Friday, August 9, 2024

EPISODE 07/24 ~ WHAT JESUS SAID ~ THE RULE OF LAW ~ STEPHEN BOHR

 

WHAT JESUS SAID

Part 07/24 - Stephen Bohr

THE RULE OF LAW

https://www.youtube.com/watch?v=d6EER-h9R4c

 

 

Dibuka dengan doa.

 

 

There are many similarities between the life of Moses and the life of Christ. As we begin let's notice some of those similarities:

v    delivered their people from bondage,

ü    Moses from literal bondage,

ü    Jesus from spiritual bondage.

v   both were threatened by death when they were born,

v   both found refuge in Egypt, they were protected in Egypt,

v   both were called out of Egypt,

v   the people were

ü    baptized into Moses who was the leader in the Old Testament,

ü    baptized into Christ in the New Testament.

v   in both cases the blood of the Lamb became the sign of the deliverance,

v   both Jesus and Moses interceded for their people,

v   both established twelve,

ü    Moses 12 tribes

ü    Jesus 12 apostles

v   both established a group of 70,

v   both delivered the Law to the people from a mountain,

ü    Moses from Sinai

ü    Jesus from the mount of Beatitudes

v   both were criticized by their own people,

v   both gave water to their people,

v   both gave manna to their people,

v   both raised a serpent in the wilderness,

ü    Moses raised a serpent in the wilderness,

ü    which was symbolic of Jesus Christ,

v   both celebrated the Passover,

ü    Moses established the Passover in the Old Testament,

ü    Jesus was the Passover Lamb,

v   both were tempted in the wilderness,

ü    Moses for 40 years,

ü    and Jesus for 40 days,

So there are lots of parallels between Jesus Christ and Moses.

 

Ada banyak persamaan antara kehidupan Musa dan kehidupan Kristus. Kita awali dengan menyimak beberapa dari persamaan-persamaan tersebut.

v   Keduanya sama-sama menyelamatkan bangsanya dari perbudakan,

ü    Musa dari perbudakan literal,

ü    Yesus dari perbudakan spiritual.

v   Keduanya sama-sama terancam kematian ketika mereka dilahirkan.

v   Keduanya sama-sama menemukan perlindungan di Mesir, mereka terlindung di Mesir.

v   Keduanya sama-sama dipanggil keluar dari Mesir.

v   Bangsanya sama-sama dibaptis

ü    dalam Musa yang adalah pemimpin di Perjanjian Lama,

ü    dalam Kristus di Perjanjian Baru.

v   Dalam kedua kasus, darah domba menjadi tanda penyelamatan.

v   Baik Yesus maupun Musa menjadi perantara bagi bangsa mereka.

v   Keduaya sama-sama mengangkat dua belas,

ü    Musa 12 bani/suku,

ü    Yesus 12 rasul.

v   Keduanya sama-sama menetapkan kelompok 70.

v   Keduanya sama-sama menyampaikan Hukum kepada bangsanya dari atas sebuah bukit,

ü    Musa dari Sinai,

ü    Yesus dari bukit Beatitudes (khotbah  di atas bukit).

v   Keduanya sama-sama dikritik oleh bangsanya sendiri.

v   Keduanya sama-sama memberikan minum air kepada bangsanya.

v   Keduanya sama-sama memberi manna kepada bangsanya.

v   Keduanya sama-sama mengangkat ular ke atas di padang gurun,

ü    Musa mengangkat ular di padang gurun,

ü    yang merupakan simbol Yesus Kristus.

v   Keduanya sama-sama merayakan Passah,

ü    Musa memulai Passah di Perjanjian Lama,

ü    Yesus adalah Domba Passah.

v   Keduanya sama-sama dicobai di padang gurun,

ü    Musa selama 40 tahun,

ü    Dan Yesus selama 40  hari,

Jadi ada banyak persamaan antara Yesus Kristus dan Musa.

 

 

Now unfortunately some Christians have created a dichotomy or a conflict between Moses and Christ. They base their view on John 1:17 where we are told that 17… the Law was given through Moses, but grace and truth came through Jesus Christ.”

So there seems to be a contrast between the Law given through Moses, and grace and truth coming through Jesus Christ. This is interpreted by many as the Old Testament being all about Law, and the New Testament being all about grace. But the question is, is this true?

Ø    Was Israel saved by keeping the Law, while New Testament Christians are saved by pure grace?

Ø    Is there no Law in the New Testament? And is there no grace in the Old Testament?

 

Nah, sayangnya ada orang-orang Kristen yang menciptakan suatu dikotomi atau pertentangan antara Musa dan Kristus. Mereka mendasarkan pandangan mereka pada Yohanes 1:17 di mana kita diberitahu bahwa, 17 … Hukum diberikan melalui Musa, tetapi kasih karunia dan kebenaran datang melalui Yesus Kristus.”

Jadi sepertinya ada kontras antara Hukum yang diberikan melalui Musa dengan kasih karunia dan kebenaran yang datang melalui Yesus Kristus. Ini diterjemahkan oleh banyak orang bahwa Perjanjian Lama itu semuanya tentang Hukum, dan Perjanjian Baru semuanya tentang kasih karunia. Tapi pertanyaannya, apakah itu benar?

Ø    Apakah Israel diselamatkan dengan mematuhi Hukum, sementara orang-orang Kristen Perjanjian Baru diselamatkan semata-mata oleh kasih karunia murni?

Ø    Apakah tidak ada Hukum di Perjanjian Baru? Dan apakah tidak ada kasih karunia di Perjanjian Lama?

 

 

We must remember that the word “Law” as it's used in this verse in John 1:17 does not refer merely to the Ten Commandments, it refers to the entirety of the Pentateuch, or the books that were written by Moses.  

Both Moses and Jesus gave a Law to the people from a mount. Moses from mount Sinai, and Jesus from the mount of the Beatitudes.  

 

Harus kita ingat bahwa kata “Hukum” yang dipakai di ayat ini, di Yohanes 1:17, tidak mengacu hanya kepada Kesepuluh Perintah, tapi itu mengacu ke keseluruhan Pentateukh atau kitab-kitab yang ditulis Musa.

Baik Musa maupun Yesus menyampaikan Hukum kepada umat dari atas bukit. Musa dari Bukit Sinai, dan Yesus dari Bukit Beatitudes.

 

 

And this is the specific point that we want to focus on in this particular class.

Ø    What was Jesus’ attitude towards the Law?

Ø    Was His concept of the Law different than the concept that Moses had?

Ø    Is the Law from mount Sinai a Law of justice, while the Law from the mount of Beatitudes is a Law a love and grace?

In order to answer these questions, we have to go back to the story of the original Moses, because Moses is a type of Christ. So even though this is a class about what Jesus said to New Testament Christians, you cannot understand the New Testament without going back to the Old. If Jesus is a new Moses, you can't understand the new Moses unless you understand the old Moses. This is called typology.

 

Dan inilah poin yang spesifik yang mau kita simak dalam kelas ini.

Ø    Bagaimanakah sikap Yesus terhadap Hukum?

Ø    Apakah konsepNya tentang Hukum berbeda dari konsep yang dimiliki Musa?

Ø    Apakah Hukum dari Bukit Sinai itu Hukum keadilan sementara Hukum dari Bukit Beatitudes itu Hukum kasih dan karunia? 

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini kita harus kembali ke sejarah Musa yang asli, karena Musa adalah semacam tipe Kristus. Jadi walaupun kelas ini adalah tentang apa kata Yesus kepada oang-orang Kristen Perjanjian Baru, kita tidak bisa mengerti Perjanjian Baru tanpa kembali ke Perjanjian Lama. Jika Yesus adalah Musa baru, kita tidak bisa memahami Musa yang baru kecuali kita memahami Musa yang lama. Inilah yang namanya tipologi.

 

 

So let's take a look at Law and grace in the book of Exodus. The early chapters of Exodus describe the enslavement of Israel to Pharaoh in Egypt, we're told that the people cried out to God for deliverance from bondage. They cried out for God to remember His covenant with Abraham, Isaac, and Jacob. And so God decided to intervene and deliver them. They were delivered by God's free grace. God did not tell Israel, when you obey Me, I will deliver you. He delivered them without any merit on their part. He delivered them by pure grace, because in their helplessness they cried out to Him. The Passover Lamb was the symbol or the token of their deliverance. The shedding of the blood of the Lamb was the announcement of their deliverance from physical bondage in Egypt. Incidentally they were in bondage to what the Bible calls “the great dragon”. In fact, Pharaoh is called in Ezekiel 29:3 “the great dragon”. So they were in bondage to the great dragon.

 

Jadi mari kita simak Hukum dan kasih karunia di kitab Keluaran. Pasal-pasal awal Keluaran menggambarkan perbudakan Israel pada Firaun di Mesir. Kita mendapat tahu bahwa bangsa itu berseru kepada Allah minta dilepaskan dari perbudakan. Mereka berseru kepada Allah supaya ingat perjanjianNya dengan Abraham, Ishak, dan Yakub. Maka Allah memutuskan untuk campur tangan dan melepaskan mereka. Mereka diselamatkan oleh kasih karunia Allah yang gratis. Allah tidak berkata kepada Israel, jika kamu mematuhi Aku, Aku akan menyelamatkan kamu. Allah menyelamatkan mereka tanpa jasa baik apa pun di pihak Israel. Allah menyelamatkan mereka oleh kasih karunia yang murni, karena dalam ketidakberdayaan mereka, mereka berseru minta tolong kepada Allah. Domba Passah menjadi simbol atau tanda penyelamatan mereka. Pencurahan darah Domba adalah pengumuman penyelamatan mereka dari perbudakan fisik di Mesir. Ketahuilah, mereka diperbudak oleh apa yang disebut di Alkitab, “naga besar”. Faktanya, Firaun di Yehezkiel 29:3 disebut “naga besar”. Jadi mereka diperbudak oleh naga besar itu.   

 

 

Now does this mean that God did not expect Israel to keep the Law? He didn't tell them “Keep the Law and I’ll deliver you”,  so God delivers them by grace. Does that mean that God did not expect Israel to keep the Law after they were delivered? Of course not.  After He delivered them from bondage, God did not take the people directly to the land of Canaan. That is significant. He led the people to mount Sinai, and on mount Sinai He made a covenant with them, a covenant or an agreement. And this covenant is described in Exodus chapter 19 the first verses, verse 1 through verse 8.

 

Nah, apakah ini berarti Allah tidak berharap Israel akan mematuhi HukumNya? Dia tidak memberitahu mereka, “Patuhi Hukum dan Aku akan menyelamatkan kamu”, jadi Allah menyelamatkan mereka oleh kasih karunia. Apakah itu berarti Allah tidak berharap Israel akan mematuhi Hukum setelah mereka diselamatkan? Tentu saja tidak. Setelah Allah menyelamatkan mereka dari perbudakan, Allah tidak membawa umatNya langsung ke tanah Kana’an. Ini signifikan. Dia menuntun mereka ke Bukit Sinai, dan di Bukit Sinai Dia membuat perjanjian dengan mereka, sebuah perjanjian atau kesepakatan. Dan perjanjian ini digambarkan di Keluaran pasal 19 ayat-ayat awalya, ayat 1 hingga ayat 8.

 

 

The first thing that God does is remind Israel that He was the One that led them out of bondage. He delivered them from bondage. This is in Exodus 19 the first few verses. Next God told Israel that if they obeyed Him, if they kept His covenant, they would be His special people. God is saying that to a people that had already been delivered. It's not the condition of their deliverance, it is the result of their deliverance. And so God says, “You will be My special people if you hear My voice and you obey My covenant.” And so then Moses relays this to the people, actually to the elders of the people, who represented the people. And he says to them, “God wants to make a covenant with us. Do you accept or not?” And the people responded what? “All that the Lord has said, we will do.” And now we had a covenant because God says, “These are the conditions of the covenant”, the people say,  “All that the Lord has said we will do”. Now there was a covenant between two parties. And then we're told that Moses relayed the decision of the people to God. So at this point you have a covenant between two parties.

 

Hal pertama yang dilakukan Allah ialah mengingatkan Israel bahwa Dialah yang telah menuntun mereka keluar dari perbudakan. Dia menyelamatkan mereka dari perbudakan. Ini di Keluaran 19 ayat-ayat pertamanya. Berikutnya Allah memberitahu Israel bahwa jika mereka mematuhiNya, jika mereka menghormati perjanjianNya, mereka akan menjadi umatNya yang istimewa. Allah mengatakan itu kepada umat yang sudah diselamatkan. Itu bukanlah persyaratan dari penyelamatan mereka, itu adalah hasil dari penyelamatan mereka. Maka Allah berkata, “Kamu akan menjadi bangsaKu yang istimewa jika kamu mendengar suaraKu dan kamu mematuhi perjanjianKu.” Maka Musa lalu menyampaikan ini kepada orang-orang, tepatnya kepada para tua-tua umat yang mewakili umat. Dan dia berkata kepada mereka, “Allah mau membuat perjanjian dengan kita. Kalian terima atau tidak?” Dan umat merespons bagaimana? 8 …‘Segala yang difirmankan TUHAN akan kami lakukan’…” (Keluaran 19:8). Maka sekarang ada sebuah perjanjian, karena Allah berkata, “Inilah syarat-syarat perjanjian” dan umat berkata, 8 …‘Segala yang difirmankan TUHAN akan kami lakukan’…” Sekarang ada sebuah perjanjian antara kedua belah pihak. Kemudian kita diberitahu bahwa Musa menyampaikan keputusan bangsa itu kepada Allah. Jadi di poin ini, ada sebuah perjanjian antara kedua belah pihak.

 

 

Now in the very next chapter ~ this is important ~ Exodus chapter 20, God gave Israel the Ten Commandments. God gave the Law to a free people. I underline that point, God gave the Law to a free people, He did not give the Law to Israel in bondage. It would have been virtually impossible for Israel to keep the Ten Commandments while they were in Egypt. How could they keep the Sabbath when they were in Egypt? They couldn't. Back when Moses said to Pharaoh, “Let us go out into the wilderness for three days”, he was actually saying let us go and keep the Sabbath. And Pharaoh said, “Oh yeah? You think that you're going to go out and keep the Sabbath? Now you're going to make bricks and you're going to make them without the straw, you have to get the straw yourselves.” And so clearly in Egypt they could not keep the Ten Commandments. But God freed them from bondage to Pharaoh, so that they could serve Him. Keeping the Commandments did not earn redemption from bondage. God was saying to them what Jesus said later, “If you love Me…” because of what I have done for you, you will what? “…you will keep My Commandments” (John 14:15).

 

Nah, di pasal berikutnya ~ ini penting ~ Keluaran pasal 20, Allah memberikan Kesepuluh Perintah kepada Israel. Allah memberikan HukumNya kepada suatu bangsa yang sudah dimerdekakan. Saya menggarisbawahi poin itu, Allah memberikan HukumNya kepada suatu bangsa yang sudah dimerdekakan. Allah tidak memberikan HukumNya kepada Israel di perbudakan. Pasti mustahil bagi Israel untuk mematuhi Kesepuluh Perintah selagi mereka ada di Mesir. Bagaimana mereka bisa memelihara Sabat ketika mereka ada di Mesir? Mereka tidak bisa. Ketika saat itu Musa berkata kepada Firaun, “Izinkan kami pergi ke padang gurun selama tiga hari,” sesungguhnya dia berkata, izinkan kami pergi untuk memelihara Sabat. Dan Firaun berkata, ”Oh, ya? Kamu pikir kamu bisa pergi dan memelihara Sabat? Sekarang kamu harus membuat bata dan kamu harus membuat mereka tanpa suplai jerami, kamu harus mengumpulkan jeraminya sendiri.” Maka jelas di Mesir mereka tidak bisa memelihara Kesepuluh Perintah. Tetapi Allah membebaskan mereka dari perbudakan pada Firaun, supaya mereka bisa melayani Alah. Memelihara Kesepuluh Perintah tidak menghasilkan upah penebusan dari perbudakan. Allah berkata kepada mereka apa yang kemudian dikatakan Yesus,15 Jikalau kamu mengasihi Aku,…”  karena semua yang telah Aku lakukan untukmu, kamu akan apa? “…kamu akan menuruti Perintah-perintah-Ku.” (Yohanes 14:15).

 

 

The Ten Commandments don't begin with a command. You know when I ask people how do the Ten Commandments begin? They say, “Oh, the Ten Commandments begin with ‘You shall have no other Gods before Me’.” But the Ten Commandments have a prologue, a motivation clause. God says,  am the Lord your God, who brought you out of the land of Egypt, out of the house of bondage and then He gives the Ten Commandments. In other words, God is saying, “I delivered you and now I want you to respond by keeping the Ten Commandments.

 

Kesepuluh Perintah tidak dimulai dengan sebuah perintah. Kalian tahu, bila saya bertanya bagaimana Kesepuluh Perintah dimulai? Orang-orang berkata, “Oh, Kesepuluh Perintah dimulai dengan ‘Jangan punya allah lain di hadapanKu.’” Tetapi Kesepuluh Perintah ada prolognya, sebuah klausul motivasi. Allah berakta,  2 Akulah  TUHAN, Allahmu, yang telah membawa engkau keluar dari tanah Mesir, keluar dari tempat perbudakan” (Keluaran 20:2) lalu Allah memberikan Kesepuluh Perintah. Dengan kata lain, Allah berkata, “Aku telah menyelamatkan kamu, dan sekarang Aku mau kamu merespon dengan mematuhi Kesepuluh Perintah.”

 

 

The question is, what would happen if Israel broke their side of the covenant? By the way, did they break their side of the covenant? Time and again. So what would happen? Were they then doomed to destruction? The answer is found in Exodus 25 to 40 where God revealed the sanctuary service. See, the Ten Commandments, the Law of God is, related to the sacrificial service. Let's pursue that now.

 

Pertanyaannya ialah, apa yang akan terjadi jika Israel melanggar bagian perjanjian mereka? Nah, apakah mereka melanggar bagian perjanjian mereka? Berulang-ulang. Jadi apa yang akan terjadi? Apakah mereka akan dihukum binasa? Jawabannya ada di Keluaran 25 hingga 40 di mana Allah menyatakan pelayanan Bait Suci. Lihat, Kesepuluh Perintah, Hukum Allah itu terkait kepada pelayanan persembahan kurban. Mari kita simak itu sekarang.

 

 

What is the relationship between the Ten Commandments and the sanctuary service? Though many sacrifices were offered in the sanctuary service, in this lesson we're going to focus on one particularly, which is the morning and evening sacrifice, when a lamb was sacrificed morning and evening.

The children of Israel were sinners, even after their deliverance from bondage they sinned very frequently, every day; and so if they sinned every day, they were under the sentence of what? They were under the sentence of death because sin is the transgression of the Law, and when you transgress the Law, the result is what? “The wages of sin is death”. So how could this problem be resolved? They made the covenant and now they're sinning after the covenant was made, how could their sin be handled and taken care of? Well, here's the good news. The sanctuary provided grace. The Law demanded obedience but the sanctuary provided grace for those who disobeyed the Law. We're at the bottom of page 79. Because of their transgression of the Law, which deserved death, a lamb was slain, morning and evening, to atone for their sins. Thus the blood of the lamb in type made provision for the forgiveness of sins. The lamb bore the penalty of their guilt of transgressing the Law. However, according to the testimony of the book of Hebrews ~ here's one of the problems with the old covenant ~  the blood of beasts cannot what? It cannot remove sin. So were the sins of Israel legally forgiven when they sacrificed the lamb morning and evening? No! Because the blood of the animals could not take away sin, only could they have the assurance that that lamb represented Christ, who would legally and truly take away sin in the future. We've been studying about this during the last quarter from the book of Hebrews.

 

Apakah hubungan antara Kesepuluh Peintah dengan pelayanan Bait Suci? Walaupun ada banyak macam kurban yang dipersembahkan di pelayanan Bait Suci, di pelajaran ini kita akan fokus pada satu khususnya, yaitu kurban pagi dan petang, ketika seekor domba dipersembahkan setiap pagi dan setiap petang.

Bangsa Israel adalah pendosa-pendosa, walaupun setelah mereka dibebaskan dari perbudakan, mereka sering sekali berbuat dosa, setiap hari; maka jika mereka berbuat dosa setiap hari, mereka berada di bawah vonis apa? Mereka ada di bawah vonis kematian karena dosa itu pelanggaran Hukm, dan bila orang melanggar Hukum, akibatnya apa? “Upah dosa itu maut” (Roma 6:23). Jadi bagaimana problem ini bisa diselesaikan? Mereka sudah membuat janji, dan sekarang mereka berbuat dosa setelah perjanjian itu dibuat, bagaimana dosa mereka ditangani? Nah, inilah berita baiknya. Bait Suci menyediakan kasih karunia. Hukum menuntut kepatuhan, tetapi Bait Suci menyediakan kasih karunia bagi mereka yang telah melanggar Hukum. Kita ada di bagian bawah hal. 79. Karena pelanggaran mereka kepada Hukum, yang membuat mereka layak mati, seekor domba disembelih, pagi dan petang, untuk menjadi pendamai dosa-dosa mereka. Dengan demikian darah domba secara tipe (simbol) membuat persediaan bagi pengampunan dosa-dosa. Domba itu menanggung penalti kesalahan mereka telah melanggar Hukum. Namun begitu, menurut kesaksian kitab Ibrani ~ ini salah satu masalah dengan perjanjian yang lama ~ darah binatang tidak bisa apa? Tidak bisa menghapuskan dosa. Jadi apakah dosa-dosa Israel secara legal sudah diampuni ketika mereka mempersembahkan domba pagi dan petang? Tidak! Karena darah binatang tidak bisa menghapus dosa, mereka hanya bisa mendapatkan jaminan bahwa domba itu melambangkan Kristus, yang akan secara sah dan sesungguhnya kelak melenyapkan dosa. Kita sudah mempelajari ini di kuartal yang lalu dari kitab Ibrani.

 

 

There are two things that we must remember at this point in our study:

Ø    The sins of the Israelites were no different than our sins.

Ø    Their transgressions of the Law merited them death just like ours do.

One purpose of the Law was to reveal to them, to Israel, their sinfulness, and their need for forgiveness. The blood of animals was not able to remove sin, it just pointed forward to the sacrifice of Christ. The blood of animals was deficient. But Jesus has better blood. Do you see the relationship between the moral Law and the ceremonial Law? The ceremonial Law provided the solution to what the moral Law showed, which is sin, and the wages of sin is death. 

 

Ada dua hal yang harus kita ingat sampai di pelajaran kita saat ini:

Ø    Dosa-dosa bangsa Israel tidak berbeda dari dosa-dosa kita.

Ø    Pelanggaran-pelanggaran mereka terhadap Hukum, mendatangkan kematian juga sama seperti pada kita.

Satu tujuan dari Hukum ialah untuk menyatakan kepada mereka, kepada Israel, keberdosaan mereka, dan kebutuhan mereka untuk pengampunan. Darah binatang tidak bisa menghapus dosa, dia hanya menunjuk ke depan kepada kurban Kristus. Darah binatang itu tidak cukup, tetapi Yesus punya darah yang lebih baik. Apakah kalian melihat hubungan antara Hukum moral dan Hukum seremonial? Hukum seremonial menyediakan solusi untuk apa yang ditunjukkan Hukum moral, yaitu dosa, dan upah dosa itu maut.

 

 

Jeremiah 31:31 and 32 makes it abundantly clear that Israel constantly violated the terms of the covenant, even though God said, “I was a husband to you”. The problem was with them, not with the covenant. Israel neither understood God's Law, and they did not understand God's grace either. So that is the Old Testament background, the root for what we're going to take a look at now from the New Testament.

 

Yeremia 31:31-32 membuatnya sangat jelas bahwa Israel terus-menerus melanggar syarat-syarat perjanjian itu walaupun Allah berkata, 32Aku adalah suami bagi mereka…” Masalahnya bukan pada perjanjian itu. Israel yang tidak memahami Hukum Allah, dan mereka juga tidak memahami kasih karunia Allah. Jadi itulah latar belakang zaman Perjanjian Lama, akar dari apa yang akan kita simak sekrang dari Perjanjian Baru.

 

 

The New Testament makes it clear that Jesus is the prophet, like Moses, yet Jesus is greater than Moses. The expression “greater than” is typology, it means that Moses is the type and Jesus is the anti-type. Let's read the passage where Moses is compared with Christ, and Christ is identified as the One greater than Moses. This is from Acts 3:22, and 24 to 26.

22 For Moses truly said to the fathers, ‘The Lord your God will raise up for you a Prophet like me from your brethren. Him you shall hear in all things, whatever He says to you…” So Moses is saying, God is going to raise up a Prophet for you, from your brethren like me. Verse 24,24 Yes, and all the prophets, from Samuel and those who follow, as many as have spoken, have also foretold these days. 25 You are sons of the prophets, and of the covenant which God made with our fathers, saying to Abraham, ‘And in your seed all the families of the earth shall be blessed.’ 26 To you first, God, having raised up His Servant Jesus, sent Him to bless you, in turning away every one of you from your iniquities.”

So here Jesus is spoken of as the Prophet which is greater than what Moses was.

 

Perjanjian Baru membuatnya jelas bahwa Yesus itu Sang Nabi, seperti Musa, namun Yesus itu lebih besar daripada Musa. Ungkapan “lebih besar daripada” itu tipologi, itu berarti Musa adalah tipenya, dan Yesus antitipenya. Mari kita  baca ayat di mana Musa dibandingkan dengan Kristus, dan Kristus diidentifikasi sebagai Yang lebih besar daripada Musa. Ini dari Kisah 3:22, 24-26. 22  Karena Musa benar-benar berkata kepada para bapak leluhur, ‘Tuhan Allahmu akan membangkitkan bagimu seorang Nabi seperti aku dari antara saudara-saudaramu. Engkau harus mendengarkan Dia dalam segala hal, apa pun yang akan dikatakanNya kepadamu. …”  Jadi Musa berkata, Allah akan membangkitkan seorang Nabi bagi kamu, dari antara saudara-saudaramu, seperti aku. Ayat 24,  “…24 Ya, dan semua nabi mulai dari Samuel dan mereka yang muncul kemudian, seberapa banyak yang pernah berbicara, juga telah bernubuat tentang hari-hari ini. 25 Kamulah anak-anak dari para nabi itu, dan dari perjanjian yang telah Allah buat dengan nenek moyang kita, dengan berfirman kepada Abraham, ‘Dan dalam Benihmu semua bangsa di bumi akan diberkati.’ 26 Pertama-tama bagi kamu,  Allah telah membangkitkan Hamba-Nya, Yesus,  mengutus-Nya untuk memberkati kamu, dengan membalikkan setiap kamu dari segala kejahatanmu.”

Jadi di sini Yesus disebut Nabi yang lebih besar daripada Musa.

 

 

Now let's go to Matthew 26:26 through 28, this is when Jesus instituted what we know as the Lord's Supper, or the Last Supper. It says, 26 And as they were eating, Jesus took bread, blessed and broke it, and gave it to the disciples and said, ‘Take, eat; this is My body.’ 27 Then He took the cup, and gave thanks, and gave it to them, saying, ‘Drink from it, all of you. 28 For this is My blood of the…” what “…of the new covenant, which is shed for many for the remission of sins.” The word “remission” don't get hung up on that, “remission” means forgiveness. That's the same word for forgiveness in other places in the New Testament.

 

Sekarang mari kita ke Matius 26:26-28, ini adalah saat Yesus melembagakan apa yang kita kenal sebagai Perjamuan Tuhan atau Perjamuan Terakhir. Dikatakan, 26 Dan sementara mereka sedang makan, Yesus mengambil roti, memberkati dan memecah-mecahnya dan memberikannya kepada murid-murid-Nya dan berkata, ’Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku.’ 27 Sesudah itu Ia mengambil cawan dan mengucap syukur, dan memberikannya kepada mereka, sambil berkata, ‘Minumlah dari cawan ini, kamu semua, 28 sebab inilah darah-Ku dari…” apa? “…dari perjanjian yang baru, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk remisi dosa.’…”  Jangan bingung dengan kata “remisi”, “remisi” artinya “pengampunan”. Itu kata yang sama untuk “pengampunan” di ayat-ayat lain di Perjanjian Baru. 

 

 

So the new covenant has better blood. Are you with me or not? Because it's the blood of Jesus Christ. And what is the purpose of the blood? It is to forgive sins. Did that exist in the Old Testament? Did the blood of animals legally forgive sins? No! But on the basis of the promise, were their sins, could they have the assurance of forgiveness by the Messiah who would come?  Absolutely.

Here Jesus refers to “the blood of the new covenant”. Does the Law change between the  old and the new covenants? Does the Law of the old covenant say what sin is? Yes or No? Does the Law of the new covenant tell us what sin is? Of course! The answer to this question is, that there is no change between the covenants in the Old and New Testament, other than the blood of animals did not legally remove sin, whereas the blood of Jesus does remove sin and give forgiveness.

 

Jadi perjanjian yang baru punya darah yang lebih baik. Apakah kalian mengikuti saya atau tidak? Karena itu darah Yesus Kristus. Dan apakah tujuan dari darah itu? Itu untuk pengampunan dosa. Apakah itu ada di Perjanjian Lama? Apakah darah binatang secara sah mengampuni dosa? Tidak! Tetapi atas dasar janji, apakah mereka bisa punya jaminan pengampunan dari Sang Mesias yang akan datang? Tentu saja.

Di sini Yesus mengacu kepada “darah perjanjian yang baru”. Apakah Hukum berubah antara perjanjian yang lama dengan yang baru? Apakah Hukum perjanjian yang lama mengatakan dosa itu apa? Ya atau Tidak? Apakah Hukum perjanjian yang baru mengatakan kepada kita dosa itu apa? Tentu saja! Jawaban kepada pertanyaan ini ialah, tidak ada yang berubah pada perjanjian yang ada di Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, selain bahwa darah binatang tidak resmi menghapus dosa, sementara darah Yesus menghapus dosa dan memberikan pengampunan.

 

 

So let's go back. The answer to this question is found in another. Why did Jesus have to shed His blood? We know the answer, because of what? Because of sin. And what is sin? Sin is the transgression of the Law. So let me ask you, in the new covenant, is there a Law in the new covenant? If Jesus sheds His blood for the forgiveness of sins, and sin is the transgression of the Law, is there Law under the new covenant or is there only grace? The blood of Jesus provides grace, but the reason why you need the grace is because the Law has been transgressed.  There is Law in the new covenant as well as grace because we're talking about the blood of Jesus.

 

Jadi mari kita kembali. Jawaban kepada pertanyaan ini ada pada pertanyaan yang lain. Mengapa Yesus harus mencurahkan darahNya? Kita tahu jawabannya, karena apa? Karena dosa. Dan dosa itu apa? Dosa adalah pelanggaran Hukum. Jadi coba saya tanya, di perjanjian yang baru, apakah ada Hukum di sana? Jika Yesus mencurahkan darahNya untuk pengampunan dosa, dan dosa adalah pelanggaran Hukum, apakah di bawah perjanjian yang baru ada Hukum atau hanya ada kasih karunia? Darah Yesus yang menyediakan kasih karuna, tetapi alasan mengapa kita butuh kasih karunia ialah karena ada Hukum yang sudah dilanggar. Ada Hukum di perjanjian yang baru dan juga ada kasih karunia, karena kita bicara tentang darah Yesus.

 

 

In fulfillment of the Old Testament type ~ we're in the middle of the page ~ John the Baptist introduced Jesus as what? Here's the fulfillment,  as “the Lamb of God who takes away the sin of the world”. Jesus was the real Lamb to whom the lamb of the sacrificial system pointed. In contrast to the blood of animals, the blood of Jesus does actually take away sin. In other words, the great difference between the old covenant and the new is not found in a new Law, it is found in the fact that there is better blood. Are you following me or not?  Better blood, blood that truly removes sin, which is transgression of the Law.

 

Menggenapi tipe Perjanjian Lama ~ kita di tengah-tengah halaman ~ Yohanes Pembaptis memperkenalkan Yesus sebagai apa? Ini penggenapannya, sebagai “Domba Allah, yang membawa pergi dosa dunia” (Yohanes 1:29). Yesus adalah Domba yang sejati kepada siapa domba-domba di sistem kurban menunjuk. Kontras dengan darah binatang, darah Yesus sungguh-sungguh menghapus dosa. Dengan kata lain, perbedaan besar antara perjanjian yang lama dengan perjanjian yang baru bukanlah pada adanya Hukum yang baru, melainkan ada pada faktanya bahwa ada darah yang lebih baik. Apakah kalian mengikuti saya atau tidak? Darah yang lebih baik, darah yang benar-benar menghapus dosa, yang adalah pelanggaran Hukum.

 

 

However, here we reach a very important point. There is more to the new covenant than just better blood. Up until now in our study we have shown that the new covenant truly forgive sin, because it is based on the powerful blood of Jesus. However, let's go back to Jeremiah 31, and read about the second blessing in verse 33. See, God not only wants the Law to point out our sin, so that then we go to Jesus and claim His blood for forgiveness. God wants to do even more for us. He wants to do for us what He wanted to do for Israel which Moses experienced. You remember when Moses came down from the mount, he had been in communion with God, intimate communion with God, and his face was what? His face was shining with the glory of God. That is the experience that God wanted all of Israel to have. But Israel said, “We don't want the glory, we're fine with Moses and the Law of Moses, but we don't want the glory.”

 

Namun, di sini kita sudah tiba di poin yang sangat penting. Perjanjian yang baru bukan hanya darah yang lebih baik saja, masih ada lebih banyak lagi. Sampai di sini di pelajaran kita, kita telah menunjukkan bahwa perjanjian yang baru sungguh-sungguh mengampuni dosa, karena mendasarkan pada darah Yesus yang penuh kuasa. Namun, mari kita kembali ke Yeremia 31, dan kita  baca tentang berkat kedua di ayat 33. Lihat, Allah tidak hanya ingin agar Hukum menunjukkan dosa kita supaya kita bisa datang ke Yesus dan mengklaim darahNya untuk pengampunan. Allah mau berbuat lebih banyak lagi bagi kita. Dia mau berbuat bagi kita apa yang Dia mau berbuat bagi Israel yang dialami Musa. Kalian ingat ketika Musa turun dari bukit, setelah berkomunikasi dengan Allah, komunikasi yang intim dengan Allah, dan wajahnya bagaimana? Wajahnya bersinar dengan kemuliaan Allah. Itulah pengalaman yang Allah mau dialami semua bangsa Israel. Tetapi Israel berkata, “Kami tidak mau kemuliaannya, kami cukup dengan Musa dan Hukum Musa, kami tidak mau kemuliaannya.”

 

 

What is this second blessing that God wanted to impart? Oh, it says there in verse 33, “ 33 But this is the covenant that I will make with the house of Israel after those days, says the Lord: I will put My Law in their minds, and write it on their hearts; and I will be their God, and they shall be My people.” You know that formula “I will be their God and they shall be my people” that's the covenant formula: “I will be their God they shall be my people”. So in other words, God is saying, “Yeah, forgiveness is very important…” If you sin, we have an Advocate with the Father. “…However, I want to do more than that. I want to write the Law in your heart.

By the way, how many sins did Moses commit from the time that he left Egypt till the time that he committed that sin by striking the rock twice? That was the only sin in 40 years! And believe me, the people really tried his patience. He could have easily lost it, but he didn't. In fact Ellen White tells us that if Moses had not committed that one sin after 40 years on the borders of the promised land, he would not have died. He would have been translated from among the living; he would have been a symbol of the final generation 144’000  who totally overcome sin.

 

Apakah berkat yang kedua itu yang Tuhan mau berikan? Oh, dikatakan di ayat 33 di sana, 33 Tetapi inilah perjanjian yang akan Kubuat dengan kaum Israel sesudah waktu itu, demikianlah firman TUHAN: Aku akan menaruh Hukum-Ku di benak mereka,  dan menulisnya  di hati mereka; dan Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku.”

Kalian tahu, formula itu: “Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku” itu adalah formula perjanjian: “Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku”  Jadi dengan kata lain, Allah berkata,  “Iya, pengampunan itu sangat penting…” Jika kita berdosa kita punya Pembela pada Bapa. “…Namun, Aku mau melakukan lebih daripada itu. Aku mau menulis Hukum di hatimu.” Nah, berapa banyak dosa yang dibuat Musa dari saat dia meninggalkan Mesir hingga waktu dia berbuat dosa saat memukul batu (di Meriba) dua kali? Itu adalah satu-satunya dosa dalam 40 tahun! Dan percayalah, orang-orang Israel benar-benar menguji kesabarannya. Musa bisa dengan mudah kehilangan kendalinya, tetapi dia tidak. Bahkan Ellen White memberitahu kita, seandainya Musa tidak melakukan satu dosa itu setelah 40 tahun di perbatasan tanah perjanjian, dia tidak akan mati. Dia akan diubahkan dari antara orang hidup; dia akan menjadi simbol dari generasi terakhir ke-144’000 yang telah sama sekali mengalahkan dosa.

 

 

Now we find here another awesome difference between the old covenant and the new. In the new covenant Jesus not only offers forgiveness of sins. What does He offer us? He offers us the writing of the Law in our hearts. And what is the Law? It's a transcript of Christ's character, right? So having the Law written in the heart means to have who in the heart? That means they have Jesus Christ in the heart. Jesus wants to do more than just forgive our sins.

The passage in Jeremiah 31 not only promises to the old generation, to write the Law in their heart, it is a promise to us. Because some people say, well God was promising to write the Law in the hearts of the people in the Old Testament. But as we studied in the lessons on Hebrews this quarter, in Hebrews 8:7 to 13, we find the apostle Paul quoting the Jeremiah passage and he's applying it to the Christians of his day. In other words, this promise of forgiveness of sin through the blood and the writing of the Law in the heart is actually something that belongs also to the New Testament church. 

 

Nah, kita temukan di sini perbedaan lain yang mengagumkan antara perjanjian yang lama dan yang baru. Di perjanjian yang baru Yesus bukan hanya menawarkan pengampunan dosa. Apa yang ditawarkanNya kepada kita? Dia menawarkan untuk menulis Hukum di hati kita. Dan Hukum itu apa? Itu adalah salinan dari karakter Kristus, benar? Maka memiliki Hukum yang tertulis di dalam hati berarti memiliki siapa dalam hati. Itu berarti mereka memiliki Yesus Kristus dalam hati. Yesus mau melakukan lebih banyak daripada hanya mengampuni dosa-dosa kita.

Ayat-ayat di Yeremia 31 tidak hanya menjanjikan kepada generasi yang tua untuk menulis Hukum di hati mereka, tapi itu juga janji kepada kita. Karena ada yang berkata, “Nah, Allah berjanji untuk menulis Hukum di hati orang-orang di Perjanjian Lama.” Tetapi ketika kita pelajari pelajaran di Ibrani kuartal ini, di Ibrani 8:7-13, kita mendapatkan rasul Paulus mengutip ayat di Yeremia dan dia mengaplikasikannya kepada orang-orang Kristen di zamannya. Dengan kata lain, janji pengampunan dosa ini melalui darah dan penulisan Hukum di dalam hati sebenarnya adalah milik gereja Perjanjian Baru juga.

 

 

The passages in Jeremiah and Hebrews show that the new covenant accomplishes two things:

1.   first it forgives sin and

2.   second it writes the Law in the heart.

Thus under the new covenant we have better blood for forgiveness, and the Law is written in a better place, not on tables of stone, but in the heart.

In both there is the blood and Law. But the blood is more powerful in the new, and the Law is written in a better place.

Let me ask you, does the Law change between the old and new covenant? No! Do you know what changes? The place where the Law is written, not the Law; the place where the Law is written. Don't miss the point. The Law is written in a better place. The Law does not change.

When Jesus died on the cross, and He said “It is finished” (John 19:30). The veil of the temple was rent from top to bottom. By this act when the veil was rent God was announcing that the old covenant sacrifices and offerings had come to an end. Now there was a better high priest, a better sanctuary, better blood, a better hope: the New Jerusalem, a new Israel, a new Zion, and a new covenant.

 

Ayat-ayat di Yeremia dan Ibrani menunjukkan bahwa perjanjian yang baru mencapai dua hal:

1.   pertama dia mengampuni dosa, dan

2.   kedua dia menulis Hukum di dalam hati.

Maka di bawah perjanjian yang baru, kita memiliki darah yang lebih baik untuk pengampunan dosa, dan Hukum yang ditulis di tempat yang lebih baik, bukan di loh-loh batu, melainkan di dalam hati.

Di kedua-duanya ada darah dan Hukum. Namun darahnya di yang baru itu lebih besar kuasanya, dan Hukum ditulis di tempat yang lebih baik.

Coba saya tanya, apakah Hukum berubah antara perjanjian yang baru dan yang lama? Tidak! Tahukah kalian apa yang berubah? Tempat di mana Hukum itu ditulis, bukan Hukumnya; tempat di mana Hukum tersebut ditulis. Jangan kelewatan poin ini. Hukum ditulis di tempat yang lebih baik. Hukumnya tidak berubah.

Ketika Yesus mati di salib dan Dia berkata, “Sudah selesai” (Yohanes 19:30), tirai Bait Suci robek dari atas ke bawah. Dengan tindakan itu ketika tirai dirobek, Allah mengumumkan bahwa kurban dan persembahan perjanjian yang lama telah berakhir. Sekarang ada Imam Besar yang lebih baik, Bait Suci yang lebih baik, darah yang lebih baik, harapan yang lebih baik: Yerusalem Baru, Israel baru, Sion baru, dan perjanjian yang baru.

 

 

However, somebody might object. Isn't the new covenant all about love and grace? And the old is all about justice and Law? How did Jesus, the One greater than Moses, consider the relationship between love and Law under the new covenant?

Let's take a look at the Law that Jesus uttered from the mount of the Beatitudes, and He revealed fully at mount Calvary. In Matthew 5:17-19 Jesus gives us a profound interpretation of the Law. We must remember that the word “Law” here does not refer only to the Ten Commandments, it refers to all of the entire Pentateuch, the five books that God gave to Moses. Jesus categorically stated that He had not come to destroy the Law or the prophets, He had come to what? To fulfill them. What does it mean “to fulfill”? Some think it means “to do away with”. Jesus came to do away with the Law. It can't mean that! Really it means, let's change it around, it means “to fill full”.  What do you mean “fill full”? In the New Testament Jesus fills the Old Testament full with meaning, because the Old Testament without the New Testament is an empty canister that makes absolutely no sense without Jesus Christ. By the way, John the Baptist says that He has come to “fulfill all righteousness”. It doesn't mean that He has come to destroy righteousness. The very same word that is used. Jesus is at the center of the Old Testament, and at the center of the New Testament.

 

Namun, mungkin ada yang keberatan. Bukankah perjanjian yang baru semuanya mengenai kasih dan karunia, dan yang lama semuanya tentang keadilan dan Hukum? Bagaimana Yesus, Yang lebih besar daripada Musa, melihat hubungan antara kasih dengan Hukum di bawah perjanjian yang baru?

Mari kita lihat pada Hukum yang disampaikan Yesus dari bukit Beatitudes, dan yang Dia nyatakan sepenuhnya di Bukit Kalvari. Di Matius 5:17-19 Yesus memberi kita interpretasi Hukum yang mendalam. Kita harus ingat bahwa kata “Hukum” di sini tidak mengacu hanya kepada Kesepuluh Perintah, tapi mengacu kepada semua dari keseluruhan Pentateukh, kelima kitab yang diberikan Allah kepada Musa. Yesus secara kategori menyatakan bahwa Dia tidak datang untuk melenyapkan (kitab) Hukum dan (kitab) nabi-nabi, Dia datang untuk apa? Untuk menggenapi mereka. Apa artinya “menggenapi?”

Ada yang menyangka itu artinya “menyingkirkan”. Yesus datang untuk menyingkirkan Hukum. Tidak mungkin itu artinya. “Full (penuh) fill (mengisi) ~ mari kita balik: fill (mengisi) full (penuh). Apa artinya mengisi penuh (fill full)? Di Perjanjian Baru Yesus mengisi Perjanjian Lama penuh dengan makna karena Perjanjian Lama tanpa Perjanjian Baru adalah wadah kosong yang sama sekali tidak ada artinya tanpa Yesus Kristus. Nah, Yohanes Pembaptis berkata bahwa Yesus telah datang untuk “menggenapi semua kebenaran” (Matius 3:15). Itu tidak berarti bahwa Dia telah datang untuk memusnahkan kebenaran. Kata yang persis sama yang dipakai. Yesus berada di tengah-tengah Perjanjian Lama dan di tengah-tengah Perjanjian Baru.

 

 

Now listen carefully, instead of Jesus abolishing the Law, Jesus intensified and magnified it. You can read Isaiah 42:21 it says, 21 The LORD is well pleased for His righteousness' sake; He will magnify the law, and make it honourable.” (KJV) He came to magnify the Law and make it honorable, thus ~ listen carefully ~ Jesus made the Law more demanding than the Old Testament. The Old Testament said don't commit adultery, but Jesus says, “Hey, if you look upon a woman to covet her, you've already committed adultery in your heart.” He says it's a heart problem, because you don't have the Law written on the heart. Murder, Jesus explained, is an attitude of the heart, it's not merely an act of slaying someone. In fact Jesus stated in Matthew 15:19, “ 19 For out of the heart proceed evil thoughts, murders, adulteries, fornications, thefts, false witness, blasphemies…” and also greed.

You know the problem that many people have is not with money, it's with the heart. You know I had an associate pastor who once you know would say to the congregation when he was asked to encourage them to be faithful in their stewardship, he said, “There's plenty of money in this church, it's all in your pockets.” Jesus said, where your treasure is, there also will be your what? Your heart. Greed is in the heart, and hoarding money is not a problem with money, it's a problem with what? It's a problem with the heart.

 

Sekarang dengarkan baik-baik, sebagai gantinya Yesus menghapus Hukum, Yesus malah mengintensifkan dan memperbesarnya. Kalian bisa membaca Yesaya 42:21, dikatakan, 21 TUHAN sangat berkenan karena kebenaranNya; Dia akan memperbesar Hukum, dan membuatnya dihormati…” Dia datang untuk memperbesar Hukum dan menjadikannya dihormati, dengan demikian ~ dengarkan baik-baik ~ Yesus membuat Hukum lebih ketat daripada di Perjanjian Lama. Perjanjian Lama berkata jangan berzinah, tetapi Yesus mengatakan, “Hei, jika kamu memandang seorang perempuan dan menginginkannya, kamu sudah melakukan perzinahan di dalam hati.” Dia berkata itu masalah hati, karena Hukum belum tertulis di hatimu. Membunuh, Yesus jelaskan, adalah sikap hati, itu bukan sekadar tindakan membunuh seseorang. Bahkan Yesus menyatakan di Matius 15:19, “…19 Karena dari hati keluar segala pikiran jahat, pembunuhan, perzinahan, percabulan, pencurian, sumpah palsu dan hujat…” dan juga keserakahan.

Tahukah kalian, masalah yang banyak dihadapi orang bukanlah uang, tapi hatinya. Ada seorang rekan pendeta yang akan mengatakan kepada jemaat bila dia diminta untuk mendorong mereka agar setia dalam penatalayanan, dia berkata, “Ada banyak uang di gereja ini, semuanya ada dalam saku kalian.” Yesus berkata, 21… di mana hartamu berada, di situ juga…” apa? “…hatimu.”(Matius 6:21).  Keserakahan ada di hati, dan menimbun uang bukanlah masalah dengan uang, itu masalah dengan apa? Masalah dengan hati.

 

 

But didn't Jesus say that love is all that matters under the new covenant? To answer this question let's take a look at the relationship between Law and love. This is probably the most important part of this lesson. Law is not the antithesis of love but rather the antithesis of sin. You understand what that's saying? In fact we will see that the true definition of love is keeping the Law from the heart, that's what love is all about. Many Christians think that love is all we need, you know, as the song goes “all we need is love” for those of you who are from my generation. And they base their ideas on John 13:35, “ 35 By this all will know that you are My disciples, if you have love for one another.”

And so Christians say, “All we need is love, not Law. Let's get rid of the Law. That's justice, that's dry.  All we need is love, that fuzzy feeling.” However, love is more than an emotion or a feeling. Too many marriages end because love is conceived on the basis of feeling. Love is a divine principle that does not change no matter the circumstances.

 

Tetapi bukankah Yesus berkata bahwa di bawah perjanjian yang baru hanya kasih yang penting? Untuk menjawab pertanyaan ini mari kita simak hubungan antara Hukum dan kasih. Mungkin ini adalah bagian yang terpenting dari pelajaran ini. Hukum bukanlah antithesis kasih, melainkan antithesis dosa. Kalian paham apa yang dikatakan? Bahkan kita akan melihat bahwa definisi yang benar untuk kasih adalah mematuhi Hukum dari hati, itulah kasih. Banyak orang Kristen menyangka kita hanya butuh kasih, seperti kata lagu “all we need is love” bagi kalian yang dari generasi saya. Dan mereka mendasarkan ide mereka pada Yohanes 13:35, 35 Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, jikalau kamu punya kasih satu sama lain.  Maka orang Kristen berkata, “Yang kita butuhkan hanya kasih, bukan Hukum. Mari kita buang saja Hukum. Keadilan itu membosankan. Yang kita butuhkan itu kasih, perasaan yang lembut itu.” Namun, kasih itu lebih daripada suatu emosi atau perasaan. Terlalu banyak perkawinan berakhir karena kasih dipahami berdasarkan perasaan. Kasih adalah prinsip ilahi yang tidak berubah, apa pun kondisinya.

 

 

What is love? Jesus explained the meaning of love in Matthew 22:36-40, there He taught that love has two dimensions,

v   it has a vertical dimension us towards God;

v   and it has a horizontal dimension between us and our fellow human beings.

But we must still ask what does it mean, to love God and love our neighbor? You see what does it mean to have vertical love towards God and horizontal love towards our neighbor? The answer is that the Ten Commandments define the specifics of love.

v   The first four Commandments explain what it means to love God,

v   and the last six explain what it means to love our neighbor.

However, the definition of love for God and our neighbor is further explained where? It's further explained in the Ten Commandments, the first four and the last six. And we might go even a step further. Love is defined in the entire Bible. All of the stories of the Bible are an illustration of what love means as it relates to the Law.

 

Apa itu kasih? Yesus menjelaskan makna kasih di Matius 22:36-40, di sana Yesus mengajar bahwa kasih punya dua dimensi,

v   ada dimensi vertikal, kita kepada Allah;

v   dan ada dimensi horizontal antara kita dan sesama manusia.

Tetapi kita masih harus bertanya, apa artinya mengasihi Allah dan mengasihi sesama? Kalian lihat, apa artinya kasih vertikal terhadap Allah, dan kasih horizontal terhadap sesama? Jawabannya adalah Kesepuluh Perintah mendefinisikan spesifiknya kasih.

v   Empat Perintah pertama menjelaskan apa artinya mengasihi Allah,

v   dan enam yang terakhir menjelaskan apa artinya mengasihi sesama.

Namun begitu, definisi kasih bagi Allah dan bagi sesama dijelaskan lebih lanjut di mana? Itu dijelaskan lebih lanjut di Kesepuluh Perintah, empat yang pertama dan enam yang terakhir. Dan kita bisa maju satu langkah lebih jauh. Kasih didefinisikan di seluruh Alkitab. Semua cerita di Alkitab adalah ilustrasi apa arti kasih dalam kaitannya dengan Hukum.

 

 

Now we go to page 84. You see, Jesus refused to create a dichotomy or a conflict between Law and love. How did the apostle Paul define love? He defined it as, “…love is the fulfillment of…” what?  “…of the Law” (Romans 13:10).  Let me ask you:

Ø    if you love God are you going to have other rivals for God? No.

Ø    If you love God, are you going to make idols that lower your conception of Him? No.

Ø    If you love God are you going to abuse His name?  No.

Ø    If you love God are you just not going to spend time with God on the Sabbath? Of course not.

So the Ten Commandments amplify in the first table what it means to love God. It is not Law versus love. The Ten Commandments define what love is for God.

 

Sekarang kita ke hal. 84. Kalian lihat, Yesus tidak mau menciptakan perpecahan atau konflik antara Hukum dan kasih. Bagaimana rasul Paulus mendefiniska kasih? Dia mendefinisikannya sebagai, 10 … kasih adalah kegenapan…” apa? “…Hukum.” (Roma 13:10). Coba saya tanya,

Ø    Jika kita mengasihi Allah, apakah kita akan punya tandingan yang lain untuk Allah? Tidak.

Ø    Jika kita mengasihi Allah, apakah kita akan membuat patung-patung berhala yang merendahkan konsep kita tentang Dia? Tidak.

Ø    Jika kita mengasihi Allah, apakah kita akan menyalahgunakan namaNya? Tidak.

Ø    Jika kita mengasihi Allah apakah kita tidak akan melewatkan waktu bersama Allah pada hari Sabat? Tentu saja tidak.

Jadi Kesepuluh Peintah di loh yang pertama memberikan keterangan apa artinya mengasihi Allah. Bukan Hukum melawan kasih. Kesepuluh Perintah menjelaskan bagi Allah, kasih itu apa.

 

 

The last six, you know, define what it means to love our neighbor.

Ø    If we love our parents we're going to honor them.

Ø    If we love our neighbor we're not going to kill our neighbor.

Ø    If we love our neighbor we're not going to commit adultery with his wife.

Ø    If we love our neighbor we're not going to steal what belongs to our neighbor.

Ø    If we love our neighbor we're not going to speak badly about our neighbor.

Ø    If we love our neighbor we're not going to covet what belongs to our neighbor.

Is there a conflict between Law and love? No! The Ten Commandments define love and the rest of the Bible define love in the context of the Ten Commandments.

 

Enam yang terakhir mendefiniskan apa artinya mengasihi sesama manusia.

Ø    Jika kita mengasihi orangtua kita, kita akan menghormati mereka.

Ø    Jika kita mengasihi sesama kita, kita tidak akan membunuhnya.

Ø    Jika kita mengasihi sesama kita, kita tidak akan berzinah dengan istrinya.

Ø    Jika kita mengasihi sesama kita, kita tidak akan mencuri miliknya.

Ø    Jika kita mengasihi sesama kita, kita tidak akan memfitnahnya.

Ø    Jika kita mengasihi sesama kita, kita tidak akan mengingini apa yang adalah miliknya

Apakah ada konflik antara Hukum dan kasih? Tidak! Kesepuluh Perintah memberi definisi tentang kasih dan isi Alkitab yang lain mendefinisikan kasih dalam konteks Kesepuluh Perintah.

 

 

You see, the Law describes proper relationships. If there were no people, then there would be no reason for the Law to define proper relationships. God would not say “thou shalt not commit adultery” if there was no one to commit adultery with. Hello! The Law is not an end in itself. He would not say “thou shalt not steal” if there was no one to steal from. Each Commandment is relationship-oriented. In short, a perfect observance of the Law would mean an ideal relationship with God and with our neighbor. Breaking the Law is breaking a relationship. And when you break a relationship, you have pain and separation. “Your sins have caused a separation between Me and you,” is what God says. Sin is not separation from God, sin is breaking the Law, which in turn separates us from God, and from our fellow human beings. The link between the Law and relationships is clearly illustrated in the fall of Adam and Eve.

 

Kalian lihat, Hukum menggambarkan hubungan yang tepat. Andai tidak ada manusia, tidak ada alasan bagi Hukum untuk mendefinisikan hubungan yang tepat. Allah tidak akan berkata “Jangan berzinah” jika tidak ada yang diajak berzinah. Halo! Hukum itu sendiri bukanlah target untuk dicapai. Allah tidak akan berkata “Jangan mencuri” jika tidak ada orang yang bisa dicuri miliknya. Setiap perintah itu berorientasi pada hubungan. Singkatnya, kepatuhan yang sempurna pada Hukum berarti hubungan yang ideal dengan Allah dan sesama manusia. Melanggar Hukum itu memutuskan suatu hubungan. Dan bila kita memutuskan suatu hubungan, yang ada itu rasa sakit dan perpisahan. 2  kejahatan-kejahatanmu telah memisahkan antara kamu dan Allahmu…” (Yesaya 59:2) itulah yang dikatakan Allah. Dosa bukanlah perpisahan dari Allah. Dosa adalah melanggar Hukum, yang pada gilirannya memisahkan kita dari Allah dan dari sesama manusia. Kaitan antara Hukum dan hubungan jelas diilustrasikan di kejatuhan Adam dan Hawa.

 

 

Now we're going to find an illustration of this. As soon as they disobeyed God's command their relationship with God was severed, correct? Before they had communion with God. And now what are they doing? They're hiding from God, they're afraid of God. As soon as they disobeyed God's command their relationship with God was severed, and they hid from Him. Further, marital strife ensued. So when they break the Commandment you know what happens? There is strife in marriage on the horizontal level.

 

Sekarang kita akan melihat ilustrasi tentang ini. Segera setelah mereka melanggar perintah Allah, hubungan mereka dengan Allah terputus, benar? Sebelumnya mereka punya komunikasi dengan Allah. Dan sekarang apa yang mereka lakukan? Mereka bersembunyi dari Allah, mereka takut pada Allah. Segera setelah mereka melanggar perintah Allah, hubungan mereka dengan Allah putus, dan mereka bersembunyi dariNya. Lebih jauh lagi, timbul pertengkaran dalam perkawinan, pada tingkat horizontal.

 

 

You see, Jesus is the perfect personification of love because He is the perfect personification of Law. He lived the Law. He is the Law in human flesh. Jesus never killed, or lied, or coveted, or stole, or dishonored His parents. His relationships with other people were perfect because He lived the Law in human flesh.

 

Lihat, Yesus adalah personifikasi yang sempurna dari kasih karena Dia adalah personifikasi yang sempurna dari Hukum. Yesus menghidupkan Hukum. Dialah Hukum dalam bentuk manusia. Yesus tidak pernah membunuh, atau berbohong, atau mengingini, atau mencuri, atau tidak menghormati orangtuaNya. HubunganNya dengan orang-orang lain itu sempurna karena Dia menghidupkan Hukum dalam kemanusiaanNya.

 

 

Is there a dichotomy between Law and love the way Christians think? Oh, no! It's only they're thinking about sentimental emotional love. Oh, how I love Jesus! But then they go out and they speak badly about their neighbor. Well we're not under Law we're under grace. And this is what Jesus expects from us as well, that we live the Law in our hearts.  Is it loving toward others to kill, steal, gossip, rape, covet, worship idols, use foul language, and have other Gods? Of course not. You see, the Law is a perfect transcript of God's character. It's God's character in written form, and it is a written description of what He is like in His relationship with others. When we say that the Lord demands perfection, we are saying that God demands perfection, right?

 

Apakah ada pertentangan antara Hukum dan kasih seperti yang disangka orang-orang Kristen? Oh, tidak! Itu karena yang mereka pikirkan adalah kasih sentimental yang emosional. Oh, betapa saya mencintai Yesus! Tetapi lalu mereka keluar dan memfitnah sesamanya. Nah, kami tidak di bawah Hukum, kami di bawah kasih karunia. Dan inilah yang diharapkan Yesus dari kita juga, agar kita menghidupkan Hukum di hati kita. Apakah mengasihi sesama itu membunuh, mencuri, menggosip, memperkosa, mengingini, menyembah berhala, menggunakan bahasa kotor, dan memiliki allah yang lain? Tentu saja tidak! Lihat, Hukum adalah salinan yang sempurna dari karakter Allah. Itu karakter Allah dalam bentuk tertulis, dan itu adalah deskripsi tertulis mengenai bagaimana Allah dalam hubunganNya dengan yang lain. Ketika kita berkata bahwa Tuhan menuntut kesempurnaan, kita mengatakan Allah menuntut kesempurnaan, betul?

 

 

Can I offend the Law written on tables of stone? Say, “Oh, the Law is crying because I broke the Ten Commandments on tables of stone.” No! When we disobey the Ten Commandments, God cries because we have broken a relationship with Him. We cannot offend tables of stone, we cannot cause pain to tables of stone. Commandments on tables of stone are indifferent to our sins because they are hard and inanimate. When we say that Christ satisfied the demands of the Law, we mean that He satisfied the demands of a Person, His Father; are you catching the picture? When we say that we transgress against the Law, we really mean that we are sinning against Someone. This is why in the story of the prodigal son, the prodigal doesn't say, “Father, I have dishonored the fifth Commandment and the seventh Commandment. I’m not worthy to be called your son.” He said, “I have sinned against heaven and against you, and I’m not worthy to be called your son.” Obviously he had broken the fifth Commandment, right? He dishonored his dad, right? And he’s also broken the seventh Commandment because he'd gone to bed with harlots ~ at least that’s what his brother said. The same can be said with David after his horrendous crimes of adultery and murder, when he wrote that majestic Psalm 51, in verse 4  David says,  “against You, You only have I sinned”. Had David broken the Law? Yes! What was the consequence of breaking the Law? He broke his relationship with God and he broke his relationship with Uriah the Hittite.

 

Bisakah saya membuat kesal Hukum yang tertulis pada loh-loh batu dan berkata, “Oh, Hukum menangis karena saya telah melanggar Kesepuluh Perintah di loh-loh batu”? Tidak! Ketika kita melanggar Kesepuluh Perintah, Allah yang menangis karena kita telah memutuskan hubungan dengan Dia. Kita tidak bisa membuat kesal loh-loh batu, kita tidak bisa menyakiti loh-loh batu. Perintah-perintah di loh-loh batu tidak perduli pada dosa-dosa kita karena mereka keras dan benda mati. Ketika kita berkata Kristus telah memenuhi tuntutan Hukum, yang kita maksudkan ialah Dia telah memenuhi tuntutan-tuntutan satu Pribadi, BapaNya; apakah kalian bisa menangkap gambarnya? Ketika kita berkata kita telah melanggar Hukum, sesungguhnya yang kita maksud ialah kita telah berdosa terhadap satu Pribadi. Itulah mengapa di kisah anak yang berfoya-foya, anak itu tidak berkata, “Bapak, aku telah tidak menghormati Perintah kelima dan Perintah Ketujuh. Aku tidak layak disebut anak Bapak.” Dia berkata, 21 ‘Bapak, aku telah berdosa terhadap sorga dan di pemandanganmu, dan tidak layak lagi disebut anak bapak.’…” (Lukas 15:21). Sudah jelas dia telah melanggar Perintah kelima, bukan? Dia sudah tidak menghormati bapaknya, benar? Dan dia juga sudah melanggar Perintah ketujuh karena dia sudah meniduri pelacur-pelacur ~ paling tidak itulah yang dikatakan saudaranya. Hal yang sama bisa dikatakan tentang Daud setelah perbuatan jahatnya yang mengerikan, berzinah dan membunuh, ketika dia menulis Mazmur 51 yang anggun itu. Di ayat 4 Daud berkata, 4 Terhadap Engkau, Engkau sajalah aku telah berdosa.” Apakah Daud sudah melanggar Hukum? Ya! Apa konsekuensinya melanggar Hukum? Dia memutuskan hubungannya dengan Allah dan dia memutuskan hubungannya dengan Uria orang Het.

 

 

Here lies the reason why Satan hates the Law. Now we're going to see why the Devil hates the Law. The Law shows a person his sin and the need of a Savior. Is that true? Does the Law show you your sin, and that you need a Savior? Of course. That is to say it not only reveals the problem of our sinfulness, but it also reveals the solution to our problem through Jesus.

 

Inilah alasannya mengapa Setan membenci Hukum. Sekarang kita akan melihat mengapa Iblis membenci Hukum. Hukum menunjukkan seseorang dosanya dan bahwa dia memerlukan Juruselamat. Benarkah itu? Apakah Hukum menunjukkan dosa kita dan bahwa kita membutuhkan Juruselamat? Tentu saja. Artinya Hukum tidak hanya menyatakan masalah keberdosaan kita, tetapi itu juga menyatakan solusi masalah kita melalui Yesus.

 

 

Satan also despises God's grace because it reveals the love of Jesus who assumed the penalty for our sins. At the cross we see both Law and love. Our transgressions of the Law nailed Him there, He died to satisfy the just demands of the Law. So is the justice of God revealed on the cross? Yes. But at the cross we also see love, because He suffered the penalty of death in our place. The God of grace is the same God who gave the Law. You see,

Ø    there was grace in the old covenant, or else no one in the Old Testament period could be saved.

Ø    There is also Law in the new covenant, or else grace would be unnecessary.

Why was Jesus nailed to the cross? Because of sin.

What is sin? Transgression of the Law.

And what is the wages of sin or transgression of the Law? Death.

What love Jesus showed when He was willing to pay our debt of death. What justice He showed when He paid the wages that the Law demanded. Therefore, Jesus can be just and Justifier of the sinner.

 

Setan juga membenci kasih karunia Allah karena itu menyatakan kasih Yesus yang telah mengambil alih penalti (hukuman) kita karena dosa-dosa kita. Di salib kita melihat baik Hukum dan kasih. Pelanggaran-pelanggaran kita terhadap Hukum telah memaku Yesus di salib, Dia mati untuk memenuhi tuntutan Hukum yang adil. Jadi apakah keadilan Allah dinyatakan di salib? Ya! Tetapi di salib kita juga melihat kasih, karena Dia telah menderita penalti kematian untuk menggantikan kita. Allah kasih karunia adalah Allah yang sama yang memberikan Hukum. Lihat,

Ø    Ada kasih karunia di perjanjian yang lama, kalau tidak, tidak ada seorang pun di zaman Perjanjian Lama yang bisa selamat.

Ø    Juga ada Hukum di perjanjian yang baru, kalau tidak, kasih karunia tidak diperlukan.

Mengapa Yesus dipakukan di salib? Karena dosa.

Dosa itu apa? Pelanggaran Hukum.

Dan apakah upah dosa atau pelanggaran Hukum? Mati kekal.

Betapa besarnya kasih yang ditunjukkan Yesus ketika Dia rela membayarkan utang kita yaitu mati kekal. Betapa besarnya keadilan yang Dia tunjukkan ketika Dia membayar upah dosa yang dituntut Hukum. Maka Yesus bisa bersikap adil dan yang menjadi Pembenar dari orang berdosa.

 

 

But there's more in the cross than forgiveness, folks. From the cross flow two great blessings:

Ø    forgiveness, and what else?

Ø    Power.

When I see Jesus in Gethsemane sweating great drops of blood, and bleeding on the cross, and crying out, “My God, My God, why have you forsaken Me?” When I reflect upon that, I ask myself, “Why Lord, did this happen to You?” His answer comes back, “’The wages of sin is death’,  I’ve paid your penalty.” What does this do to me? It moves me to repentance, and to cry out to Jesus, “Lord, forgive me for nailing You there.” And Jesus answers, “Your repentance is accepted, and your sins are forgiven.” This brings rejoicing to the heart and a lifting of the burden of sin. But there is more.

When I see the hideous monster that sin is, because it mailed Jesus to the cross, I will want nothing more to do with sin, because it hurts Jesus. What did I say? When I see what sin did to Jesus ~ that's why we need to spend that thoughtful hour every day, folks, especially on the closing scenes. Ellen White says we need to place ourselves there in that environment, we need to reflect on. We need to place ourselves in Pilate’s court, we need to place ourselves in Gethsemane, and on the cross. ~ When I see what sin did to Jesus I won't want to have anything more to do with sin. Thus from the cross not only flows forgiveness, but also power to overcome sin as I behold Jesus.

 

Tetapi ada lebih banyak lagi di salib daripada pengampunan, Saudara-saudara. Dari salib mengalir dua berkat besar:

Ø    Pengampunan, dan apa lagi?

Ø    Kuasa

Ketika saya melihat Yesus di Getsemani, mengalirkan keringat darah, dan mencucurkan darah di atas salib dan berseru, 34 Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Markus 15:34) Ketika saya merenungkan itu, saya bertanya pada dri sendiri, “Mengapa Tuhan, ini terjadi padaMu?” JawabanNya kembali, “‘Upah dosa itu maut’ (Roma 6:23), Aku sudah membayarkan hukumanmu.” Apa akibatnya itu padaku? Itu membuat aku bertobat, dan berseru kepada Yesus, “Tuhan, ampuni aku karena telah memaku Engkau di salib.” Dan Yesus menjawab, “Pertobatanmu diterima, dan dosa-dosamu diampuni.” Ini membawa sukacita di hati dan terangkatnya beban dosa. Tapi masih ada lagi.

Ketika saya melihat betapa dosa itu seperti momok yang mengerikan karena dia telah memaku Yesus ke salib, saya tidak lagi mau punya hubungan dengan dosa, karena dosa menyakiti Yesus. Apa kata saya? Ketika saya melihat apa yang dilakukan dosa kepada Yesus ~ itulah mengapa kita perlu memakai waktu satu jam setiap hari untuk merenung, Saudara-saudara, terutama mengenai adegan-adegan penutup. Ellen White berkata kita perlu menempatkan diri kita sendiri di tempat itu, di lingkungan itu, kita perlu menempatkan diri kita di pengadilaan Pilatus, kita perlu menempatkan diri kita di Getsemani dan di salib ~ ketika saya melihat apa yang dilakukan dosa kepada Yesus, saya tidak mau punya urusan apa pun lagi dengan dosa. Dengan demikian dari salib bukan hanya mengalir pengampunan, tetapi juga kuasa untuk mengalahkan dosa selagi saya memandang Yesus.

 

 

You know some people say, “How do I overcome sin? You know, I look at the Ten Commandments and I try to measure up and I just can't.” You're doing the wrong thing. The way to overcome sin is not to compare what you do every day with the Law. The way to overcome sin is every day to behold Jesus, to see what sin cost. Are you with me? Because, you know, you might every day you reflect on the Law and you said, “Aah, I did not look at a woman to covet her today. Oh, but now I remember that I coveted some other things.” So you know when one thing gets corrected one day, then you have other things that are uncorrected. And the next day you have just the opposite effect. So when you're contemplating the Law written on tables of stone, you're not going to feel sorrow for sin. You're going to feel sorrow for sin when you see what sin did to Jesus, who was the personification of the Law of God. Next time we are tempted to commit sin, adultery, lying, cheating, stealing, let us remember that those things nailed Jesus to the cross of Calvary.

 

Ada orang yang berkata, “Bagaimana caranya mengalahkan dosa? Saya memandang Kesepuluh Hukum dan saya berusaha mencapai tuntutannya dan saya tidak bisa.” Kita melakukannya dengan cara yang salah. Caranya mengalahkan dosa bukanlah dengan membandingkan apa yang kita lakukan setiap hari dengan Hukum. Cara mengalahkan dosa ialah setiap hari memandang Yesus, untuk melihat berapa mahalnya dosa. Apakah kalian mengikuti saya? Karena, kalian tahu, mungkin kita setiap hari merefleksi Hukum dan berkata, “Aah hari ini saya tidak melihat wanita dan menginginkannya. Oh, tapi sekarang saya ingat bahwa saya menginginkan hal-hal lain.” Jadi kalian tahu, bila satu hal diperbaiki hari ini, maka ada hal-hal lain yang tidak diperbaiki. Dan keesokan harinya kita mengalami kebalikannya. Maka bila kita merenungkan Hukum yang tertulis pada loh-loh batu, kita tidak akan merasakan kesedihan karena dosa. Kita akan merasa sedih karena dosa ketika kita melihat apa yang diperbuat dosa kepada Yesus, yang adalah personifikasi Hukum Allah. Berikutnya bila kita tergoda untuk berbuat dosa, perzinahan, dusta, penipuan, pencurian, marilah kita ingat hal-hal itu yang memakukan Yesus ke salib di Kalvari.

 

 

Unfortunately, there are some wrong attitudes among Christians concerning the Law. Many Christians today have an extremely superficial view of salvation. We can see this for example in the famous bumper sticker “I’m not perfect, just forgiven”. That bumper sticker has always offended me, as if they say, “all we really need is forgiveness, we don't really need to strive through the power of God to be in harmony with the Law. No! No! All we need is forgiveness. I’m not perfect, I’m just forgiven”.

Twice during His ministry after Jesus forgave people of their sins, what did He command? “Go and sin no more.” Let me ask you, did Mary Magdalene have great love for Jesus? Why did she have great love for Jesus? Because Jesus forgave her of her terrible sins, that's why she loved Jesus, because He loved her and she responded and loved Him back. God not only wants to forgive sins, but He also wants to cleanse us from all unrighteousness. Ellen White has stated that justification is our title to heaven whereas sanctification is our fitness for heaven.

Let me ask you, what's more important, the title to heaven or the fitness for heaven? They're both absolutely necessary. You know, God will not justify anyone that will not allow God to sanctify that person. They go together, they're a couple, if you please. Justification and Sanctification.

 

Sayangnya, ada sikap yang salah di antara orang-orang Kristen mengenai Hukum. Banyak orang Kristen hari ini punya pandangan yang sangat dangkal tentang keselamatan. Kita bisa melihat ini misalnya di stiker bemper yang terkenal “aku tidak sempurna, hanya sudah diampuni”. Stiker bemper ini selalu menjengkelkan saya, seakan-akan mereka berkata, “yang kita perlukan hanya pengampunan, kita tidak perlu berusaha melalui kuasa Allah untuk menjadi serasi dengan Hukum. Tidak! Tidak! Yang kita perlukan hanya pengampunan. Aku tidak sempurna, aku hanya sudah diampuni.

Dua kali dalam ministriNya setelah Yesus mengampuni dosa orang, apa yang diperintahkanNya? “Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi.” Coba saya tanya, mengapa Maria Magdalena punya kasih yang begitu besar untuk Yesus? Mengapa dia sangat mengasihi Yesus? Karena Yesus telah mengampuni dosa-dosanya yang besar, itulah sebabnya dia mengasihi Yesus, karena Yesus mengasihi dia dan dia merespon dan mengasihi Yesus kembali. Allah tidak hanya mau mengampuni dosa, tetapi Dia juga mau membersihkan kita dari segala ketidakbenaran (1 Yohanes 1:9). Ellen White menyatakan bahwa pembenaran adalah titel (hak/legalitas) kita ke Surga sementara pengudusan ialah kelayakan kita untuk Surga. (Message to Young People p. 35).

Coba saya tanya, apa yang lebih penting, hak/legalitas ke Surga atau kelayakannya? Keduanya harus ada. Kalian tahu, Allah tidak akan membenarkan siapa pun yang tidak mengizinkan Allah untuk menguduskannya. Itu satu paket: Pembenaran dan Pengudusan, mereka itu satu pasang, katakanlah demikian.

 

 

Let me ask you, do you think there could be someone that knows how to drive but doesn't have a driver's license? You think? Oh yeah. What does he have? He has the fitness but not the title. And he can get a ticket. Do you suppose that someone who has a friend at the DMV  (Department of Motor Vehicles) that is able to get a license and doesn't know how to drive? Probably so. He has the title but he doesn't have the fitness. In order to drive you have to have the title AND the fitness.  In order to get to heaven we must have the title AND the fitness.

And the fitness is not that we're striving to be good. The fitness, folks, is that the Law is written in our hearts. Because we see what sin did to Jesus, and we out of love spontaneously it flows out to Jesus, and then we can say what David said in Psalm 119:97,  97 Oh, how I love Your law! It is my meditation all the day.”

 

Coba saya tanya, menurut kalian bisakah seseorang yang tahu bagaimana mengemudi tetapi tidak punya SIM? Menurut kalian? Oh, iya! Dia punya apa? Dia punya kelayakan tetapi dia tidak punya hak. Dan dia bisa kena tilang. Menurut kalian bisakah seseorang yang punya teman di DMV (Departemen Kendaraan) bisa mendapatkan SIM walaupun dia tidak tahu bagaimana mengemudi? Kemungkinan begitu. Dia punya hak/titelnya tetapi dia tidak punya kelayakannya. Supaya boleh mengemudi, kita harus punya titel/legalitasnya, dan kelayakannya. Supaya bisa tiba di Surga kita harus punya titel/legalitasnya DAN kelayakannya.

Dan kelayakan itu bukanlah kita berusaha menjadi baik. Kelayakannya, Saudara-saudara, ialah Hukum itu tertulis di hati kita. Karena kita melihat apa yang dilakukan dosa pada Yesus, dan kasih secara spontan mengalir keluar ke Yesus, barulah kita bisa berkata seperti yang dikatakan Daud di Mazmur 119:97, 97 O, betapa kucintai Hukum-Mu! Itulah yang aku renungkan sepanjang hari.”

 

 

Now we're not going to cover page 88, you'll notice a personal experience from one of the glow tracks. Several years ago ~ you know what the glow tracks are? ~ I was asked to write a glow tract on Law and grace, and so I’ve included that here in page 88,  and following, towards the end of the chapter, actually till the very end of the chapter, that illustrates the relationship between Law and grace ~ I hope you'll read that, it's a very interesting story.

A Personal Experience ~ from one of the Glow Tracts

Have you ever broken the speed limit? Perhaps for most people, the better question would be, “Have you ever kept the speed limit? One night on my way home, I was driving 60 mph in a 40-mph zone. It wasn’t long before a patrol car drove up behind me with its lights flashing. The officer came to the window and asked if I knew why he had stopped me. I replied that I was pretty sure it was because I was speeding. I told him that I was genuinely sorry and that I knew I deserved the ticket. To my surprise, he simply gave me a warning and said, I’m going to let you off the hook this time. Just remember that lives are put in danger by speeding in this residential area.”

Needless to say, I was elated! But then I got to thinking. Did the officer do the right thing? Was his forgiveness really grace? Actually, it wasnt.  As an officer of the law, his obligation is to punish transgression of the law, not forgive it. I broke the law and he was obliged to enforce it. Someone might object, But you were sorry! True, but it makes no difference. The violation of the law required payment and payment was not made; he did not do his job. How then could the officer have forgiven me and still upheld the requirements of the law?

He could have told me, “I cant let you go without the law getting its just due. You broke the law and the law demands payment. But I’ll tell you what I am going to do. I’m going to write the ticket, but I’ll go down to the courthouse and pay it for you. In this way I will honor the law and yet forgive you.” This illustration perfectly presents the spiritual situation all of us are in today.

 

Nah, kita tidak akan meliput hal. 88, kalian akan melihat ada pengalaman pribadi dari salah satu traktat penginjilan. Beberapa tahun yang lalu ~ tahukah kalian traktat penginjilan itu apa? ~ saya diminta menulis sebuah traktat penginjilan tentang Hukum dan Kasih karunia, maka saya masukkan itu di hal. 88 dan seterusnya, menjelang akhir pasal, sesungguhnya hingga bagian akhir pasal itu, yang mengilustrasikan hubungan antara Hukum dan kasih karunia ~ saya harap kalian akan membacanya, itu kisah yang menarik.

Pengalaman Pribadi ~ dari salah satu Traktat Penginjilan

Pernahkah kalian melanggar batas kecepatan lalulintas? Barangkali pertanyaan untuk kebanyakan orang seharusnya, “Apakah kalian selalu mematuhi batas kecepatan lalulintas?” Suatu malam dalam perjalanan pulang, saya berkendaraan dengan kecepatan 60mph di kawasan 40mph. Tidak perlu lama sebuah mobil patroli polisi mengejar di belakang saya dengan mengedipkan lampunya. Petugas polisi itu datang ke jendela mobil dan bertanya apakah saya tahu mengapa dia menghentikan saya. Saya jawab, saya yakin karena saya terlalu cepat.

Saya katakan saya sangat menyesal dan saya tahu saya layak ditilang. Yang membuat saya heran, polisi itu hanya memberi saya sebuah peringatan dan berkata, “Saya akan membebaskan Anda kali ini. Ingat saja bahwa dengan berkendaraan cepat di kawasan hunian ini, itu membahayakan jiwa.”

Tidak diragukan lagi, saya sangat gembira! Tetapi kemudian saya mulai berpikir. Apakah petugas polisi itu berbuat yang benar? Apakah pengampunannya benar-benar kasih karunia? Sesungguhnya, itu bukan. Sebagai seorang petugas Hukum, kewajibannya ialah menghukum pelanggar Hukum, bukan mengampuninya. Saya telah melanggar Hukum dan dia wajib menjalankan tugasnya. Mungkin ada yang protes, “Tetapi Anda kan menyesal.” Benar, tapi itu tidak mengubah keadaan. Pelanggaran Hukum menuntut pembayaran, dan pembayaran tidak dilakukan; petugas itu tidak melakukan tugasnya. Kalau begitu bagaimana petugas itu bisa mengampuni saya dan masih tetap menjalankan tuntutan Hukum?

Dia bisa berkata kepada saya, “Saya tidak bisa melepaskan Anda tanpa Hukum mendapatkan haknya. Anda telah melanggar Hukum, dan Hukum menuntut pembayaran. Tetapi dengarkan apa yang akan saya lakukan. Saya akan menulis surat tilang, tetapi saya yang akan ke pengadilan dan membayarnya untuk Anda. Dengan cara ini saya menghormati Hukum namun memberi pengampunan kepada Anda.” Ilustrasi ini menggambarkan dengan sempurna situasi spiritual kita semua hari ini.

 

 

Let's talk about what Paul had to say concerning Law and grace. Some Christians claim that Paul demeaned the Law and exalted grace. In an attempt to prove their point, they use some favorite texts.

v   One of those favorite texts is Romans 3:28. 28 … we conclude that a man is justified by faith apart from (without) the deeds (works) of the Law.” So they say, see, we're justified by faith without works of Law.

And what I tell these people, I say, “Now wait a minute, that's verse 28.  Read verse 31.” 31 Do we then make void the Law through faith? Certainly not! On the contrary, we establish the Law.”  Do we then get rid of the Law because of faith? No way, says the apostle Paul. So he knows that people are going to misinterpret what he's saying.

v   Another favorite text is Romans 5:20 and 21,20  where sin abounded, grace abounded much more”,  so let's sin a lot so that there's lots of grace. That's the way some people read this.

Paul knew that somebody was going to interpret it that way and so in the very next chapter, 6:1 he says, 1 … Shall we continue in sin…”  Shall we then sin because we are not under Law but under grace? He says, No! “…that grace may abound?” No! he says.

v   And of course the most favorite text of all is Romans 6:14 where the apostle Paul says, 14 sin shall not have dominion over you, for you are not under Law but under grace.”  

And so they say, “You Adventist, you know, you keep the Sabbath and everything, so you're under the Law; but we are under grace.”

You know what I tell them? I say, “Please read the next verse. Paul knew that you were going to argue that way.” So what does he say in Romans 6:15? 15 … shall we sin, because we are not under the law, but under grace? God forbid!” is what the apostle Paul says. So we need to be careful that we read the context.

It is true that man is justified by faith without works of Law, but according to the immediately preceding context it is equally true that faith establishes the Law.

 

Mari kita bicara tentang apa yang dikatakan Paulus mengenai Hukum dan kasih karunia. Ada orang-orang Kristen yang mengklaim bahwa Paulus mengecilkan peran Hukum dan meninggikan kasih karunia. Untuk membuktikan pendapat mereka, mereka menggunakan beberapa ayat favorit.

v   Salah satu dari ayat-ayat favorit tersebut adalah Roma 3:28, 28 … kami simpulkan, bahwa manusia dibenarkan oleh iman tanpa perbuatan Hukum.”

Jadi mereka berkata, lihat, kami dibenarkan oleh iman tanpa perbuatan hukum.

Dan saya katakan kepada orang-orang ini, “Tunggu sebentar, itu ayat 28. Bacalah ayat 31.” 31 Jika demikian, adakah kami membatalkan Hukum Taurat karena iman? Tentu saja tidak! Sebaliknya, kami meneguhkan Hukum.”  Apakah kita menyingkirkan Hukum karena iman? Sama sekali tidak, kata rasul Paulus. Jadi dia sudah tahu orang-orang akan salahmengartikan apa yang dikatakannya.

v   Ayat favorit lainnya ialah Roma 5:20-21, 20 di mana ada banyak dosa, kasih karunia ada lebih banyak.”  Jadi mari kita berbuat dosa lebih banyak supaya kasih karunia juga lebih banyak. Begitulah cara orang-orang membaca ayat ini.

Paulus sudah tahu bahwa akan ada orang yang menginterpretasikannya demikian, maka di pasal berikutnya 6:1, dia berkata, 1 Akankah kita terus melakukan dosa…” akankah kita berbuat dosa karena kita tidak di bawah Hukum melainkan di bawah kasih karunia? Paulus berkata, Tidak!  “…supaya boleh ada banyak kasih karunia?…” Tidak! Kata Paulus.

v   Dan tentu saja ayat paling favorit dari semuanya ialah Roma 6:14 di mana rasul Paulus berkata, 14 dosa tidak akan punya kuasa atas dirimu, karena kamu tidak di bawah Hukum, tetapi di bawah kasih karunia.”  

Maka mereka berkata, “Kalian orang Advent, kalian memelihara Sabat dan lain-lain, jadi kalian di bawah Hukum; tetapi kami di bawah kasih karunia.”

Tahukah kalian apa yang saya katakan kepada mereka? Saya bilang, “Tolong baca ayat berikutnya. Paulus sudah tahu kalian akan mendebat dengan cara itu.” Jadi apa kata Paulus di Roma  6:15? 15 Apakah kita akan berbuat dosa, karena kita tidak di bawah Hukum, tetapi di bawah kasih karunia? Sekali-kali tidak!” inilah yang dikatakan rasul Paulus. Jadi kita harus berhati-hati, kita harus membaca konteksnya.  

Memang benar manusia dibenarkan oleh iman tanpa pekerjaan Hukum, tetapi menurut konteks yang ada tepat sebelumnya, sama benarnya bahwa iman meneguhkan Hukum.

 

 

Now let's go to the next paragraph. Christians love to quote Paul when he wrote “for sin shall have no dominion over you for you are not under Law but under grace”. However, they fail to quote the very next verse. 15 What then? Shall we sin because we are not under Law but under grace? Certainly not!

 

Nah, mari ke paragraf berikutnya. Orang Kristen suka mengutip Paulus ketika dia menulis, 14 dosa tidak akan punya kuasa atas dirimu, karena kamu tidak di bawah Hukum, tetapi di bawah kasih karunia.” (Roma 6:14). Namun mereka gagal mengutip ayat berikutnya, 15 Apakah kita akan berbuat dosa, karena kita tidak di bawah Hukum, tetapi di bawah kasih karunia? Sekali-kali tidak!”

 

 

Someone else once asked me this, “Is your church Law-oriented or grace-oriented?” My answer is, “Neither. My church is Bible-oriented.” You see, if there is no Law there is no sin. If there is no sin there is no need of grace to save us from the transgression of the Law.

 

Seseorang pernah bertanya ini kepada saya, “Apakah gerejamu berorientasi pada Hukum atau berorientasi pada kasih karunia?” Jawaban saya ialah, “Keduanya tidak. Gereja saya berorientasi pada Alkitab.” Kalian lihat, andai tidak ada Hukum, maka tidak akan ada dosa. Andai tidak ada dosa, tidak dibutuhkan kasih karunia utuk menyelamatkan kita dari pelaggaran Hukum.

 

 

The rich young ruler is an example of one who boasted because he kept the Law. He wasn't really keeping the Law. It didn't come from the heart. It was out of obligation to win salvation. In reality the rich young ruler claimed to keep the Law, but it was loveless obedience. How do we know that? Because Jesus said, “Okay, you say that you've kept the Commandments from your youth. All right, go sell everything you have and give it to the poor.” He said, “Oh, no! No way.” Did he love his neighbor? No! Did his Law-keeping come from love? No! God only accepts service that comes out of love.

 

Pemimpin muda yang kaya adalah salah satu contoh orang yang menyombongkan dirinya karena dia memelihara Hukum. Dia tidak sungguh-sungguh memelihara Hukum. Itu tidak datang dari hatinya. Itu dilakukan karena kewajiban untuk meraih keselamatan. Pada kenyataannya, pemimpin muda yang kaya ini mengklaim telah memelihara Hukum, tetapi itu adalah kepatuhan tanpa kasih. Dari mana kita tahu itu? Karena Yesus berkata, “Baiklah, kamu mengatakan kamu sudah memelihara Perintah-perintah dari usia mudamu. Baiklah, pergi dan juallah semua milikmu dan berikan itu kepada yang miskin.” Orang muda itu berkata, “Oh, tidak! Tidak bakal.” Apakah dia mengasihi sesamanya? Tidak! Apakah kepatuhannya kepada Hukum berasal dari kasih? Tidak! Allah hanya menerima pelayanan yang datang dari kasih.

 

 

On the other hand, those who claim to follow Jesus and feel it is not necessary to keep the Law, for example Matthew 24:12 tells us that in the very end of time “ 12  because Lawlessness will abound, the love of many will grow cold.”  That's an interesting verse. Now that word “Lawlessness” ἀνομία [anomia] is probably not the best translation, it's the identical word that appears in 1 John 3:4 where it says “sin is the transgression of the Law”,  so this really should be translated in the following way, “ 12  because the transgression of the Law ἀνομία [anomia] will abound, the love of many will grow cold.” 

 

Di pihak yang lain, mereka yang mengklaim mengikuti Yesus dan tidak menganggapnya perlu untuk mematuhi Hukum, misalnya Matius 24:12 memberitahu kita pada akhir zaman

12 … karena makin bertambahnya ketidakadanya Hukum, maka kasih banyak orang akan menjadi dingin.” Itu ayat yang menarik.

Nah kata “ketidakadanya Hukum”  ἀνομία [anomia]   mungkin bukanlah terjemahan yang terbaik. Ini adalah kata yang sama yang ada di 1 Yohanes 3:4 di mana dikatakan, “dosa adalah pelanggaran Hukum”, maka ayat ini seharusnya diterjemahkan sbb.: “… karena makin bertambahnya pelanggaran Hukum ἀνομία [anomia]  maka kasih banyak orang akan menjadi dingin.”



So let me ask you this, can something grow cold that wasn't hot before? No. For something to grow cold it had to be warm before. So is this talking about Christians who claim to have love, but really they practice Lawlessness or the transgression of the Law? Remember we read from Matthew 7:21 to 23, where Jesus says not everybody that says to Me, “Lord, Lord” will enter the kingdom of heaven, but he who does the will of My Father.” Some are going to say, didn't we cast demons out in Your name? Didn't we prophesy in Your name? Didn't we perform many miracles in Your name? And Jesus is going to say, “I never knew you, depart from Me, you who are transgressors of the Law.” That is a very proper translation. It's the same word ἀνομία [anomia] that appears in 1 John 3:4. Notice that it does not say that because of a lack of love, Lawlessness will abound. Sin is transgression of the Law, but it also kills love, because love is the fulfilling of the Law.

 

Jadi coba saya tanya, bisakah sesuatu menjadi dingin yang sebelumnya tidak panas? Tidak. Bagisesuatu unuk menjadi dingin, dia sebelumnya haruslah hangat. Jadi apa ini bicara tentang orang-orang Kristen yang yang mengklaim punya kasih tapi sesungguhnya mereka mempraktekkan ketidakpatuhan pada Hukum atau pelanggaran Hukum? Ingat kita suaah baca dari Matius 7:21-23 di mana Yesus berkata, tidak semua yang berkata kepadaKu, “Tuhan, Tuhan,” akan masuk ke dalam kerajaan Surga, melainkan dia yang melakukan kehendak BapaKu.” Akan ada orang-orang yang berkata, bukankah kami telah mengusir Setan dalam namaMu? Bukankah kami sudah bernubuat dalam namaMu? Bukankah kami telah membuat banyak mujizat dalam namaMu? Dan Yesus akan berkata, 23 Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari Aku, kamu sekalian yang melakukan  pelanggaran Hukum!’ (Matius 7:23) Itu adalah terjemahan yang sangat tepat. Kata yang sama ἀνομία [anomia] yang muncul di 1 Yohanes 3:4. Simak tidak dkatakan karena kurangnya kasih, ketidakpatuhan aan bertambah banyak. Dosa adalah pelanggaran Hukum, tetapi dia juga membunuh kasih, karena kasih adalah kegenapan Hukum(Roma 13:10).

 

 

Let us go back now for a moment to mount Sinai. When the Lord offered to make a covenant with them, Israel quickly answered, “All that the Lord has said we will do.” They saw the Law as a list of regulations to obey, rather than a love response to God. For them the Law was a code on tables of stone, to be kept. However, there is one person who had ~ and I mentioned this before ~ who had a Jeremiah experience of the Law written in the heart, and that was Moses. At the top of the mountain Moses communed with the Lord in intimate converse, and Moses found grace in God's sight. That's the way it reads. Because of his personal relationship with the Lord, the glory of God rubbed off on the face of Moses. And his face shone with the glory of God. When Moses descended from the mount, the people pleaded with Moses to cover his face. They wanted Moses, they didn't want the glory.  They wanted the Ten Commandments on tables of stone, but not written on the tables of the heart.

 

Marilah kita kembali sekarang sejenak ke bukit Sinai. Ketika Tuhan menawarkan membuat perjanjian dengan mereka, Israel cepat-cepat menjawab, 8 …‘Segala yang difirmankan TUHAN akan kami lakukan’…”(Keluaran 19:8). Mereka melihat Hukum lebih sebagai sebuah daftar peraturan untuk dipatuhi, daripada respons kasih kepada Allah. Bagi mereka Hukum adalah sebuah kode (peraturan) di loh-loh  batu, untuk dipatuhi. Namun, ada satu manusia yang ~ dan ini sudah saya singgung sebelumnya ~ yang mendapat pengalaman Yeremiah dengan Hukum yang ditulis di hati, dan dia adalah Musa. Di atas bukit Musa berkomunikasi dengan Tuhan dalam percakapan yang intim, dan Musa diperkenan Allah di pemandanganNya. Begitulah yang tertulis. Karena hubungan pribadinya dengan Tuhan, kemuliaan Tuhan menular ke wajah Musa, dan wajah Musa bersinar dengan kemuliaan Allah. Ketika Musa turun dari bukit, orang-orang memohon agar Musa menutupi wajahnya. Mereka menginginkan Musa, mereka tidak menginginkan kemuliaan itu. Mereka mau Kesepuluh Perintah yang di loh-loh batu, tetapi bukan yang ditulis di loh-loh hati.

 

 

The apostle Paul picked up on this in 2 Corinthians chapter 3, very captivating chapter. The Israelites looked at the Law as Commandments and tables of stone, but Moses had the Law written on his heart, the experience later referred to by Jeremiah. Thus Moses experienced the new covenant during the old covenant period.

 

Rasul Paulus mengambil ini di 2 Korintus pasal 3, pasal yang sangat mempesona. Bangsa Israel memandang Hukum sebagai Perintah-perintah dan loh-loh batu, tetapi Musa memiliki Hukum yang tertulis di hatinya, pengalaman yang kemudian disebut oleh Yeremia. Dengan demikian Musa sudah mengalami perjanjian yang baru di masa perjanjian yang lama.

 

 

The apostle Paul is drawing this from the story of Moses when he descended from the mount, and in 2 Corinthians 3:18 we find why the face of Moses shone, and how our faces can shine with the glory of God. Let's go there for our last texts. 2 Corinthians 3:18. He's told all the story about the Law written on tables of stone, the Law written on the heart, etc. and he concludes by saying this, “ 18 But we all, with unveiled face, beholding as in a mirror the glory of the Lord, are being…”  what? “…transformed into the same image from glory to glory, just as by the Spirit of the Lord.” You've heard the expression “by beholding we are being changed”. Do you know what the word that is used there where it says in chapter 3:18 we are being transformed ~ do you know what that word “transformed” is in Greek? It is the word  μεταμορφόω [metamorphoō]. What word do we get in English from μεταμορφόω [metamorphoō]? “metamorphosis”. Do you know what  metamorphosis is? It's a radical change. Radical.

 

Rasul Paulus mengambil ini dari kisah Musa ketika dia turun dari bukit, dan di 2 Korintus 3:18 kita melihat mengapa wajah Musa bersinar, dan bagaimana wajah kita bisa bersinar dengan kemuliaan Allah. Mari kita ke sana untuk ayat-ayat kita yang terakhir. 2 Korintus 3:18. Paulus sudah menceritakan semua tentang Hukum yang ditulis di loh-loh batu, Hukum yang ditulis di hati, dll. dan dia menyimpulkan dengan mengatakan ini, 18 Tetapi kita semua, dengan wajah yang tidak terhalang penutup, yang memandang kemuliaan Tuhan seperti di cermin, sedang…”diapakan? “…diubahkan menjadi gambar yang serupa, dari kemuliaan ke kemuliaan, sama seperti oleh Roh Tuhan.Kalian pernah mendengar ungkapan,  “dengan memandang kita diubahkan.” (Great Controversy hal. 555). Tahukah kalian kata yang dipakai di mana di pasal 3:18 dikatakan kita sedang diubahkan ~ tahukah kalian kata “diubahkan” itu apa dalam bahasa Greeka? Itu adalah kata μεταμορφόω [metamorphoō]. Kata apa yang kita peroleh dalam bahasa Inggris dari μεταμορφόω [metamorphoō]? “metamorphosis”. Tahukah kalian “metamorphosis” itu apa? Itu perubahan radikal. Radikal.

 

 

You know for many years I collected butterflies. In another lecture I’m going to tell you a little bit about it as an illustration. And I became very proficient, practically professional. And you know, I saw the development of butterflies from the time that the eggs were on the leaf, till the time that the egg broke, and little caterpillar comes out, how they ate from one source, and they grew into a big caterpillar, how the caterpillar buried himself in the chrysalis or in the cocoon, and then a few days later the cocoon shook, and lo and behold out comes a caterpillar with wings. A butterfly is not a caterpillar with wings!

Those who are in Christ are a new creation, the apostle Paul says in 2 Corinthians 5:17. What this means is that 2 Corinthians 3:18 is telling us that the more we behold Jesus the more we are transformed into His image, a radical transformation, where people say I don't recognize him anymore, I don't recognize her anymore. The change has been like a metamorphosis. By the way, that same word is used for Jesus on the mount of transfiguration. He was metamorphosed, His face shone like the sun, His garments were radiant white, He looked like He's going to look when He comes in power and glory.

In other words, there is not only forgiveness of sin, God wants to take His Law and write it on our hearts. And the way that that happens is by daily contemplating Jesus in His Word, by beholding Jesus we are changed. I trust that we will be among those who reflect the character of Jesus having spent time with Him.

 

Kalian tahu, selama banyak tahun saya mengoleksi kupu-kupu. Di ceramah lain saya akan menceritakan sedikit tentang hal itu sebagai ilustrasi. Dan saya menjadi sangat ahli, praktis professional. Dan kalian tahu, saya melihat perkembangan kupu-kupu dari waktu telur-telurnya ada di atas daun, hingga saatnya telur itu pecah, dan ulat-ulat kecil keluar, bagaimana mereka makan dari satu sumber, dan mereka tumbuh menjadi ulat yang besar, dan bagaimana ulat itu membungkus dirinya dalam kepompong, dan beberapa hari kemudian kepompong itu bergetar, dan lo lihatlah, seekor ulat bersayap keluar. Seekor kupu-kupu bukanlah ulat dengan sayap!

Mereka yang ada dalam Kristus adalah ciptan baru, rasul Paulus berkata di 2 Korintus 5:17. Yang dimaksud ialah 2 Korintus 3:18 memberitahu kita bahwa semakin banyak kita memandang Yesus, semakin kita diubahkan menjadi keserupaanNya, suatu perubahan yang radikal di mana orang lain berkata, saya tidak mengenalinya lagi. Perubahan itu seperti sebuah metamorphose. Nah, kata yang sama itu dipakai untuk Yesus di bukit transfigursi. Yesus bermetamorphose, wajahNya bersinar seperti matahari, pakaianNya menjadi putih cemerlang, Dia tampak seperti nanti Dia akan tampak ketika Dia datang dengan kuasa dan kemuliaan.

Dengan kata lain, bukan saja ada pengampunan dosa, tapi Allah mau mengambil HukumNya dan menuliskannya di hati kita. Dan itu hanya bisa terjadi jika kita setiap hari merenungkan Yesus di FirmanNya, dengan memandang Yesus kita akan diubahkan. Saya yakin kita akan ada di antara mereka yang memantulan karakter Yesus setelah melewatkan waktu bersamaNya.

 

 

 

 

08 08 24

 

No comments:

Post a Comment