laodato Si, dan kalian tahu, yang pertama segera muncul ialah ensiklikal yang diterbitkan oleh gereja Roma Katolik. Saya mau kalian memperhatikan istilah-istilah yang dipakai Paus dalam ensiklikal itu. Saya telah mengumpulkan semuanya. Paus berbicara tentang kebaikan bersama, tempat tinggal kita bersama, dia berbicara menentang konsumerisme, dia berbicara tentang struktur kekuasaan yang menjadi penghalang, dia berkata kita membutuhkan suatu solidaritas baru yang universal, dia merujuk berulang-ulang kepada orang miskin, akan perlunya diadakan perubahan pola hidup, produksi dan konsumsi. Dia berbicara tentang migrasi yang diakibatkan oleh penurunan mutu lingkungan hidup, berbicara tentang produksi dan konsumsi, berbicara menentang bisnis multinasional yang besar, dia merujuk ke kepentingan ekonomi perusahaan-perusahaan trans-nasional, jeritan bumi, jeritan orang miskin, konsumerisme yang ekstrem dan selektif, tunduknya hak milik pribadi pada destinasi harta benda universal, dia berbicara tentang memaksimalkan laba, distribusi kekayaan alam yang lebih baik, semuanya berkaitan, semuanya saling berhubungan.
Kalian baca ensiklikal itu dan dalam ensiklikal itu hanya sedikit sekali disinggung tentang titik-titik pembicaraan tradisional gereja Roma Katolik. Yang dibicarakan ialah perlunya memelihara tempat tinggal kita bersama, lingkungan hidup, perlunya menolong yang miskin ~ nah semua ini adalah tujuan-tujuan yang bagus, saya tidak mengatakan ini tujuan-tujuan yang buruk ~ masalahnya ialah agenda yang ada di baliknya. Berbicara tentang perbatasan terbuka, tidak adanya tembok pemisah, dll.


Let me read you some of the paragraphs from his encyclical Laodato Si so you can see what his emphasis is. “…Every effort…” this is paragraph 5, “…every effort to protect and improve our world, entails profound changes in lifestyles, models of production and consumption, and the established structures of power that today govern societies…” So every effort to protect and improve our world, what do we need to  do to protect and improve our world? He says there need to be, “…profound changes in lifestyles, models of production and consumption…” that has to do with Capitalism,  “…and the established structures of power…” that's governments “…that today govern societies.”

Saya akan membacakan beberapa paragraf dari ensiklikalnya Laodato Si supaya kalian bisa melihat apa yang ditekankannya. “…Setiap upaya…”  ini di paragraf 5,  “…Setiap upaya untuk melindungi dan memperbaiki dunia kita, memerlukan perubahan mendalam dalam pola hidup, pola produksi dan konsumsi, dan struktur kekuasaan yang sudah ada yang hari ini menguasai masyarakat…”  Jadi setiap upaya untuk melindungi dan memperbaiki dunia kita, apa yang kita butuhkan untuk melindungi dan memperbaiki dunia kita? Dia berkata, harus ada    “…perubahan mendalam dalam pola hidup, pola produksi dan konsumsi…”  ini berkaitan dengan Kapitalisme, “…dan struktur kekuasaan yang sudah ada…”  ini pemerintahan,  “… yang hari ini menguasai masyarakat.”


On paragraph 51 he writes, “…A true ecological debt exists, particularly between the global north and south…” the global North are the rich nations, the global South are the poor nations.  So he says, “…An ecological debt exists particularly between the global north and south, connected to commercial imbalances with effects on the environment and the disproportionate use of natural resources by certain countries over long periods of time…” You never hear him criticizing China for their air quality which is far worse than in the United States. You never hear him criticizing India for the terrible air quality that they have there and for the pollution of rivers, etc. It's only a criticism of the Western world, where many countries are much more efficient than these other countries.

Di paragraf 51 dia menulis, “…Ada suatu utang ekologi yang nyata terutama antara Utara global dan Selatan global…”  Utara global adalah bangsa-bangsa yang kaya, Selatan global adalah bangsa-bangsa yang miskin. Jadi Paus berkata,    “…Ada suatu utang ekologi yang nyata terutama antara Utara global dan Selatan global, berkaitan dengan ketidakseimbangan komersial yang berakibat pada lingkungan hidup dan ketidakseimbangan proporsi pemakaian sumber-sumber alam oleh negara-negara tertentu selama jangka waktu yang sangat lama…”  Kita tidak pernah mendengarnya mengritik Cina tentang kualitas udara mereka yang jauh lebih buruk daripada yang ada di Amerika Serikat. Kita tidak pernah mendengarnya mengritik India tentang kualitas udara yang sangat mengerikan yang ada di sana dan tentang polusi sungai-sungai mereka, dll. Yang dikritik hanya dunia Barat, di mana banyak negara sudah jauh lebih efisien daripada negara-negara lain tersebut.

Paragraph 52 he writes,  “…Greater attention must be given to the needs of the poor, the weak, and the vulnerable, in a debate often dominated by more powerful interests…” that is against Capitalism.

Paragraf 52 dia menulis, “…Perhatian yang lebih besar harus diberikan kepada kepentingan orang yang miskin, yang lemah, dan yang tidak berdaya, dalam suatu perdebatan yang seringkali didominasi oleh kepentingan-kepentingan yang lebih kuat…”  yaitu terhadap Kapitalisme.


Paragraph 53 he writes, “…The establishment of a legal framework which can set clear boundaries and ensure the protection of ecosystems has become indispensable…” there needs to be a legal framework that will protect the environment, and for him that's global.

Paragraf 53 dia menulis, “…Pembuatan suatu kerangka yang legal yang menetapkan batasan-batasan yang jelas dan menjamin perlindungan ekosistem, sudah tidak bisa diabaikan…”  harus ada kerangka legal yang melindungi lingkungan hidup, dan bagi Paus itu global.


Paragraph 93,  I’ve already read this before, “…Christian tradition has never recognized the right to private property as absolute or an inviolable, and has stressed the social purpose of all forms of private property…” In other words, what you have belongs to your neighbor too, if your  neighbor needs it and wants to take it, fine, because it's not yours, it's for the common good.

Paragraf 93, sudah pernah saya bacakan ini, “…Tradisi Kristen tidak pernah mengakui hak kepemilikan pribadi sebagai mutlak dan tidak bisa diganggu gugat, dan telah menekankan pada  tujuan sosial segala bentuk harta benda pribadi…”  dengan kata lain, apa yang kita miliki adalah milik tetangga kita juga, jika tetangga kita membutuhkannya dan mau mengambilnya, baik saja, karena itu bukan milik kita, itu demi kebaikan bersama.


Paragraph 129, “…To ensure economic freedom, from which all can effectively benefit, restraints occasionally have to be imposed on those possessing greater resources and financial power…”

Paragraf 129, “…Untuk menjamin kebebasan ekonomi dari mana semua bisa menikmati secara efektif, dari waktu ke waktu perlu diterapkan pengekangan pada mereka yang memiliki sumber-sumber daya dan kekuatan finansial yang lebih besar. “


Here's another one, Laodato Si paragraph 164,  “…Interdependence obliges us to think of one world with a common plan. A global consensus is essential for confronting the deeper problems which cannot be resolved by unilateral actions on the part of individual countries…” thus the ideas for all countries to come together.

Ini yang lain lagi, Laodato Si paragraf 164, “…Saling ketergantungan mengharuskan kita berpikir untuk memiliki satu dunia dengan satu rencana yang sama. Satu persetujuan yang global itu penting untuk menghadapi masalah-masalah yang lebih mendalam yang tidak bisa diselesaikan oleh tindakan-tindakan sepihak negara-negara secara individu. …”  oleh karena itu konsep semua negara harus bersatu.


Paragraph 169,  “…International negotiations cannot make significant progress due to positions taken by countries which place their national interests above the global common good …”  That's why this present Pope dislikes Donald Trump because Donald Trump places the national interests above the global common good, in his mind.

Paragraf 169, “…Negosiasi internasional tidak bisa mencapai kemajuan yang signifikan karena posisi yang diambil oleh negara-negara yang menempatkan kepentingan nasional mereka di atas kebaikan global bersama…”  Inilah mengapa Paus yang sekarang tidak menyukai Donald Trump karena dalam pemikirannya Donald Trump menempatkan kepentingan nasional di atas kebaikan global bersama.   “…


Laodato Si  paragraph 208,  “…If we can overcome individualism…”  he says,  “…we will truly be able to develop a different lifestyle and bring about significant changes in society …”

Laodato Si paragraf 208, “…Jika kita bisa mengatasi individualisme…”  katanya,   “…kita akan benar-benar bisa mengembangkan suatu pola hidup yang berbeda dan menghasilkan perubahan-perubahan yang signifikan dalam masyarakat.”


All of these statements are pure Socialism and anti Capitalism. It's the same message of Communists, it's the same message that was used during the period of the Soviet Union, the former Soviet Union. Now, can world leaders identify with these new talking points? Think world leaders can identify with open borders, emphasis on the poor, the need to address climate change, does the United Nations feel comfortable with those things? Do all the nations feel comfortable with those things, most of the nations of the world ? Yeah, they say, “We like those talking points.  Don't  speak against LGBTQ, don't speak against gay marriage, don't speak against euthanasia,  talk to us about what we want to hear.

Semua pernyataan ini murni Sosialisme dan anti Kapitalisme. Ini adalah pesan yang sama dengan pesan Komunis, pesan yang sama yang dipakai selama periode Uni Soviet, Uni Soviet yang lama. Nah, bisakah para pemimpin dunia mengidentifikasi dengan titik-titik pembicaraan yang baru ini? Apakah para pemimpin dunia bisa mengidentifikasi dengan membuka perbatasan, kepentingan orang miskin, kebutuhan untuk menangani perubahan iklim, apakah PBB merasa nyaman dengan hal-hal ini? Apakah semua banga merasa nyaman dengan hal-hal ini, kebanyakan bangsa-bangsa yang ada di dunia? Iya, mereka berkata, “Kami suka titik-titik pembicaraan ini. Jangan berbicara menentang LGBTQ, jangan berbicara menentang perkawinan gay, jangan berbicara menentang euthanasia, bicaralah kepada kami apa yang mau kami dengar.


If you want to know what the political leaders of the world really think about Pope Francis  I,  all you have to do is remember the inaugural speech of Pope Francis I  at the 70th anniversary of the General Assembly of the United Nations in 2015, September of 2015.
After Pope Francis finished his speech there, where he, where you can read the speech if you google it,  “Pope's speech 70th anniversary of the General Assembly of the United Nations” it'll come up. His emphasis was totally on these talking points where he doesn't touch any of the traditional talking points.

Jika kalian ingin tahu apa pendapat sesungguhnya para pemimpin politik dunia tentang Paus Francis I, kalian hanya perlu mengingat pidato inaugurasi Paus Francis I di ulangtahun ke-70 Majelis Umum PBB di tahun 2015, September 2015.
Setelah Paus Francis selesai dengan pidatonya di sana, kalian bisa membaca pidato itu jika menggoogle: “Pidato Paus ulangtahun ke-70 Majelis Umum PBB” nanti akan muncul. Yang ditekankannya seluruhnya adalah titik-titik pembicaraan ini di mana dia sama sekali tidak menyinggung satu pun titik pembicaraan yang tradisional.


Have you ever heard of the Amazonia project? It's a project to save the tropical rainforests in the Amazon that are being chopped down, and the land is being used for agriculture. And so the Amazonia project is working with the local leaders in Brazil to try and save the tropical rainforest in the Amazon and the Pope is on board. Let me just read you what Pope Francis wrote about this. He wrote a preparatory document for the Amazonia project and this is what he wrote,  “…The encyclical Laodato Si invites us to an ecological conversion that implies a new way of life. Our neighbor acquires a central position in a horizon. This involves practicing global solidarity and overcoming individualism while opening up new paths to freedom, truth, and beauty…” listen carefully now, “…conversion means freeing ourselves from the obsession with consumerism, purchasing is a moral act not  merely an economic one, ecological conversion means embracing the mystically interconnected and interdependent nature of all…”   

Pernahkah kalian mendengar tentang proyek Amazonia? Sebuah proyek untuk menyelamatkan hutan tropis di Amazon yang sedang dibabat dan tanahnya dipakai untuk pertanian. Jadi proyek Amazonia ini bekerja sama dengan para pemimpin lokal di Brazil untuk berusaha menyelamatkan hutan tropis di Amazon dan Paus ikut di sana. Saya akan membacakan apa yang ditulis Paus Francis tentang ini. Dia menulis sebuah dokumen persiapan untuk proyek Amazonia dan inilah yang ditulisnya, “…Ensiklikal Laodato Si mengundang kita untuk ikut dalam suatu konversi ekologis yang mengimplikasikan suatu pola hidup yang baru. Tetangga kita memperoleh posisi pusat di cakrawala. Ini melibatkan praktek solidaritas global dan mengatasi individualisme, sementara membuka jalur-jalur baru menuju ke kebebasan, kebenaran, dan keindahan. …”  Dengarkan baik-baik sekarang,   “…Konversi berarti membebaskan diri dari obsesi dengan konsumerisme. Belanja adalah tindakan moral, bukan semata-mata tindakan ekonomi. Konversi ekologis berarti merangkul  sifat mistik alam yang saling terikat dan saling bergantung satu sama lain.


The Pope was going to meet with the Secretary General of the United Nations, the 19th of December of last year, this was recent, less than a month ago.  Antonio Guterres the Secretary-General of the United Nations, met with the Pope in Vatican, and in preparation for that meeting Guterres sent a letter to the Pope asking what his priorities were, and I want to read you a part of the letter,  “…I wanted to meet with the Holy Father to express my appreciation for his work. He is a strong voice…” this is the leader of the United Nations,  “…he is a strong voice on the climate crisis, on poverty, and inequality, and multilateralism. Through his work the Pope is contributing to reaching many of our objectives…” that is the objectives of the United Nations, “…including the sustainable development goals, combating climate change, and promoting a culture of peace. Building bridges is a good analogy and as we discuss the issues I just mentioned, I hope to explore how we can increase our collaboration between the United Nations and the papacy to do just that, build bridges to achieve more results for people who need them most.”   

Paus punya rencana bertemu dengan Sekjen PBB  pada 19 Desember tahun lalu, ini baru saja, kurang dari satu bulan lalu. Antonio Guterres, Sekjen PBB bertemu dengan Paus di Vatikan, dan dalam mempersiapkan pertemuan itu, Guterres mengirimkan sebuah surat kepada Paus menanyakan apa prioritasnya, dan saya mau membacakan sebagian dari surat tersebut, “…Saya mau betemu dengan Bapak Suci untuk menyampaikan apresiasi saya bagi pekerjaannya. Dia adalah suara yang nyaring…”  ini adalah tulisan pemimpin PBB,  “…Dia adalah suara yang nyaring tentang krisis iklim, tentang kemiskinan, dan ketimpangan, dan multilateralisme. Melalui pekerjaannya, Paus telah memberikan kontribusi untuk mencapai banyak dari objektif kami…” objektif PBB, “…termasuk target-target pengembangan yang berkesinambungan, memerangi perubahan iklim, dan menggalakkan suatu kebudayaan yang damai. Membangun jembatan merupakan analogi yang bagus dan selagi kita membicarakan isu-isu yang baru saya sebutkan, saya berharap bisa menjelajahi bagaimana kita bisa meningkatkan kerjasama kita antara PBB dengan Kepausan untuk tujuan itu, membangun jembatan agar mencapai lebih banyak hasil bagi mereka yang paling membutuhkannya.”


And so then they met, the Pope and Antonio Guterres. You can google this as well and you can see it, he met with the Pope on December 19 that just passed. And the Pope gave a prepared speech in Spanish, and Guterres even though he's from Portugal gave his speech in English, and I want to read what Guterres had to say. Nothing about the traditional talking points. This is what he said. “…Your holiness…”, speaking to the Pope, “…you are a messenger for hope and humanity, for you see human suffering and promote human dignity. Your clear moral voice shines through whether you are speaking on the plight of the most vulnerable, including refugees and migrants, confronting poverty and inequality, appealing for disarmament, building bridges between communities, and of course highlighting the climate emergency through your historic and cyclical Laodato Si and so many other vital efforts…” what are the talking points?  The most vulnerable, refugees and migrants, poverty, inequality, disarmament, building bridges between communities; none of the traditional talking points. These are all the new Jesuit talking points, to be palatable with the political powers of the world, the Socialist powers of the world. And then he says this ~ in case you are wondering whether the papacy is on the same page with the United Nations, the Socialist United Nations, because most of the nations that belong to the UN are Socialist/Globalist, they're always against the United States whenever a proposal comes up, they're against what the United States stands for, they're against Capitalism. Guterres continues, saying, “… These messages…” the messages of the Pope, “…coincide…” what does “coincide” mean? Harmonize or in harmony with, “…these messages coincide with the core values of the United Nations charters, namely to reaffirm the dignity and worth of the human person, to promote love of people, and care for a planet, to uphold a common humanity, and protect our common home, our world needs that more than ever. Coming to Rome from the COP 25…”  which is a climate change meeting in Madrid,  “…I call on all countries around the globe to commit to carbon neutrality by 2050, in line with what the scientific community tells us, is necessary to rescue the planet. Your Holiness, I am very grateful for your exceptional global engagement and strong support for our work in the United Nations, including your memorable visit to the UN headquarters in 2015, as the world reached agreement of the sustainable development goals, our blueprint for a fair globalization…”  Interesting, to talking points.

Maka mereka pun bertemu, Paus dan Antonio Guterres. Kalian bisa menggoogle ini juga dan kalian bisa melihat, Guterres bertemu dengan Paus pada 19 Desember yang baru lewat. Dan Paus menyampaikan pidatonya dalam bahasa Spanyol, sementara Guterres walaupun dia berasal dari Portugal, menyampaikan pidatonya dalam bahasa Inggris dan saya mau membacakan apa yang dikatakan Guterres. Sama sekali tidak menyinggung tentang titik-titik pembicaraan yang tradisional. Inilah yang dikatakannya,  “…Yang Mulia…”  berbicara kepada Paus,   “…Anda adalah utusan harapan bagi kemanusiaan karena Anda melihat penderitaan manusia dan meningkatkan martabat manusia. Suara moral Anda yang jelas, bersinar menembus, ketika Anda berbicara mengenai nasib buruk mereka yang paling tidak berdaya, termasuk para pengungsi dan migran, memerangi kemiskinan dan ketidaksetaraan, berjuang untuk pelucutan senjata, membangun jembatan antar komunitas, dan tentu saja menyoroti keadaan darurat iklim lewat siklikal Laodato Si yang bersejarah, dan begitu banyak upaya vital yang lain.…”  Apakah titik-titik pembicaraannya? Mereka yang tidak berdaya, pengungsi dan migran, kemiskinan, ketidaksetaraan, pelucutan senjata, membangun jembatan antar komunitas; sama sekali tidak ada titik pembicaraan yang tradisional. Ini adalah titik-titik pembicaraan Jesuit yang baru, supaya sedap bagi kuasa-kuasa politik dunia, kuasa-kuasa Sosialis dunia. Kemudian dia berkata ini ~ sekiranya kalian bertanya-tanya apakah Kepausan selaras dengan PBB, PBB yang Sosialis, karena kebanyakan bangsa-bangsa yang bergabung dengan PBB adalah Sosialis/Globalis, mereka selalu bertentangan dengan Amerika Serikat, setiap ada usul yang muncul, mereka menentang apa yang diwakili oleh Amerika Serikat, mereka menentang Kapitalisme. Guterres melanjutkan berkata,      “…Pesan-pesan ini…”  pesan-pesan Paus   “…selaras…”  apa artinya selaras? Sejalan, atau harmonis dengan,   “…Pesan-pesan ini selaras dengan nilai-nilai inti piagam-piagam PBB, yaitu menegaskan kembali martabat dan nilai seorang manusia, mempromosikan kasih bagi manusia, dan kepedulian bagi planet, untuk menegakkan kemanusiaan yang sederajat, dan melindungi tempat tinggal kita bersama, dunia kita membutuhkan itu sekarang lebih dari sebelumnya. Datang ke Roma dari COP25…”  yang adalah pertemuan perubahan iklim di Madrid,   “…saya berseru kepada semua negara di seluruh dunia untuk membuat komitmen mencapai netralitas karbon pada 2050, sejalan dengan apa yang disampaikan komunitas sains kepada kita, itulah yang dibutuhkan untuk menyelamatkan planet ini. Yang Mulia, saya sangat berterima kasih untuk keterlibatan global Anda yang luar biasa, dan dukungan yang kuat bagi pekerjaan kami di PBB, termasuk kunjungan Anda yang tidak terlupakan ke kantor pusat PBB pada 2015, saat dunia mencapai persetujuan atas target-target pengembangan yang berkesinambungan, cetak biru kami untuk globalisasi yang adil…”  Menarik. Tentang titik-titik pembicaraannya.


But the papacy is not only trying to encourage Globalism, world Socialism, by working from diplomat to diplomat. He is also behind these insurgent movements among the masses to clamor for what the papacy wants. Are you all acquainted with Greta Thundberg, the girl who every Friday doesn't go to school? She strikes, demanding that the world leaders do something about climate change. And thousands upon thousands of students have followed her example and the Pope received her in the Vatican to encourage her. So he's not only working from diplomat to diplomat from up-down, he's also working to establish popular movements to implement his agenda.

Tetapi Kepausan tidak saja berusaha menggalakkan Globalisme/Sosialisme dunia dengan bekerja dari diplomat ke diplomat. Dia juga berada di balik gerakan-gerakan massa yang revolusioner yang meneriakkkan apa yang diinginkan Kepausan. Apakah kalian mengenal Greta Thunberg, gadis yang setiap hari Jumat bolos sekolah? Dia mengadakan pemogokan, menuntut agar pemimpin-pemimpin dunia berbuat sesuatu tentang perubahan iklim. Dan ribuan pelajar mengikuti teladannya dan Paus menerimanya di Vatikan untuk memberikan dukungan padanya. Jadi Paus bukan hanya bekerja dari diplomat ke diplomat dari atas ke bawah, dia juga bekerja untuk membentuk gerakan-gerakan popular demi mengimplementasikan agendanya.


There's an article that appeared by John Allen Jr. December 15, 2019, this was just last month, where he wrote, “…Last August, the Vatican published a book called the Emergence of Popular Movements, Rerum Novarum, of Our Time…”, Rerum Novarum was an encyclical from the end of the 19th century, a reference to the 1891 social encyclical of Pope Leo XIII, that launched modern Catholic social thinking.  “…Clearly the idea was to lift up popular movements as the most important embodiment of the church's social agenda in our time, with Francis calling them a lever for profound social transformation….” So in other words, the papacy is not only working from diplomat to diplomat from the Vatican with the nations on a diplomatic level, but it is also encouraging movements, grassroots movements, by people to implement the papal agenda.

Ada sebuah artikel yang ditulis John Allen Jr. yang terbit 15 Desember 2019, ini baru bulan lalu, di mana dia menulis, “…Agustus lalu, Vatikan telah menerbitkan sebuah buku berjudul Emergence of Popular Movements ~ Rerum Novarum of Our Time (Kemunculan Gerakan-gerakan Populer ~ Rerum Noverum Masa Kita)…”  Rerum Novarum adalah sebuah ensiklikal dari akhir abad ke-19, sebuah rujukan kepada ensiklikal sosial Paus Leo XIII tahun 1891 yang melansir pemikiran sosialis modern Katolik.   “…Jelaslah, idenya ialah mengangkat gerakan-gerakan popular sebagai perwujudan yang paling penting dari agenda sosial gereja di zaman kita, dengan Francis menyebut mereka pendongkrak bagi transformasi sosial yang paling mendalam…”  Jadi dengan kata lain Kepausan bukan saja bekerja dari diplomat ke diplomat, dari Vatikan kepada bangsa-bangsa pada jajaran diplomatik, tetapi juga mendorong gerakan-gerakan, gerakan-gerakan akar rumput dari masyarakat guna mengimplementasikan agenda Kepausan.


32 years ago, 33 now, Malachi Martin said just this. Let me read it, “…Nevertheless the brute fact is that many Jesuits wish to see a radical change in the Democratic Capitalism of the West, in favor of a Socialism, that seems inevitably to come up smelling just like totalitarian Communism…” in other words, what the Jesuits say, well it is something that they say is different than Communism. But it smells just like Communism.
33 years ago Malachi Martin wrote what the agenda of the Jesuits is, notice the talking points. He's describing this long before Francis I comes on the scene, “…Therefore…” Martin wrote, “…therefore, by concentrating on the issues of human rights, refugees, minorities, exploitation of peasants-workers-women, and the helpless; the society would be committing itself to the promotion of a more just world order, greater solidarity of rich countries with the poor and a lasting peace based on human rights and freedom. We must strive for international justice and an end to the arms race. By those works of justice Jesuits would be foreshadowing the new age which is to come. But the validity of our mission, the Jesuits would say, would depend to a large extent on our solidarity with the poor…”

32 tahun yang lalu, sekarang 33 tahun, Malachi Martin mengatakan persis demikian. Saya akan membacakan,   “…Namun demikian, fakta brutalnya ialah banyak Jesuit ingin melihat terjadinya perubahan radikal di Kapitalisme demokratis dunia Barat, agar beralih ke Sosialisme yang tidak dapat dihindari pasti akan muncul, yang baunya persis seperti Komunisme totaliter…”  dengan kata lain, apa yang dikatakan Jesuit, nah itu sesuatu yang berbeda dari Komunisme. Tetapi baunya persis seperti Komunisme.
33 tahun yang lalu Malachi Martin sudah menulis apa agenda Jesuit, perhatikan titik-titik pembicaraan mereka. Malachi Martin menggambarkan ini jauh sebelum Francis I muncul di panggung, “…Oleh karena itu…”  tulis Martin,   “…Oleh karena itu, dengan memusatkan perhatian pada isu-isu hak-hak azasi kemanusiaan, para pengungsi, golongan minoritas, eksploitasi petani-pekerja-perempuan dan yang tidak berdaya, masyarakat akan komit untuk meningkatkan tatanan dunia yang lebih adil, solidaritas yang lebih besar dari negeri-negeri yang kaya terhadap yang miskin, dan perdamaian yang abadi berdasarkan hak-hak azasi kemanusiaan dan kebebasan. Kita harus berjuang untuk keadilan internasional dan mengakhiri perlombaan persenjataan. Melalui pekerjaan-pekerjaan keadilan, Jesuit  akan menjadi bayangan pendahulu dari era baru yang akan datang. Tetapi validitas misi kita, kata Jesuit, akan sangat bergantung pada solidaritas kita dengan yang miskin…”


Notice what Ellen White wrote in Great Controversy 235, “…When appearing as members of their order…” she's describing the Jesuits, “…when appearing as members of their order they wore a garb of sanctity, visiting prisons and hospitals, ministering to the sick and poor, professing to have renounced the world, and bearing that sacred name of Jesus who went about doing good…”  Is that what the present Pope does? Absolutely. He washes the feet of prisoners and embraces lepers and, you know, lives in humble quarters in the Vatican so people say, “Wow, you know the papacy has changed, they used to persecute now it doesn't.” Ellen White concludes the statement by saying,  “…but under this blameless exterior, the most criminal and deadly purposes were often concealed…” a façade.

Simak apa yang ditulis Ellen White di Great Controversy hal. 235, “…Ketika tampil sebagai anggota Ordo mereka…”  dia menggambarkan para Jesuit,  “…Ketika tampil sebagai anggota Ordo mereka, mereka mengenakan jubah kesalehan, mengunjungi penjara-penjara dan rumah-rumah sakit, melayani yang sakit dan miskin, mengaku telah meninggalkan keduniawian, dan sambil memakai nama kudus Yesus yang pergi ke mana-mana berbuat baik…”  Itukah yang dilakukan Paus yang sekarang? Tentu saja. Dia membasuh kaki para narapidana, memeluk orang-orang kusta, kalian tahu, diam di tempat yang sederhana di dalam Vatikan sehingga orang-orang berkata, “Wow, Kepausan sudah berubah, mereka tadinya menganiaya, sekarang tidak.” Ellen White mengakhiri pernyataannya dengan berkata,  “…tetapi di bawah eksterior yang tidak bercacat ini, sering tersembunyi tujuan yang paling kriminal dan mematikan…”  Suatu penampilan yang menipu.


You know scripture portrays the Antichrist as devious, calculating, duplicitous, shrewd, wily, deceptive, sly, and hypocritical. In fact in Daniel 8:25 we’re told through his cunning ~ that is the Little Horn, the Antichrist ~ through his cunning, he shall cause deceit to prosper under his rule. You see Antichrist’s work is covert, under the radar, by subterfuge and the Evangelical view of the Antichrist is, that the  Antichrist is going to be like that person in the Left Behind series:  Nicolae who openly, you know, flaunts that he is the Antichrist, building a huge statue of himself saying everybody worship the statue in my honor and tattooing people with the mark of the Beast on the forehead or on the right hand. How many Christians is that going to deceive? None! But if the Antichrist appears overtly to be Christian but under the surface is anti-Christian, that would deceive very many. And that's exactly what's happening.

Kalian tahu, Alkitab menggambarkan Antikristus sebagai sosok yang licin, yang memperhitungkan semuanya, suka meniru, cerdas, banyak akal, menipu, licik dan munafik. Malah di Daniel 8:25 kita mendapat tahu melalui kelicikannya ~ yaitu si Tanduk Kecil, si Antikristus ~ melalui kelicikannya dia akan membuat penipuan marak selama pemerintahannya. Lihat, pekerjaan Antikristus itu tersembunyi, diam-diam, lewat penipuan, dan pandangan golongan Evangelis (Protestan) tentang Antikristus ialah dia seperti tokoh yang ada di seri Left Behind: Nikolae, yang, kalian tahu, secara terbuka memamerkan dialah si Antikristus, yang membuat sebuah patung diri yang besar dan menyuruh semua orang harus menyembah patung itu sebagai penghormatan padanya, dan merajah orang-orang dengan tanda Binatang di dahi atau tangan kanan mereka. Berapa banyak orang Kristen yang akan tertipu dengan itu? Tidak ada! Tetapi jika Antikristus muncul secara terbuka sebagai Kristen tetapi sebenarnya di bawah permukaan itu dia anti-Kristen, itu akan menipu banyak orang. Dan persis seperti itulah yang sedang terjadi.


If the religions of the world: Hindus, Muslims, and Buddhists, and Protestants focused on their doctrines they could never unite. But if you can get them to focus on all of these other issues, unity is much easier.

Jika agama-agama dunia: Hindu, Muslim, dan Buddha, dan Protestan masing-masing fokus pada doktrin mereka sendiri, mereka tidak akan pernah bisa bersatu. Tetapi bila mereka bisa disuruh fokus pada semua isu yang lain, maka persatuan menjadi lebih mudah.


Now in October of 2019 there was a synod with the bishops of the Amazon meeting with Pope Francis I. A majority of the bishops at this Synod told the Pope that they wanted to be able to get married and still serve as priests, because there was a scarcity of priests. Nobody wanted to join the priesthood unless they could get married. And so they suggested almost unanimously that the Pope should allow for priests to marry in the Amazon area, and the Pope showed himself sympathetic to their requests. But this has caused a rift between Francis I  and the traditional Pope Benedict XVI. See, when Benedict “retired”, “retired” in quotation marks,  he promised, and now I quote, “…I promise to remain hidden from the world…” those are his words. However, in a book that's going to be published in February, that is next month,  the title of the book is From The Depths Of Our Hearts: Priesthood Celibacy And The Crisis Of The Catholic Church, Benedict takes issue in that book with Francis' flexibility on this issue. You see, conservative Roman Catholics are nostalgic about what the papacy used to be. In fact many of them are saying that the resignation of Pope Benedict was illegal, that he still is the Pope in their minds.

Nah, di Oktober 2019, sinode uskup-uskup Amazon bertemu dengan Paus Francis I. Mayoritas uskup-uskup di sinode ini berkata kepada Paus bahwa mereka ingin diperbolehkan menikah dan tetap melayani sebagai imam karena ada kekurangan imam. Tidak ada yang mau menjdi imam kecuali mereka boleh menikah. Maka mereka mengusulkan hampir dengan suara bulat supaya Paus mengizinkan mereka yang di daerah Amazon menikah, dan Paus menunjukkan dirinya bersimpati pada permintaan mereka. Tetapi ini menimbulkan keretakan antara Francis I dan Paus Benedict XVI yang tradisional. Lihat, ketika Benedict “pensiun”, “pensiun” dalam tanda kutip, dia berjanji dan saya kutip,  “…Saya berjanji untuk tetap tersembunyi dari dunia…”  itulah kata-katanya. Namun, dalam sebuah buku yang akan diterbitkan di bulan Februari, yaitu bulan depan, judul bukunya ialah From the Depths of Our Hearts: Priesthood Celibacy and the Crisis of the Catholic Church (Dari Lubuk Hati Kami: Keselibatan Imam dan Krisis Gereja Katolik). Benedict dalam buku itu mempermasalahkan fleksibilitas Francis dengan kasus ini. Kalian lihat, Roma Katolik yang konservatif masih mengingat Kepausan yang lama. Bahkan banyak dari mereka berkata pengunduran diri Paus Benedict itu tidak sah, bahwa dalam pikiran mereka, dia masih Paus.


Now we can also see the shift away from the traditional dogmas of the church because let me tell you, that allowing priests to marry would go against what has been believed and practiced for centuries in the Roman Catholic Church. It would be a radical change.
In the ordination of women priests, that would be a cataclysmic decision by the papacy but we can see this shift away from doctrine and from the authority of the papal chair in another detail.

Sekarang kita juga bisa melihat pergeseran dari dogma-dogma gereja yang tradisional karena, izinkan saya memberitahukan kalian, memperbolehkan imam-imam menikah itu bertentangan dengan apa yang telah diyakini dan dipraktekkan selama berabad-abad di gereja Roma Katolik. Itu akan menjadi perubahan yang radikal.
Dengan pengurapan imam wanita, itu akan menjadi keputusan yang sangat mengguncang Kepausan, tetapi kita bisa melihat pergeseran dari doktrin dan dari autoritas takhta Kepausan ini di detail yang lain.


On February 18, 2017, this is not too long ago, Giuseppe Rusconi,  an editor of a newspaper in Italy, had a personal interview with Father Arturo Sosa Abascal who is the new Father General, actually he's the Father General number 31 of the Jesuit Order. Now Abascal was elected by the Jesuits, by the Council of Pope Francis I, he was elected the Father General on October 14, 2016, he is what is called the Black Pope because he dresses in black.  And Rusconi did this interview, this newspaper editor did an interview with Abascal, the Head of the Jesuit Order, and he asked Abascal whether Gerhard Mueller who is the Head of what used to  be the Inquisition was a fundamentalist for saying that the words of Jesus concerning marriage were clear, and that  no power in heaven, on earth, neither an angel nor the Pope, neither a council nor law of the bishops, has the faculty to modify them. The words that Jesus spoke, that a man marries a woman in Matthew chapter 19. So he was asked by this newspaper editor, whether Gerhard Mueller the Head of the Inquisition or the Prefect of the Congregation of the Faith, was a fundamentalist or traditionalist because he said that the words of Jesus that are clear in Matthew 19 there is no  power in heaven or on earth, neither an angel nor the pope, neither a council nor the law of the bishops, has the faculty to modify the words of Jesus.
Let me give you the question that Rusconi asked, and then I'll give you Abascal's answer.  “…Cardinal Gerhard L. Mueller, the Prefect of the Congregation for the Doctrine of the Faith has said with regard to marriage, that the words of Jesus are very clear and no power in heaven and on earth, neither an angel nor the Pope, neither a council nor law of the bishops, has the faculty to change them…”  So he says,  “…What do you think about that?” 
Here's Abascal’s answer,  “…So then there would have to be a lot of reflection on what Jesus really said. At that time no one had a recorder to take down His words. What is known is that the words of Jesus must be contextualized…” in other words, they apply to that time, not necessarily to this, “…they are expressed in a language in a specific setting, they are addressed to someone in particular…” in other words, just to that person, they don't apply forever. 
And then Rusconi the editor asks  in this,  “…But if all the words of Jesus must be examined and brought back to the historical context, they do not have an absolute value.” 
Here's Abascal's answer, “…Over the last century in the church there has been a great blossoming of studies that seek to understand exactly what Jesus meant to say.  That is not relativism but a test that the Word is relative…” the Word of God is what? Relative! The traditional Popes would never say that! “…That is not relativism but a test that the Word is relative. The Gospel is written by human beings. It is accepted by the church which is made up of human persons. So it is true that no one can change the words of Jesus, but one must know what His word was.”  Well, the Gospels say what His word was.

Pada 18 Februari 2017, tidak berselang terlalu lama, Giuseppe Rusconi, seorang editor surat kabar di Itali, secara pribadi mewawancarai Bapak Arturo Sosa Abascal yang adalah Bapak Kepala yang baru, sebenarnya dialah Bapak Kepala nomor 31 Ordo Jesuit. Nah, Abascal dipilih oleh para Jesuit, oleh Konsili Paus Francis I, dia dipilih sebagai Bapak Kepala pada 14 Oktober 2016, dan dia disebut Paus Hitam karena dia memakai pakaian hitam-hitam. Dan Rusconi melakukan wawanara ini, editor surat kabar itu melakukan wawancara dengan Abascal, kepala Ordo Jesuit dan dia menanyai Abascal apakah Gerhard Mueller yang adalah Kepala dari yang dulunya disebut Inquisisi, adalah seorang fundamentalis karena mengatakan bahwa kata-kata Yesus mengenai perkawinan itu jelas, dan tidak ada kuasa di langit, di bumi, apakah dari malaikat atau dari Paus, tidak ada konsili atau peraturan uskup, yang mampu mengubahnya. Kata-kata yang diucapkan Yesus bahwa seorang laki-laki mengawini seorang wanita di Matius pasal 19. Jadi Abascal ditanyai editor surat kabar itu apakah Gerhard Mueller Kepala Inquisisi atau Kepala Congregation of the Faith, adalah seorang fundamentalis atau tradisionalis karena dia mengatakan bahwa kata-kata Yesus yang jelas di Matius 19, tidak ada kuasa di langit atau di bumi, baik oleh malaikat maupun Paus, baik oleh konsili atau peraturan uskup, yang mampu mengubah kata-kata Yesus.
Saya akan membacakan pertanyaan yang ditanyakan Rusconi, kemudian saya akan memberikan jawaban Abascal.  “…Uskup Gerhard L. Mueller, Kepala Congregation for the Doctrine of the Faith, berkata sehubungan dengan perkawinan, bahwa kata-kata Yesus sudah sangat jelas dan tidak ada kuasa di langit dan di bumi, baik dari malaikat maupun Paus, baik oleh konsili atau perturan uskup  yang mampu mengubahnya…”  Jadi dia bilang,   “…Bagaimana itu menurut Anda?”  
Dan ini jawaban Abascal, “…Jadi, harus ada banyak perenungan tentang apa yang sesungguhnya dikatakan Yesus. Pada waktu itu tidak ada alat yang merekam kata-kataNya. Apa yang diketahui sebagai kata-kata Yesus harus dikontekstualisasikan…”  dengan kata lain kata-kata itu berlaku untuk saat itu, belum tentu untuk masa sekarang,  “…Kata-kata itu diekspresikan dalam bahasa dengan setting yang khusus, dialamatkan kepada orang yang tertentu…”  dengan kata lain, hanya kepada orang tersebut, tidak berlaku selamanya.
Lalu Rusconi si editor bertanya tentang ini,   “…Tetapi jika semua kata-kata Yesus harus diperiksa dan dikembalikan ke konteks historisnya, artinya mereka tidak punya nilai mutlak.”
Ini jawaban Abascal, “…Selama abad yang lalu di gereja telah berkembang banyak penyelidikan untuk berusaha memahami apa sesungguhnya yang memang ingin dikatakan Yesus. Itu bukan relativisme tetapi suatu ujian bahwa Firman itu relatif…”  Firman Allah itu apa? Relatif! Paus-paus yang tradisional tidak akan pernah mengatakan demikian!   “…Itu bukan relativisme tetapi suatu ujian bahwa Firman itu relatif. Injil ditulis oleh manusia, diterima oleh gereja yang terdiri atas manusia. Jadi memang benar tidak ada yang bisa mengubah kata-kata Yesus, tetapi kita harus  tahu, apa kata-kataNya tersebut…”  Alkitab sudah mengatakan apa kata-kataNya itu.


What did Abascal say about doctrine? Rusconi asked him, this was his answer, “…The church has developed over centuries. It is not a piece of reinforced concrete. It was born, it has learned, it has changed. This is why the ecumenical councils are held to try to bring developments of doctrine into focus. ‘Doctrine’ is a word that I don't like…” what is the Head of the Jesuits saying?  “… ‘Doctrine’ is a word that I don't like very much. It brings with it the image of the hardness of stone, instead the human reality is much more nuanced.  It is never black or white. It is in continual development…” Amazing change in the traditional view of the papacy.

Apa kata Abascal tentang doktrin? Rusconi bertanya padanya, inilah jawabannya,   “…Gereja telah berkembang selama berabad-abad. Gereja bukan sepotong beton bertulang. Dia lahir, dia belajar, dia berubah. Inilah mengapa konsili-konsili ekumeni diadakan untuk mencoba mendatangkan fokus pada perkembangan doktrin. ‘Doktrin’ adalah kata yang tidak saya sukai…”  apa kata Kepala Jesuit?   “…’Doktrin’ adalah kata yang tidak saya sukai amat. Itu mengesankan kekerasan batu, padahal manusia realitanya lebih bernuansa, tidak pernah hitam atau putih. Dia terus berkembang…”  Perubahan yang menakjubkan dari pandangan tradisional Kepausan.


As I mentioned, notably Abascal is from Venezuela, an avowed Communist country filled and riddled with disease, poverty, hunger, crime, and civil unrest. One of the most dangerous countries in the world. My wife has three sisters and a brother that lived there and we can't go there, it's too dangerous. What does the Pope said about the situation in Venezuela? Nothing, because he's a Communist. You say,  “Well that's kind of strong, wouldn't you rather say that he's a Socialist?”  Well, there's not a lot of difference when it comes to him.  What has he said ? “Well, there needs to be a dialogue between the government and the opposition.”  But not condemning the human rights abuses that are practiced, they're killing political prisoners that don't agree with the regime, killing students who go out to demonstrate. Nothing, the Pope has said nothing about that, because that would be condemning Socialism, which he is in favor of.

Seperti yang pernah saya katakan, khususnya Abascal berasal dari Venezuela, suatu negara yang mengaku Komunis, dipenuhi dan berlubang-lubang oleh penyakit, kemiskinan, kelaparan, kejahatan, dan keresahan sosial. Salah satu negara yang paling berbahaya di dunia. Istri saya memiliki tiga saudara perempuan dan satu saudara laki-laki yang hidup di sana dan kami tidak bisa berkunjung ke sana, terlalu berbahaya. Apa kata Paus tentang situasi di Venezuela? Sama sekali tidak berkata apa-apa, karena dia seorang Komunis. Kalian berkata, “Nah, itu terlalu keras, apa tidak lebih baik dikatakan dia seorang Sosialis?” Nah, tidak beda banyak dalam kasusnya. Apa kata Paus? “Nah, perlu ada dialog antara Pemerintah dengan oposisi.” Tetapi dia tidak mengutuk pelanggaran hak azasi manusia yang dilakukan, mereka membunuh tawanan-tawanan politik yang tidak setuju dengan regime, membunuh para mahasiswa yang keluar berdemonstrasi. Paus sama sekali tidak berkata apa-apa tentang hal itu karena itu berarti mengutuk Sosialisme, yang didukungnya.

Now as we come to an end of our study I want to mention that the Pope has three main talking points or causes and he relates all three to the observance of Sunday. What are those three causes?
·       Climate change,
·       poverty which involves immigration,
·       and the disintegration of the family.

Nah, sementara kita mengakhir pelajaran kita, saya mau mengatakan bahwa Paus punya tiga titik pembicaraan atau tujuan utama dan dia mengaitkan ketiga-tiganya kepada pemeliharaan hari Minggu. Apakah ketiga tujuan tersebut?
·       Perubahan iklim
·       Kemiskinan yang melibatkan imigrasi
·       Dan disintegrasi keluarga.


What has he argued? He says, Capitalism has enslaved the poor and deprived them of necessary rest and therefore international government should draw up laws to pressure private enterprise to give them a Sunday rest.  In the European Union's there’s a strong push for laws in the European Union to close everything down on Sunday to give the poor overworked rest.  What day do you suppose the Pope proposes that the poor rest? Sunday.

Apa yang diperdebatkannya? Dia berkata, Kapitalisme telah memperbudak orang-orang miskin dan mengambil hak mereka atas istirahat yang mereka butuhkan, dan oleh karena itu pemerintahan internasional harus membuat undang-undang untuk menekan perusahaan-perusahaan swasta memberikan mereka istirahat pada hari Minggu. Di Uni Eropa ada dorongan kuat untuk membuat undang-undang, yang menutup semua pada hari Minggu di Uni Eropa untuk memberikan istirahat kepada orang miskin yang sudah bekerja di luar batas. Menurut kalian kira-kira hari apa yang diusulkan Paus seabgai hari istirahat? Minggu.


What about the environment? He says, well, you know, Capitalism has spoiled the environment by emissions, contaminating the rivers, etc. The planet, the environment, needs one day out of the week to rest. But you can't guess what day that is. Sunday.

Bagaimana dengan lingkungan hidup? Dia berkata, Yah, kalian tahu, Kapitalisme telah merusak lingkungan hidup melalui emisi-emisi, kontaminasi sungai-sungai, dll. Planet ini, lingkungan hidup ini, membutuhkan satu hari dalam satu minggu untuk beristirahat. Tetapi kalian tidak bisa menebak hari mana itu. Hari Minggu.


He's also gone on the record saying that the family is always involved in the rat race of life: taking kids to school, preparing meals, shopping, and families don't have time to get together to bond. The family needs one day where they can go to church and reconnect with their spiritual roots. Can you guess what day he suggests? Sunday.

Dia juga pernah tercatat mengatakan bahwa keluarga selalu terlibat dalam perlombaan  perjuangan hidup: membawa anak-anak ke sekolah, menyiapkan makanan, belanja, dan keluarga tidak punya waktu berkumpul untuk menjalin hubungan. Keluarga membutuhkan satu hari di mana mereka bisa pergi ke gereja dan terhubung kembali dengan akar spiritual mereka. Bisakah kalian menebak hari apa yang dia usulkan? Minggu.


All Sunday laws first of all have had a social purpose and then they morph into religious laws. That's exactly what's happening these days .

Semua Undang-undang Hari Minggu pertamanya memiliki tujuan sosial, kemudian mereka berubah bentuk menjadi Undang-undang relijius. Persis seperti itulah yang sedang terjadi sekarang.


Let me read you what the Pope had to say about Sunday, “…On Sunday our participation in the Eucharist…” that is in the partaking of the Lord's Supper which we believe differently than the Catholic Church, “…on Sunday our participation in the Eucharist has special importance.  Sunday like the Jewish Sabbath…”  there's no text in the Bible that refers to the Sabbath as the Jewish Sabbath, no where. The Bible says, it's “the Sabbath of the Lord your God”, in Isaiah 58 it says, “take your foot away from My holy day …” ,  “…you shall keep My Sabbaths”,  “…the Son of Man is Lord of the Sabbath”,  the Bible is clear. But he says,  “…Sunday like the Jewish Sabbath is meant to be a day which heals our relationships with God, with ourselves, with others, and with the world…”  

Izinkan saya membacakan apa yang dikatakan Paus tentang hari Minggu, “…Pada hari Minggu partisipasi kita dalam Ekaristi…”  ini partisipasi dalam Perjamuan Tuhan yang berbeda menurut keyakinan kita dari gereja Katolik,  “…Pada hari Minggu partisipasi kita dalam Ekaristi memiliki kepentingan yang istimewa. Hari Minggu, seperti hari Sabat Yahudi…”  di Alkitab tidak ada ayat yang merujuk hari Sabat sebagai Sabat Yahudi, tidak ada. Alkitab berkata, “Sabat Tuhan Allahmu”, di Yesaya 59 dikatakan, “tidak menginjak-injak… pada hari kudus-Ku”,  “kamu harus memelihara hari-hari Sabat-Ku”,  “Anak Manusia adalah Tuan atas hari Sabat”. Alkitab jelas. Tetapi Paus berkata,   “…hari Minggu seperti hari Sabat Yahudi dimaksudkan sebagai hari yang memulihkan hubungan kita dengan Allah, dengan diri sendiri, dengan orang lain, dan dengan dunia…”


The causes that the Pope is fighting for:  to help the poor  ~ can we agree that we need to help the poor? That we need to take care of the environment?  That the family needs to stick together and it needs to, you know, have time where they can build relationships within the family? Those are good causes. The only problem is the Pope has the wrong day.

Tujuan-tujuan yang diperjuangkan Paus: menolong yang miskin ~ setujukah kita bahwa kita perlu menolong yang miskin? Bahwa kita perlu memelihara lingkungan hidup? Bahwa keluarga perlu bersatu dan perlu punya waktu di mana mereka bisa membangun hubungan di dalam keluarga? Semua itu adalah tujuan yang baik. Satu-satunya masalahnya ialah Paus memakai hari yang salah.


Now, let me talk to you just briefly about the final controversy, the final conflict. The final conflict is not really a conflict of days, it's a conflict of authorities. If we keep the Sabbath, who's authority are we recognizing?  God’s, who has established the Sabbath. If we keep Sunday whose authority are we respecting? The authority that claims to  have changed the day, which is the Little Horn, the papacy. So behind the days is the question of authority, in other words, the days are a means to test whose authority we will obey. And the Roman  Catholic Church recognizes that.

Sekarang, saya mau berbicara singkat saja tentang kontroversi terakhir, konflik terakhir. Konflik terakhir sesungguhnya bukan konflik tentang hari, tetapi konflik tentang autoritas. Jika kita memelihara Sabat, autoritas siapa yang kita akui? Allah, yang telah menetapkan Sabat. Jika kita memelihara hari Minggu, autoritas siapa yang kita hormati? Autoritas dia yang mengklaim telah mengubah hari, yaitu Tanduk Kecil, Kepausan.
Jadi di balik hari-hari ini ada masalah autoritas, dengan kata lain, hari-hari itu hanyalah sarana untuk menguji autoritas siapa yang akan kita patuhi. Dan gereja Roma Katolik mengenali hal itu.


I want to read you a statement that was written by a man called John O'Brien in the book The Faith Of Millions. He was a teacher for many years at the University of Notre Dame in South Bend, Indiana, and he wrote this very interesting quotation in his book, and I read it now. He's actually saying to Protestants,  you guys are inconsistent. “But since Saturday not Sunday is specified in the Bible, isn't it curious that non-Catholics who profess to take their religion directly from the Bible and not from the church, observes Sunday instead of Saturday? Yes, of course it is inconsistent. But this change was made about 15 centuries before Protestantism was born and by  that time the custom was universally observed. Protestants have continued the  custom, even though it rests upon the authority of the Catholic Church and not upon an explicit text in the Bible…” Now listen carefully, “…That observance remains as a reminder of the Mother Church…” the observance of Sunday remains as what? “…as a reminder of the Mother Church from which the non-Catholic sects broke away, like a boy running away from home but still carrying in his pocket a picture of his mother or a lock of her hair…” (pg.400) What he's saying is that the daughters that were born from the papacy never totally disconnected from the papacy, they ran away from home but the reminder of the mother will bring them back.

Saya mau membacakan suatu pernyataan yang ditulis oleh seorang yang bernama John O’Brien dalam buku The Faith of Millions (= Iman Berjuta Manusia). Dia seorang dosen selama bertahun-tahun di Universitas Notre Dame, South Bend, Indiana, dan dia menulis kutipan yang sangat menarik ini dalam bukunya, yang akan saya bacakan sekarang. Sebenarnya dia berkata kepada Protestan, kalian itu tidak konsisten. “…Tetapi karena Sabtu bukan Minggu yang tertulis di Alkitab, apakah tidak aneh non-Katolik yang mengaku mengambil agama mereka langsung dari Alkitab dan bukan dari gereja, memelihara hari Minggu dan bukan Sabtu? Ya, tentu saja itu tidak konsisten. Tetapi perubahan ini sudah dibuat sekitar 15 abad sebelum Protestantisme lahir, dan pada saat itu kebiasaan tersebut sudah dipelihara secara universal. Protestant melanjutkan kebiasaan itu walaupun itu berdasarkan autoritas gereja Katolik dan bukan berdasarkan ayat tertentu di Alkitab…” Sekarang dengarkan baik-baik,  “…Pemeliharan hari Minggu itu tersisa sebagai peninggalan Gereja Induk…”  pemeliharan hari Minggu tersisa sebagai apa?   “…sebagai peninggalan Gereja Induk dari mana sekte-sekte non-Katolik telah memisahkan diri, seperti seorang anak yang melarikan diri dari rumah tetapi tetap menyimpan di sakunya foto ibunya atau seikat rambut ibunya (hal. 400)…”  Apa yang dikatakannya ialah anak-anak perempuan yang lahir dari Kepausan tidak pernah benar-benar putus hubungan dari Kepausan, mereka lari dari rumah tetapi ingatan tentang ibunya akan membawa mereka pulang. 

Final point.  September 26, 1860, a committee met at Battle Creek Michigan to decide whether to adopt the name for the movement that grew out of the disappointment in 1844. Among the members of that committee that were to decide whether to give this denomination a name, were Brother Loughborough, Brother Hewitt, and Brother Poole, among others. One minister in the committee said we need to be called the “Church of God”, to which Elder Loughborough objected, he  said, “All churches claimed to be the Church of God, what's unique about that?” After much discussion Brother Poole made the following motion, resolved that we call ourselves Seventh-Day Adventists. There was only one dissenting vote, the minister who suggested that we be called “the Church of God.” Less than a month later, on October 23, 1860, in the Review and Herald this notice appeared: The name Seventh-Day Adventists was proposed as a simple name and one expressive of our faith and position. 
Why is our name so important at this stage in history? Because what it teaches is a supernatural divine beginning and a supernatural divine ending.  “Seventh-Day” means that we believe that the story of creation is literal, sin is literal, the infection of sin is literal,  the need for a savior is literal, the second coming of Jesus is literal, that's the “Adventist” part. In a world that embraces evolutionary beginnings, in a world that says, no, you know, the world would become better and better through human genius, through international agreements, there's one church that says, No! There was a divine supernatural beginning in seven literal days and there will be a quick ending at the end of time with the glorious second coming of Jesus Christ. Our church was raised for this time.
And you know it really bothers me when I find Adventist churches and the sign in front says: “Adventist Community Church” or “Adventist Fellowship”. We should not be embarrassed about letting everybody know that we are Seventh-Day Adventist.
You know, when I'm on a plane and I'm studying, you know,  my Bible or my notes, the person next door says, “Oh, you're a minister huh?”
“Yeah, yeah I'm a minister.” 
“Oh, what church do you belong to?” 
“Seventh-Day Adventist.”  
“What's that?”
Glorious question opens the door. So then I explain what the word Seventh-Day Adventist means. That's why I always say, don't haul down our colors. We should have a big sign that says:  “Seventh Day Adventist church”.

Poin terakhir. 26 September 1860, sebuah komite bertemu di Battle Creek, Michigan, untuk menentukan apakah akan memberi nama kepada gerakan yang keluar dari kekecewaan 1844. Di antara anggota komite yang akan menentukan apakah akan memberi denominasi ini sebuah nama ialah Saudara Loughborough, Saudara Hewitt, dan Saudara Poole, di antaranya. Seorang pendeta di komite itu berkata, kita harus disebut “Church of God” (Gereja Allah), terhadap usul tersebut Ketua Loughborough keberatan, dia berkata, “Semua gereja mengaku gereja Allah, apanya yang unik dengan itu?” Setelah banyak perbincangan, Saudara Poole membuat mosi berikut, menetapkan kita menyebut diri kita Masehi Advent Hari Ketujuh. Hanya ada satu suara yang tidak setuju, yaitu pendeta yang mengusulkan kita disebut “Gereja Allah”. Kurang dari satu bulan kemudian, pada 23 Oktober 1860, di Review and Herald, pengumuman ini muncul: Nama Masehi Advent Hari Ketujuh diusulkan sebagai nama yang sederhana dan yang menggambarkan iman dan kedudukan kita.
Mengapa nama kita begitu penting pada tahap ini dalam sejarah? Karena apa yang diajarkan ialah suatu awal (dunia) yang supranatural secara ilahi dan suatu akhir yang supranatural secara ilahi. “Hari Ketujuh” berarti kita meyakini kisah penciptaan itu literal, dosa itu literal, infeksi dosa itu literal, kebutuhan akan seorang Juruselamat itu literal, kedatangan Yesus yang kedua itu literal, itu bagian “Advent”nya.  Di dunia yang memeluk konsep suatu awal berdasarkan teori evolusi, di dunia yang berkata, tidak, dunia akan menjadi semakin baik melalui kecerdasan manusia, melalui perjanjian-perjanjian internasional; ada satu gereja yang berkata, Tidak! Ada suatu awal supranatural secara ilahi dalam tujuh hari (penciptaan) literal, dan akan ada suatu akhir yang cepat pada akhir masa dengan kedatangan Yesus Kristus yang kedua dalam kemuliaan. Gereja kita dibangkitkan untuk masa ini.
Dan kalian tahu, saya sungguh-sungguh jengkel bila saya menemukan gereja-gereja Advent dengan plang di depannya yang berbunyi: “Gereja Komunitas Advent” atau “Persekutuan Advent”. Kita tidak boleh malu membiarkan orang lain tahu kita adalah Masehi Advent Hari Ketujuh.
Kalian tahu, jika di pesawat saya sedang mempelajari Alkitab saya atau catatan saya, maka tetangga di sebelah berkata, “Oh, Anda seorang pendetakah?
“Ya, ya, saya pendeta.”
“Oh, dari gereja mana Anda?”
“Masehi Advent Hari Ketujuh.”
“Apa itu?”
Puji Tuhan pertanyaan itu membuka pintu. Maka saya jelaskan apa arti kata Masehi Advent Hari Ketujuh. Itulah sebabnya saya selalu berkata, jangan memudarkan warna kita. Kita harus punya plang besar yang bertuliskan:  “Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh”


By the way Ellen White endorsed the name that was adopted. I'm not going to read it because time does not allow it, but if you want to read it, it’s Testimonies For The Church Volume 1 pages 223 and 224, she said that it was providentially chosen, the name of this church. But she also predicted that the time was going to come when some in our midst would try to haul down our colors. I want to read that statement just to close here, Testimonies for the Church Volume 6 page 144, “…Men will employ every means to make less prominent the difference between Seventh-Day Adventists and observers of the first day of the week. A company was presented before me under the name of Seventh Day Adventist…”  these are Adventists who are doing this, “…A company was presented before me under the name of Seventh-Day Adventist, who are advising that the banner or sign which makes us a distinct people should not be held out so strikingly, for they claimed that this was not the best policy in order to secure success to our institutions. However, this is not a time to haul down our colors, to be ashamed of our faith. This distinctive banner described in the words ‘Here's the patience of the saints, here are they that keep the commandments of God, and the faith of Jesus’  is to be borne through the world to the close of probation. While efforts should be increased to advance in different localities, there must be no cloaking of our faith to secure patronage. Truth must come to souls ready to perish, and if it is in any way hidden, God is dishonored and the blood of souls will be upon our garments…” 

Nah, Ellen White mengesahkan nama yang diambil. Saya tidak akan membacakannya karena waktunya tidak cukup, tetapi jika kalian mau membacanya ada di Testimonies for the Church Vol. 1 hal. 223-224, dia berkata bahwa nama itu dipilih di bawah bimbingan Ilahi, nama gereja ini. Tetapi dia juga menubuatkan, akan datang waktunya ketika di tengah-tengah kita akan ada yang mau memudarkan warna kita. Saya mau membacakan pernyataan itu sebagai penutup di sini. Testimonies for the Church Vol. 6 hal. 144, “…Manusia akan memakai segala cara untuk mengecilkan perbedaan antara Masehi Advent Hari Ketujuh dan pemeluk hari pertama. Saya ditunjukkan sekelompok orang  yang memakai nama MAHK…”  ini orang-orang Advent yang melakukan ini, “…Saya ditunjukkan sekelompok orang yang memakai nama MAHK yang memberi nasihat supaya spanduk atau plang yang menandai kita sebagai umat yang khas, jangan dipamerkan sedemikian mencoloknya, karena mereka mengatakan ini bukanlah kebijakan yang terbaik untuk mendapatkan sukses bagi institusi-institusi kita. Namun demikian, ini bukanlah waktunya untuk memudarkan warna kita, merasa malu pada iman kita. Tanda yang khas ini yang digambarkan dalam kata-kata ‘Di sinilah keuletan orang-orang kudus, inilah mereka yang memelihara perintah-perintah Allah dan iman Yesus.’ Harus dibawa kepada dunia hingga tutupnya pintu kasihan. Sementara upaya harus ditingkatkan untuk maju di tempat-tempat yang berbeda, iman kita tidak boleh disamarkan demi mendapatkan pendukung. Kebenaran harus sampai kepada jiwa-jiwa yang hampir binasa, dan jika itu disamarkan dalam cara apa pun, Allah dipermalukan, dan darah jiwa-jiwa itu menjadi tanggungan kita.”


So I hope that what we studied has helped you catch a broader perspective of what is going on.  Somebody asked me during the break, should we be talking about the Jesuits or should we be talking about the Three Angels Message? That was a sincere question. It's not either/or. Has what we've been talking about have any relationship with the Three Angels Message? If certainly does.  Does the change in focus of the Roman Catholic Church have anything to do with The Third Angel's Message? Making an image of the Beast in the United States, imposing the mark of the Beast, it has a great relationship, because we need to know how Satan is working to change the Catholic Church so the unity between Protestants, the civil powers of the world, and the papacy can occur. And we can see it happening right in front of our eyes. 

Jadi saya harap apa yang telah kita pelajari membantu kalian mendapatkan perspektif yang lebih luas tentang apa yang sedang terjadi.
Ada yang bertanya kepada saya waktu jeda tadi, apakah kita seharusnya bicara tentang Jesuit atau apakah kita seharusnya bicara tentang Pekabaran Tiga Malaikat. Itu adalah pertanyaan yang tulus. Nah, itu bukan harus memilih salah satu. Apakah yang kita bicarakan ini ada kaitannya dengan Pekabaran Tiga Malaikat? Pasti. Apakah perubahan fokus gereja Roma Katolik ada kaitannya dengan Pekabaran Malaikat Ketiga? Membuat patung Binatang di Amerika Serikat, memaksakan tanda Binatang, itu sangat berkaitan karena itu kita perlu tahu bagaimana Setan bekerja untuk mengubah gereja Roma Katolik sehingga persatuan antara Protestan, kekuasaan sipil dunia, dan Kepausan bisa terjadi. Dan kita bisa melihatnya sedang terjadi di depan mata kita sekarang.


So folks, it's been a real privilege being with you. We will send to those who fill out the card all of the 80 pages, I'm including also one that I did not present, it's titled “Religious liberty in the age of Trump”. Some of you might have watched that on YouTube, it is on You Tube, but I'm going to send you a written copy with additional information since I presented that down in Southern California.
So thank you for coming, thank you for being here, and now it's the pastor's turn to thank me for coming, heheheh.

Jadi, Saudara-saudara, senang bisa bersama-sama dengan kalian. Kami akan mengirimkan kepada mereka yang telah mengisi kartu seluruh 80 halamannya, dan saya akan memasukkan juga satu yang tidak saya sampaikan di sini, berjudul “Religious Liberty in the Age of Trump” (= Kebebasan Beragama di Zaman Trump). Beberapa dari kalian mungkin sudah menontonnya di You Tube, ada di You Tube, tetapi saya akan mengirimkan salinan yang tertulis dengan informasi tambahan karena telah saya presentasikan itu di California Selatan.
Jadi terima kasih untuk kehadirannya, dan sekarang adalah giliran gembala sidang untuk mengucapkan terima kasih kepada saya karena telah datang kemari, hehehehe.






20 05 20


No comments:

Post a Comment