Saturday, October 10, 2020

EPISODE 20/24 ~ REVELATION'S SEVEN SEALS ~ SESSION 20 ~ EARTH'S TWO REPRESENTATIVES ~ STEPHEN BOHR

_____REVELATION’S SEVEN SEALS_____

Part 20/24 - Stephen Bohr

SESSION 20 ~ EARTH’S TWO REPRESENTATIVES

https://www.youtube.com/watch?v=Vw3psuuDs7M

 

 

Dibuka dengan doa.

 

 

In Revelation 14 we have God's final message to planet Earth before the Second Coming. It's known as the Three Angels’ Message and we are now going to read the First Angel’s Message and we're going to focus particularly on one part of the First Angel’s Message. I'm reading from Revelation 14:6-7, Then I saw another angel flying in the midst of heaven, having the everlasting gospel to preach to those who dwell on the earth—to every nation, tribe, tongue, and people— saying with a loud voice, ‘Fear God and give glory to Him, for the hour of His judgment has come…” now comes the part that I want to underline or emphasize,  “…and worship Him who made heaven and earth, the sea and springs of water…”

 

Di Wahyu 14, ada pesan terakhir Allah bagi planet Bumi sebelum Kedatangan Kedua. Itu dikenal sebagai Pekabaran Tiga Malaikat, dan kita sekarang akan membaca Pekabaran Malaikat Pertama, dan kita akan fokus khususnya pada satu bagian dari Pekabaran Malaikat Pertama tersebut. Saya membaca dari Wahyu 14:6-7, 6 Dan aku melihat seorang malaikat lain terbang di tengah-tengah langit dan padanya ada Injil yang kekal untuk diberitakannya kepada mereka yang diam di atas bumi, kepada semua bangsa dan suku dan bahasa dan kaum, 7 dan ia berseru dengan suara nyaring: ‘Takutlah akan Allah dan muliakanlah Dia, karena telah tiba saat penghakiman-Nya…”  sekarang bagian yang ingin saya garisbawahi atau tekankan,  “…dan sembahlah Dia yang telah menjadikan langit dan bumi dan laut dan semua mata air.’"

 

 

So the First Angel’s Message commands us to worship the Creator. Now in order to understand fully what it means to worship the Creator, we have to go back to where the Creator created. We have to go back to Genesis. Now, I want you to notice that the days of creation spoken of in Genesis chapter 1 were literal 24-hour days, like we know them today. And I'm going to begin by giving you several evidences from Genesis 1 that the days of creation were literal 24-hour days, just like we know them today. And you're going to see the reason why I'm underlining this particular point.

·       First of all the Hebrew lexicons  ~   those are the dictionaries that explain the meaning of Hebrew words  ~   the best lexicons all state that the days of Genesis 1 the writer is referring to literal 24-hour days, that's the definition that is given in the dictionaries or in the lexicons.

·       secondly 250 times approximately the word “day” appears in the Old Testament and with a numeral qualifier. In every single instance in which the word “day” appears with a numeral qualifier, it refers to a 24-hour day. And that's the case in Genesis, “it was the evening and morning,  first day, second day, third day…”, and the word “day” appears with the number qualifier, it means a literal day.

·       in the third place, each day had an evening and morning. It would be ridiculous to say it was “the evening and morning of the first million years”. “Evening and morning” is marked by the rising and setting of the sun, it clearly indicates that the writer of Genesis believed that the days of creation were literal 24 hour days, marked off by the evening and the morning.

·       another evidence is Psalm 33:9 the language of creation is a language of immediacy, of quickness, not long periods. It says there that “God spoke and it was done, He commanded and it stood fast.” That's a language of quickness, rapidity, in other words. There's an expression in the story of creation also that indicates that the process of creation was done expeditiously. In Genesis 1:7, 11, 15, and 24, we find this expression, that after God creates something it says “and it was so”. Once again it gives the impression that God speaks and it's so when God speaks.

·       probably the greatest evidence that the days of creation were literal is the fourth commandment, because the fourth commandment says that we are to work 6 and rest the seventh because God worked 6 and rested the seventh. We could never follow God's example if the days of creation were millions of years long. They have to be literal days because if we're going to work 6 and rest the seventh like God did, well then the days at the beginning had to be days just like the ones we know now.  So the fourth commandment proves that the days of creation were literal days.

·       then we have the testimony of the New Testament writers. Did the New Testament writers believe that the story of creation happened literally just the way that the book of Genesis says? Absolutely. You know you have for example Matthew 19:4-6 you know Jesus understood that the story of Adam and Eve and the first marriage in history was a literal story.  Notice chapter 19 of the book of Matthew verse 4 through verse 6,  “…And He answered and said to them have you not read that He who made them at the beginning, made them male and female, and said, for this reason a man shall leave his father and his mother and be joined to his wife and the two shall become one flesh, so then they are no longer two but one flesh? Therefore what God has joined together let not man separate.” Did Jesus believe that Adam and Eve are real people? Did He perform the first marriage? Yes! 

So the story of creation is literal. The days must have been literal.

 

Maka Pekabaran Malaikat Pertama memerintahkan kita untuk menyembah Sang Pencipta. Nah, supaya kita bisa memahami sepenuhnya apa maksudnya menyembah Sang Pencipta, kita harus kembali ke saat di mana Sang Pencipta mencipta. Kita harus kembali ke kitab Kejadian. Nah, saya mau kalian menyimak bahwa hari-hari penciptaan yang disebut di Kejadian pasal 1, adalah hari-hari 24 jam literal, seperti yang kita kenal sekarang. Dan saya akan mulai dengan memberikan beberapa bukti dari Kejadian pasal 1 bahwa hari-hari penciptaan adalah hari-hari 24 jam yang literal, persis seperti yang kita kenal sekarang. Dan kalian akan melihat alasannya mengapa saya menekankan poin khusus ini.

·       Pertama-tama, leksikon Ibrani ~ yaitu kamus-kamus yang menjelaskan arti kata-kata Ibrani ~ leksikon-leksikon yang terbaik semuanya menyatakan bahwa hari-hari di Kejadian pasal 1, penulisnya merujuk ke hari-hari 24 jam literal, itulah definisi yang diberikan di kamus-kamus atau dalam leksikon-leksikon.

·       Kedua, sebanyak kira-kira 250 kali, kata “hari” muncul di kitab Perjanjian Lama disertai keterangan jumlah. Setiap kali di mana kata “hari” muncul bersama angka keterangan jumlah, itu mengacu kepada hari yang 24 jam. Dan itulah kasusnya di kitab Kejadian, “jadilah petang, jadilah pagi, itulah hari pertama – hari kedua - hari ketiga…” dan kata “hari” itu muncul bersama angka keterangan jumlah, itu artinya satu hari literal.

·       Ketiga, setiap hari memiliki satu petang dan satu pagi. Akan jadi sangat konyol mengatakan itu adalah “petang dan pagi dari sejuta tahun yang pertama”. “Petang dan pagi” ditandai oleh terbenamnya dan terbitnya matahari, itu jelas mengindikasikan bahwa penulis kitab Kejadian meyakini hari-hari penciptaan adalah hari-hari 24 jam literal, dipisahkan oleh petang dan pagi.

·       Bukti yang lain ialah Mazmur 33:9, bahasa penciptaan adalah bahasa kesegeraan, spontanitas, bukan periode-periode yang lama. Dikatakan di sana bahwa, 9 Sebab Allah berfirman, maka semuanya jadi; Dia memberi perintah, maka itu tegak dengan kokoh.”  Itu bahasa kesegeraan, dengan kata lain: langsung. Ada suatu ungkapan dalam kisah penciptaan juga yang mengindikasikan bahwa proses penciptaan dilakukan dengan cepat. Di Kejadian 1:7, 11, 15, dan 24, kita temukan ungkapan ini, setelah Allah menciptakan sesuatu, dikatakan, “jadilah demikian”. Sekali lagi itu memberikan kesan bahwa Allah bersabda, dan itu jadi ketika Allah bersabda.

·       Mungkin bukti terbesar hari-hari penciptaan itu literal ialah Perintah Keempat, karena Perintah Keempat berkata kita harus bekerja 6 hari dan berhenti pada hari ketujuh, karena Allah bekerja 6 hari dan berhenti pada hari ketujuh. Kita tidak mungkin bisa mengikuti teladan Allah jika hari-hari penciptaan itu jutaan tahun lamanya. Hari-hari itu haruslah literal karena jika kita harus bekerja 6 hari dan berhenti pada hari ketujuh seperti Allah, nah, maka hari-hari pada awalnya itu haruslah hari-hari yang sama seperti yang sekarang kita kenal. Jadi Perintah Keempat membuktikan bahwa hari-hari penciptaan adalah hari-hari literal.

·       Lalu ada kesaksian dari penulis-penulis Perjanjian Baru. Apakah penulis-penulis Perjanjian Baru meyakini kisah penciptaan terjadi secara literal persis seperti yang dikatakan di kitab Kejadian? Tepat sekali. Kalian tahu, ada misalnya di Matius 19:4-6, Yesus memahami kisah Adam dan Hawa, dan perkawinan pertama dalam sejarah sebagai kisah yang literal. Simak Matius 19:4-6, 4 Jawab Yesus kepada mereka: ‘Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia pada awal mulanya menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, 5 dan firman-Nya: ‘Karena alasan inilah, laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging’? 6 Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia." Apakah Yesus meyakini Adam dan Hawa adalah manusia-manusia literal? Apakah Dia yang meresmikan perkawinan yang pertama? Ya!

Maka kisah penciptaan itu literal. Hari-harinya pasti literal.

 

 

Of course Ellen White confirms that the days of creation were literal days. In Spirit of Prophecy Vol. 1 page 85 she wrote,  “…I was then carried back to the creation and was shown that the first week in which God performed the work of creation in six days and rested on the seventh day, was just like every other week. The Great God in His days of creation and day of rest measured off the first cycle as a sample for successive weeks till the close of time…”

And in an even more explicit statement in Testimonies to Ministers page 135 she wrote, “…When the Lord declares that He made the world in six days and rested on the seventh day He means the day of…” what?  “…of 24 hours which He has marked off by the rising and setting of the sun…”

 

Tentu saja Ellen White menguatkan bahwa hari-hari penciptaan adalah hari-hari literal. Di Spirit of Prophecy Vol. 1 hal. 85, dia menulis,   “…Kemudian saya dibawa kembali ke saat penciptaan dan ditunjukkan bahwa minggu yang pertama ketika Allah melakukan pekerjaan mencipta dalam enam hari dan berhenti pada hari ketujuh, adalah sama seperti minggu-minggu biasa yang lain. Allah yang Mahabesar dalam hari-hari penciptaanNya dan hari perhentianNya telah menentukan saat awal dan akhir siklus pertama sebagai contoh untuk minggu-minggu yang selanjutnya, hingga akhir masa…”

Dan dalam suatu pernyataan yang lebih eksplisit di Testimonies to Ministers hal. 135, dia menulis,   “…Ketika Allah menyatakan bahwa Dia telah menciptakan bumi dalam enam hari dan berhenti pada hari ketujuh, yang dimaksudnya ialah hari…”  apa?   “…yang 24 jam di mana Dia telah memisahkannya dengan tanda terbit dan terbenamnya matahari…”

 

 

But not only do we find this testimony in the Bible for the reasons that I gave you, not only in the writings of Ellen White, but also conservative Protestant scholars have gone on the record saying that the days of creation were literal days. Notice for example this statement by Henry Morris who was a staunch creation scientist, his headquarters were in San Diego, he died a few years ago. In his book Biblical Creationism he wrote on page 62,  “…The Lord Himself had worked 6 days then rested on the seventh, setting there by a permanent pattern for the benefit of mankind…”   So he shows also that there are non-Adventist conservative scholars that believe that the days of creation were literal days, and the first week was a week of seven days just like we know the week today.

 

Tetapi kita bukan hanya menemukan kesaksian di dalam Alkitab seperti alasan-alasan yang telah saya berikan, bukan hanya dalam tulisan-tulisan Ellen White, tetapi juga pakar-pakar Protestan konservatif tercatat mengakui bahwa hari-hari penciptaan adalah hari-hari yang literal. Simak misalnya pernyataan Henry Morris, seorang ilmuwan penciptaan yang gigih, kantor pusatnya di San Diego, dia telah meninggal beberapa tahun lalu. Dalam bukunya Biblical Creationism dia menulis di hal. 62,   “…Tuhan sendiri telah bekerja enam hari, lalu berhenti pada hari ketujuh, dengan demikian menetapkan suatu pola yang permanen untuk dipakai manusia…”  Jadi Henry Morris menunjukkan juga bahwa ada pakar-pakar konservatif non-Advent yang meyakini bahwa hari-hari penciptaan itu hari-hari yang literal, dan minggu yang pertama adalah minggu tujuh hari sama dengan minggu yang kita kenal sekarang.

 

 

Yet Ellen White wrote that some theologians want to accommodate the story of creation to the whims of science, so-called. So they say,  Yes, God was involved but He took millions of years for each day.  Notice this statement in the book Education page 128 and 129, “…Inferences erroneously drawn from facts observed in nature, have, however, led to a supposed conflict between science and revelation.  And in the effort to restore harmony, then interpretations of Scripture have been adopted that undermine and destroy the force of the Word of God.  Geology has been thought to contradict the literal interpretation of the mosaic record of the creation. Millions of years it is claimed were required for the evolution of the earth from chaos, and in order…” notice the word,  “…to accommodate the Bible to this supposed revelation of science,  the days of creation are assumed to have been vast indefinite periods covering thousands or even millions of years. Such a conclusion is wholly uncalled for. The Bible record is in harmony with itself and with the teaching of nature…”

 

Namun Ellen White menulis bahwa beberapa theolog mau menyelaraskan kisah penciptaan dengan yang dianggap tuntutan ilmiah. Jadi mereka berkata, Iya, Allah terlibat, tapi Dia butuh berjuta-juta tahun untuk satu hari. Simak pernyataan ini dari Education hal. 128-129,  “…Akan tetapi kesimpulan yang salah telah diambil dari fakta-fakta yang tampak di alam, mengakibatkan seolah-olah ada konflk antara sains dengan pernyataan Allah. Dan dengan tujuan memulihkan harmoni, maka penafsiran Kitab Suci yang dipakai, merusak dan menghancurkan kekuatan Firman Allah. Geologi dianggap bertentangan dengan catatan interpretasi Musa mengenai penciptaan yang literal. Berjuta-juta tahun diklaim dibutuhkan bagi bumi untuk berevolusi dari kekacauan, dan supaya…” simak kata yang dipakai,   “…menyelaraskan Alkitab dengan penemuan yang dianggap ilmiah ini, maka hari-hari penciptaan diasumsikan sebagai waktu yang panjang yang tidak terbatas, meliputi ribuan bahkan jutaan tahun. Kesimpulan seperti ini sama sekali tidak tepat. Catatan Alkitab itu serasi dengan dirinya sendiri, dan dengan apa yang diajarkan alam.”

 

 

So I want you to notice that Ellen White, conservative Protestant scholars, and the testimony of Genesis itself, indicate that the story of creation is a literal story, the first week was composed of seven days each 24 hours long.

 

Jadi saya mau kalian menyimak bahwa Ellen White, pakar-pakar Protestan konservatif, dan kesaksian kitab Kejadian sendiri, mengindikasikan bahwa kisah penciptaan adalah kisah yang literal, minggu yang pertama terdiri atas tujuh hari, masing-masing 24 jam lamanya.

 

 

Yet in spite of the fact of the evidence, the papacy’s concept of creation is different. Neither John Paul II who was one of the most influential popes in recent years, or Francis I, the present pope, believes that the story of creation occurred as it is written. Both believe, well Francis believes and John Paul II  believed before he died, that the story of creation is a symbolic story that wants to teach moral lessons, but it did not happen literally. Both of them believe in the Big Bang, that the world evolved over the course of billions of years, in other words, both believe that this world came into existence by what we call macro evolution, not slight small variations within species but drastic changes from one species to another.

 

Namun, sekalipun ada fakta-fakta sebagai bukti, konsep Kepausan tentang penciptaan itu berbeda. Baik Yohanes Paulus II yang adalah salah satu Paus yang paling berpengaruh dalam tahun-tahun terakhir, maupun Francis I, Paus yang sekarang, tidak meyakini kisah penciptaan terjadi sebagaimana tertulis. Keduanya meyakini, nah, Francis meyakini dan Yohanes Paulus II dulu sebelum kematiannya meyakini bahwa kisah penciptaan adalah kisah yang simbolis, yang bertujuan mengajarkan ajaran moral, tetapi tidak terjadi secara literal. Keduanya percaya pada Big Bang, bahwa dunia berevolusi dalam waktu milyaran tahun. Dengan kata lain keduanya percaya dunia eksis oleh apa yang kita sebut evolusi makro, bukan variasi sedikit yang kecil di dalam satu spesies, melainkan perubahan drastis dari satu spesies ke spesies yang lain.  

 

 

John-Paul in a speech to the papal Academy of the Sciences referred to evolution as more than a hypothesis and argue that the various branches of science have presented a significant argument in favor of the theory. I want to read what he said.  “…Today, almost half a century after the publication of the  encyclical…” he's talking about the encyclical of Pope Pius XII,  Humani Generis which means “On the Origin of Man”, he started saying, well, maybe there's a little truth to evolution.  Before that the papacy was not strong on the idea that things came into existence by evolution. So the Pope is saying, “…Today, almost half a century after the publication of the encyclical, new knowledge has led to the recognition of the theory of evolution as more than a  hypothesis. It is indeed remarkable that this theory has been progressively accepted by researchers following a series of discoveries in various fields of knowledge. The convergence…”  that involves these different studies  “…The convergence neither sought nor fabricated of the results of the work that was conducted independently, is in itself a significant argument in favor of this theory…”  that's what Pope John Paul said to the papal Academy of the Sciences. 

 

Dalam ceramahnya kepada Akademi Sains Kepausan, Yohanes Paulus bicara tentang evolusi sebagai lebih dari sekadar suatu hipotesa, dan menyatakan pendapatnya bahwa cabang-cabang sains yang berbeda telah mempersembahkan argumentasi yang signifikan mendukung teori tersebut. Saya mau membacakan apa katanya, “…Sekarang ini, hampir setengah abad setelah terbitnya ensiklikal itu…”  dia berbiara tentang ensiklikal Paus Pius XII, Humani Generis yang berarti “Tentang Asal Mula Manusia”, dia mulai berkata, nah, mungkin evolusi ada benarnya juga. Sebelumnya Kepausan tidak berpihak pada konsep bahwa segala sesuatu eksis melalui evolusi. Maka Paus ini berkata,  “…Sekarang ini, hampir setengah abad setelah terbitnya ensiklikal itu, pengetahuan baru telah menuntun ke pengakuan teori evolusi sebagai lebih dari sekadar sebuah hipotesa. Memang luar biasa, secara progresif teori ini telah diterima oleh para periset, sebagai lanjutan dari serangkaian penemuan dalam pelbagai bidang pengetahuan. Pertemuan penemuan-penemuan ini…”  yang melibatkan pelbagai macam penyelidikan,   “…Pertemuan  penemuan-penemuan ini, yang tidak dicari maupun direkayasa, adalah hasil kerja yang dilakukan secara independen, ini saja sudah merupakan argumentasi yang signifikan yang mendukung teori tersebut…”  itulah kata Paus Yohanes Paulus kepada Akademi Sains Kepausan.

 

 

Now Steven Swanson who was a staff writer for the Chicago Tribune was brutally  honest when he wrote that Darwin's evolution and the biblical record of creation cannot be reconciled. He wrote on the Pope's writing because he wrote this and on his speech and he wrote the following, “…In a major statement of the Roman Catholic Church's position on the theory of evolution, pope John Paul II has proclaimed that the theory is more than just a hypothesis and that evolution is compatible with Christian faith.  In a written message to the Pontifical Academy of Sciences, the Pope said, ‘The theory of evolution has been buttressed by scientific studies and discoveries since Charles Darwin’…”  and then this writer is going to say what is obvious,  “…If taken literally, the biblical view of the beginning of life and Darwin's scientific view would seem…” what?  “…irreconcilable. In Genesis the creation of the world and Adam, the first human, took six days. Evolution’s process of genetic mutation and natural selection, the survival and proliferation of the fittest new species, has taken billions of years according to the scientists…” He says the biblical story and what scientists say cannot be reconciled.

 

Nah, Steven Swanson yang adalah seorang jurnalis Chicago Tribune, sangat blak-blakan ketika dia menulis bahwa teori evolusi Darwin dan rekor Alkitab tentang Penciptaan tidak bisa dipertemukan. Dia menulis tentang tulisan Paus karena Paus menulis tentang ini, dan tentang ceramahnya, dan Swanson menulis seperti berikut, “…Dalam suatu pernyataan utama tentang posisi gereja Roma Katolik terhadap teori evolusi, Paus Yohanes Paulus II telah mengumumkan bahwa teori itu lebih daripada hanya sebuah hipotesa, dan bahwa evolusi itu selaras dengan iman Kristen. Dalam pesan tertulisnya kepada Akademi Sains Kepausan, Paus berkata, ‘Teori evolusi telah ditopang oleh penyelidikan-penyelidikan ilmiah dan penemuan-penemuan sejak Charles Darwin’…”  lalu penulis ini akan mengatakan apa yang sangat jelas, “…Jika diterima secara literal, pandangan alkitabiah tentang asal mula kehidupan dan pandangan ilmiah Darwin, tampaknya…”  apa?   “…tidak akan bertemu. Di Kejadian, penciptaan dunia dan Adam, manusia yang pertama, terjadi dalam enam hari. Proses mutasi genetik pada evolusi dan seleksi alami, ketahanan hidup,  dan pertambahan jumlah spesies-spesies baru yang terkuat, makan waktu milyaran tahun menurut para ilmuwan…”  Dia berkata, kisah Alkitab dan apa yang dikatakan para ilmuwan tidak bisa bertemu.

 

 

Pope Francis was even more explicit than Pope John Paul.  I read now some things that Pope Francis had to say. This is at the top of page 359.  “…The Big Bang which today we hold to be the origin of the world…” What does he mean when he says “we” hold?  The papacy, yeah.  So the papacy believes in the Big Bang for the origin of the universe “…The Big Bang which today we hold to be the origin of the world, does not contradict the intervention of the Divine Creator but rather requires it…”  so God has to intervene at certain stages in the process of evolution, is what he's saying. “…Evolution in nature is not inconsistent with the notion of creation, because evolution requires the creation of beings that evolve…”   In other words, God places in the beings the mechanisms so that they can evolve. And God intervenes at certain stages to change maybe one species into another until this process of evolution comes to an end.  Then he stated, “…When we read about creation in Genesis, we run the risk of imagining God was a magician with a magic wand able to do everything, but that is not so.  He created human beings and let them develop according to the internal laws that He gave to each one so that they would reach their fulfilment…” (to the Papal Academy of the Sciences on October 14, 2014)

 

Paus Francis lebih eksplisit daripada Paus Yohanes Paulus. Saya bacakan sekarang beberapa hal yang dikatakan Paus Francis. Ini ada di bagian atas hal. 359. “…Big Bang yang hari ini kita anggap adalah asal mula dunia…”  apa maksudnya ketika dia berkata “kita” anggap? Kepausan, iya! Jadi Kepausan meyakini Big Bang sebagai asal mula alam semesta,    “…Big Bang yang hari ini kita anggap adalah asal mula dunia, tidak mengkontradiksi intervensi Pencipta yang Ilahi, melainkan justru membutuhkannya…”  Jadi Allah harus mengintervensi pada tahap-tahap evolusi tertentu, itulah yang dikatakannya. “…Evolusi di alam tidaklah bertentangan dengan konsep penciptaan, karena evolusi membutuhkan penciptaan makhluk yang berevolusi…”  dengan kata lain, Allah menempatkan mekanisme dalam makhluk-makhluk itu supaya mereka bisa berevolusi. Dan Allah mengintervensi pada tahap-tahap tertentu untuk mengubah mungkin satu spesies menjadi spesies yang lain hingga proses evolusi ini  berakhir. Lalu dia berkata, “…Ketika kita membaca tentang penciptaan di Kejadian, kita terkena resiko membayangkan Allah sebagai tukang sulap dengan tongkat ajaib yang mampu melakukan segala sesuatu, tetapi tidaklah demikian. Allah menciptakan manusia dan membiarkan mereka berkembang  menurut hukum intern yang diberikanNya kepada setiap makhluk supaya mereka bisa mencapai kesempurnaan masing-masing…”(Paus Francis kepada Akademi Sains Kepausan pada 14 Oktober 2014)

 

So you'll notice that both of these popes, the most influential popes in the last 50 years, neither one of them believes that the story of creation happened literally the way Genesis says.  They believe that it's a symbolic story and that this world came into existence over the course of billions of years. In fact according to the Big Bang Theory the evolutionary process of the universe began some 13.8 billion years ago when a single speck of the universe exploded and the universe began to expand.  And they believe that by examining the expansion of the universe and working towards the supposed beginning, that they can determine how long it took.  And that's what these popes actually believe.

 

Jadi kita simak bahwa kedua Paus ini, Paus-paus yang paling berpengaruh dalam 50 tahun terakhir, tidak satu pun dari mereka percaya bahwa kisah penciptaan terjadi secara literal seperti yang dikatakan kitab Kejadian. Mereka meyakini itu adalah kisah simbolis dan bahwa dunia ini terbentuk selama milyaran tahun. Malah menurut teori Big Bang, proses evolusi alam semesta dimulai sekitar 13.8 milyar tahun yang lalu ketika sebutir titik tunggal di alam semesta meledak dan alam semesta mulai mengembang. Dan mereka meyakini dengan menyelidiki pengembangan alam semesta dan bekerja ke arah awal mula yang diperkirakan, mereka bisa menentukan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk itu. Dan inilah yang benar-benar diyakini kedua Paus itu.

 

 

Now what are the devastating implications of believing that the story of Genesis is not literal, but this world came into existence in the course of billions of years?

1.   heterosexual marriage is based on the story of creation. Why do we believe that a man should marry a woman? Because in Genesis it says “therefore a man shall leave his father and his mother and be joined to his wife”.  The foundation of heterosexual marriage is Genesis. But if the story of Genesis did not take place as the Bible says, what happens with heterosexual marriage? It disappears.

2.   another problem is the foundation of gender identity is based on Genesis. The Bible tells us that “male and female He created them”, He created two genders: male and female. But what happens if the story of creation wasn't literal? Well, gender identity disappears, it becomes even more serious.

3.   The observance of the Sabbath depends on a literal story of creation, because if that story isn't literal and the world is coming into existence over millions and billions of years then there wasn't the first week of six days of work and one of rest, therefore we cannot copy or follow God's example. So the Sabbath is based on a literal story of creation.

4.   I'm not going to get into the issue of distinctive functions of men and women but that also is found there in Genesis. That's a very controversial subject in the Adventist Church now.

 

Nah, apakah implikasi-implikasi yang merusak dari meyakini bahwa kisah di kitab Kejadian tidak literal, melainkan dunia ini terbentuk selama milyaran tahun?

1.   Perkawinan heteroseksual berdasarkan kisah penciptaan. Mengapa kita meyakini seorang laki-laki harus menikah dengan seorang perempuan? Karena di kitab Kejadian dikatakan, 24 Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya…” Fondasi perkawinan heteroseksual ialah kitab Kejadian. Tetapi bila kisah Kejadian tidak terjadi seperti yang dikatakan Alkitab, apa yang terjadi pada perkawinan heteroseksual? Lenyap.

2.   Problem yang lain ialah fondasi identitas gender ada di kitab Kejadian. Alkitab mengatakan kepada kita bahwa 27 laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka”. Allah menciptakan dua gender, dua kelamin: laki-laki dan perempuan. Tetapi apa yang terjadi jika kisah penciptaan tidak literal? Nah, identitas gender hilang, ini menjadi semakin parah.

3.   Pemeliharaan Sabat bergantung pada kisah penciptaan yang literal, karena jika kisah itu tidak literal dan dunia terjadi setelah jutaan dan milyaran tahun, maka tidak ada minggu pertama yang terdiri atas enam hari kerja dan satu hari perhentian, dengan demikian kita tidak bisa mengikuti teladan Allah. Jadi Sabat itu berdasarkan kisah penciptaan yang literal.

4.   Saya tidak akan membahas isu tentang fungsi-fungsi yang khas antara laki-laki dan perempuan tetapi itu juga terdapat di kitab Kejadian. Sekarang hal ini menjadi topik yang kontroversial dalam Gereja Advent.

 

 

Francis I constantly admonishes the strong to help the weak and the rich to help the poor. However, his counsel does not fit with the mechanism of evolution, because evolution functions based on the survival of the fittest, or natural selection, where the strong prevail and the weak disappear. If this is true why should the strong help the weak and the rich help the poor? So his counsel doesn't square with his concept.  Even more seriously the papal view of origins destroys the expectation of a soon coming of Jesus. How many more millions of years do we have to wait for evolution to work out its wrinkles and flaws to reach the perfect Omega Point?  How many times have you heard Pope Francis I refer to the Second Coming of Christ as the great hope of planet Earth? Never! Because the view of the papacy is not that Jesus is going to come to establish His Kingdom here, the idea of the papacy is that the church will take over the reins of the state, resolve the problems of poverty, the problem of climate change, the problems with the family, the problems with immigration, and establish a perfect society here on earth; because he doesn't believe in the story of creation. 

 

Francis I selalu mengingatkan agar yang kuat menolong yang lemah, dan yang kaya menolong yang miskin. Namun nasihatnya tidak selaras dengan mekanisme evolusi, karena evolusi berfungsi atas dasar yang kuat yang bertahan, atau seleksi alam di mana yang kuat menang dan yang lemah lenyap. Jika ini benar, untuk apa yang kuat menolong yang lemah dan yang kaya menolong yang miskin? Jadi nasihatnya tidak cocok dengan konsepnya. Bahkan lebih parah lagi, pandangan Kepausan tentang asal mula bumi menghancurkan harapan akan segeranya kedatangan Yesus. Berapa juta tahun lagi kita harus menunggu evolusi membereskan semua kerutan dan cacat untuk mencapai titik Omega yang sempurna? Berapa kali kita pernah mendengar Paus Francis I menyinggung tentang Kedatangan Kedua Kristus sebagai harapan terbesar planet Bumi? Tidak pernah! Karena pandangan Kepausan bukanlah Yesus yang akan datang untuk mendirikan kerajaanNya di sini. Konsep Kepausan ialah gereja yang akan mengambil alih kendali negara, menyelesaikan masalah kemiskinan, masalah perubahan iklim, masalah keluarga, masalah imigrasi, dan mendirikan suatu masyarakat yang sempurna di sini, di dunia; karena dia tidak meyakini kisah penciptaan.

 

 

But it becomes even more serious. The evolutionary theory mars the beautiful character of God. It is an attack against the omnipotence of God. Doesn't God have the almighty power to create things instantaneously by speaking them into existence, that He has to use a method that takes billions of years? Isn't God powerful enough to make things right from the start? It's an attack against the omnipotence of God. It's an attack also against the omniscience and the wisdom of God. Is not God wise enough to create everything perfect from the start without having to use a method of trial and error where there is much suffering and death? It is also an attack on the grace, and mercy, and love of God, we're going to see.

 

Tetapi ini menjadi semakin gawat. Teori evolusi merusak indahnya karakter Allah. Itu merupakan serangan terhadap kemahakuasaan Allah. Apakah Allah tidak memiliki kuasa yang mahabesar untuk menciptakan apa-apa secara instan dengan bersabda dan mereka jadi, sehingga Dia harus memakai suatu cara yang makan waktu bermilyar tahun? Tidakkah Allah cukup mahakuasa untuk bisa menciptakan apa-apa yang sudah sempurna sejak awal mula? Ini adalah suatu serangan terhadap kemahakuasaan Allah, ini juga serangan terhadap kemahatahuan dan hikmat Allah. Apakah Allah kurang hikmat untuk menciptakan segala sesuatu sempurna dari awal tanpa harus coba-coba, memakai metode trial and error yang melibatkan banyak penderitaan dan kematian? Kita akan melihat ini juga merupakah serangan atas kasih karunia, dan rahmat, dan cinta Allah.

 

 

But let's go here to the middle of the page. It is a method of the survival of the fittest, the strong prevail and the weak succumb. It is contrary to the biblical principle that the rich should help the poor, and the strong should help the weak. It is a method of trial and error where the process of evolution irons out the glitches. Does this reflect the biblical picture of God? Could not God get it right from the start?

You know, there's a scientist, a Roman Catholic scientists that wrote this, “…Evolution presents a bloody, ruthless struggle for existence from the very beginning, where there is much waste of living substance and many false starts and blind alleys…”. 

Does that sound like a wise God? Like an omniscient God? Absolutely not! Does that sound ~  by the way Jesus was the creator ~ does that sound like Jesus who after feeding the four thousand says,  “Pick up all of that’s left over so that nothing goes to waste” and when He fed the five thousand He said the same thing,  “Pick up everything that is left over that nothing goes to waste”?  With evolution there's waste all over the place.

 

Tetapi mari kita ke bagian tengah halaman. Ini adalah suatu metode di mana yang kuat yang bertahan, yang kuat yang menang, dan yang lemah mati. Ini bertolakbelakang dengan prinsip Alkitab bahwa yang kaya harus menolong yang miskin dan yang kuat harus menolong yang lemah. Ini adalah metode trial and error di mana proses evolusi melenyapkan yang tidak sempurna. Apakah ini merefleksikan gambaran Allah yang alkitabiah? Tidakkah Allah bisa menciptakan yang sempurna sejak dari awal?

Kalian tahu, ada seorang ilmuwan, seorang ilmuwan Roma Katolik yang menulis ini, “…Evolusi menyajikan suatu perjuangan untuk eksis yang penuh darah dan kejam sedari awal, di mana terdapat banyak pemborosan zat hidup dan banyak permulaan yang salah dan jalan yang buntu…” ( Here I Stand hal. 277  ~ Frank L. Marsh, Evolution or Special Creation hal. 25)

Apakah ini kesannya seperti Allah yang bijak? Seperti Allah yang mahatahu? Sama sekali tidak! Apakah ini ~ nah, ketahuilah Yesuslah yang mencipta ~ apakah ini seperti sifat Yesus yang setelah memberi makan 4’000 orang, berkata, “…Kumpulkan semua yang tersisa supaya tidak ada yang terbuang…” dan ketika Yesus memberi makan 5’000 orang Dia mengatakan hal yang sama, “…Kumpulkan setiap potong makanan yang tersisa supaya tidak ada yang terbuang…”?  Dengan evolusi sisa yang terbuang ada di mana-mana.

 

 

It is an attack also against the love and mercy of God as I was mentioning before. How can a God of love use a method where there is so much suffering, cruelty, pain, and death? Does this sound like a God who cares for the sparrows and dresses the lilies of the field? Would a God whose eye is on the sparrow use such a cruel method to create?

 

Ini juga merupakan serangan terhadap kasih dan kemurahan Allah, seperti yang tadi sudah saya sebut. Mana mungkin Allah yang adalah Kasih memakai cara yang melibatkan begitu banyak penderitaan, kekejaman, rasa sakit, dan kematian? Apakah ini mirip Allah yang peduli pada burung-burung pipit dan yang menghiasi bunga bakung di lembah? Apakah Allah yang mataNya memperhatikan burung-burung pipit memakai cara yang sedemikian kejamnya untuk mencipta?

 

 

It is also an attack against Jesus as the Savior. You see, this is very serious. If the Genesis account is symbolic, then  the story of the fall is also what? Symbolic! And salvation simply means perfecting through the process of evolution.  So it's an attack against the Savior.

 

Ini juga serangan terhadap Yesus sebagai Juruselamat. Kalian lihat, ini serius. Jika kitab Kejadian itu simbolis, maka kisah kejatuhan dalam dosa juga apa? Simbolis! Dan keselamatan berarti semata-mata menyempurnakan melalui proses evolusi. Lihat, ini adalah serangan terhadap Sang Juruselamat.

 

 

Notice that the Bible presents an unbroken chain.

·       First God created Adam and Eve perfect with no inclination to sin.

·       Adam and Eve ate from a literal tree of the knowledge of good and evil and literally fell into sin.

·       Literally the infection of sin passed from Adam and Eve to all their descendants, because of that, death came in and passed to all human beings, because of sin.

·       Therefore all humanity needs what? A Redeemer from sin and death.

But if there was death before sin we face a serious problem. If there was death before sin then the link between creation and sin and redemption is broken.

 

Simak, Alkitab mempersembahkan suatu rantai peristiwa yang bersambung.

·       Pertama, Allah menciptakan Adam dan Hawa sempurna, tanpa kecenderungan untuk berbuat dosa.

·       Adam dan Hawa makan dari pohon pengetahuan baik dan jahat yang literal, dan secara literal jatuh dalam dosa.

·       Secara literal, infeksi dosa menular dari Adam dan Hawa ke semua keturunan mereka. Karena itu maut datang dan menular kepada semua manusia, karena dosa.

·       Oleh karena itu semua manusia perlu apa? Seorang Penebus dari dosa dan maut.

Tetapi jika sebelum dosa sudah ada kematian, kita punya masalah yang serius. Jika ada kematian sebelum dosa, maka mata rantai antara Penciptaan dan dosa, dan penyelamatan terputus.

 

 

That's the reason why Roman Catholic theologian Karl Schmitz-Moormann quoted and this is quoted in the book Creation, Catastrophe and Redemption page 112. Remember this is a Roman Catholic theologian, “…The notion of the traditional view of redemption, as reconciliation and ransom from the consequences of Adam's fall, is nonsense for anyone who knows about the evolutionary background to human existence in the modern world. Further, salvation cannot mean returning to an original state, but must be conceived as perfecting through the process of evolution…”   A Roman Catholic theologian.

 

Itulah alasannya mengapa theolog Roma Katolik, Karl Schmitz-Moormann mengutip, dan ini terdapat di buku Creation, Catastrophe and Redemption hal. 112, ingat ini seorang theolog Roma Katolik, “…Gagasan pandangan tradisional tentang penebusan, sebagai rekonsiliasi dan penebusan akibat kejatuhan Adam, itu omong kosong bagi siapa pun di dunia modern yang tahu tentang latar belakang eksistensi manusia menurut teori evolusi. Lebih lanjut, penyelamatan tidak bisa diartikan kembali ke status asli, tetapi harus dimengerti sebagai penyempurnaan melalui proses evolusi. …” ini seorang theolog Roma Katolik.

 

 

Notice what Frank L. Marsh a Seventh-Day Adventist scientist wrote,   “…If death and the law of tooth and claw existed long before man, and if man evolves through these natural processes, then  there could not have been a perfect Garden of Eden, nor a perfect Adam and Eve, nor could there have been a real fall in which man became subject to sin. If that is so, what is the theological meaning of Jesus’ incarnation and atonement?  Paul connects the two, ‘for as by one man's disobedience many were made sinners, so also by one Man's obedience many will be made righteous.’…”  and then he continues,    “…If there was no Garden of Eden with its tree of life, what is the future that Revelation 20:2 depicts for the redeemed?...”

 

Simak Frank L. Marsh, seorang ilmuwan Advent, menulis, “…Andai kematian dan hukum kekerasan yang berdarah-darah sudah lama ada sebelum adanya manusia, dan andai manusia berevolusi melalui proses alami ini, maka tidak mungkin ada sebuah taman Firdaus yang sempurna, atau Adam dan Hawa yang sempurna, maupun kejatuhan dalam dosa yang literal di mana manusia menjadi takluk kepada dosa. Andai memang demikian, apa makna theologi dari inkarnasi dan pendamaian Yesus? Paulus menghubungkan keduanya, Jadi sama seperti oleh ketidaktaatan satu orang, semua orang telah menjadi orang berdosa; demikian pula oleh ketaatan satu Orang semua orang akan dijadikan benar.’ [Rom 5:19] …”  lalu dia melanjutkan,   “…Andai tidak ada taman Firdaus dengan pohon kehidupannya, apakah masa depan yang digambarkan Wahyu 20:2 bagi orang-orang yang diselamatkan?…”  

 

 

The evolutionary theory destroys the biblical hope of the Second Coming of Christ to restore the earth to its original perfection. If perfecting is through the process of evolution, how much longer must we wait until the process reaches its climax?  Millions of years? Billions? How many more millions of years do we have to wait for the lamb and the wild  beasts to lie down together in harmony?  How many more millions of years? See, if you believe in evolution it destroys the idea of a soon coming of Christ, because our hope is not in Jesus’ coming to create a new heavens and a new earth, the hope is that we reach the climax of perfection through the process of evolution.  And how much longer is it going to take, is the big question. If we eliminate a literal beginning, a literal fall, a literal atonement, and a literal Second Coming, what is left?  We might as well pack up our Seventh-Day Adventist bags and join the ecumenical movement.

 

Teori evolusi menghancurkan harapan alkitabiah akan Kedatangan Kedua Kristus untuk memulihkan dunia ini ke kesempurnaannya yang asli. Jika menyempurnakannya melalui proses evolusi, berapa lama lagi kita masih harus menunggu hingga proses itu mencapai klimaksnya? Jutaan tahun? Milyaran? Berapa banyak juta tahun kita harus menunggu hingga anak domba dan binatang buas bisa berbaring bersama dalam keselarasan? Berapa banyak juta tahun lagi? Lihat, jika kita percaya evolusi, itu menghancurkan konsep kedatangan Kristus kembali dalam waktu dekat karena haparan itu tidak diletakkan pada kedatangan Yesus untuk menciptakan langit baru dan bumi baru, tetapi harapannya ialah kita bisa mencapai klimaks kesempurnaan melalui proses evolusi. Dan itu masih akan berapa lama lagi? Itulah pertanyaannya. Jika kita mengeliminasi awal yang literal, kejatuhan dalam dosa yang literal, pendamaian yang literal, dan Kedatangan Kedua Kristus yang literal, apa yang tersisa? Sebaiknya kita kemasi saja tas MAHK kita dan bergabung dengan gerakan ekumene.

 

 

Now in spite of the fact that without exception the Bible refers to the Seventh-Day Sabbath as God's day of rest, Pope John Paul II in his apostolic letter Dies Domini and Pope Francis I in his encyclical Laudato Si have declared that the Seventh-Day Sabbath is Jewish and that Sunday is the Christian Sabbath. Yet as we have seen never does the Bible refer to the Sabbath as the Sabbath of the Jews or the Jewish Sabbath, it is always “the Sabbath of the Lord your God.”  God calls the Sabbath My holy day”. In every single instance the Sabbath is God's holy rest day, because He made it holy by His rest.  The papacy claims that the Sabbath is a relic of the Jewish Old Covenant, and yet it  continues a plethora  of old covenant practices, such as sacrifices on altars, the use of holy vestments, the sprinkling of holy water, the burning of incense, the lighting of candles, the raising of shrines to the saints.  In this the papacy swallows the camel and strains the gnat.  They reject one of the Ten Commandments, the Sabbath commandment, and yet they say that these other practices ~ which were part of the Old Covenant ~ still need to be practiced by the Christian Church today. 

 

Sekarang, kendati pun tanpa kecuali Alkitab menyebut Sabat Hari Ketujuh sebagai hari perhentian Allah, Paus Yohanes Paulus II dalam surat apostoliknya Dies Domini, dan Paus Francis I dalam ensiklikalnya Laudato Si, menyatakan bahwa Sabat Hari Ketujuh itu milik orang Yahudi dan hari Minggu itu Sabat orang Kristen. Tetapi seperti yang kita lihat, tidak pernah Alkitab menyebut Sabat sebagai Sabat orang Yahudi, atau Sabat Yahudi, selalu itu “Sabat Tuhan Allahmu”. Allah menyebut Sabat “hari kudusKu”. Di setiap kali disebutkan, Sabat adalah hari perhentian yang kudus milik Allah, karena Dia yang menguduskannya dengan perhentianNya. Kepausan mengklaim Sabat itu peninggalan Perjanjian Lama Yahudi, namun Kepausan sendiri melanjutkan sejumlah besar praktek-praktek Perjanjian Lama, seperti kurban di altar, memakai jubah kudus, memercikkan air suci, membakar dupa, menyalakan lilin, membangun kuil-kuil penyembahan bagi orang-orang suci. Dalam hal ini Kepausan menelan si unta dan menyaring ngengat. Mereka menolak salah satu dari 10 Perintah yaitu Perintah tentang hari Sabat, namun mereka berkata bahwa praktek-praktek yang lain itu ~ yang adalah bagian dari perjanjian yang lama ~ masih tetap harus dipraktekkan oleh gereja Kristen hari ini.

 

 

The simple fact is that Sunday cannot be holy, because God did not rest on it. Jesus rested from creation on the Sabbath,  from redemption on the Sabbath,  and will rest from the new creation on the Sabbath as well.

Even more seriously, if Pope Francis does not believe in the literal story of creation then the Sabbath has no foundation.  

So far so good?  

 

Fakta yang sederhana ialah, hari Minggu tidak bisa menjadi kudus, karena Allah tidak berhenti pada hari itu. Yesus berhenti dari mencipta pada hari Sabat, berhenti dari pekerjaan penebusan pada hari Sabat, dan kelak akan berhenti dari menciptakan langit baru dan bumi baru pada hari Sabat juga.

Yang lebih serius, jika Paus Francis tidak percaya pada kisah penciptaan yang literal, maka Sabat tidak punya fondasi.

Sampai di sini, jelas?

 

 

Now we need to talk about the Jesuit’s strategy. The Jesuits have a very particular agenda and it's related to the philosophy of a well-known philosopher by the last name of Hegel. He theorized that history develops in three stages.  He called it “thesis”,  “antithesis” and “synthesis”. And the theory as it applies to the papacy would work out like this:

·       the thesis would be the dominion of the papacy during the 1260 years; 

·       the antithesis would be the French Revolution when Communism and Secularism arose against the papacy;

·       and the synthesis would be the joining together of Catholicism and Communism, the joining of forces.

Now you’re  saying, is that possible? Is that what we're seeing today? Let's pursue it.

 

Sekarang kita perlu berbicara tentang strategi Jesuit. Jesuit punya agenda yang sangat khas, dan itu berkaitan dengan filosofi dari seorang filsuf terkenal yang rnama belakangnya Hegel. Dia punya teori bahwa sejarah berkembang dalam tiga tahap. Dia menyebutnya “thesis”, “antithesis” dan “sinthesis”. Dan teori itu yang diaplikasikan kepada Kepausan adalah seperti berikut:

·       Thesisnya adalah masa kejayaan Kepausan selama 1260 tahun;

·       Antithesisnya adalah Revolusi Perancis ketika Komunisme dan Sekularisme bangkit melawan Kepausan;

·       Dan Sinthesisnya ialah bergabungnya menjadi satu Katolikisme dan Komunisme, mempersatukan kekuatan.

Nah, kalian berkata, apa itu mungkin? Itukah yang kita lihat terjadi hari ini? Mari kita lanjutkan.         

 

 

John Paul II and Benedict XVI were popes of a dying breed.  They were staunch defenders of papal authority and of the dogmas ~ those are the doctrines of the church. During the conservative pontificates of John Paul II ~  by the way he was head of what was known before as the office of the Inquisition ~  and the period of Benedict XVI,  the papal talking points focused primarily ~ and you know this because the Moral Majority did the same thing the Christian coalition among Protestants ~  what was the focus? What were their talking points of John Paul II and  Benedict?  They were conservative popes, they wanted to uphold Roman Catholic doctrines or dogmas. Their focus was primarily on marriage between a man and a woman, on euthanasia as being wrong,  on abortion as something being criminal which we certainly would agree with, against LGBT, and in favor of doctrinal  orthodoxy. Of course the political powers of the world  and the secular media including the United Nations frowned on these causes.  So the papacy needed to implement a more liberal agenda in order to win over the political powers of the world. 

 

Yohanes Paulus II dan Benedict XVI adalah jenis Paus yang hampir punah. Mereka adalah pembela yang gigih dalam hal autoritas Kepausan dan dogma ~ yaitu doktrin-doktrin gereja. Selama masa kepemimpinan Yohanes Paulus II yang konservatif ~ ketahuilah dia adalah kepala dari apa yang sebelumnya dikenal sebagai departemen Inkuisisi ~ dan periode kepemimpinan Benedict XVI, topik pembicaraan Kepausan berfokus terutama pada ~ dan kalian tahu ini karena kelompok Moral Mayority melakukan hal yang sama, koalisi Kristen di antara golongan Protestan ~ apa fokusnya? Apakah topik pembicaraan Yohanes Paulus II dan Benedict? Mereka adalah Paus-paus yang konservatif, mereka mau menegakkan doktrin atau dogma Roma Katolik. Fokus mereka terutama pada perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, bahwa euthanasia itu salah, bahwa aborsi itu suatu tindakan kriminal yang pasti kita juga setuju, menentang LGBT, dan membela doktrin yang orthodoks. Tentu saja kekuatan politik dunia dan media yang sekuler termasuk PBB mengerutkan dahi dengan tujuan-tujuan ini. Jadi Kepausan harus mengimplementasikan agenda yang lebih liberal agar bisa mengambil hati kekuatan politik dunia.

 

 

As is well known, John Paul was a deadly enemy of Communism, and theologically very conservative.  John Paul fought tooth and nail against Communism in the Soviet block and he and Ronald Reagan joined forces to attack Communism in Central America.

But there's been a papal shift.  At the same time post-modernism was eroding the idea that there is such a thing as doctrinal truth.  It also denied that truth can be found anywhere outside our subjective experience, the experience of each human being, thus subjective truth, autonomous authority, took the place of objective truth, and an absolute authority outside of man.  Until recent times the Roman Catholic Church has taught that dogmas are absolute truth, and the pope  is the absolute arbiter of what is truth, and what is error. However,  at Vatican Council II which was celebrated from 1962 to 1965 things began to change.  The catch word for the council was “Aggiornamento” that in Latin means “renewal”.  According to conservative Vatican insiders, the council was a watershed event that diluted the authority of the Pope and the doctrinal orthodoxy of the church.  The confirmation of the truthfulness of the insider's assessment would not take very long.

 

Bukan rahasia umum lagi Yohanes Paulus adalah musuh yang berbahaya bagi Komunisme, dan secara theologi dia sangat konservatif. Yohanes Paulus berjuang mati-matian melawan Komunisme di blok Soviet, dia dan Ronald Reagan menggabungkan kekuatan untuk menyerang Komunisme di Amerika Tengah.

Tetapi kemudian ada pergeseran Kepausan. Pada waktu yang sama faham post-modernism mengikis konsep kebenaran yang doktrinal. Faham ini juga tidak mengakui bahwa kebenaran bisa diperoleh di luar pengalaman subjektif kita, pengalaman setiap orang. Dengan demikian kebenaran subjektif, autoritas independen, menggantikan tempat kebenaran objektif dan autoritas mutlak di luar manusia. Hingga baru-baru ini gereja Roma Katolik mengajarkan bahwa dogma adalah kebenaran yang mutlak, dan Paus adalah penentu mutlak apa yang benar dan apa yang salah. Namun di Vatican Council II yang berlangsung 1962-1965, kondisi mulai berubah. Mottonya untuk konsili itu ialah “Aggiornamento” dalam bahasa Latin yang artinya “pembaharuan”. Menurut orang dalam Vatican yang konservatif, konsili itu merupakan titik balik yang melemahkan autoritas Paus dan doktrin orthodoks gereja. Tidak butuh waktu lama maka penilaian  orang dalam ini terbukti benar.

 

 

In the 1970’s Communism began causing problems in Central America. Those who are a little bit older remember the issue of  the Contrast during Reagan's time, right? In Central America, in El Salvador. The Jesuit bishops were not merely Roman Catholics in Central America they were also Communists. This is the synthesis by the way. In the 1980's the problems intensified as Catholic priests embraced liberation theology and began treating the Pope with disdain and disrespect. They hated John Paul II because he was conservative. The book by the late Malachi Martin ~ never heard of him before? He wrote a book called The Jesuits, get a copy of that and read it ~ that book was written in 1987 it was published in 1987. What he has in that book is what's happening in the church today, in the Roman Catholic Church today. So this book which was published in 1987, it was two years before the fall of the Berlin Wall, in other words, before the fall of what was before the Soviet Union.  Martin was a staunchly conservative Jesuit and a close friend of John Paul II, he was aghast of what the liberal Jesuits ~ which were the majority ~ were doing to change the power structure of the papacy and church doctrine.  In his book, he documents in minute detail how John Paul II was treated with disdain and disrespect by the Sandinistas when he visited Nicaragua in March of 1983.  He also documents how beginning with Vatican II the Jesuit Order has watered-down church doctrine and the authority of the Pope, in order to make it easier to unite with Protestants, world political leaders, and scientists.  Are you catching this picture? It is a documented fact that since the 60’s the Jesuits have been chipping away at the idea that church dogma is set in stone, they also questioned the idea that the Pope is the absolute arbiter of truth. They realized that in order for the papacy to gain the trust of political leaders of the world, it must embrace the causes that they stand for. Do the political leaders of the world stand for heterosexual marriage? Are you kidding! Are most of the political leaders in the United Nations in favor of euthanasia? Sure. How about LGBT? Sure. How about open borders? How about climate change? Hmm, interesting. There is a real reason why Pope Benedict was strong-armed to retire from the papal throne. The papacy needed a liberal Pope who would not focus on the orthodoxy of church dogma, because today people don't want to believe that anything is objective truth or the authority of the Pope, but rather on causes that please the politicians of the world.

Ellen White hit the nail on the head when she compared the papacy to a chameleon. Do you know what a chameleon is? It's a lizard that changes colors depending on where it is. This is what she wrote, the best description of the papacy I've ever read.  “…It is part of her policy to assume the character which will best accomplish her purpose. But beneath the variable appearance of the chameleon she conceals the invariable venom of the serpent…”

 

 

Di tahun 1970an, Komunisme mulai menimbulkan masalah di Amerika Tengah. Mereka yang sedikit lebih tua akan ingat isu Contras (kelompok-kelompok sayap kanan yang didanai Amerika Serikat 1979-1990an untuk melawan kelompok Sandinista) selama pemerintahan Reagan, benar? Di Amerika Tengah, di El Salvador. Di Amerika Tengah, uskup-uskup Jesuit bukan saja Roma Katolik, mereka juga Komunis. Inilah sinthesisnya.  Di tahun 1980an, masalah membesar ketika imam-imam Katolik memeluk theologi liberal dan mulai memperlakukan Paus dengan tidak hormat dan penghinaan. Mereka benci Yohanes Paulus II karena dia konservatif. Buku yang ditulis mendiang Malachi Martin ~ tidak pernah dengar namanya? Dia menulis sebuah buku berjudul The Jesuits, belilah satu dan bacalah itu ~ buku itu ditulis 1987 dan diterbitkan 1987. Apa yang ditulisnya di dalam buku itu ialah apa yang sedang terjadi di dalam gereja hari ini, di dalam gereja Roma Katolik hari ini. Jadi buku ini  diterbitkan 1987 dua tahun sebelum runtuhnya tembok Berlin, dengan kata lain sebelum jatuhnya apa yang dulu adalah Uni Soviet. Martin adalah seorang Jesuit konservatif yang gigih dan teman dekat Yohanes Paulus II. Dia terperanjat dengan apa yang dilakukan para Jesuit liberal ~ yang adalah mayoritas ~ dalam mengubah struktur kekuatan Kepausan dan doktrin gereja. Dalam bukunya dia mencatat dengan detail-detail yang teliti bagaimana Yohanes Paulus II dilecehkan dan tidak dihormati oleh golongan Sandinistas ketika Paus itu mengunjungi Nicaragua di Maret 1983. Martin juga mendokumentasikan bagaimana mulai dengan Vatican II Ordo Jesuit telah memperlemah doktrin gereja dan autoritas Paus dengan tujuan mempermudah persatuan dengan Protestan, para pemimpin politik dunia, dan para ilmuwan. Apakah kalian menangkap gambarannya? Itu adalah fakta yang terdokumentasi bahwa sejak 1960an para Jesuit sudah terus mengikis konsep bahwa dogma gereja tidak bisa diubah, mereka juga mempertanyakan konsep bahwa Paus adalah penentu mutlak tentang kebenaran. Mereka menyadari agar Kepausan bisa mendapatkan kepercayaan para pemimpin politik dunia, Kepausan harus merangkul tujuan-tujuan yang didentifikasikan para pemimpin politik dunia. Apakah para pemimpin politik dunia memperjuangkan perkawinan heteroseksual? Yang bener aja. Apakah kebanyakan pemimpin politik di PBB menyetujui euthanasia? Iya. Bagaimana dengan LGBT? Iya. Bagaimana dengan membuka perbatasan negara? Bagaimana dengan perubahan iklim? Hmmm, menarik. Ada alasan yang nyata mengapa Paus Benedict dipaksa mundur dari takhta kepausan. Kepausan memerlukan seorang Paus yang liberal, yang tidak fokus kepada keorthodoksan dogma gereja, karena hari ini orang tidak mau percaya kebenaran objektif dalam apa pun atau pada autoritas Paus, melainkan pada tujuan-tujuan yang menyenangkan para politikus dunia.

Ellen White sangat tepat ketika dia membandingkan Kepausan dengan seekor bunglon. Tahukah kalian bunglon itu apa? Itu seekor kadal yang berubah warnanya tergantung di mana dia berada. Inilah yang ditulisnya, deskripsi tentang Kepausan yang paling bagus yang pernah saya baca, “…Adalah bagian dari kebijakannya untuk memerankan peranan yang paling cocok guna mencapai tujuannya. Tetapi di bawah penampilan seekor bunglon yang berubah-ubah, dia menyembunyikan bisa ular yang tidak pernah berubah.”

 

 

Benedict resigned or retired but not of his own free will. The conversation topics needed to change, so that the papacy would be more in harmony with the agenda of the United Nations, and the world governments, because prophecy predicts that the papacy will be able to use the civil powers of the world to accomplish her agenda.

See, sometimes we think that the union of Catholics with Protestants is the big thing. Listen, that's important, yes, Catholics and Protestants. But it's even more important to the papacy to gain the support of the political leaders of the world, to be able to use the state to accomplish its purpose. For that it has to win over the political leaders and talk about what they want to talk about.

 

Benedict mundur atau pensiun, tetapi bukan atas kehendaknya sendiri. Topik-topik pembicaraan harus berubah, supaya Kepausan lebih selaras dengan agenda PBB, dan pemerintahan-pemerintahan dunia, karena nubuatan mengatakan bahwa Kepausan akan bisa memakai kekuatan sipil dunia untuk mencapai agendanya.

Lihat, terkadang kita pikir persatuan Katolik dengan Protestan itu hal yang besar. Dengarkan, itu penting, ya, Katolik dan Protestan. Tetapi lebih penting lagi bagi Kepausan untuk mendapatkan dukungan para pemimpin politik dunia, supaya dia bisa memakai negara untuk mencapai tujuannya. Untuk itu dia harus memenangkan para pemimpin politik dan bicara tentang apa yang mau mereka bicarakan.

 

 

Francis I is the first Jesuit Pope in the history of the Roman Catholic Church. His focus is not on church doctrine or on the authority of the papal chair. He is a Catholic Communist in the style of the Sandinistas of Central America in the 1980’s. He has synthesized Catholicism with Socialism. He is a theological liberal and does not care much about orthodox church doctrine. The key item under papal to-do-list to win the trust and confidence of the civil powers of the world, especially the United States, and then to advise them to implement its agenda, that's what the plan is.  In order to accomplish this the papacy has recognized that it must  change its traditional talking points. During the pontificate of Francis I, the first Jesuit Pope in history as I mentioned, the traditional social talking points have all but faded from view. The Pope rarely mentions church doctrine or the authority of the papal chair. When approached on this, his view of gay marriage, he said “Who am I to judge?” His topics of conversation are Socialist including climate change, poverty, spreading the wealth of rich nations to poor ones, doing things for the common good, open and free immigration, is that what he's talking about? Of course it is. You see in the news every day. By the way how much has the Pope said about what's happening in Venezuela? Practically nothing.  He says they just need to get together to resolve their differences. And Venezuela's a Communist country. He's been very critical  of Donald Trump and the United States.  Political leaders and the United Nations can identify with these causes. The politicians of the world revealed their enthusiastical approval of the Pope's new talking points when the 193 nations represented gave the Pope a thunderous standing ovation for many minutes, when he finished his inaugural speech at the 70th anniversary of the General Assembly of the United Nations in September of 2015.

 

Francis I adalah Paus Jesuit pertama dalam sejarah gereja Roma Katolik. Fokusnya bukan pada doktrin gereja atau autoritas takhta kepausan. Dia seorang Katolik Komunis dengan gaya Sandinistas Amerika Tengah 1980an. Dia telah mensinthesakan Katolikisme dengan Sosialisme. Dia seorang theolog liberal dan tidak terlalu peduli dengan doktrin orthodoks gereja. Item kunci di daftar yang harus dilakukan Kepausan ialah memenangkan kepercayaan dan keberpihakan kuasa sipil dunia, terutama Amerika Serikat, kemudian menganjurkan mereka untuk mengimplementasikan agenda Kepausan, itulah rencananya. Untuk mencapai ini, Kepausan mengakui bahwa dia harus mengubah topik pembicaraannya yang tradisional. Selama kepemimpinan Francis I, Paus Jesuit yang pertama dalam sejarah seperti yang saya sebut tadi, topik pembicaraan tradisional semuanya telah lenyap dari pandangan. Paus jarang menyinggung tentang doktrin gereja atau autoritas takhta kepausan. Bilamana ditanya tentang hal ini, apa pandangannya tentang perkawinan gay, dia berkata, “Siapalah saya menghakimi?” Topik-topik pembicaraannya berbau Sosialis, termasuk perubahan iklim, kemiskinan, pemerataan harta dari negara yang kaya kepada yang miskin, melakukan hal-hal demi kebaikan bersama, membuka perbatasan negara dan membebaskan imigrasi, itukah yang dibicarakannya? Tentu saja. Kita melihatnya di berita setiap hari. Nah, berapa banyak yang dikatakan Paus tentang apa yang terjadi di  Venezuela? Nyaris tidak ada. Dia berkata mereka hanya perlu berunding bersama untuk menyelesaikan perbedaan mereka. Dan Venezuela adalah sebuah negara Komunis. Dia suka mengritik Donald Trump dan Amerika Serikat. Para pemimpin politik dan PBB bisa mengidentifikasi dengan tujuan-tujuan ini. Para politikus dunia menyatakan dukungan mereka yang penuh semangat pada topik-topik pembicaraan baru Paus ketika 193 wakil bangsa-bangsa memberikan tepuk tangan yang meriah dengan penghormatan selama beberapa menit kepada Paus ketika dia mengakhiri pidato pembukaannya di ulang tahun ke-70 General Assembly PBB di September 2015.

 

 

Ellen White wrote about the papal strategy of changing its appearance while retaining its basic principles in Great Controversy 571 she wrote, “The Roman Church now presents a fair front to the world covering with apologies her record of horrible cruelties. She has clothed herself in Christ-like garments but she is unchanged. Every principle…” not necessarily the doctrines but, “…every principle of the papacy that existed in past ages, exists today…”

 

Ellen White menulis tentang strategi Kepausan mengubah penampilannya sementara tetap mempertahankan prinsip-prinsipnya di Great Controversy hal. 571, dia menulis, “…Gereja Roma sekarang mempersembahkan tampilan yang indah kepada dunia menutupi rekornya yang penuh kekejaman yang mengerikan dengan permintaan maaf. Dia telah mengenakan pada dirinya pakaian yang menyerupai pakaian Kristus, tetapi dia tidak berubah. Setiap prinsip…”  tidak harus doktrinnya, tetapi   “…setiap prinsip Kepausan yang ada di masa lampau, masih ada hari ini.”

 

 

The most powerful man in the Vatican is not the Pope, but what is known as the Black Pope because he's clothed in black, the Father Superior of the Jesuit Order. We can see the shift away from church dogma in order to please the contemporary liberal postmodern mind.  

In an interview that Giuseppe Rusconi  ~ that's a newspaper editor ~ had with Father Arturo Sosa Abascal, the recently elected superior of the Jesuit Order, the Black Pope, and let me ~ before I read some things about that interview ~ let me just mention, I bet you can't guess where the father superior is from.  Venezuela!  It's very significant.

This is the question that Rusconi asks,  “…Cardinal Gerhard L. Mueller, the prefect of the Congregation for the Doctrine of the Faith…” that is the head of what was before the Inquisition,  “…has said with regard to marriage, that the words of Jesus are very clear…”  that is, that Jesus married a man and a woman, “…and no power in heaven and on earth, neither an angel nor the Pope, neither a council nor a  law of the bishops, has the faculty to modify them…”  so in other words, he's the head of the Inquisition, he's responsible to uphold church doctrine. 

Now here's Abascal's answer, the black Pope,  “…So then there would have to be a lot of reflection on what Jesus really said. At that time no one had a recorder to take down His words. What is known is that the words of Jesus must be contextualized. They are expressed in a language in a specific setting, they are addressed to someone in particular…” in other words, they only apply to the times of Jesus.

And so Rusconi asks the following question, “…But if all the words of Jesus must be examined and brought back to the historical context, they do not have an absolute value?” 

Well, here's Abascal's answer, “…Over the last century in the church there has been a great blossoming of studies that seek to understand exactly what Jesus meant to say….”  as if you don't understand “male” and “female”,  hello?   “…That is not relativism but a test that the Word is relative. The Gospel is written by human beings. It is accepted by the church which is made up of human persons. So it is true that no one can change the words of Jesus, but one must know what His word was.” 

Are you seeing the seriousness of this? He's using the historical critical method  which is the liberal method of interpreting Scripture.

I want you to notice also what he continues saying, “…The church…”  about church doctrine, “…The church has developed over the centuries. It is not a piece of reinforced concrete. It was born, it has learned, it has changed. This is why the ecumenical councils are held to try to bring developments of doctrine into focus. ‘Doctrine’ is a word that I don't like very much. It brings with it the image of the hardness of stone, instead the human reality is much more nuanced.  It is never black or white. It is in continual development…”  are you catching the picture?

 

Orang yang paling berkuasa di Vatikan bukan Paus, tetapi dia yang dikenal sebagai Paus Hitam, karena dia selalu mengenakan pakaian hitam, yaitu Bapak Kepala Ordo Jesuit. Kita bisa melihat pergeseran dari dogma gereja dengan tujuan mengambil hati golongan postmodern yang liberal zaman ini.

Dalam suatu wawancara Giuseppe Rusconi ~ seorang editor surat kabar ~ dengan Bapak Arturo Sosa Abascal, kepala Ordo Jesuit yang baru terpilih, Paus Hitam, dan izinkan saya ~ sebelum saya membacakan tentang wawancara ini ~ izinkan saya mengatakan, pasti kalian tidak bisa menebak dari mana asalnya Bapak Kepala ini. Venezuela! Ini sangat signifikan.

Inilah pertanyaan yang diajukan Rusconi, “…Uskup Gerhard L. Mueller, Kepala Congregation for the Doctrine of the Faith…”  yaitu kepala dari apa yang sebelumnya adalah Inkuisisi,  “…berkata sehubungan dengan perkawinan, bahwa kata-kata Yesus sudah sangat jelas…”  yaitu bahwa Yesus menikahkan seorang laki-laki dengan seorang perempuan,   “… dan tidak ada kuasa di langit dan di bumi, baik dari malaikat maupun Paus, baik oleh konsili atau perturan uskup,  yang mampu mengubahnya…”  Jadi dengan kata lain, Mueller adalah Kepala dari Inkuisisi, dia bertanggung jawab untuk mempertahankan doktrin gereja.

Nah, ini jawaban Abascal, Paus Hitam, “…Jadi, harus ada banyak perenungan tentang apa yang sesungguhnya dikatakan Yesus. Pada waktu itu tidak ada alat yang merekam kata-kataNya. Apa yang diketahui sebagai kata-kata Yesus harus dikontekstualisasikan. Kata-kata itu diekspresikan dalam bahasa dengan setting yang khusus, dialamatkan kepada orang yang tertentu…”  dengan kata lain, kata-kata itu hanya berlaku di zaman Yesus.

Dan Rusconi mengajukan pertanyaan berikut, “…Tetapi jika semua kata-kata Yesus harus diperiksa dan dikembalikan ke konteks historisnya, artinya mereka tidak punya nilai mutlak?”

Dan ini jawaban Abascal, “…Selama abad yang lalu di gereja telah berkembang banyak penyelidikan untuk berusaha memahami apa sesungguhnya yang memang ingin dikatakan Yesus. …”  seolah-olah kata “laki-laki” dan “perempuan” itu tidak bisa dipahami. Halo?   “…Itu bukan relativisme tetapi suatu ujian bahwa Firman itu relatif. Injil ditulis oleh manusia, diterima oleh gereja yang terdiri atas manusia. Jadi memang benar tidak ada yang bisa mengubah kata-kata Yesus, tetapi kita harus  tahu, apa kata-kataNya tersebut…”  

Apakah kalian melihat keseriusan kondisinya? Dia memakai metode kritik sejarah (kritikan yang menyelidiki latar belakang teks-teks kuno untuk memahami kondisi di balik teks itu) yang adalah metode liberal untuk menafsirkan Kitab Suci. Saya mau kalian simak juga apa katanya selanjutnya,   “…Gereja…”  tentang doktrin gereja,  “…Gereja  telah berkembang selama berabad-abad. Gereja bukan sepotong beton bertulang. Dia lahir, dia belajar, dia berubah. Inilah mengapa konsili-konsili ekumeni diadakan untuk mencoba mendatangkan fokus pada perkembangan doktrin. ‘Doktrin’ adalah kata yang amat tidak saya sukai. Itu mengandung kesan kekerasan batu, padahal manusia realitanya lebih bernuansa, tidak pernah hitam atau putih, dia terus-menerus berkembang…”  apakah kalian menangkap gambarannya?

 

 

As I mentioned, Abascal is from Venezuela, and Pope Francis hand-picked him. Why did the Pope handpick someone from an avowed Communist country where poverty, disease, hunger, crime, civil unrest, are the rule of the day? Why has not the Pope condemned the abuses of the Communist government in Venezuela? Why has Abascal remained silent, even though he's from there, simply saying that both sides should resolve their problems by dialogue? Simply because the Pope and Abascal are both Catholic Communists, are you with me?

 

Seperti yang sudah saya katakan, Abascal itu dari Venezuela, dan Paus Francis sendiri yang memilihnya. Mengapa Paus memilih sendiri seseorang dari sebuah negara yang jelas-jelas Komunis di mana kemiskinan, penyakit, kelaparan, kejahatan, kerusuhan, merupakan kehidupan sehari-hari? Mengapa Paus tidak menyalahkan tindakan-tindakan kejam Pemerintah Komunis di Venezuela? Mengapa Abascal tetap diam walaupun dia berasal dari sana, hanya berkata bahwa kedua belah pihak harus menyelesaikan masalah mereka dengan dialog? Semata-mata karena Paus dan Abascal sama-sama Katolik Komunis, apakah kalian mengikuti saya?

 

 

Now the Pope has three main talking points and all of them have to do with the observance of Sunday as the day of rest.

First of all, the serious need to address the issue of climate change. You know this is the horse that the Pope is riding now. There are multiple articles I have in my computer, multiple articles that are coming out recently about groups in different places that are pushing for climate change. They're even influencing the children from schools to miss school, I think it's on Fridays, in protests because the  leaders are not doing anything about climate change. And I don't know if you know this, but there's a Norwegian teenager who has been nominated to receive the Nobel Peace Prize because of her demonstrations against climate change, against not doing anything about  climate change.

Now, so he speaks about climate change. The Pope says the environment needs a day to rest. What day do you suppose that is? Sunday of course.

 

Sekarang Paus punya tiga topik pembicaraan pokok dan semuanya berkaitan dengan pemeliharaan hari Minggu sebagai hari perhentian.

Pertama, pentingnya menangani isu perubahan iklim. Kalian tahu, inilah kuda yang sekarang sedang ditunggangi Paus. Ada banyak artikel, saya punya banyak artikel di komputer saya, macam-macam artikel yang muncul baru-baru ini tentang kelompok-kelompok di pelbagai tempat yang mendesak tentang masalah perubahan iklim. Mereka bahkan mempengaruhi anak-anak sekolah untuk membolos, saya rasa pada hari-hari Jumat, sebagai protes karena para pemimpin tidak berbuat apa-apa tentang perubahan iklim. Dan saya tidak tahu apakah kalian tahu, tetapi ada seorang remaja Norwegia yang dinominasi untuk menerima hadiah Nobel Perdamaian karena dia berdemonstrasi tentang perubahan iklim, tentang tidak adanya tindakan apa-apa menghadapi perubahan iklim.

Nah, jadi Paus berbicara tentang perubahan iklim. Paus berkata, lingkungan perlu satu hari untuk beristirahat. Menurut kalian kira-kira hari apa? Tentu saja hari Minggu.

 

 

He says, listen, the capitalist overlords don't give their poor a day off. You know all the stores are open on Sunday, athletic events on Sunday, and therefore, you know, the workers there they're having to work, and they don't have a time to rest. They need to get a day of rest from their capitalist overlords. I  bet you can't guess what day he suggests. Sunday.  

 

Dia berkata, dengarkan, para tuan tanah kapitalis tidak memberi orang miskin hari libur. Kalian tahu, semua toko buka pada hari Minggu, peristiwa-peristiwa atletis diadakan pada hari Minggu, dan oleh karena itu para pekerja, mereka harus bekerja, dan mereka tidak punya waktu istirahat. Mereka perlu satu hari istirahat dari para tuan tanah kapitalis. Pasti kalian tidak bisa menebak hari apa yang diusulkannya. Hari Minggu.

 

 

Then he says,  the family you know they're so busy during the week, they're taking the kids to the school, and they're working, and they just don't have any time to spend together as a family. The family needs a day when they can reconnect. I'll bet you can't guess what day it is. Sunday.

 

Lalu dia berkata, keluarga itu begitu sibuk dalam satu minggu, mereka harus mengantarkan anak-anak ke sekolah, mereka bekerja, mereka tidak punya waktu untuk dilewatkan bersama-sama sebagai keluarga. Keluarga butuh satu hari di mana mereka bisa konek kembali. Pasti kalian tidak bisa menebak hari apa itu. Hari Minggu.

 

 

I want to read this statement from his encyclical Laudato Si, the Pope wrote, “…On Sunday our participation in the Eucharist…” that’s what we call the Lord's Supper “…has special importance.  Sunday like the Jewish Sabbath…”  Huh, where does the Bible speak of a Jewish Sabbath? Anybody want to show me a verse where the Bible calls the Sabbath the Jewish Sabbath? It's always “the Sabbath of the Lord your God”. God says it's “My holy day”, it's the day that God rested.  So once again,  “…On Sunday our participation in the Eucharist has special importance. Sunday like the Jewish Sabbath is meant to be a day which heals our relationships with God…” which is the day that God gave us to heal our relationships with God? The Sabbath,  “…with ourselves…” what day did God give us to kind of rest and retread? The Sabbath,  “…with others…”  which day did Jesus use especially to heal and benefit others? Sabbath,  “…and with the world…”

 

Saya mau membaca pernyataan ini dari ensiklikalnya Laudato Si, Paus menulis, “…Pada hari Minggu partisipasi kita dalam Ekaristi…” itu yang kita sebut Perjamuan Kudus, “… memiliki kepentingan yang istimewa. Hari Minggu, seperti hari Sabat Yahudi…”  huh, di mana di Alkitab ada disebutkan Sabat Yahudi? Adakah orang yang mau menunjukkan saya ayat di mana Alkitab menyebut  hari Sabat itu Sabat Yahudi? Sabat itu selalu “Sabat Tuhan Allahmu”. Allah berkata itu “hari kudusKu, itulah hari di mana Allah berhenti. Jadi sekali lagi. “…Pada hari Minggu partisipasi kita dalam Ekaristi memiliki kepentingan yang istimewa. Hari Minggu, seperti hari Sabat Yahudi dimaksudkan sebagai hari yang memulihkan hubungan kita dengan Allah…”  hari apa yang diberikan Allah kepada kita untuk memulihkan hubungan kita dengan Allah? Sabat,  “…dengan diri sendiri…”  hari mana yang diberikan Allah untuk beristirahat dan mengingat kembali? Sabat, “…dengan orang lain…” hari apa yang dipakai Yesus terutama untuk menyembuhkan dan berbuat baik kepada orang lain? Sabat,   “…dan dengan dunia…”

 

 

What is the problem with what the Pope is saying? Are these bad causes? Is that a bad cause to give the hard workers a day of rest? No. Is it bad to give the environment a day of rest? No. Is it bad for the family to be able to spend a whole day together to rest and reconnect? No.  Where's the problem? He's got the wrong day.

And so you say, who cares about the day. I can dedicate any day I want to God. That's what people say. Well, let's take a look at that.

Remember the story  of Nadab and Abihu? They took common fire and they offered it to God as if it was holy. And God said, “You don't have to take the holy fire from the altar. Fire is fire, I don't care.”  Is that what God said? No! The Bible says that because they took common fire and offered it to God as if it was holy, fire came from the Lord and consumed them, because they took the common and they presented it as if it was holy. 

Another story in Daniel chapter 5 is Belshazzar, he took the holy vessels and he treated them as if it were common, and what happened with him? He was slain that very night.

So how do you think the Lord feels today when people take a common day of work Sunday and they make it a day of rest, and they take a holy day like the Sabbath and they treat it as if it were common?  If God accepts that, He's going to have to apologize to Nadab and Abihu, and Belshazzar.  Because when God says it's the Sabbath He means the Sabbath. He does not mean any other day.

 

Apa masalahnya dengan apa yang dikatakan Paus? Apakah ini tujuan-tujuan yang buruk? Apakah buruk tujuannya memberikan para pekerja keras suatu hari perhentian? Tidak. Apakah buruk memberikan lingkungan hidup suatu hari istirahat? Tidak. Apakah buruk bagi keluarga untuk bisa melewatkan satu hari bersama-sama untuk istirahat dan konek kembali? Tidak. Masalahnya di mana? Dia memakai hari yang salah.

Maka kalian berkata, harinya tidak penting, saya bisa mendedikasikan hari apa saja sesuka saya kepada Allah. Itu kata orang-orang. Nah, mari kita periksa.

Ingat kisah Nadab dan Abihu? Mereka mengambil api biasa dan mereka mempersembahkannya kepada Allah seolah-olah itu api kudus. Dan Allah berkata, “Kalian tidak usah mengambil api kudus dari mezbah, api ya api, Aku tidak peduli.” Itukah yang dikatakan Allah? Tidak! Alkitab berkata karena mereka memakai api biasa dan mempersembahkannya kepada Allah seakan-akan itu kudus, api turun dari Tuhan dan menghanguskan mereka, karena mereka mengambil yang biasa dan mereka mempersembahkannya seakan-akan itu kudus.

Kisah yang lain di Daniel pasal 5 ialah Belsyazar, dia mengambil bejana-bejana yang kudus dan dia perlakukan itu seakan-akan itu barang-barang biasa, dan apa yang terjadi padanya? Dia terbunuh malam itu juga.

Jadi bagaimana menurut kalian perasaan Tuhan hari ini ketika orang-orang mengambil hari kerja yang biasa, hari Minggu dan mereka menjadikannya hari perhentian; dan mereka mengambil hari yang kudus seperti Sabat dan mereka memperlakukannya seolah-olah itu hari yang biasa? Andai Allah menerimanya, Dia harus minta maaf pada Nadab dan Abihu, dan Belsyazar. Karena ketika Allah berkata itu Sabat, yang dimaksudNya ialah Sabat, Dia tidak mengartikannya sembarang hari yang lain.

 

 

Now what is the final test going to be all about? You know it is about the mark of the Beast, and the Seal of God, right? And that's what we've been discussing in the Seals. You know God's people will be sealed with the seal of God, and the wicked will be marked with the mark of the Beast. Now what is the real issue at the end of time? The great final test that will divide the world is not merely a matter of days, but rather a matter of authority. The observance of the Sabbath is a sign of loyalty and obedience to the Creator. The observance of Sunday is the sign of loyalty and obedience to the Beast. Thus the matter of days will test which authority you will obey. The First Angel’s Message commands us to worship the Creator, and the Third tells us not to worship the Beast or the Little Horn. So the final conflict has to do more with authority than just with days.

 

Nah, apakah ujian terakhir yang akan datang? Kalian tahu itu tentang tanda Binatang dan Meterai Allah, bukan? Dan itulah yang kita bicarakan dalam Meterai-meterai. Kalian tahu umat Allah akan dimeteraikan dengan Meterai Allah, dan yang jahat akan ditandai dengan tanda Binatang. Nah, apakah isu yang sebenarnya pada akhir zaman? Ujian besar yang terakhir yang akan memisahkan dunia bukan saja masalah hari, melainkan lebih masalah autoritas. Pemeliharaan Sabat adalah tanda setia dan kepatuhan kepada Sang Pencipta. Pemeliharaan Minggu adalah tanda setia dan kepatuhan kepada Binatang itu. Maka masalah hari akan menguji autoritas siapa yang akan kita patuhi. Pekabaran Malaikat Pertama menyuruh kita menyembah Sang Pencipta, dan Pekabaran Malaikat Ketiga memberitahu kita jangan menyembah Binatang itu atau Tanduk Kecil. Maka konflik yang terakhir itu lebih mengenai autoritas daripada sekadar tentang hari.

 

 

Let me ask you when we keep the Sabbath whose authority are we recognizing? God's authority, because He established the Sabbath as a sign of creation. When we observe Sunday as the day of rest, who created Sunday as the day of rest? The papacy. So whose authority are we recognizing when we keep Sunday? God's authority? No! We're recognizing the Papacy’s authority, the Little Horn thought that it could change God's law. So behind the days is the issue of which authority we will obey.

 

Coba saya tanya jika kita memelihara Sabat, autoritas siapa yang kita akui? Autoritas Allah, karena Dia yang menetapkan Sabat sebagai tanda Penciptaan. Jika kita memelihara hari Minggu sebagai hari perhentian, siapa yang menjadikan hari Minggu hari perhentian? Kepausan. Jadi autoritas siapa yang kita akui jika kita memelihara hari Minggu? Autoritas Allah? Bukan! Kita mengakui autoritas Kepausan, si Tanduk Kecil yang berpikir dia bisa mengubah Hukum Allah. Jadi di balik hari-hari itu, terdapat isu autoritas siapa yang akan kita patuhi.

 

 

Now you find in your syllabus several statements we're not going to be able to read them all, but I want to read just one of them and this is ~ and if we have time we'll read another ~  but on page 370 at the bottom of the page.  

Right now the Protestant churches are coming back to Mother. There's a big ecumenical movement going on now where Protestants have just said, “Let's forget about doctrine and let's all just hold hands and sing Kumbaya, my  Lord.  Let's just all get along you know, let's care for the poor, and let's make sure that the climate change doesn't destroy the planet, and let us just emphasize the need for the family, and so on, and so on, and then everything will be okay.”  That's the emphasis these days. But when it comes to doctrine, Protestant churches say, “Don't focus on doctrine, that's not important.” 

They also have been influenced by postmodern thinking, there's no such thing as absolute truth. Your truth is your truth, even if it contradicts reality and common reason. If you want to believe that two plus three is seven, well that's your truth, it's okay. And if I want to believe that two plus two is four well that's my truth, it's alright, but don't condemn me because I don't accept your truth. That's the mode of the day. It's postmodern thinking.

The problem with the Protestant churches is that they were never able to totally sever their connection with the Mother, with the mother church they were born from. They did discard many of the things that linked them with the mother church, for example they restored the idea that baptism ~ many of them did ~ that baptism is by immersion; they restored the idea that man is justified by faith without works of law ~  they restored many of the aspects that the church had gone astray from in the Bible, but there are some doctrines that the Protestant world was never able to discard and that still connects them with the mother.  Things like:

·       Sunday as the day of rest,

·       on eternally burning hell,

·       and the idea of the immortality of soul,

so they still have a link or a connection with the mother, a doctrinal connection with the mother.

 

Nah, kalian akan melihat di silabus kalian beberapa pernyataan, kita tidak akan bisa membaca semuanya, tetapi saya mau membaca hanya satu dari mereka, yaitu ~ dan jika kita masih ada waktu nanti kita akan baca satu lagi yang lain ~ di halaman 370 di bagian bawah halaman itu.

Sekarang ini gereja-gereja Protestan sedang pulang ke Ibunya. Ada gerakan ekumeni yang besar yang sedang terjadi sekarang di mana orang-orang Protestan berkata, “Kita lupakan saja doktrin, dan mari kita bergandengan tangan dan menyanyikan Kumbaya, my Lord (Datanglah kemari, Tuhanku). Marilah kita semua yang akur, mari kita peduli yang miskin, mari kita pastikan perubahan iklim tidak menghancurkan planet ini, dan mari kita tekankan pentingnya keluarga, dll. dll. dan semuanya akan beres.” Itulah yang ditekankan hari ini. Tetapi kalau bicara tentang doktrin, gereja-gereja Protestan berkata, “Jangan fokus pada doktrin, itu tidak penting.”

Mereka juga sudah dipengaruhi oleh pemikiran postmodern, tidak ada kebenaran yang mutlak, kebenaranmu itu kebenaranmu walaupun itu bertentangan dengan kenyataan dan akal umum. Jika kamu mau percaya bahwa 2 + 3 = 7, yah, itu kebenaranmu, itu oke. Dan kalau saya mau percaya 2 + 2 = 4, nah, itu kebenaran saya, boleh saja, tetapi jangan salahkan saya karena saya tidak menerima kebenaranmu. Itulah modenya sekarang. Itu pemikiran postmodern.

Masalah dengan gereja-gereja Protestan ialah mereka tidak pernah bisa sama sekali memutuskan hubungan mereka dengan si ibu, dengan gereja ibunya dari mana mereka lahir. Mereka memang sudah meninggalkan banyak hal yang menghubungkan mereka dengan gereja ibu, misalnya mereka telah kembali ke konsep baptisan ~ banyak dari mereka sudah melakukannya ~ bahwa baptisan harus dilakukan dengan diselamkan; mereka sudah memulihkan konsep bahwa manusia dibenarkan oleh iman tanpa melakukan hukum ~ mereka telah memulihkan banyak aspek di mana gereja tadinya sudah melenceng dari Alkitab, tetapi ada beberapa doktrin  yang masih tidak bisa ditinggalkan dunia Protestan dan yang masih menghubungkan mereka dengan si ibu. Hal-hal seperti:

·       hari Minggu sebagai hari perhentian,

·       tentang neraka kekal yang terus terbakar,

·       dan tentang kebakaan jiwa.

Jadi mereka masih memiliki hubungan atau koneksi dengan si ibu, suatu koneksi doktrinal dengan si ibu.

 

 

And notice what John O'Brien in the book The Faith of Millions page 400 and 401 wrote. He was a professor many years at the University of Notre Dame in Indiana, one of the great Catholic universities of the United States, he caught this nuance. He wrote, “But since Saturday not Sunday is specified in the Bible, isn't it curious that non-Catholics who profess to take their religion directly from the Bible and not from the church, observes Sunday instead of Saturday? Yes, of course it is inconsistent. But this change was made about 15 centuries before Protestantism was born, and by  that time the custom was universally observed. They…”  that is Protestants  “….have continued the  custom, even though it rests upon…” what?   “…the authority of the Catholic Church and not upon an explicit text in the Bible…” and now, here comes the key portion, “…That observance remains as a reminder of the Mother Church from which the non-Catholic sects broke away, like a boy running away from home but still carrying in his pocket a picture of his mother or a lock of her hair…”

Are you catching the picture?  There is still the desire to what? To return to mother from where they left.

 

Dan simak apa tulis John O’Brien di bukunya The Faith of Millions, hal. 400-401. Dia adalah seorang professor selama bertahun-tahun di Universitas Notre Dame di Indiana, salah satu universitas Katolik tersohor di Amerika Serikat. Dia menangkap nuansanya. Dia menulis, “…Tetapi karena Sabtu bukan Minggu yang tertulis di Alkitab, apakah tidak aneh non-Katolik yang mengaku mengambil agama mereka langsung dari Alkitab dan bukan dari gereja, memelihara hari Minggu dan bukan Sabtu? Ya, tentu saja itu tidak konsisten. Tetapi perubahan ini sudah dibuat sekitar 15 abad sebelum Protestantisme lahir, dan pada saat itu kebiasaan tersebut sudah dipelihara secara universal. Mereka…”  yaitu Protestan,   “… telah  melanjutkan kebiasaan itu walaupun itu berdasarkan…”  apa?   “…autoritas gereja Katolik dan bukan berdasarkan ayat tertentu di Alkitab…” dan sekarang, ini bagian kuncinya,  “…Pemeliharan hari Minggu itu tersisa sebagai peninggalan Gereja Induk dari mana sekte-sekte non-Katolik telah memisahkan diri, seperti seorang anak yang melarikan diri dari rumah tetapi tetap menyimpan di sakunya foto ibunya atau seikat rambut ibunya…”

Apakah kalian menangkap gambarannya? Masih ada keinginan untuk apa? Untuk pulang ke si ibu yang telah mereka tinggalkan.

 

 

We have time to read one other. One at the top of page 370, “…It was the Catholic Church which by the authority of Jesus Christ…”  that's questionable  “…has transferred this rest to the Sunday in remembrance of the resurrection of our Lord.  Thus the observance of Sunday by Protestants is an homage they pay in spite of themselves to the authority of the church…”   Once again it's a matter of what? What authority do you obey.

 

Kita masih ada waktu untuk membaca satu lagi. Yang di bagian atas hal. 370,   “…Gereja Katoliklah yang oleh autoritas Yesus Kristus…” ini perlu dipertanyakan, “…telah memindahkan perhentian ini ke hari Minggu untuk memperingati kebangkitan Tuhan kita. Dengan demikian, pemeliharaan hari Minggu oleh golongan Protestan merupakan penghormatan yang mereka berikan kepada autoritas gereja (Katolik) walaupun itu bukan tujuan mereka…”  Sekali lagi itu masalah apa? Autoritas siapa yang kita patuhi.

 

 

Why can't we keep Sunday as well as Sabbath?

Well, let me give you the reason.

My birthday is June 26, I’m not going to tell you the year, June 26. What day do you suppose my family celebrates my birthday? June 26. Why can't they celebrate on June 27? Because I wasn't born that day. You see, that event is rooted in history. You can't change an event that's rooted in history.

So let me ask you, what day did God rest at creation? The Sabbath day. Can I say that it's Sunday? No, because it's an event that's rooted in history, and you cannot change the event that is rooted in history. That's why Ellen White says that when we keep the Sabbath we commemorate the Creator's rest. Like on June 26, you commemorate my birthday. You can't change the date of my birthday, you cannot change the day that God rested because on Sunday God did not rest.

 

Mengapa kita tidak bisa memelihara hari Minggu sama dengan hari Sabat?

Nah, coba saya berikan alasannya.

Hari lahir saya 26 Juni, saya tidak akan memberitahukan tahunnya, 26 Juni. Menurut kalian hari apa keluarga saya merayakan ulangtahun saya? 26 Juni. Mengapa mereka tidak merayakannya pada 27 Juni? Karena saya tidak dilahirkan hari itu. Kalian lihat, peristiwa itu berakar dalam sejarah. Kita tidak bisa mengubah suatu peristiwa yang akarnya ada dalam sejarah.

Jadi coba saya tanya, hari apa Allah berhenti pada waktu Penciptaan? Hari Sabat. Bisakah saya katakan itu hari Minggu? Tidak, karena itu peristiwa yang berakar dalam sejarah, dan kita tidak bisa mengubah suatu peristiwa yang akarnya ada dalam sejarah. Itulah sebabnya Ellen White berkata, pada waktu kita memelihara Sabat, kita memperingati perhentian Sang Pencipta. Seperti pada 26 Juni kalian memperingati hari lahir saya. Kita tidak bisa mengganti tanggal lahir saya, kita tidak bisa mengganti hari Allah berhenti karena Allah tidak berhenti pada hari Minggu.

 

 

So we see these same things happening right before our eyes. Things are happening very quickly, the final movements are rapid ones, and we need to make sure that in the trial ahead we have a seal of God.

 

Jadi kita lihat, hal-hal yang sama ini terjadi tepat di depan mata kita. Semuanya terjadi sangat cepat, gerakan-gerakan yang terakhir itu sangat cepat, dan kita perlu memastikan di masa ujian yang akan kita hadapi, kita sudah memiliki Meterai Allah.

 

 

 

09 10 20 

No comments:

Post a Comment