Part 04/04 - Stephen Bohr
FRANCIS,
THE SOCIALIST 2 – Jan 2020
Dibuka dengan doa.
When Pope Benedict retired, the Conclave gathered together to
elect a new Pope, and when the white smoke came forth from the chimney of the
Sistine Chapel, a new Pope had been elected, a first in the history of the
Roman Catholic Church, the first Jesuit Pope in history. His lay name is Bergoglio, Italian-Argentinian but he chose the name Francis,
the only Francis in the history of the Roman Catholic Church, Francis I.
Now why did he call himself Francis I if there'd never been another Pope
with the name Francis? Well, fortunately he gives us the explanation himself in
his encyclical Laodato Si paragraph 10, he explained why he adopted the name
and actually he's explaining what his agenda is in the papacy. This is what he
wrote, “St.
Francis…” he is talking about St. Francis of Assisi.
“…St. Francis is the patron saint of all
who study and work in the area of ecology…” You think it's a coincidence that he chose the name Francis and he pushes
for care for our common home? He continues, “…Saint
Francis is the patron saint of all who study and work in the area of ecology
and he is also much loved by non-Christians…” so who does he want to impress?
Non-Christians. And he continues, “…he was particularly…” Francis, “…was
particularly concerned for God's creation and for the poor and the outcast…” Is
that the emphasis of this Pope? Ecology, our common home, the poor, and the
outcast? That's why he adopted the name Francis. He is announcing what his
agenda as Pope is going to be.
Ketika Paus Benedict pensiun,
Konklaf berkumpul untuk memilih seorang Paus baru, dan ketika asap putih keluar
dari cerobong asap kapel Sistine, seorang Paus baru telah terpilih, yang
pertama dalam sejarah gereja Roma Katolik, Paus Jesuit yang pertama dalam
sejarah. Nama awamnya Bergoglio, kelahiran Italia-Argentina, tetapi dia memilih
nama Francis, satu-satunya Francis dalam sejarah gereja Roma Katolik, Francis
I. Nah, mengapa dia menyebut dirinya Francis I jika belum pernah ada Paus yang
memakai nama Francis? Nah, untungnya dia menjelaskannya sendiri kepada kita di
ensiklikalnya, Laodato Si, paragraf 10, dia
menjelaskan mengapa dia mengambil nama itu, dan dia menjelaskan apa agendanya
dalam Kepausan. Inilah yang ditulisnya, “…St. Francis(kus) …” dia berbicara
tentang St. Francis dari Assisi, “…St. Francis adalah santo pelindung semua yang mau belajar
dan bekerja di area ekologi…” menurut kalian
apakah kebetulan dia memilih nama Francis dan dia mementingkan pemeliharaan tempat tinggal bersama kita? Dia
melanjutkan, “…St. Francis adalah santo pelindung semua yang mau
belajar dan bekerja di area ekologi dan dia sangat disayangi juga oleh yang
non-Kristen…” jadi dia mau
menarik hati siapa? Non-Kristen. Dia melanjutkan, “…Dia
terutama sangat…” St. Francis, “…terutama
sangat memikirkan ciptaan Allah, dan yang miskin dan yang terbuang…” Itukah yang ditekankan Paus? Ekologi, tempat tinggal kita
bersama, orang miskin, orang yang terbuang? Itulah mengapa dia mengambil nama
Francis. Dia sedang menyatakan apa yang akan menjadi agendanya sebagai Paus.
How much interest has this Pope shown in the teachings of the dogmas of the
church and the authority of the papal chair? I want to read you an article, from an article that is written by Francis X. Rocca, it appeared
in The Wall Street Journal, the title of
the article is “Shifting Lines ~ the Pope's uncertainty
principle” this is what he wrote, “…Part
of Pope Francis' strategy has been generally to play down the importance of
formal teaching…” what is it that’s a part of Francis' strategy? To play down what? The importance of
formal teaching, that means the doctrines of the church. Now, notice, “…Under
St. John Paul II and Pope Benedict XVI, the Vatican's doctrinal office was the
source of many definitive documents on major issues, including controversial
questions of sexual and medical ethics like gay marriage, LGBTQ, euthanasia…”, that's what they, John Paul II and Benedict
XVI talked about, according to him. Now, notice, “…it also…” these particular documents that were written by these conservative
Popes, “…it
also investigated and disciplined theologians who deviated from orthodoxy…” and then he
writes, “…Under Pope Francis both
of those functions have practically ceased…” What has ceased during Pope Francis? The emphasis on doctrine and what
else? The disciplining of theologians who deviate from the doctrines of the
church. He’s not interested in
doctrines, in other words.
Berapa besar minat yang
ditunjukkan Paus ini pada pengajaran dogma-dogma gereja dan autoritas takhta
Kepausan? Saya mau membacakan sebuah artikel dari tulisan yang dibuat Francis
X. Rocca, yang muncul di Wall Street Journal,
judul dari artikel tersebut ialah, “Garis-garis yang Bergeser ~ Prinsip-prinsip Paus yang Tidak Pasti”, inilah yang ditulisnya, “…Sebagian dari strategi Paus Francis secara umum ialah
mengurangi peranan pengajaran yang formal…” apa yang menjadi
bagian dari strategi Francis? Mengurangi peranan apa? Peranan pengajaran yang
formal, artinya doktrin-doktrin gereja. Sekarang, simak, “…Di
bawah St. Yohanes Paulus II dan
Paus Benedict XVII, departemen doktrin Vatikan adalah sumber dari banyak
dokumen definitif tentang isu-isu utama, termasuk pertanyaan-pertanyaan
kontroversial mengenai etika seksual dan medis, seperti perkawinan gay, LGBTQ,
euthanasia…” itulah yang
dibicarakan oleh Yohanes Paulus II dan Benedict XVI, menurut penulis ini.
Sekarang simak, “…Juga…” dokumen-dokumen
khusus tersebut yang ditulis oleh Paus-paus yang konservatif ini, “…Juga
memeriksa dan memberikan disiplin kepada theolog-theolog yang menyimpang dari
keortodoksan. …” Lalu dia menulis, “…Di bawah Paus Francis kedua fungsi itu sudah praktis
berhenti…” apa yang berhenti
selama masa Paus Francis? Penekanan pada doktrin, dan apa lagi? Memberikan
disiplin kepada para theolog yang menyimpang dari doktrin-doktrin gereja. Dengan
kata lain, Paus Francis tidak tertarik pada doktrin.
One example of Francis' disinterest in papal authority was an event that I
already mentioned that transpired on a press conference on a trip that he took.
He gave a press conference on the plane that he was traveling in, and somebody
asked him, “What do you believe about gay marriage?” Now if this had been John
Paul II or Pope Benedict they would have immediately said it's a no-no, but
what did the Pope say? Let me read once again from this article in The Wall Street Journal, “The
single most famous statement of his pontificate made during an in-flight news
conference remains, ‘Who am I to judge?’”
Salah satu contoh
ketidaktertarikan Francis pada autoritas Kepausan adalah suatu peristiwa yang
sudah saya singgung, yang terjadi pada suatu konferensi pers dalam perjalanan
yang dilakukannya. Dia memberikan konferensi pers di atas pesawat
yang dinaikinya, dan seseorang bertanya padanya, “Apa pendapat Anda tentang
perkawinan gay?” Nah seandainya ini Yohanes Paulus II atau Paus Benedict,
mereka pasti akan segera berkata: tidak boleh, tidak boleh! Tetapi apa yang
dikatakan Paus Francis? Saya akan membacakan lagi dari artikel ini yang di Wall Street Journal, “…Pernyataan tunggalnya yang paling terkenal selama
pemerintahannya, yang dibuatnya dalam suatu konferensi pers ketika dalam suatu penerbangan, masih tetap: ‘Siapalah
saya mau menghakimi?’”
Let me read you from another writer, his name is James Carroll, and I want
you to notice what he says about this Pope's different emphasis. Remember he's
a Jesuit and what are we studying about the Jesuits? They downplay what? Doctrine
and the authority of the Pope; because they know that Protestants will not
go along if they emphasize that the Pope is the absolute arbiter of truth, and
they know that the nations won't come on board if the papacy continues with its
traditional talking points. This is what this writer, this article appeared in,
the title of the article is “Who am I to judge?
A Radical Pope's First Year”, it appeared in The
New Yorker, December 15, 2013. This
is what he wrote, when the Pope,
commenting on the Pope saying “Who am I to judge?” “…This gesture of openness which startled
the Catholic world, would prove not to be an isolated event….” In other words, this wasn't just one slip
of the tongue. “…In a series of
interviews and speeches in the first few months after his election in March,
the Pope unilaterally declared a kind of truce in the culture wars that have
divided the Vatican and much of the world. Repeatedly he argued that the
church's purpose was more to proclaim God's merciful love for all people than
to condemn sinners for having fallen short of strictures, especially those
having to do with gender and sexual orientation…” It’s love, don't talk about the issues of gender and sexual orientation.
Then once again, “…His break from his
immediate predecessors…” what did
Francis do? He broke from whom? Who was his immediate predecessors? John Paul
II and Benedict XVI, “…his break from his
immediate predecessors John Paul II who died in 2005, and Benedict XVI the traditionalist German
theologian who stepped down from the papacy in February, is less ideological
than intuitive, an inclusive vision of the church centered on an identification
with the poor. From this vision theological and organizational innovations
flow…”
Saya akan membacakan dari
seorang penulis lain, namanya James Carroll, dan saya mau kalian menyimak apa
katanya tentang penekanan yang berbeda Paus ini. Ingat, Paus ini adalah seorang
Jesuit dan apa yang sedang kita pelajari tentang Jesuit? Mereka mengurangi apa? Peranan doktrin dan autoritas Kepausan.
Karena mereka tahu bahwa Protestan tidak akan mau ikut jika mereka bersikokoh
bahwa Paus adalah hakim kebenaran, dan mereka tahu bahwa bangsa-bangsa lain
juga tidak akan ikut jika Kepausan berlanjut dengan titik-titik pembicaraannya
yang tradisional. Itulah yang ditulis penulis ini, artikel ini muncul dengan
judul “Siapalah saya mau menghakimi? Tahun
Pertama seorang Paus Radikal” ini muncul di The
New Yorker, 15 Desember 2013. Inilah yang ditulisnya, mengomentari Paus
yang berkata, “Siapalah saya mau menghakimi?” “…Isyarat keterbukaan ini, yang mengejutkan dunia
Katolik, ternyata terbukti bukanlah kejadian satu-satunya…” dengan kata lain ini bukan hanya satu kali salah omong. “…Dalam
serangkaian wawancara dan pidatonya dalam beberapa bulan pertama setelah pemilihannya di bulan Maret, Paus secara sepihak
membuat pernyataan, semacam gencatan senjata dalam peperangan
budaya yang telah memisahkan Vatikan dari sebagain besar dunia. Berulang-ulang
dia mendebat bahwa tujuan gereja itu lebih kepada memproklamasikan kasih Allah
yang mahamurah bagi semua orang daripada menghukum para pendosa karena tidak bisa mencapai peraturan-peraturan yang ketat, terutama yang
berkaitan dengan gender dan orientasi seksual…” Kasih! Jangan
bicara tentang isu gender dan orientasi seksual. Lalu sekali lagi, “…Pemutusan
hubungannya dari pendahulu-pendahulu langsungnya…” apa yang dilakukan
Francis? Dia memutuskan hubungan dari siapa? Siapakah pendahulu-pendahulu
langsungnya? Yohanes Paulus II dan Benedict XVI, “…Pemutusan hubungannya dari pendahulu-pendahulu
langsungnya, Yohanes Paulus II yang wafat 2005, dan Benedict XVI theolog tradisional Jerman yang turun
dari takhtanya bulan Februari, lebih karena intuisi daripada karena idiologi, yaitu
suatu visi yang inklusif dari gereja yang secara utama mengidentifikasikan
dirinya dengan orang miskin. Dari visi ini akan mengalir inovasi-inovasi
theologis dan organisatoris…”
So during the pontificate of Francis I, the first Jesuit Pope in history, the
traditional social talking points on sexual ethics and medical ethics have disappeared
from the Roman Catholic Church. The Pope rarely mentions church doctrine, he
rarely mentions the authority of the papal chair, “Who am I to judge?” he says.
Jadi selama pemerintahan Francis I, Paus Jesuit yang
pertama dalam sejarah, titik-titik pembicaraan sosial yang tradisional mengenai
etika seksual dan etika medis telah lenyap dari gereja Roma Katolik. Paus
jarang menyebut doktrin gereja, dia jarang menyebut autoritas takhta Kepausan,
“Siapalah saya mau menghakimi?” katanya.
In this same article by Francis Rocca whom I'm assuming is a Roman Catholic,
he speaks about the Pope's visit to a prison where he washed the feet of a
prisoner. The prison visit in Rome also displayed the Pope's characteristic
emphasis on social and economic justice, themes he has elevated above questions
of sexual and medical ethics, matters he has deemed too much of a preoccupation
for the church. The church no longer needs to discuss these issues of medical ethics and
sexual ethics, no, now the talking
points are immigration, the poor, open borders, etc.
Di artikel yang sama oleh Francis Rocca ~ yang saya rasa
adalah seorang Roma Katolik ~ dia berbicara tentang kunjungan Paus ke sebuah
penjara di mana Paus membasuh kaki seorang narapidana. Kunjungan ke penjara di
Roma ini juga memamerkan penekanan karakteristik Paus pada keadilan sosial dan
ekonomi, tema-tema yang telah diangkatnya di atas masalah tentang
etika seksual dan medikal, hal-hal yang dianggapnya terlalu merepotkan
kesibukan gereja. Gereja tidak lagi
perlu berdiskusi tentang isu-isu etika medikal dan seksual, tidak, sekarang
titik-titik pembicaraan ialah imigrasi, orang miskin, membuka perbatasan,
dsb.
Four decades earlier or almost four decades earlier, Malachi Martin the
Jesuit wrote the following, this is written actually 33 years ago, he described
the Jesuits in the following way, “…In place of the other
worldly purpose of the traditional church, the Society of Jesus has substituted
the here-and-now struggle for the liberation of one class of men and women in
our society today…” so he doesn't emphasize what's going
to happen in the times to come, the future world, his concern is
only this world, and upon “…one class of men and
women in our society today, those millions who suffer from social economic and
political injustice…” the very
emphasis of the United Nations, that's in page 15 of his book The Jesuits.
On page 23 he wrote, “…Marriage,
homosexuality, business ethics, human liberty, piety, every sphere of human
existence were all to set adrift on the ever-changing tides of redefinition…”
Empat dekade sebelumnya, atau
hampir empat dekade sebelumnya, Jesuit Malachi Martin menulis sebagai berikut,
ini tepatnya ditulis 33 tahun yang lalu, dia menggambarkan Jesuit dengan cara
berikut, “…Untuk menggantikan tujuan-tujuan duniawi yang lain gereja tradisional, Perkumpulan Yesus (= Jesuit)
telah menukarnya dengan perjuangan
hari ini demi memerdekakan satu golongan manusia di masyarakat kita sekarang…” Jadi dia tidak menekankan pada apa yang akan terjadi
kemudian di dunia yang akan datang. Perhatiannya hanya ada pada dunia ini
sekarang, dan pada “…satu golongan manusia di masyarakat kita sekarang,
yaitu jutaan manusia yang menderita ketidakadilan sosio-ekonomi dan politik…” penekanan yang persis sama dengan PBB. Ini di hal. 15
dari bukunya The Jesuit.
Di hal. 23 dia menulis, “…Perkawinan, homoseksualitas, etika bisnis, kebebasan manusia,
kerelijiusan, setiap aspek eksistensi manusia, semuanya dihanyutkan
dalam naik-turunnya gelombang pemberian definisi ulang.
I would recommend that you read the Pope's encyclical Laodato Si, all you have to do
is google Laodato
Si and you know immediately the first thing to come up is the
encyclical as published by the Roman Catholic Church. I want you to notice the
terms that the Pope uses in the encyclical. I made a collection of them. He
speaks about the common good, our common home, he speaks against consumerism,
he speaks about structures of power that are obstacles, he says we require a
new and universal solidarity, he refers repeatedly to the poor, that there
needs to be changes of lifestyle, production, and consumption. He speaks about migration
caused by environmental degradation, speaks about production and consumption,
he speaks against large multinational businesses, he refers to economic
interests of transnational corporations, the cry of the earth, and the cry of
the poor, extreme and selective consumerism, subordination of private property
to the universal destination of goods, he speaks about maximizing profits, a
better distribution of the world's wealth, everything is connected, everything
is interrelated.
You read the encyclical and very little is said in the encyclical about the
traditional talking points of the Roman Catholic Church. The talk is about the
need to care for our common home, the environment, the need to help the poor,
by the way these are all good causes ~ I'm not saying they're bad causes ~ the problem
is the agenda behind it. Speaking about open borders no walls, etc.
Saya merekomendasikan kalian membaca ensiklikal Paus, Laodato Si. Kalian hanya perlu menggoogle Laodato Si, dan kalian tahu, yang pertama segera muncul ialah
ensiklikal yang diterbitkan oleh gereja Roma Katolik. Saya mau kalian
memperhatikan istilah-istilah yang dipakai Paus dalam ensiklikal itu. Saya
telah mengumpulkan semuanya. Paus berbicara tentang kebaikan bersama, tempat
tinggal kita bersama, dia berbicara menentang konsumerisme, dia berbicara
tentang struktur kekuasaan yang menjadi penghalang, dia berkata kita
membutuhkan suatu solidaritas baru yang universal, dia merujuk berulang-ulang
kepada orang miskin, akan perlunya diadakan perubahan pola hidup, produksi dan
konsumsi. Dia berbicara tentang migrasi yang diakibatkan oleh penurunan mutu
lingkungan hidup, berbicara tentang produksi dan konsumsi, berbicara menentang
bisnis multinasional yang besar, dia merujuk ke kepentingan ekonomi
perusahaan-perusahaan trans-nasional, jeritan bumi, jeritan orang miskin,
konsumerisme yang ekstrem dan selektif, tunduknya hak milik pribadi
pada destinasi harta benda universal, dia berbicara tentang memaksimalkan laba,
distribusi kekayaan alam yang lebih baik, semuanya berkaitan, semuanya saling
berhubungan.
Kalian baca ensiklikal itu dan
dalam ensiklikal itu hanya sedikit sekali disinggung tentang titik-titik
pembicaraan tradisional gereja Roma Katolik. Yang dibicarakan ialah perlunya
memelihara tempat tinggal kita bersama, lingkungan hidup, perlunya menolong
yang miskin ~ nah semua ini adalah tujuan-tujuan yang bagus, saya tidak
mengatakan ini tujuan-tujuan yang buruk ~ masalahnya
ialah agenda yang ada di baliknya. Berbicara tentang perbatasan
terbuka, tidak adanya tembok pemisah, dll.
Let me read you some of the paragraphs from his encyclical Laodato Si
so you can see what his emphasis is. “…Every effort…” this is paragraph
5, “…every effort to protect
and improve our world, entails profound changes in lifestyles, models of production
and consumption, and the established structures of power that today govern
societies…” So every effort to protect and improve our
world, what do we need to do to protect
and improve our world? He says there need to be, “…profound
changes in lifestyles, models of production and consumption…” that has to do with Capitalism, “…and the established
structures of power…” that's
governments “…that today govern
societies.”
Saya akan membacakan beberapa
paragraf dari ensiklikalnya Laodato Si supaya kalian bisa melihat apa yang ditekankannya. “…Setiap upaya…” ini di paragraf 5, “…Setiap
upaya untuk melindungi dan memperbaiki dunia kita, memerlukan perubahan
mendalam dalam pola hidup, pola produksi dan konsumsi, dan struktur kekuasaan
yang sudah ada yang hari ini menguasai masyarakat…” Jadi setiap upaya
untuk melindungi dan memperbaiki dunia kita, apa yang kita butuhkan untuk
melindungi dan memperbaiki dunia kita? Dia berkata, harus ada “…perubahan
mendalam dalam pola hidup, pola produksi dan konsumsi…” ini berkaitan dengan Kapitalisme, “…dan
struktur kekuasaan yang sudah ada…” ini pemerintahan, “… yang hari ini menguasai masyarakat.”
On paragraph 51 he writes, “…A true ecological debt exists,
particularly between the global north and south…” the global North are the rich nations, the global South are the poor nations.
So he says, “…An
ecological debt exists particularly between the global north and south, connected
to commercial imbalances with effects on the environment and the disproportionate
use of natural resources by certain countries over long periods of time…” You never hear him criticizing China for
their air quality which is far worse than in the United States. You never hear
him criticizing India for the terrible air quality that they have there and for
the pollution of rivers, etc. It's only a criticism of the Western world, where
many countries are much more efficient than these other countries.
Di paragraf 51 dia menulis, “…Ada
suatu utang ekologi yang nyata terutama antara Utara global dan Selatan
global…” Utara global
adalah bangsa-bangsa yang kaya, Selatan global adalah bangsa-bangsa yang
miskin. Jadi Paus berkata, “…Ada suatu utang ekologi yang nyata terutama antara
Utara global dan Selatan global, berkaitan dengan ketidakseimbangan komersial
yang berakibat pada lingkungan hidup dan ketidakseimbangan proporsi pemakaian
sumber-sumber alam oleh negara-negara tertentu selama jangka waktu yang sangat
lama…” Kita tidak pernah
mendengarnya mengritik Cina tentang kualitas udara mereka yang jauh lebih buruk
daripada yang ada di Amerika Serikat. Kita tidak pernah mendengarnya mengritik
India tentang kualitas udara yang sangat mengerikan yang ada di sana dan
tentang polusi sungai-sungai mereka, dll. Yang dikritik hanya dunia Barat, di
mana banyak negara sudah jauh lebih efisien daripada negara-negara lain
tersebut.
Paragraph 52 he writes, “…Greater attention must be given to the
needs of the poor, the weak, and the vulnerable, in a debate often dominated by
more powerful interests…” that is against Capitalism.
Paragraf 52 dia menulis, “…Perhatian
yang lebih besar harus diberikan kepada kepentingan orang yang miskin,
yang lemah, dan yang tidak berdaya, dalam suatu perdebatan yang seringkali
didominasi oleh kepentingan-kepentingan yang lebih kuat…” yaitu terhadap Kapitalisme.
Paragraph 53 he writes, “…The establishment of a
legal framework which can set clear boundaries and ensure the protection of ecosystems
has become indispensable…” there needs to
be a legal framework that will protect the environment, and for him that's
global.
Paragraf 53 dia menulis,
“…Pembuatan suatu kerangka yang legal yang menetapkan batasan-batasan yang
jelas dan menjamin perlindungan ekosistem, sudah tidak bisa diabaikan…” harus ada kerangka legal yang melindungi lingkungan
hidup, dan bagi Paus itu global.
Paragraph 93, I’ve already read this before, “…Christian tradition has never recognized
the right to private property as absolute or an inviolable, and has stressed
the social purpose of all forms of private property…” In other words, what you have belongs to your neighbor too, if your neighbor needs it and wants to take it, fine,
because it's not yours, it's for the common good.
Paragraf 93, sudah pernah saya bacakan ini, “…Tradisi Kristen tidak pernah mengakui hak kepemilikan
pribadi sebagai mutlak dan tidak bisa diganggu gugat, dan telah menekankan
pada tujuan sosial segala bentuk harta
benda pribadi…” dengan kata lain,
apa yang kita miliki adalah milik tetangga kita juga, jika tetangga kita membutuhkannya
dan mau mengambilnya, baik saja, karena itu bukan milik kita, itu demi kebaikan
bersama.
Paragraph 129, “…To ensure economic
freedom, from which all can effectively benefit, restraints occasionally have
to be imposed on those possessing greater resources and financial power…”
Paragraf 129, “…Untuk
menjamin kebebasan ekonomi dari mana semua bisa menikmati secara efektif, dari
waktu ke waktu perlu diterapkan pengekangan pada mereka yang memiliki
sumber-sumber daya dan kekuatan finansial yang lebih besar. “
Here's another one, Laodato Si
paragraph 164, “…Interdependence obliges us to think of one
world with a common plan. A global consensus is essential for confronting the
deeper problems which cannot be resolved by unilateral actions on the part of
individual countries…” thus the ideas
for all countries to come together.
Ini yang lain lagi,
Laodato Si paragraf 164, “…Saling ketergantungan mengharuskan kita berpikir untuk
memiliki satu dunia dengan satu rencana
yang sama. Satu persetujuan yang global itu penting untuk menghadapi
masalah-masalah yang lebih mendalam yang tidak bisa diselesaikan oleh
tindakan-tindakan sepihak negara-negara secara individu. …” oleh karena itu konsep semua negara harus bersatu.
Paragraph 169, “…International
negotiations cannot make significant progress due to positions taken by
countries which place their national interests above the global common good …” That's why this present
Pope dislikes Donald Trump because Donald Trump places the national interests
above the global common good, in his mind.
Paragraf 169, “…Negosiasi
internasional tidak bisa mencapai kemajuan yang signifikan karena posisi yang
diambil oleh negara-negara yang menempatkan kepentingan nasional mereka di atas
kebaikan global bersama…” Inilah mengapa
Paus yang sekarang tidak menyukai Donald Trump karena dalam pemikirannya Donald
Trump menempatkan kepentingan nasional di atas kebaikan global bersama. “…
Laodato Si paragraph 208, “…If we can overcome individualism…” he says, “…we will truly be able to develop a different
lifestyle and bring about significant changes in society …”
Laodato Si paragraf 208, “…Jika kita
bisa mengatasi individualisme…” katanya, “…kita
akan benar-benar bisa mengembangkan suatu pola hidup yang berbeda dan
menghasilkan perubahan-perubahan yang signifikan dalam masyarakat.”
All of these statements are pure Socialism and anti Capitalism. It's the same
message of Communists, it's the same message that was used during the period of
the Soviet Union, the former Soviet Union. Now, can world leaders identify with these new talking points? Think world
leaders can identify with open borders, emphasis on the poor, the need to address
climate change, does the United Nations feel comfortable with those things? Do
all the nations feel comfortable with those things, most of the nations of the
world ? Yeah, they say, “We like those talking points.
Don't speak against LGBTQ, don't
speak against gay marriage, don't speak against euthanasia, talk to us about what we want to hear.”
Semua pernyataan ini murni Sosialisme dan anti
Kapitalisme. Ini adalah pesan yang sama dengan pesan Komunis, pesan yang sama
yang dipakai selama periode Uni Soviet, Uni Soviet yang lama. Nah, bisakah para
pemimpin dunia mengidentifikasi dengan titik-titik pembicaraan yang baru ini?
Apakah para pemimpin dunia bisa mengidentifikasi dengan membuka perbatasan, kepentingan
orang miskin, kebutuhan untuk menangani perubahan iklim, apakah PBB merasa
nyaman dengan hal-hal ini? Apakah semua banga merasa nyaman dengan hal-hal ini,
kebanyakan bangsa-bangsa yang ada di dunia? Iya, mereka berkata, “Kami suka
titik-titik pembicaraan ini. Jangan berbicara menentang LGBTQ, jangan berbicara
menentang perkawinan gay, jangan berbicara menentang euthanasia, bicaralah
kepada kami apa yang mau kami dengar.”
If you want to know what the political leaders of the world really think
about Pope Francis I, all you have to do is remember the inaugural
speech of Pope Francis I at the 70th
anniversary of the General Assembly of the United Nations in 2015, September of
2015.
After Pope Francis finished his speech there, where he, where you can read
the speech if you google it, “Pope's
speech 70th anniversary of the General Assembly of the United Nations” it'll
come up. His emphasis was totally on these talking points where he doesn't
touch any of the traditional talking points.
Jika kalian ingin tahu apa pendapat sesungguhnya para
pemimpin politik dunia tentang Paus Francis I, kalian hanya perlu mengingat
pidato inaugurasi Paus Francis I di ulangtahun ke-70 Majelis Umum PBB di tahun
2015, September 2015.
Setelah Paus Francis selesai dengan pidatonya di sana, kalian bisa
membaca pidato itu jika menggoogle: “Pidato Paus
ulangtahun ke-70 Majelis Umum PBB” nanti akan muncul. Yang ditekankannya seluruhnya
adalah titik-titik pembicaraan ini di mana dia sama sekali tidak menyinggung
satu pun titik pembicaraan yang tradisional.
Have you ever heard of the Amazonia project? It's a project to save the
tropical rainforests in the Amazon that are being chopped down, and the land is
being used for agriculture. And so the Amazonia project is working with the local
leaders in Brazil to try and save the tropical rainforest in the Amazon and the
Pope is on board. Let me just read you what Pope Francis wrote about this. He
wrote a preparatory document for the Amazonia project and this is what he
wrote, “…The
encyclical Laodato Si invites us to an
ecological conversion that implies a new way of life. Our neighbor acquires a
central position in a horizon. This involves practicing global solidarity and
overcoming individualism while opening up new paths to freedom, truth, and
beauty…” listen carefully now, “…conversion means freeing ourselves from
the obsession with consumerism, purchasing is a moral act not merely an economic one, ecological conversion
means embracing the mystically interconnected and interdependent nature of
all…”
Pernahkah kalian mendengar
tentang proyek Amazonia? Sebuah proyek untuk menyelamatkan hutan tropis di
Amazon yang sedang dibabat dan tanahnya dipakai untuk pertanian. Jadi proyek
Amazonia ini bekerja sama dengan para pemimpin lokal di Brazil untuk berusaha
menyelamatkan hutan tropis di Amazon dan Paus ikut di sana. Saya akan
membacakan apa yang ditulis Paus Francis tentang ini. Dia menulis sebuah
dokumen persiapan untuk proyek Amazonia dan inilah yang ditulisnya, “…Ensiklikal Laodato Si mengundang kita untuk ikut
dalam suatu konversi ekologis yang mengimplikasikan suatu pola hidup yang baru.
Tetangga kita memperoleh posisi pusat di cakrawala. Ini melibatkan praktek
solidaritas global dan mengatasi individualisme, sementara membuka jalur-jalur baru menuju ke kebebasan,
kebenaran, dan keindahan. …” Dengarkan
baik-baik sekarang, “…Konversi berarti membebaskan diri dari obsesi dengan
konsumerisme. Belanja adalah tindakan moral, bukan semata-mata tindakan
ekonomi. Konversi ekologis berarti merangkul
sifat mistik alam yang saling
terikat dan saling bergantung satu
sama lain.
The Pope was going to meet with the Secretary General of the United Nations,
the 19th of December of last year, this was recent, less than a month ago. Antonio Guterres the Secretary-General of the
United Nations, met with the Pope in Vatican, and in preparation for that
meeting Guterres sent a letter to the Pope asking what his priorities were, and
I want to read you a part of the letter,
“…I wanted to meet with
the Holy Father to express my appreciation for his work. He is a strong voice…” this is the leader of the United Nations, “…he
is a strong voice on the climate crisis, on poverty, and inequality, and
multilateralism. Through his work the Pope is contributing to reaching many of
our objectives…” that is the objectives of the United
Nations, “…including the
sustainable development goals, combating climate change, and promoting a
culture of peace. Building bridges is a good analogy and as we discuss the
issues I just mentioned, I hope to explore how we can increase our
collaboration between the United Nations and the papacy to do just that, build
bridges to achieve more results for people who need them most.”
Paus punya rencana bertemu
dengan Sekjen PBB pada 19 Desember tahun
lalu, ini baru saja, kurang dari satu bulan lalu. Antonio Guterres, Sekjen PBB
bertemu dengan Paus di Vatikan, dan dalam mempersiapkan pertemuan itu, Guterres
mengirimkan sebuah surat kepada Paus menanyakan apa prioritasnya, dan saya mau
membacakan sebagian dari surat tersebut, “…Saya mau betemu dengan Bapak Suci untuk menyampaikan
apresiasi saya bagi pekerjaannya. Dia adalah suara yang nyaring…” ini adalah tulisan pemimpin PBB, “…Dia adalah suara yang nyaring tentang krisis iklim,
tentang kemiskinan, dan ketimpangan, dan multilateralisme. Melalui
pekerjaannya, Paus telah memberikan kontribusi
untuk mencapai banyak dari objektif kami…” objektif PBB, “…termasuk
target-target pengembangan yang berkesinambungan, memerangi perubahan iklim,
dan menggalakkan suatu kebudayaan yang damai. Membangun jembatan merupakan
analogi yang bagus dan selagi kita membicarakan isu-isu yang baru saya
sebutkan, saya berharap bisa menjelajahi bagaimana kita bisa meningkatkan
kerjasama kita antara PBB dengan Kepausan untuk tujuan itu, membangun jembatan
agar mencapai lebih banyak hasil bagi mereka yang paling membutuhkannya.”
And so then they met, the Pope and Antonio Guterres.
You can google this as well and you can see it, he met with the Pope on December
19 that just passed. And the Pope gave a prepared speech in Spanish, and
Guterres even though he's from Portugal gave his speech in English, and I want
to read what Guterres had to say. Nothing about the traditional talking points.
This is what he said. “…Your holiness…”, speaking to the Pope, “…you are a messenger for hope and
humanity, for you see human suffering and promote human dignity. Your clear
moral voice shines through whether you are speaking on the plight of the most
vulnerable, including refugees and migrants, confronting poverty and
inequality, appealing for disarmament, building bridges between communities,
and of course highlighting the climate emergency through your historic and
cyclical Laodato Si and so many other vital
efforts…” what are the talking points? The most vulnerable, refugees and migrants,
poverty, inequality, disarmament, building bridges between communities; none of
the traditional talking points. These are all the new Jesuit talking points, to
be palatable with the political powers of the world, the Socialist powers of
the world. And then he says this ~ in case you are wondering whether the papacy
is on the same page with the United Nations, the Socialist United Nations,
because most of the nations that belong to the UN are Socialist/Globalist,
they're always against the United States whenever a proposal comes up, they're against what the United States
stands for, they're against Capitalism. Guterres continues, saying, “… These messages…” the messages of the Pope, “…coincide…” what does “coincide” mean? Harmonize or in harmony with, “…these messages coincide with the core
values of the United Nations charters, namely to reaffirm the dignity and worth
of the human person, to promote love of people, and care for a planet, to
uphold a common humanity, and protect our common home, our world needs that
more than ever. Coming to Rome from the COP 25…” which is a climate change meeting
in Madrid, “…I call on all countries around the globe to
commit to carbon neutrality by 2050, in line with what the scientific community
tells us, is necessary to rescue the planet. Your Holiness, I am very grateful
for your exceptional global engagement and strong support for our work in the
United Nations, including your memorable visit to the UN headquarters in 2015,
as the world reached agreement of the sustainable development goals, our
blueprint for a fair globalization…” Interesting, to talking points.
Maka mereka pun bertemu, Paus
dan Antonio Guterres. Kalian bisa menggoogle ini juga dan kalian bisa melihat,
Guterres bertemu dengan Paus pada 19 Desember yang baru lewat. Dan Paus
menyampaikan pidatonya dalam bahasa Spanyol, sementara Guterres walaupun dia
berasal dari Portugal, menyampaikan pidatonya dalam bahasa Inggris dan saya mau
membacakan apa yang dikatakan Guterres. Sama sekali tidak menyinggung tentang
titik-titik pembicaraan yang tradisional. Inilah yang dikatakannya, “…Yang Mulia…” berbicara kepada
Paus, “…Anda adalah utusan harapan bagi kemanusiaan karena Anda
melihat penderitaan manusia dan meningkatkan martabat manusia. Suara moral Anda
yang jelas, bersinar menembus, ketika Anda berbicara
mengenai nasib buruk mereka yang paling tidak berdaya, termasuk para pengungsi
dan migran, memerangi kemiskinan dan ketidaksetaraan, berjuang untuk pelucutan
senjata, membangun jembatan antar komunitas, dan tentu saja menyoroti keadaan
darurat iklim lewat siklikal Laodato Si yang bersejarah, dan begitu banyak upaya vital yang lain.…” Apakah titik-titik pembicaraannya? Mereka yang tidak berdaya, pengungsi dan migran, kemiskinan,
ketidaksetaraan, pelucutan senjata, membangun jembatan antar komunitas; sama
sekali tidak ada titik pembicaraan yang tradisional. Ini adalah titik-titik
pembicaraan Jesuit yang baru, supaya sedap bagi kuasa-kuasa politik dunia, kuasa-kuasa Sosialis dunia.
Kemudian dia berkata ini ~ sekiranya kalian bertanya-tanya apakah Kepausan
selaras dengan PBB, PBB yang Sosialis, karena kebanyakan
bangsa-bangsa yang bergabung dengan PBB adalah Sosialis/Globalis, mereka selalu
bertentangan dengan Amerika Serikat, setiap ada usul yang muncul, mereka
menentang apa yang diwakili oleh Amerika Serikat, mereka menentang Kapitalisme.
Guterres melanjutkan berkata, “…Pesan-pesan
ini…” pesan-pesan Paus “…selaras…” apa artinya selaras? Sejalan, atau harmonis dengan, “…Pesan-pesan
ini selaras dengan nilai-nilai inti piagam-piagam PBB, yaitu menegaskan kembali
martabat dan nilai seorang manusia, mempromosikan kasih bagi manusia, dan
kepedulian bagi planet, untuk menegakkan kemanusiaan yang sederajat, dan
melindungi tempat tinggal kita bersama, dunia kita membutuhkan itu sekarang
lebih dari sebelumnya. Datang ke Roma dari COP25…” yang adalah
pertemuan perubahan iklim di Madrid, “…saya berseru kepada semua negara di seluruh dunia untuk
membuat komitmen mencapai netralitas karbon pada 2050, sejalan dengan apa yang
disampaikan komunitas sains kepada kita, itulah yang dibutuhkan untuk
menyelamatkan planet ini. Yang Mulia, saya sangat berterima kasih untuk
keterlibatan global Anda yang luar biasa, dan dukungan yang kuat bagi pekerjaan
kami di PBB, termasuk kunjungan Anda yang tidak terlupakan ke kantor pusat PBB
pada 2015, saat dunia mencapai persetujuan atas target-target pengembangan yang
berkesinambungan, cetak biru kami untuk globalisasi yang adil…” Menarik. Tentang titik-titik pembicaraannya.
But the papacy is not only trying to encourage Globalism, world Socialism,
by working from diplomat to diplomat. He is also behind these insurgent
movements among the masses to clamor for what the papacy wants. Are you all
acquainted with Greta Thundberg, the girl who every Friday doesn't go to
school? She strikes, demanding that the world leaders do something about
climate change. And thousands upon thousands of students have followed her
example and the Pope received her in the Vatican to encourage her. So he's not
only working from diplomat to diplomat from up-down, he's also working to
establish popular movements to implement his agenda.
Tetapi Kepausan tidak saja berusaha menggalakkan
Globalisme/Sosialisme dunia dengan bekerja dari diplomat ke diplomat. Dia juga
berada di balik gerakan-gerakan massa yang revolusioner yang meneriakkkan apa
yang diinginkan Kepausan. Apakah kalian mengenal Greta Thunberg, gadis yang
setiap hari Jumat bolos sekolah? Dia mengadakan pemogokan, menuntut agar
pemimpin-pemimpin dunia berbuat sesuatu tentang perubahan iklim. Dan ribuan
pelajar mengikuti teladannya dan Paus menerimanya di Vatikan untuk memberikan
dukungan padanya. Jadi Paus bukan hanya bekerja dari diplomat ke diplomat dari
atas ke bawah, dia juga bekerja untuk membentuk gerakan-gerakan popular demi
mengimplementasikan agendanya.
There's an article that appeared by John Allen Jr. December 15, 2019, this
was just last month, where he wrote, “…Last August, the
Vatican published a book called the Emergence
of Popular Movements, Rerum Novarum, of Our Time…”, Rerum Novarum was an encyclical from the
end of the 19th century, a reference to the 1891 social encyclical of Pope Leo
XIII, that launched modern Catholic social thinking. “…Clearly the idea was to
lift up popular movements as the most important embodiment of the church's
social agenda in our time, with Francis calling them a lever for profound
social transformation….” So in other
words, the papacy is not only working from diplomat to diplomat from the
Vatican with the nations on a diplomatic level, but it is also encouraging
movements, grassroots movements, by people to implement the papal agenda.
Ada sebuah artikel yang
ditulis John Allen Jr. yang terbit 15 Desember 2019, ini baru bulan lalu, di
mana dia menulis, “…Agustus lalu, Vatikan
telah menerbitkan sebuah buku berjudul Emergence of Popular Movements ~ Rerum Novarum of Our
Time (Kemunculan Gerakan-gerakan Populer ~ Rerum Noverum Masa Kita)…” Rerum Novarum adalah sebuah ensiklikal dari akhir abad ke-19, sebuah
rujukan kepada ensiklikal sosial Paus Leo XIII tahun 1891 yang melansir
pemikiran sosialis modern Katolik. “…Jelaslah, idenya ialah mengangkat gerakan-gerakan
popular sebagai perwujudan yang paling penting dari agenda sosial gereja di
zaman kita, dengan Francis menyebut mereka pendongkrak bagi transformasi sosial
yang paling mendalam…” Jadi dengan kata
lain Kepausan bukan saja bekerja dari diplomat ke diplomat, dari Vatikan kepada
bangsa-bangsa pada jajaran diplomatik, tetapi juga mendorong gerakan-gerakan,
gerakan-gerakan akar rumput dari masyarakat guna mengimplementasikan agenda
Kepausan.
32 years ago, 33
now, Malachi Martin said just this. Let me read it, “…Nevertheless the
brute fact is that many Jesuits wish to see a radical change in the Democratic Capitalism
of the West, in favor of a Socialism, that seems inevitably to come up smelling
just like totalitarian Communism…” in other words, what the Jesuits say,
well it is something that they say is different than Communism. But it smells
just like Communism.
33 years ago
Malachi Martin wrote what the agenda of the Jesuits is, notice the talking
points. He's describing this long before Francis I comes on the scene, “…Therefore…” Martin wrote, “…therefore,
by concentrating on the issues of human rights, refugees, minorities,
exploitation of peasants-workers-women, and the helpless; the society would be
committing itself to the promotion of a more just world order, greater
solidarity of rich countries with the poor and a lasting peace based on human
rights and freedom. We must strive for international justice and an end to the
arms race. By those works of justice Jesuits would be foreshadowing the new age
which is to come. But the validity of our mission, the Jesuits would say, would
depend to a large extent on our solidarity with the poor…”
32 tahun yang lalu, sekarang
33 tahun, Malachi Martin mengatakan persis demikian. Saya akan membacakan, “…Namun
demikian, fakta brutalnya ialah banyak Jesuit ingin melihat terjadinya
perubahan radikal di Kapitalisme demokratis dunia Barat, agar beralih ke
Sosialisme yang tidak dapat dihindari pasti akan muncul, yang baunya persis
seperti Komunisme totaliter…” dengan kata lain,
apa yang dikatakan Jesuit, nah itu sesuatu
yang berbeda dari Komunisme. Tetapi baunya
persis seperti Komunisme.
33 tahun yang lalu Malachi Martin sudah menulis apa
agenda Jesuit, perhatikan titik-titik pembicaraan mereka. Malachi Martin
menggambarkan ini jauh sebelum Francis I muncul di panggung, “…Oleh karena itu…” tulis Martin, “…Oleh
karena itu, dengan memusatkan perhatian pada isu-isu hak-hak azasi kemanusiaan,
para pengungsi, golongan minoritas, eksploitasi petani-pekerja-perempuan dan
yang tidak berdaya, masyarakat akan komit untuk meningkatkan tatanan dunia yang
lebih adil, solidaritas yang lebih besar dari negeri-negeri yang kaya terhadap yang miskin, dan perdamaian yang abadi berdasarkan
hak-hak azasi kemanusiaan dan kebebasan. Kita harus berjuang untuk keadilan
internasional dan mengakhiri perlombaan persenjataan. Melalui
pekerjaan-pekerjaan keadilan, Jesuit akan
menjadi bayangan pendahulu dari era baru yang akan datang. Tetapi validitas
misi kita, kata Jesuit, akan sangat bergantung pada solidaritas kita dengan
yang miskin…”
Notice what Ellen White wrote in Great
Controversy 235, “…When appearing as
members of their order…” she's
describing the Jesuits, “…when appearing as
members of their order they wore a garb of sanctity, visiting prisons and
hospitals, ministering to the sick and poor, professing to have renounced the
world, and bearing that sacred name of Jesus who went about doing good…” Is that
what the present Pope does? Absolutely. He washes the feet of prisoners and
embraces lepers and, you know, lives in humble quarters in the Vatican so
people say, “Wow, you know the papacy has changed, they used to persecute now
it doesn't.” Ellen White concludes the statement by saying, “…but under this
blameless exterior, the most criminal and deadly purposes were often
concealed…” a façade.
Simak apa yang ditulis Ellen
White di Great
Controversy hal. 235, “…Ketika tampil sebagai anggota Ordo mereka…” dia menggambarkan para Jesuit, “…Ketika tampil sebagai anggota Ordo mereka, mereka
mengenakan jubah kesalehan, mengunjungi penjara-penjara dan rumah-rumah sakit,
melayani yang sakit dan miskin, mengaku telah meninggalkan keduniawian, dan sambil memakai nama kudus Yesus yang pergi
ke mana-mana berbuat baik…” Itukah yang
dilakukan Paus yang sekarang? Tentu saja. Dia membasuh kaki para narapidana,
memeluk orang-orang kusta, kalian tahu, diam di tempat yang sederhana di dalam Vatikan
sehingga orang-orang berkata, “Wow, Kepausan sudah berubah, mereka tadinya
menganiaya, sekarang tidak.” Ellen White mengakhiri pernyataannya dengan
berkata, “…tetapi
di bawah eksterior yang tidak bercacat ini, sering tersembunyi tujuan yang
paling kriminal dan mematikan…” Suatu penampilan
yang menipu.
You know scripture portrays the Antichrist as devious, calculating, duplicitous,
shrewd, wily, deceptive, sly, and hypocritical. In fact in Daniel 8:25 we’re
told through his cunning ~ that is the Little Horn, the Antichrist ~ through his
cunning, he shall cause deceit to prosper under his rule. You see Antichrist’s
work is covert, under the radar, by subterfuge and the Evangelical view
of the Antichrist is, that the
Antichrist is going to be like that person in the Left Behind
series: Nicolae who openly, you know,
flaunts that he is the Antichrist, building a huge statue of himself saying
everybody worship the statue in my honor and tattooing people with the mark of
the Beast on the forehead or on the right hand. How many Christians is that
going to deceive? None! But if the Antichrist appears overtly to be Christian but
under the surface is anti-Christian, that would deceive very many. And
that's exactly what's happening.
Kalian tahu, Alkitab
menggambarkan Antikristus sebagai sosok yang licin, yang memperhitungkan semuanya,
suka meniru, cerdas, banyak akal, menipu, licik dan munafik.
Malah di Daniel 8:25 kita mendapat tahu melalui kelicikannya ~ yaitu si Tanduk
Kecil, si Antikristus ~ melalui kelicikannya dia akan membuat penipuan marak
selama pemerintahannya. Lihat, pekerjaan
Antikristus itu tersembunyi, diam-diam, lewat penipuan, dan
pandangan golongan Evangelis (Protestan) tentang Antikristus ialah dia
seperti tokoh yang ada di seri Left Behind: Nikolae, yang, kalian tahu, secara terbuka
memamerkan dialah si Antikristus, yang membuat sebuah patung diri yang besar
dan menyuruh semua orang harus menyembah patung itu sebagai penghormatan
padanya, dan merajah orang-orang dengan tanda Binatang di dahi atau tangan
kanan mereka. Berapa banyak orang Kristen yang akan tertipu dengan itu? Tidak
ada! Tetapi jika Antikristus muncul
secara terbuka sebagai Kristen tetapi sebenarnya di bawah permukaan itu dia
anti-Kristen, itu akan menipu banyak orang. Dan persis seperti
itulah yang sedang terjadi.
If the religions of the world: Hindus, Muslims, and Buddhists, and Protestants focused on their doctrines
they could never unite. But if you can get them to focus on all of these other
issues, unity is much easier.
Jika agama-agama dunia: Hindu, Muslim, dan Buddha,
dan Protestan masing-masing fokus pada doktrin mereka sendiri, mereka tidak
akan pernah bisa bersatu. Tetapi bila mereka bisa disuruh fokus pada semua isu
yang lain, maka persatuan menjadi lebih mudah.
Now in October of 2019 there was a synod with the bishops of the Amazon
meeting with Pope Francis I. A majority of the bishops at this Synod told the Pope
that they wanted to be able to get married and still serve as priests, because there was a scarcity of priests. Nobody
wanted to join the priesthood unless they could get married. And so they
suggested almost unanimously that the Pope should allow for priests to marry in
the Amazon area, and the Pope showed himself sympathetic to their requests. But
this has caused a rift between Francis I
and the traditional Pope Benedict XVI. See, when Benedict “retired”,
“retired” in quotation marks, he
promised, and now I quote, “…I promise to remain
hidden from the world…” those are his
words. However, in a book that's going to be published in February, that is
next month, the title of the book is From The Depths Of Our Hearts: Priesthood Celibacy
And The Crisis Of The Catholic Church, Benedict takes issue in that book
with Francis' flexibility on this issue. You see, conservative Roman Catholics
are nostalgic about what the papacy used to be. In fact many of them are saying
that the resignation of Pope Benedict was illegal, that he still is the Pope in
their minds.
Nah, di Oktober 2019, sinode
uskup-uskup Amazon bertemu dengan Paus Francis I. Mayoritas uskup-uskup di
sinode ini berkata kepada Paus bahwa mereka ingin diperbolehkan menikah dan
tetap melayani sebagai imam karena ada kekurangan imam. Tidak ada yang mau
menjdi imam kecuali mereka boleh menikah. Maka mereka mengusulkan hampir dengan
suara bulat supaya Paus mengizinkan mereka yang di daerah Amazon menikah, dan
Paus menunjukkan dirinya bersimpati pada permintaan mereka. Tetapi ini
menimbulkan keretakan antara Francis I dan Paus Benedict XVI yang tradisional. Lihat,
ketika Benedict “pensiun”, “pensiun” dalam tanda kutip, dia berjanji dan saya
kutip, “…Saya
berjanji untuk tetap tersembunyi dari dunia…” itulah
kata-katanya. Namun, dalam sebuah buku yang akan diterbitkan di bulan Februari,
yaitu bulan depan, judul bukunya ialah From the Depths of
Our Hearts: Priesthood Celibacy and the Crisis of the Catholic Church (Dari Lubuk Hati Kami: Keselibatan Imam dan
Krisis Gereja Katolik). Benedict dalam buku itu mempermasalahkan fleksibilitas
Francis dengan kasus ini. Kalian lihat, Roma Katolik yang konservatif masih
mengingat Kepausan yang lama. Bahkan banyak dari
mereka berkata pengunduran diri Paus Benedict itu tidak sah, bahwa dalam
pikiran mereka, dia masih Paus.
Now we can also see the shift away from the traditional dogmas of the
church because let me tell you, that allowing priests to marry would go against
what has been believed and practiced for centuries in the Roman Catholic Church.
It would be a radical change.
In the ordination of women priests, that would be a cataclysmic decision by
the papacy but we can see this shift away from doctrine and from the authority
of the papal chair in another detail.
Sekarang kita juga bisa melihat pergeseran dari
dogma-dogma gereja yang tradisional karena, izinkan saya memberitahukan kalian,
memperbolehkan imam-imam menikah itu bertentangan dengan apa yang telah
diyakini dan dipraktekkan selama berabad-abad di gereja Roma Katolik. Itu akan
menjadi perubahan yang radikal.
Dengan pengurapan imam wanita, itu akan menjadi keputusan
yang sangat mengguncang Kepausan, tetapi kita bisa melihat pergeseran dari
doktrin dan dari autoritas takhta Kepausan ini di detail yang lain.
On February 18, 2017, this is not too long ago, Giuseppe Rusconi, an editor of a newspaper in Italy, had a personal
interview with Father Arturo Sosa Abascal who is the new Father General,
actually he's the Father General number 31 of the Jesuit Order. Now Abascal was
elected by the Jesuits, by the Council of Pope Francis I, he was elected the Father
General on October 14, 2016, he is what is called the Black Pope because he
dresses in black. And Rusconi did this
interview, this newspaper editor did an interview with Abascal, the Head of the Jesuit Order, and he asked
Abascal whether Gerhard Mueller who is the Head of what used to be the
Inquisition was a fundamentalist for saying that the words of Jesus concerning
marriage were clear, and that no power
in heaven, on earth, neither an angel nor the Pope, neither a council nor law
of the bishops, has the faculty to modify them. The words that Jesus spoke, that a man marries a woman in Matthew
chapter 19. So he was asked by this newspaper editor, whether Gerhard Mueller
the Head of the Inquisition or the Prefect of the Congregation of the Faith,
was a fundamentalist or traditionalist because he said that the words of Jesus
that are clear in Matthew 19 there is no
power in heaven or on earth, neither an angel nor the pope, neither a
council nor the law of the bishops, has the faculty to modify the words of
Jesus.
Let me give you the question that Rusconi asked, and then I'll give you
Abascal's answer. “…Cardinal Gerhard L. Mueller, the Prefect of the Congregation for the Doctrine
of the Faith has said with regard to marriage, that the words of Jesus are very
clear and no power in heaven and on earth, neither an angel nor the Pope,
neither a council nor law of the bishops, has the faculty to change them…” So
he says, “…What
do you think about that?”
Here's Abascal’s answer, “…So then there would have to be a lot of
reflection on what Jesus really said. At that time no one had a recorder to
take down His words. What is known is that the words of Jesus must be
contextualized…” in other words, they apply to that
time, not necessarily to this, “…they are expressed in a
language in a specific setting, they are addressed to someone in particular…” in other words, just to that person, they
don't apply forever.
And then Rusconi the editor asks in
this, “…But if all the words of Jesus must be
examined and brought back to the historical context, they do not have an
absolute value.”
Here's Abascal's answer, “…Over the last century
in the church there has been a great blossoming of studies that seek to
understand exactly what Jesus meant to say.
That is not relativism but a test that the Word is relative…” the Word of God is what? Relative! The
traditional Popes would never say that!
“…That is not relativism but a test that the Word is relative. The Gospel is written by human beings. It is
accepted by the church which is made up of human persons. So it is true that no
one can change the words of Jesus, but one must know what His word was.”
Well, the Gospels say what His word was.
Pada 18 Februari 2017, tidak berselang
terlalu lama, Giuseppe Rusconi, seorang editor surat kabar di Itali, secara
pribadi mewawancarai Bapak Arturo Sosa Abascal yang adalah Bapak Kepala yang
baru, sebenarnya dialah Bapak Kepala nomor 31 Ordo Jesuit. Nah, Abascal dipilih
oleh para Jesuit, oleh Konsili Paus Francis I, dia dipilih sebagai Bapak Kepala
pada 14 Oktober 2016, dan dia disebut Paus Hitam karena dia memakai pakaian
hitam-hitam. Dan Rusconi melakukan wawanara ini, editor surat kabar itu
melakukan wawancara dengan Abascal, kepala Ordo Jesuit dan dia menanyai Abascal
apakah Gerhard Mueller yang adalah Kepala dari yang dulunya disebut Inquisisi,
adalah seorang fundamentalis karena mengatakan bahwa kata-kata Yesus mengenai
perkawinan itu jelas, dan tidak ada kuasa di langit, di bumi, apakah dari
malaikat atau dari Paus, tidak ada konsili atau peraturan uskup, yang mampu
mengubahnya. Kata-kata yang diucapkan Yesus bahwa seorang laki-laki mengawini
seorang wanita di Matius pasal 19. Jadi Abascal ditanyai editor surat kabar itu
apakah Gerhard Mueller Kepala Inquisisi atau Kepala Congregation
of the Faith, adalah seorang
fundamentalis atau tradisionalis karena dia mengatakan bahwa kata-kata Yesus
yang jelas di Matius 19, tidak ada kuasa di langit atau di bumi, baik oleh
malaikat maupun Paus, baik oleh konsili atau peraturan uskup, yang mampu
mengubah kata-kata Yesus.
Saya akan membacakan
pertanyaan yang ditanyakan Rusconi, kemudian saya akan memberikan jawaban
Abascal. “…Uskup
Gerhard L. Mueller, Kepala Congregation
for the Doctrine of the Faith, berkata sehubungan dengan perkawinan, bahwa
kata-kata Yesus sudah sangat jelas dan tidak ada kuasa di langit dan di bumi,
baik dari malaikat maupun Paus, baik oleh konsili atau perturan uskup yang mampu mengubahnya…” Jadi dia bilang, “…Bagaimana itu menurut Anda?”
Dan ini jawaban Abascal, “…Jadi, harus ada banyak perenungan tentang apa yang
sesungguhnya dikatakan Yesus. Pada waktu itu tidak ada alat yang merekam kata-kataNya. Apa yang diketahui sebagai
kata-kata Yesus harus dikontekstualisasikan…” dengan kata lain
kata-kata itu berlaku untuk saat itu, belum tentu untuk masa sekarang, “…Kata-kata itu diekspresikan dalam bahasa dengan setting
yang khusus, dialamatkan kepada orang yang tertentu…” dengan kata lain, hanya kepada orang tersebut, tidak
berlaku selamanya.
Lalu Rusconi si editor bertanya tentang ini, “…Tetapi
jika semua kata-kata Yesus harus diperiksa dan dikembalikan ke konteks
historisnya, artinya mereka tidak punya nilai mutlak.”
Ini jawaban Abascal, “…Selama abad yang lalu di gereja telah berkembang banyak
penyelidikan untuk berusaha memahami apa sesungguhnya yang memang ingin
dikatakan Yesus. Itu bukan relativisme tetapi suatu ujian bahwa Firman itu
relatif…” Firman Allah itu
apa? Relatif! Paus-paus yang tradisional tidak akan pernah mengatakan demikian! “…Itu
bukan relativisme tetapi suatu ujian bahwa Firman itu relatif. Injil ditulis
oleh manusia, diterima oleh gereja yang terdiri atas manusia. Jadi memang benar
tidak ada yang bisa mengubah kata-kata Yesus, tetapi kita harus tahu, apa kata-kataNya tersebut…” Alkitab sudah mengatakan apa kata-kataNya itu.
What did Abascal say about doctrine? Rusconi asked him, this was his answer,
“…The church has developed over centuries.
It is not a piece of reinforced concrete. It was born, it has learned, it has changed.
This is why the ecumenical councils are held to try to bring developments of
doctrine into focus. ‘Doctrine’ is a word that I don't like…” what is the Head of the Jesuits saying? “…
‘Doctrine’ is a word that I don't like very much. It brings with it the image
of the hardness of stone, instead the human reality is much more nuanced. It is never black or white. It is in
continual development…” Amazing change
in the traditional view of the papacy.
Apa kata Abascal tentang
doktrin? Rusconi bertanya padanya, inilah jawabannya, “…Gereja
telah berkembang selama berabad-abad. Gereja bukan sepotong beton bertulang.
Dia lahir, dia belajar, dia berubah. Inilah mengapa konsili-konsili ekumeni
diadakan untuk mencoba mendatangkan fokus pada perkembangan doktrin. ‘Doktrin’
adalah kata yang tidak saya sukai…” apa kata Kepala
Jesuit? “…’Doktrin’ adalah kata yang tidak saya sukai amat. Itu
mengesankan kekerasan batu, padahal manusia realitanya lebih bernuansa, tidak
pernah hitam atau putih. Dia terus berkembang…” Perubahan yang
menakjubkan dari pandangan tradisional Kepausan.
As I mentioned, notably Abascal is from Venezuela, an avowed Communist country
filled and riddled with disease, poverty, hunger, crime, and civil unrest. One
of the most dangerous countries in the world. My wife has three sisters and a
brother that lived there and we can't go there, it's too dangerous. What does
the Pope said about the situation in Venezuela? Nothing, because he's a
Communist. You say, “Well that's kind of
strong, wouldn't you rather say that he's a Socialist?” Well, there's not a lot of difference when it
comes to him. What has he said ? “Well,
there needs to be a dialogue between the government and the opposition.” But not condemning the human rights abuses
that are practiced, they're killing political prisoners that don't agree with
the regime, killing students who go out to demonstrate. Nothing, the Pope has
said nothing about that, because that would be condemning Socialism, which he
is in favor of.
Seperti yang pernah saya katakan, khususnya Abascal
berasal dari Venezuela, suatu negara yang mengaku Komunis, dipenuhi dan berlubang-lubang
oleh penyakit, kemiskinan, kelaparan, kejahatan, dan keresahan sosial. Salah
satu negara yang paling berbahaya di dunia. Istri saya memiliki tiga saudara
perempuan dan satu saudara laki-laki yang hidup di sana dan kami tidak bisa
berkunjung ke sana, terlalu berbahaya. Apa kata Paus tentang situasi di
Venezuela? Sama sekali tidak berkata apa-apa, karena dia seorang Komunis.
Kalian berkata, “Nah, itu terlalu keras, apa tidak lebih baik dikatakan dia
seorang Sosialis?” Nah, tidak beda banyak dalam kasusnya. Apa kata Paus? “Nah,
perlu ada dialog antara Pemerintah dengan oposisi.” Tetapi dia tidak mengutuk
pelanggaran hak azasi manusia yang dilakukan, mereka membunuh tawanan-tawanan
politik yang tidak setuju dengan regime, membunuh para mahasiswa yang keluar
berdemonstrasi. Paus sama sekali tidak berkata apa-apa tentang hal itu karena
itu berarti mengutuk Sosialisme, yang didukungnya.
Now as we come to an end of our study I want to mention that the Pope has three main talking points
or causes and he relates all three to the observance of Sunday. What
are those three causes?
· Climate change,
·
poverty which
involves immigration,
· and the disintegration of the family.
Nah, sementara kita mengakhir pelajaran kita, saya mau
mengatakan bahwa Paus punya tiga titik
pembicaraan atau tujuan utama dan dia mengaitkan ketiga-tiganya kepada
pemeliharaan hari Minggu. Apakah ketiga tujuan tersebut?
· Perubahan iklim
· Kemiskinan yang melibatkan
imigrasi
· Dan disintegrasi keluarga.
What has he argued? He says, Capitalism has enslaved the poor and deprived
them of necessary rest and therefore international government should draw up laws to pressure private enterprise to give
them a Sunday rest. In the
European Union's there’s a strong push for laws in the European Union to close
everything down on Sunday to give the poor overworked rest. What day do you suppose the Pope proposes that
the poor rest? Sunday.
Apa yang diperdebatkannya? Dia berkata, Kapitalisme telah
memperbudak orang-orang miskin dan mengambil hak mereka atas istirahat yang
mereka butuhkan, dan oleh karena itu pemerintahan internasional harus
membuat undang-undang untuk menekan perusahaan-perusahaan swasta memberikan
mereka istirahat pada hari Minggu. Di Uni Eropa ada dorongan
kuat untuk membuat undang-undang, yang menutup semua pada hari Minggu di Uni
Eropa untuk memberikan istirahat kepada orang miskin yang sudah bekerja di luar
batas. Menurut kalian kira-kira hari apa yang diusulkan Paus seabgai hari
istirahat? Minggu.
What about the environment? He says, well, you know, Capitalism has spoiled
the environment by emissions, contaminating the rivers, etc. The planet, the environment, needs one day
out of the week to rest. But
you can't guess what day that is. Sunday.
Bagaimana dengan lingkungan hidup? Dia berkata, Yah,
kalian tahu, Kapitalisme telah merusak lingkungan hidup melalui emisi-emisi,
kontaminasi sungai-sungai, dll. Planet ini, lingkungan
hidup ini, membutuhkan satu hari dalam satu minggu untuk beristirahat. Tetapi kalian tidak
bisa menebak hari mana itu. Hari Minggu.
He's also gone on the record saying that the family is always involved in
the rat race of life: taking kids to school, preparing meals, shopping, and
families don't have time to get together to bond. The family needs one day where they can go to church and reconnect with their spiritual
roots. Can you guess what day he suggests? Sunday.
Dia juga pernah tercatat mengatakan bahwa keluarga selalu
terlibat dalam perlombaan perjuangan
hidup: membawa anak-anak ke sekolah, menyiapkan makanan, belanja, dan keluarga
tidak punya waktu berkumpul untuk menjalin hubungan. Keluarga
membutuhkan satu hari di mana mereka bisa pergi ke gereja
dan terhubung kembali dengan akar spiritual mereka. Bisakah
kalian menebak hari apa yang dia usulkan? Minggu.
All Sunday laws first of all have had a social
purpose and then they morph into religious laws. That's exactly what's happening these days .
Semua Undang-undang Hari Minggu pertamanya
memiliki tujuan sosial, kemudian mereka berubah bentuk menjadi Undang-undang
relijius. Persis seperti itulah yang sedang terjadi sekarang.
Let me read you what the Pope had to say about Sunday, “…On Sunday our participation in the Eucharist…” that is in the partaking of the Lord's
Supper which we believe differently than the Catholic Church, “…on Sunday our participation in the Eucharist
has special importance. Sunday like the
Jewish Sabbath…” there's no text in the Bible that refers to
the Sabbath as the Jewish Sabbath, no where. The Bible says, it's “the Sabbath of the Lord your God”, in Isaiah 58 it says, “take your foot away from My holy day …”
, “…you shall keep My Sabbaths”, “…the Son of Man is Lord of the Sabbath”, the
Bible is clear. But he says, “…Sunday like the Jewish Sabbath is meant to
be a day which heals our relationships with God, with ourselves, with others,
and with the world…”
Izinkan saya membacakan apa
yang dikatakan Paus tentang hari Minggu, “…Pada hari Minggu partisipasi kita dalam Ekaristi…” ini partisipasi dalam Perjamuan Tuhan yang berbeda
menurut keyakinan kita dari gereja Katolik, “…Pada
hari Minggu partisipasi kita dalam Ekaristi memiliki kepentingan yang istimewa.
Hari Minggu, seperti hari Sabat Yahudi…” di Alkitab tidak
ada ayat yang merujuk hari Sabat sebagai Sabat Yahudi, tidak ada. Alkitab
berkata, “Sabat Tuhan Allahmu”, di Yesaya 59 dikatakan, “tidak
menginjak-injak… pada hari kudus-Ku”, “kamu
harus memelihara hari-hari Sabat-Ku”, “Anak
Manusia adalah Tuan atas hari Sabat”. Alkitab jelas.
Tetapi Paus berkata, “…hari Minggu seperti hari Sabat Yahudi dimaksudkan
sebagai hari yang memulihkan hubungan kita dengan Allah, dengan diri sendiri,
dengan orang lain, dan dengan dunia…”
The causes that the Pope is fighting for: to help the poor ~ can we agree that we need to help the poor? That
we need to take care of the environment? That the family needs to stick together and it
needs to, you know, have time where they can build relationships within the family?
Those are good causes. The only problem is the Pope has the wrong day.
Tujuan-tujuan yang diperjuangkan Paus: menolong yang
miskin ~ setujukah kita bahwa kita perlu menolong yang miskin? Bahwa kita perlu
memelihara lingkungan hidup? Bahwa keluarga perlu bersatu dan perlu punya waktu
di mana mereka bisa membangun hubungan di dalam keluarga? Semua itu adalah
tujuan yang baik. Satu-satunya masalahnya ialah Paus memakai hari yang salah.
Now, let me talk to you just briefly about the final controversy, the final
conflict. The
final conflict is not really a conflict of days, it's a conflict of authorities.
If we keep the Sabbath, who's authority are we recognizing? God’s, who has established the Sabbath. If we
keep Sunday whose authority are we respecting? The authority that claims
to have changed the day, which is the
Little Horn, the papacy. So behind the days is the question of authority, in
other words, the days are a means to test whose authority we will obey. And the
Roman Catholic Church recognizes that.
Sekarang, saya mau berbicara singkat saja tentang
kontroversi terakhir, konflik terakhir. Konflik terakhir sesungguhnya
bukan konflik tentang hari, tetapi konflik tentang autoritas.
Jika kita memelihara Sabat, autoritas siapa yang kita akui? Allah, yang telah
menetapkan Sabat. Jika kita memelihara hari Minggu, autoritas siapa yang kita
hormati? Autoritas dia yang mengklaim telah mengubah hari, yaitu Tanduk Kecil,
Kepausan.
Jadi di balik hari-hari ini ada masalah autoritas, dengan
kata lain, hari-hari itu hanyalah sarana untuk menguji autoritas siapa yang
akan kita patuhi. Dan gereja Roma Katolik mengenali hal itu.
I want to read you a statement that was written by a man called John
O'Brien in the book The Faith Of Millions. He was a teacher for many years at the
University of Notre Dame in South Bend, Indiana, and he wrote this very
interesting quotation in his book, and I read it now. He's actually saying to
Protestants, you guys are inconsistent. “But since Saturday not Sunday is specified
in the Bible, isn't it curious that non-Catholics who profess to take their
religion directly from the Bible and not from the church, observes Sunday
instead of Saturday? Yes, of course it is inconsistent. But this change was
made about 15 centuries before Protestantism was born and by that time the custom was universally
observed. Protestants have continued the
custom, even though it rests upon the authority of the Catholic Church
and not upon an explicit text in the Bible…” Now listen carefully, “…That observance remains
as a reminder of the Mother Church…” the observance
of Sunday remains as what? “…as a reminder of the
Mother Church from which the non-Catholic sects broke away, like a boy running
away from home but still carrying in his pocket a picture of his mother or a
lock of her hair…” (pg.400) What he's saying is that the daughters
that were born from the papacy never totally disconnected from the papacy, they
ran away from home but the reminder of the mother will bring them back.
Saya mau membacakan suatu
pernyataan yang ditulis oleh seorang yang bernama John O’Brien dalam buku The Faith of Millions (= Iman Berjuta Manusia). Dia seorang dosen selama bertahun-tahun di
Universitas Notre Dame, South Bend, Indiana, dan dia menulis kutipan yang
sangat menarik ini dalam bukunya, yang akan saya bacakan sekarang. Sebenarnya
dia berkata kepada Protestan, kalian itu tidak konsisten. “…Tetapi karena Sabtu bukan Minggu yang tertulis di
Alkitab, apakah tidak aneh non-Katolik yang mengaku mengambil agama mereka
langsung dari Alkitab dan bukan dari gereja, memelihara hari Minggu dan bukan
Sabtu? Ya, tentu saja itu tidak konsisten. Tetapi perubahan ini sudah dibuat
sekitar 15 abad sebelum Protestantisme lahir, dan pada saat itu kebiasaan
tersebut sudah dipelihara secara universal. Protestant melanjutkan kebiasaan
itu walaupun itu berdasarkan autoritas gereja Katolik dan bukan berdasarkan
ayat tertentu di Alkitab…” Sekarang dengarkan
baik-baik, “…Pemeliharan
hari Minggu itu tersisa sebagai peninggalan Gereja Induk…” pemeliharan hari Minggu tersisa sebagai apa? “…sebagai
peninggalan Gereja Induk dari mana sekte-sekte non-Katolik telah memisahkan
diri, seperti seorang anak yang melarikan diri dari rumah tetapi tetap
menyimpan di sakunya foto ibunya atau seikat rambut ibunya (hal. 400)…” Apa yang dikatakannya ialah anak-anak perempuan yang
lahir dari Kepausan tidak pernah benar-benar putus hubungan dari Kepausan,
mereka lari dari rumah tetapi ingatan tentang ibunya akan membawa mereka pulang.
Final point. September 26, 1860, a
committee met at Battle Creek Michigan to decide whether to adopt the name for
the movement that grew out of the disappointment in 1844. Among the members of
that committee that were to decide whether to give this denomination a name,
were Brother Loughborough, Brother Hewitt, and Brother Poole, among others. One
minister in the committee said we need to be called the “Church of God”, to
which Elder Loughborough objected, he
said, “All churches claimed to be the Church of God, what's unique about
that?” After much discussion Brother Poole made the following motion, resolved
that we call ourselves Seventh-Day Adventists. There was only one dissenting
vote, the minister who suggested that we be called “the Church of God.” Less
than a month later, on October 23, 1860, in the
Review and Herald this notice appeared: The
name Seventh-Day Adventists was proposed as a simple name and one expressive of
our faith and position.
Why is our name so important at this stage in history? Because what it
teaches is a supernatural divine beginning and a supernatural divine
ending. “Seventh-Day” means that we believe
that the story of creation is literal, sin is literal, the infection of sin is
literal, the need for a savior is
literal, the second coming of Jesus is literal, that's the “Adventist” part.
In a world that embraces evolutionary beginnings, in a world that says, no, you
know, the world would become better and better through human genius, through
international agreements, there's one church that says, No! There was a divine
supernatural beginning in seven literal days and there will be a quick ending
at the end of time with the glorious second coming of Jesus Christ. Our church
was raised for this time.
And you know it really bothers me when I find Adventist churches and the
sign in front says: “Adventist Community Church” or “Adventist Fellowship”. We
should not be embarrassed about letting everybody know that we are Seventh-Day
Adventist.
You know, when I'm on a plane and I'm studying, you know, my Bible or my notes, the person next door
says, “Oh, you're a minister huh?”
“Yeah, yeah I'm a minister.”
“Oh, what church do you belong to?”
“Seventh-Day Adventist.”
“What's that?”
Glorious question opens the door. So then I explain what the word
Seventh-Day Adventist means. That's why I always say, don't haul down our
colors. We should have a big sign that says: “Seventh Day Adventist church”.
Poin terakhir. 26 September 1860, sebuah komite bertemu
di Battle Creek, Michigan, untuk menentukan apakah akan memberi nama kepada gerakan yang keluar
dari kekecewaan 1844. Di antara anggota komite yang akan menentukan apakah akan
memberi denominasi ini sebuah nama ialah Saudara Loughborough, Saudara Hewitt,
dan Saudara Poole, di antaranya. Seorang pendeta di komite itu berkata, kita
harus disebut “Church of God” (Gereja Allah), terhadap usul tersebut Ketua
Loughborough keberatan, dia berkata, “Semua gereja mengaku gereja Allah, apanya
yang unik dengan itu?” Setelah banyak perbincangan, Saudara Poole membuat mosi
berikut, menetapkan kita menyebut diri kita Masehi Advent Hari Ketujuh. Hanya
ada satu suara yang tidak setuju, yaitu pendeta yang mengusulkan kita disebut
“Gereja Allah”. Kurang dari satu bulan kemudian, pada 23 Oktober 1860, di Review and Herald, pengumuman ini muncul: Nama Masehi
Advent Hari Ketujuh diusulkan sebagai nama yang sederhana dan yang
menggambarkan iman dan kedudukan kita.
Mengapa nama kita begitu penting pada tahap ini dalam
sejarah? Karena apa yang diajarkan ialah suatu awal (dunia) yang
supranatural secara ilahi dan suatu akhir yang
supranatural secara ilahi. “Hari Ketujuh” berarti kita meyakini kisah penciptaan itu
literal, dosa itu literal, infeksi dosa itu literal, kebutuhan akan seorang
Juruselamat itu literal, kedatangan
Yesus yang kedua itu literal, itu bagian “Advent”nya. Di dunia yang memeluk konsep suatu awal berdasarkan teori evolusi, di dunia yang berkata,
tidak, dunia akan menjadi semakin baik melalui kecerdasan manusia, melalui
perjanjian-perjanjian internasional; ada satu gereja yang berkata, Tidak! Ada suatu awal
supranatural secara ilahi dalam tujuh hari
(penciptaan) literal, dan akan ada suatu akhir yang cepat pada akhir
masa dengan kedatangan Yesus Kristus yang kedua dalam kemuliaan. Gereja kita dibangkitkan untuk
masa ini.
Dan kalian tahu, saya sungguh-sungguh jengkel bila saya
menemukan gereja-gereja Advent dengan plang di depannya yang berbunyi: “Gereja
Komunitas Advent” atau “Persekutuan Advent”. Kita tidak boleh malu membiarkan
orang lain tahu kita adalah Masehi Advent Hari Ketujuh.
Kalian tahu, jika di pesawat saya sedang mempelajari
Alkitab saya atau catatan saya, maka tetangga di sebelah berkata, “Oh, Anda
seorang pendetakah?
“Ya, ya, saya pendeta.”
“Oh, dari gereja mana Anda?”
“Masehi Advent Hari Ketujuh.”
“Apa itu?”
Puji Tuhan pertanyaan itu membuka pintu. Maka saya
jelaskan apa arti kata Masehi Advent Hari Ketujuh. Itulah sebabnya saya selalu
berkata, jangan memudarkan warna kita. Kita harus punya plang
besar yang bertuliskan: “Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh”
By the way Ellen White endorsed the name that was adopted. I'm not going to
read it because time does not allow it, but if you want to read it, it’s Testimonies For The Church Volume 1 pages 223
and 224, she said that it was providentially chosen, the name of this church. But
she also predicted that the time was going to come when some in our midst would
try to haul down our colors. I want to read that statement just to close here, Testimonies for the Church
Volume 6 page 144, “…Men
will employ every means to make less prominent the difference between
Seventh-Day Adventists and observers of the first day of the week. A company
was presented before me under the name of Seventh Day Adventist…” these are Adventists who are doing this, “…A company was presented before me under
the name of Seventh-Day Adventist, who are advising that the banner or sign
which makes us a distinct people should not be held out so strikingly, for they
claimed that this was not the best policy in order to secure success to our
institutions. However, this is not a time to haul down our colors, to be
ashamed of our faith. This distinctive banner described in the words ‘Here's the patience of the saints, here
are they that keep the commandments of God, and the faith of Jesus’ is
to be borne through the world to the close of probation. While efforts should
be increased to advance in different localities, there
must be no cloaking of our faith to secure patronage. Truth must come to
souls ready to perish, and if it is in any way hidden, God is dishonored and
the blood of souls will be upon our garments…”
Nah, Ellen White mengesahkan
nama yang diambil. Saya tidak akan membacakannya karena waktunya tidak cukup,
tetapi jika kalian mau membacanya ada di Testimonies for the Church Vol. 1 hal. 223-224, dia berkata
bahwa nama itu dipilih di bawah bimbingan Ilahi, nama gereja ini. Tetapi dia
juga menubuatkan, akan datang waktunya ketika di tengah-tengah kita akan ada
yang mau memudarkan warna kita. Saya mau membacakan pernyataan itu sebagai
penutup di sini. Testimonies
for the Church Vol. 6 hal. 144, “…Manusia
akan memakai segala cara untuk mengecilkan perbedaan antara Masehi Advent Hari
Ketujuh dan pemeluk hari pertama. Saya ditunjukkan sekelompok orang yang memakai nama MAHK…” ini orang-orang Advent yang melakukan ini, “…Saya
ditunjukkan sekelompok orang yang memakai nama MAHK yang memberi nasihat supaya
spanduk atau plang yang menandai kita
sebagai
umat yang khas, jangan dipamerkan sedemikian mencoloknya, karena mereka
mengatakan ini bukanlah kebijakan yang terbaik untuk mendapatkan sukses bagi institusi-institusi
kita. Namun demikian, ini bukanlah waktunya untuk memudarkan warna kita, merasa
malu pada iman kita. Tanda yang khas ini yang digambarkan dalam kata-kata ‘Di
sinilah keuletan orang-orang kudus, inilah mereka yang memelihara perintah-perintah Allah
dan iman Yesus.’ Harus dibawa kepada
dunia hingga tutupnya pintu kasihan. Sementara upaya harus ditingkatkan untuk
maju di tempat-tempat yang berbeda, iman kita
tidak boleh disamarkan demi mendapatkan pendukung. Kebenaran harus sampai
kepada jiwa-jiwa yang hampir binasa, dan jika itu disamarkan dalam cara apa
pun, Allah dipermalukan, dan darah jiwa-jiwa itu menjadi tanggungan kita.”
So I hope that what we studied has helped you catch a broader perspective
of what is going on. Somebody asked me
during the break, should we be talking about the Jesuits or should we be
talking about the Three Angels Message? That was a sincere question. It's not either/or.
Has what we've been talking about have any relationship with the Three Angels Message?
If certainly does. Does the change in
focus of the Roman Catholic Church have anything to do with The Third Angel's
Message? Making an image of the Beast in the United States, imposing the mark
of the Beast, it has a great relationship, because we need to know how Satan is working to change the Catholic
Church so the unity between Protestants, the civil powers of the world, and the
papacy can occur. And we can see it happening right in front of our
eyes.
Jadi saya harap apa yang telah kita pelajari membantu
kalian mendapatkan perspektif yang lebih luas tentang apa yang sedang terjadi.
Ada yang bertanya kepada saya waktu jeda tadi, apakah
kita seharusnya bicara tentang Jesuit atau apakah kita seharusnya bicara
tentang Pekabaran Tiga Malaikat. Itu adalah pertanyaan yang tulus. Nah, itu
bukan harus memilih salah satu. Apakah yang kita bicarakan ini ada kaitannya
dengan Pekabaran Tiga Malaikat? Pasti. Apakah perubahan fokus gereja Roma
Katolik ada kaitannya dengan Pekabaran Malaikat Ketiga? Membuat patung Binatang
di Amerika Serikat, memaksakan tanda Binatang, itu sangat berkaitan karena itu kita
perlu tahu bagaimana Setan bekerja untuk mengubah
gereja Roma Katolik sehingga persatuan antara Protestan, kekuasaan sipil dunia,
dan Kepausan bisa terjadi. Dan kita bisa melihatnya sedang
terjadi di depan mata kita sekarang.
So folks, it's been
a real privilege being with you. We will send to those who fill out the card
all of the 80 pages, I'm including also one that I did not present, it's titled
“Religious liberty in the age of Trump”. Some of you might have watched that on
YouTube, it is on You Tube, but I'm going to send you a written copy with
additional information since I presented that down in Southern California.
So thank you for
coming, thank you for being here, and now it's the pastor's turn to thank me
for coming, heheheh.
Jadi,
Saudara-saudara, senang bisa bersama-sama dengan kalian. Kami akan mengirimkan
kepada mereka yang telah mengisi kartu seluruh 80 halamannya, dan saya akan
memasukkan juga satu yang tidak saya sampaikan di sini, berjudul “Religious
Liberty in the Age of Trump” (= Kebebasan Beragama di Zaman Trump). Beberapa
dari kalian mungkin sudah menontonnya di You Tube, ada di You Tube, tetapi saya
akan mengirimkan salinan yang tertulis dengan informasi tambahan karena telah
saya presentasikan itu di California Selatan.
Jadi
terima kasih untuk kehadirannya, dan sekarang adalah giliran gembala sidang
untuk mengucapkan terima kasih kepada saya karena telah datang kemari,
hehehehe.
20 05 20
No comments:
Post a Comment