THE
BOOK OF HEBREWS
Part 07/14 – Walter Veith
CHAPTER 6 ~ FALLING AWAY
https://www.youtube.com/watch?v=3SDX5dJTsE4
Dibuka
dengan doa
Why do we call it “Falling Away”? Because this is a chapter with a very serious warning.
So chapter 6 is actually a frightening chapter to some people, and a wrong
understanding of what is said can lead to depths of despair, and indeed many a
soul has been terrified by what they believed it said. John Bunyan was one of
them. At some time he also despaired at these verses, but when he studied the
history of God's people and the sins of the greatest of these, his hopes
revived. So we have to be very careful, because it is easy to take a verse
wrest it from its context, and then use it to
bludgeon people into submission, and to create fear. In the Middle Ages this
was a very good weapon to use.
Mengapa kita menyebutnya “Kemurtadan” (apostasia)? Karena
pasal ini berisikan peringatan
yang sangat keras. Jadi pasal 6 sesungguhnya adalah pasal yang
menakutkan bagi beberapa orang, dan pemahaman yang salah dari isinya bisa
menimbulkan keputusasaan yang mendalam, dan memang ada banyak orang yang telah
dibuat takut oleh apa yang mereka sangka dikatakan di pasal 6 ini. John Bunyan
adalah salah satu dari mereka. Suatu saat dia juga pernah dibuat putus asa oleh
ayat-ayat ini, tetapi ketika dia mempelajari sejarah umat Allah dan dosa-dosa
dari tokoh-tokoh besar mereka, harapannya bangkit kembali. Jadi kita harus
sangat berhati-hati, karena sangat mudah mengambil satu ayat yang dipisahkan dari
konteksnya, kemudian memakainya untuk memukuli orang-orang supaya mau
menurut, dan menciptakan rasa takut. Di Abad Pertengahan cara ini menjadi
senjata yang ampuh.
Before we start therefore with the warnings in chapter 6, let's first look
at some of the promises of God, so that we are fortified to approach these
verses.
Karena itu, sebelum kita mulai dengan
peringatan-peringatan di pasal 6, marilah kita lihat dulu beberapa janji Allah,
supaya kita sudah dikuatkan untuk menghampiri ayat-ayat ini.
Psalm 77:7 says, “7 Will the Lord cast off for
ever?...” again it's a rhetorical question “…and will He be favourable no more? 8
Is His mercy clean gone for ever? Doth His promise fail for evermore? 9
Hath God forgotten to be gracious? Hath He in anger shut up His tender mercies?...”
So here we have rhetorical questions. The
answer to each one of these obviously is No!
“…10
And I said, ‘This is my infirmity: but I will remember the years of the right
hand of the Most High. 11 I will remember the works of the LORD:
surely I will remember Thy wonders of old…” So sometimes we get into positions where things are not going well and it
is at those times that we tend to forget how God led us in the past. Verse 12
says, “…12 I
will meditate also of all Thy work, and talk of Thy doings…” so that is the solution to those times of
depression, is to meditate on the Word. Remember what happened in the past,
remember how God led you or led us in the past, and talk of His doings. “…13
Thy way, O God, is in the sanctuary: who is so great a God as our God?...” here's a another little nuance, another
little gem that tells us, if you want to understand how God operates, study the
Sanctuary. “…14 Thou art the God that doest
wonders: Thou hast declared Thy strength among the people. 15 Thou
hast with Thine arm redeemed Thy people, the sons of Jacob and Joseph…” and if you look at the sons of Jacob and
the sons of Joseph, well that history is not very, very, bright.
Mazmur 77:7
berkata, “7 Akankah Tuhan membuang
selamanya?…” lagi-lagi ini adalah pertanyaan yang tidak perlu dijawab, “…dan akankan
Dia tidak bermurah hati lagi? 8
Apakah belas kasihannya sudah lenyap
untuk selamanya? Apakah janjiNya itu batal selamanya? 9 Apakah Allah sudah lupa bermurah hati? Apakah dalam murkaNya Dia
membendung belas kasihanNya yang lembut?…”
Jadi di sini ada pertanyaan-pertanyaan
retoris. Jawaban kepada setiap pertanyaan itu jelas adalah Tidak! “…10 Dan aku
berkata, ‘Inilah kelemahanku; tetapi aku
akan mengingat tahun-tahun tuntunan tangan kanan Yang Mahatinggi 11
Aku hendak mengingat perbuatan-perbuatan TUHAN, sungguh
aku akan mengingat mujizat-mujizatMu yang lampau…” Jadi terkadang
kita berada di posisi di mana kondisi tidak lancar, dan di saat-saat itulah
kita cenderung lupa bagaimana Allah telah menuntun kita di masa lampau. Ayat 12
berkata, “…12 Aku akan merenungkan juga segala pekerjaan-Mu, dan bicara tentang perbuatan-perbuatan-Mu…” Jadi inilah solusinya bagi masa-masa depresi itu, yaitu
merenungkan Firman. Ingat apa yang telah terjadi di masa lampau, ingat
bagaimana Allah telah memimpin kita di masa lampau, dan bicarakan
perbuatan-perbuatanNya.“…13
Ya Allah, jalan-Mu ada di Bait Suci! Allah
manakah yang begitu besar seperti Allah kami?…”
di sini ada nuansa kecil, suatu permata
lain yang memberitahukan kita jika kita mau mengerti bagaimana Tuhan bekerja,
pelajarilah Bait Suci. “…14
Engkaulah Allah yang melakukan
keajaiban; Engkau telah menyatakan kekuatanMu
di antara bangsa-bangsa. 15 Engkau telah dengan lengan-Mu menebus
umat-Mu, bani Yakub dan bani Yusuf…” Dan bila kita melihat ke bani Yakub dan bani Yusuf, nah,
sejarahnya tidaklah terlalu bagus.
Now if we just cast our mind back to what we did last time in chapter 5,
Paul admonished the Hebrew believers to turn from the spiritual milk that they were
imbibing and they had to go to stronger food necessary for Christian growth. So
now in chapter 6 he exhorts them to transcend the elementary principles of the
faith, and to search deeper into the mysteries of Christ. And that's what we
should do. Some people are just so satisfied with mediocrity. When there is a
whole world to discover out there, they are quite happy to sit within a small
circle of knowledge.
Nah, jika kita membawa pikiran kita mundur ke apa yang
kita lakukan sebelumnya di pasal 5, Paulus menegur orang-orang Ibrani yang
beriman untuk beralih dari susu rohani yang mereka nikmati, dan bahwa mereka
harus pergi ke makanan yang lebih padat, yang diperlukan untuk pertumbuhan
Kristen. Maka sekarang di pasal 6, Paulus menasihati mereka untuk naik
melampaui prinsip-prinsip iman yang dasar, dan menggali lebih dalam ke
rahasia-rahasia Kristus. Dan itulah yang harus kita lakukan. Ada orang yang
sudah sangat puas dengan yang biasa-biasa, padahal ada sebuah dunia yang luas
di luar sana untuk ditemukan, mereka sudah puas duduk dalam lingkaran
pengetahuan yang kecil.
Hebrews 6:1-3
So these opening verses are very interesting when we come to chapter 6. He
says, “1
Therefore leaving the principles of the doctrine of Christ, let us go on unto
perfection…” now what does that mean, “leaving the principles of the doctrine of
Christ”? Should we neglect the principles of the
doctrine of Christ? Obviously not! That's not what he's referring to. He's talking
about the elementary principles, the general things that we know. We
shouldn't just stay there. They are important, they are like a foundation that
you build on, you don't discard the foundation thereafter, you carry on with
the building. But you must make sure that the foundation is sound. But you
don't stay there, otherwise you won't have a house. So we should leave those elementary
principles of the doctrine of Christ and we should move on to
perfection. In other words, there is more to discover. And perfection we find
only in Christ. So we need to delve deeper. And then he says, “…not laying again the foundation of
repentance from dead works, and of faith toward God…” is there anything wrong with “repentance from dead works”? Absolutely not! So when you have
discovered the truth, and you have repented of your sins, and you have
developed faith towards God, is that enough? Do we stay there? “…2 of the doctrine of baptisms…” now this word “baptisms” here is a unique
word, and it implies the washings, it implies maybe even the baptism of John is
practiced in the time of the Jews, so it is more than one particular baptism, “…and of laying on of hands…” this was a very prominent activity in the
early church, and thereby authority was transferred. But you also laid hands on
sacrificial animals,
“…and of resurrection of the dead, and of eternal judgment. 3
And this will we do, if God permit….”
Ibrani 6:1-3
Jadi ayat-ayat pembukanya
sangat menarik saat kita tiba di pasal 6. Dikatakan, “1 Oleh sebab itu, dengan
meninggalkan prinsip-prinsip dari doktrin Kristus, marilah
kita maju terus ke kesempurnaan…” nah, apa artinya
ini, “meninggalkan
prinsip-prinsip dari ajaran Kristus”? Haruskah kita
mengabaikan prinsip-prinsip doktrin Kristus? Jelas tidaklah! Itu bukan yang
dimaksud Paulus. Paulus sedang bicara
tentang prinsip-prinsip yang dasar, hal-hal yang umum yang kita
ketahui. Kita jangan tetap tinggal di sana. Prinsip-prinsip itu penting, mereka
itu fondasi di atas mana kita membangun. Fondasi itu tidak boleh disingkirkan
setelah itu, kita lanjutkan pembangunannya, kita harus memastikan bahwa fondasi
itu kuat, tetapi kita tidak menetap di sana. Kalau tidak, rumahnya tidak akan
jadi. Maka, kita harus
meninggalkan prinsip-prinsip dasar doktrin Kristus, dan kita harus terus maju ke
kesempurnaan. Dengan kata
lain, masih ada banyak yang harus kita temukan. Dan kesempurnaan hanya kita
temukan dalam Kristus. Jadi kita
harus menggali lebih dalam. Kemudian Paulus berkata, “…bukan meletakkan lagi fondasi tentang pertobatan dari
perbuatan-perbuatan yang sia-sia, dan tentang
iman kepada Allah,…” apakah ada yang salah dengan “pertobatan dari perbuatan-perbuatan yang
sia-sia”? Sama sekali tidak! Jadi ketika kita
sudah menemukan kebenaran, dan kita sudah bertobat dari dosa-dosa kita, dan
kita sudah memiliki iman kepada Allah, apakah itu sudah cukup? Apakah kita
berhenti di sana? “…2
tentang doktrin baptisan-baptisan…” nah, kata
“baptisan-baptisan” di sini adalah kata yang unik, dan ini mengimplikasikan
pembasuhan-pembasuhan, mungkin juga bahkan baptisan dari Yohanes Pembaptis yang
dipraktekkan di zaman orang-orang Yahudi, jadi ini bicara tentang lebih dari
satu baptisan khusus, “…dan penumpangan
tangan…” ini adalah
aktivitas yang menonjol di gereja mula-mula, melalui mana wewenang itu
dipindahkan. Tetapi juga ada penumpangan tangan di atas hewan-hewan kurban, “…dan kebangkitan orang-orang mati dan hukuman
kekal. 3 Dan ini akan kita perbuat,
jika Allah mengizinkannya…”
So basically what Paul is saying in verses 1 to 3 is, now that you've
learned the elementary principles of Christianity, now that you have realized
that you have to repent from dead works, that you have to develop faith towards
God, that you've gone through the baptisms, and understand what all of these
issues meant, the laying on of hands, have received the Spirit in order to
enable you to preach Christ effectively, you know about the resurrection of the
dead ~ remember the Sadducees and the Pharisees were at loggerheads about these things ~ so you
understand these doctrines, and you understand the eternal judgment, what is
the outcome of rebellion; yes, those things are all important, and we do those
things. If God permits us we should then go on to a higher ground.
Jadi pada dasarnya apa yang dikatakan Paulus di ayat 1
hingga 3 ialah, sekarang kalian
sudah mempelajari tentang prinsip-prinsip dasar Kekristenan,
sekarang kalian sudah menyadari bahwa kalian harus bertobat dari
perbuatan-perbuatan yang sia-sia (yang tidak menyelamatkan), bahwa kalian
harus memiliki iman kepada Allah, bahwa kalian sudah menjalani
baptisan-baptisan, dan memahami apa makna semua isu tersebut, penumpangan
tangan, telah menerima Roh yang menyanggupkan kalian untuk berkhotbah tentang Kristus
secara efektif, kalian sudah tahu tentang kebangkitan orang mati ~ ingat
kelompok Saduki dan Farisi itu terus bertengkar mengenai hal-hal ini ~ jadi
kalian sudah paham tentang doktrin-doktrin ini, dan kalian sudah mengerti
tentang hukuman yang kekal, apa akibatnya pemberontakan; iya, hal-hal itu
semuanya penting, dan hal-hal itu kita lakukan. Jika Tuhan berkenan, maka kita harus maju terus ke tingkat
yang lebih tinggi.
We have to ask ourselves how many in the church are satisfied with doctrine,
knowing: well, the Ten Commandments are binding, the Sabbath still stands, there's a
judgment coming, and we know all of these doctrines, but there's no life because you take those
doctrines and you make them a ritual, as verily as what the Jews made that
a ritual.
So under the Old Testament regulations, there were certain typical rituals
that pointed to a greater reality, and we need to study them. We cannot just
stick with the ritual, and so what God commanded that we perform this
ritual, so let's get on with it and do it.
Kita harus bertanya kepada diri sendiri, berapa banyak di
dalam gereja yang sudah puas dengan doktrin, mengetahui: bahwa Kesepuluh
Perintah Allah itu mengikat, bahwa Sabat masih berlaku, bahwa akan ada
penghakiman, dan kita sudah tahu semua doktrin itu, tetapi tidak hidup, karena
doktrin-doktrin itu kita ambil dan kita jadikan ritual, sama seperti yang dibuat
orang Yahudi, menjadikannya suatu ritual.
Maka di bawah peraturan-peraturan Perjanjian Lama ada
ritual-ritual tertentu yang menunjuk kepada realita yang lebih besar, dan kita
perlu mempelajari mereka. Kita tidak bisa hanya berhenti di ritual, dan
sebagaimana Allah memerintahkan agar ritual ini dilakukan, jadi mari kita
lakukan.
What does it mean? How does it lead to spiritual growth? We must study deeper. We cannot stay
with the elementary. We must go to the sublime. So these included washings, baptisms,
the laying on of hands onto sacrificial animals typifying faith towards God,
and in the promise of the Savior who would stand as Mediator for us in the
judgment. And when these activities became rituals, they lost their power to convict
and deteriorated into ceremonies. “Let us go on to
perfection”, let us internalize the reality
which is Christ and His righteousness.
Apa artinya? Bagaimana itu membawa kepada pertumbuhan spiritual?
Kita harus mempelajari lebih mendalam. Kita tidak bisa berhenti dengan yang
dasar, kita harus pergi ke yang paling tinggi. Jadi itu termasuk
pembasuhan-pembasuhan, baptisan-baptisan, penumpangan tangan ke atas
hewan-hewan kurban yang melambangkan iman kepada Allah, dan dalam janji seorang
Juruselamat yang akan berdiri sebagai Perantara bagi kita dalam penghakiman.
Dan ketika semua aktivitas ini
menjadi ritual, mereka kehilangan kuasa untuk membuat manusia bertobat dan
merosot menjadi upacara-upacara. “Marilah kita maju terus ke kesempurnaan”, marilah kita
cernakan realitasnya yaitu Kristus dan kebenaranNya.
And then come the frightening verses that many have misconstrued to some
extent, and these deal largely with those that had been enlightened as to the
meaning of these rituals, that had turned from them to the glorious light only
to return
to the wallow of formalism, rejecting the truth as it is in Jesus. Many
of the Jewish nation had been almost persuaded but closed their eyes to the
truth. But the ones in the following verses had been enlightened.
So this is the whole purpose. Because people are so inclined to go with the masses and
stick to ritualism, that they are afraid to venture into that sublime area,
that “Aha!” moment when we understand what these things mean. And in the book
of Hebrews Paul warns them, “Why is it you want to stick with the milk? Why
don't you go on to solid food?” And I think that very same question should be
asked of the church in our age as well.
Kemudian muncul ayat-ayat yang menakutkan yang sampai
pengertian tertentu disalahpahami oleh banyak orang, dan ini terjadi sebagian
besar pada mereka yang sudah
dicerahkan tentang makna ritual-ritual ini, yang telah berpaling
dari ritual-ritual itu kepada terang yang mulia, hanya untuk kembali berkubang dalam
formalisme, menolak kebenaran sebagaimana yang ada dalam Yesus.
Banyak dari bangsa Yahudi nyaris diyakinkan, namun menutup mata mereka kepada
kebenaran. Tetapi mereka yang disebutkan di ayat-ayat berikut, sudah
dicerahkan.
Jadi inilah seluruh tujuannya. Karena manusia begitu cenderung
mengikuti massa dan berpegang teguh pada ritualisme, sehingga mereka takut
melangkah ke area yang lebih tinggi, ke momen “Aha!” itu, ketika
kita mengerti apa yang dimaksudkan hal-hal itu. Dan di kitab Ibrani, Paulus
mengingatkan mereka, “Mengapa kamu masih terus mau minum susu? Mengapa kamu
tidak pergi ke makanan padat?” Dan saya pikir, pertanyaan yang sama harus ditanyakan
kepada gereja di zaman kita juga.
Hebrews 6:4-6
So let's look at those verses. Hebrews 6:4, “4 For it is impossible for
those who were once enlightened, and have tasted of the Heavenly gift, and were
made partakers of the Holy Ghost, 5 and have tasted the good Word of God, and the powers of the world to
come, 6 if they shall fall
away, to renew them again unto repentance; seeing they crucify to themselves
the Son of God afresh, and put Him to an open shame….” Now what does this mean, “it is impossible for those who were once
enlightened”? In other words, he's not talking to
ignorant people, he's talking to people that were once enlightened, they
received a knowledge of the truth. Not only did they receive it, they “tasted of the Heavenly gift”. In other words, they partook of the outpouring of the Holy
Spirit. So some of those early Christians, that had come out of Judaism, that
experienced the Pentecost experience, and were made “partakers of
the Holy Ghost”, they had been
part and parcel of it, “and have tasted
the good Word of God”, they were
preaching it, “and the powers
of the world to come”, they had
exercised that power, trampled on scorpions as it were. “if they shall
fall away” now, is it possible? Well, we spoke
about it last time, even the disciples, even the disciples that had been enlightened,
that had tasted the Heavenly gift, that had been partakers of the Holy Ghost,
that had tasted the good Word of God, in other words, they had internalized
Christ, they had been with Him for three and a half years, and had exercised
the powers of the world to come, even they were inclined to go back to the ritualism,
even they ~ and some were not corrected or were not willing to be
corrected, and went back to the wallows,
it's like a pig returning to its wallow or a dog returning to its vomit. And
they “crucify Christ afresh, and put Him to open
shame”.
So this is a very serious issue. It can happen, and it can happen to all of
us. And many, many, in the church today are in the same position. Their
religion has become a ritual. You go to church on a Sabbath, you believe in the
resurrection, you believe all of these things, but you haven't internalized
what it really means.
Ibrani 6:4-6
Jadi mari kita simak ayat-ayat itu. Ibrani 6:4, “4 Karena bagi
mereka yang pernah dicerahkan dan pernah
mengecap karunia sorgawi, dan yang pernah dijadikan
yang mendapat bagian dalam Roh Kudus, 5 dan yang telah mengecap Firman yang baik dari Allah, dan
kuasa-kuasa dunia yang akan datang, 6
jika mereka murtad, tidak mungkin untuk diperbarui
lagi ke pertobatan; sebab mereka menyalibkan
lagi Anak Allah bagi diri mereka, dan mempermalukanNya
secara terbuka…”
Nah, apa artinya ini, “bagi mereka yang pernah dicerahkan”? Dengan kata lain, Paulus bukan bicara kepada orang-orang
yang tidak kenal kebenaran, dia bicara kepada orang-orang yang sudah pernah
dicerahkan, mereka sudah menerima pengetahuan tentang kebenaran. Bukan saja
mereka sudah menerimanya, mereka sudah “pernah
mengecap karunia sorgawi”, dengan kata lain,
mereka sudah pernah ikut ambil bagian dalam pencurahan Roh Kudus. Jadi beberapa
dari orang-orang Kristen mula-mula itu, yang sudah meninggalkan Yudaisme, yang
sudah mengalami pengalaman Pentakosta, dan dijadikan “yang mendapat bagian dalam Roh Kudus…” mereka merupakan
satu paket dari semuanya itu, “dan yang telah
mengecap Firman yang baik dari Allah…” mereka mengkhotbahkannya, “…dan kuasa-kuasa dunia yang akan datang…” mereka sudah
mempraktekkan kuasa itu, menginjak kalajengking misalnya, “…jika mereka murtad…” nah, apakah itu
mungkin? Nah, kita sudah bicara tentang ini sebelumnya, bahkan para
murid, bahkan para murid yang
telah dicerahkan, yang telah mengecap
karunia-karunia surgawi, yang telah mendapat bagian dalam Roh Kudus, yang telah
mengecap Firman yang baik dari Allah, dengan kata lain mereka sudah mencerna
Kristus, mereka hidup bersamaNya selama tiga setengah tahun, dan telah
mempraktekkan kuasa dari dunia yang akan datang, bahkan mereka cenderung merosot kembali kepada
ritualisme, bahkan mereka ~ dan ada yang tidak dikoreksi, atau
tidak mau dikoreksi, dan kembali ke kubangan seperti seekor babi kembali ke
lumpurnya atau seekor anjing kembali ke muntahannya. Dan mereka “menyalibkan lagi Anak Allah bagi diri mereka,
dan mempermalukanNya secara terbuka”
Jadi ini adalah isu yang sangat serius. Itu bisa terjadi,
dan itu bisa terjadi pada kita semua. Dan banyak, banyak yang di gereja hari
ini ada di posisi yang sama. Agama mereka telah menjadi suatu ritual. Kita
datang ke gereja pada hari Sabat, kita percaya pada kebangkitan, kita
mempercayai semua hal itu, tetapi kita tidak mencernakan apa maknanya yang
sesungguhnya.
So if we had to sum it up in my own words, I would say,
v they had been enlightened ~ we understand
that from the verses.
v They were partakers of the outpouring of the
Spirit,
v they had been convicted of sin, righteousness,
and judgment.
v They had experienced the power of the gospel,
v they had tasted the Word of God, but sadly
they had not internalized it
And when the Spirit pleaded with them they returned to the formalism of
rites and ceremonies, denying the power thereof. So in other words, they clung to
the shadow denying its Substance. They fell away. It's not good enough
to have a head knowledge if that head knowledge is not applied to the heart,
then we are in serious danger.
Jadi jika saya menyimpulkan dengan kata-kata saya
sendiri, saya akan mengatakan,
v mereka sudah dicerahkan ~ kita
tahu ini dari ayatnya,
v mereka mendapat bagian
dalam pencurahan Roh Kudus,
v mereka telah diyakinkan
tentang dosa, tentang pembenaran, dan penghakiman,
v mereka telah mengalami kuasa
injil,
v mereka telah mengecap Firman
Allah, tetapi sayang mereka tidak mencernanya.
Dan ketika Roh Kudus bergumul dengan mereka, mereka
kembali ke formalisme dari ritual-ritual dan upacara-upacara, menyangkal
kuasanya. Jadi dengan kata lain, mereka memegang
teguh bayangan-bayangan dan menyangkal
Substansinya. Mereka murtad. Tidak ada gunanya punya pengetahuan di kepala, jika
pengetahuan itu tidak diaplikasikan ke hati, maka kita ada dalam bahaya
yang serius.
There is a vast difference between “falling” and “falling away”. And this
is where our hope lies. We must remember that the words that Paul used in those
verses is “falling away”, but there is a vast difference between “falling” and “falling
away”. For example Moses fell, Jacob fell, Samson fell, David fell, Solomon
fell, Peter fell; and I could go on endlessly with that list. But they did not
“fall away” and that is the crux of the matter. Their “falling” was temporary; “falling away”
is permanent, then it becomes impossible to come back because you have
crucified Christ again. So we need to understand the difference between
“falling” and “falling away”. Those who fear that they fall into the category
of these verses show sure signs that they do not apply to them, when conscience
is silent then we should fear.
Let me give you an example I once had a
young lady that came to me and said that her life was over, it was finished,
she had committed the sin against the Holy Spirit and was lost for all
eternity. She had fallen away.
I asked her why she felt like that.
And she wanted to tell me, and I said, “No,
I don't need to know the details, I’m not a priest that needs to be confessed
to. But why do you feel that you have gone too far?”
You know she went too far in whatever it
was that she felt she transgressed in.
And so I said, “And you feel bad about it?”
And she said, “Yes, I feel incredibly bad
about it, and I feel that I am lost.”
“Well, the very fact that you feel so bad
about it means that you are not lost, because it means that the Holy Spirit is
still speaking to you. And if the Holy Spirit is still speaking to you, then
you have not committed the sin against the Holy Spirit.”
In any case the sin against the Holy Spirit is saying that that which is from God is
from the Devil. So to a large extent some of the religious leaders in
the time of Christ, when they accused Him of being of the Devil and performing
His works by the power of the Devil, they were dancing on the edge of the sin
of sinning against the Holy Spirit. So in other words if you say that, that
which is from God is from the Devil, that is where your danger lies.
So she had not fallen away. She had fallen, but so had Moses, and so had
Jacob, and so had Samson, and so had David, and so had Solomon, and so had
Peter, etc.
Ada perbedaan yang besar antara “jatuh” (falling) dan
“murtad” (falling away). Dan di
sinilah letak harapan kita. Kita harus ingat bahwa kata yang dipakai Paulus di
ayat-ayat itu adalah “murtad”, tetapi ada perbedaan besar antara “jatuh” dan
“murtad”. Misalnya Musa pernah jatuh, Yakub pernah jatuh, Simson pernah jatuh,
Daud pernah jatuh, Salomo pernah jatuh, Petrus pernah jatuh, dan saya bisa terus
menyebutkan nama-nama tanpa henti. Tetapi mereka tidak “murtad” dan itulah
intinya yang penting. “Kejatuhan”
mereka itu sementara. “Murtad” itu
permanen dan itu mustahil untuk kembali karena itu sudah
menyalibkan ulang Kristus. Jadi kita perlu mengerti perbedaan antara “jatuh”
dan “murtad”. Mereka yang takut bahwa mereka telah masuk ke dalam kategori yang
dikatakan ayat-ayat ini, justru menunjukkan tanda-tanda yang pasti bahwa
kategori itu tidak berlaku bagi mereka. Ketika hati nurani sudah bungkam, pada
waktu itulah kita harus takut.
Saya akan
memberikan contoh. Suatu kali pernah ada seorang perempuan muda datang ke saya
dan mengatakan hidupnya sudah berakhir, sudah tidak ada harapan lagi baginya,
dia telah melakukan dosa melawan Roh Kudus dan dia sudah sesat untuk selamanya.
Dia sudah murtad.
Saya tanya
mengapa dia punya perasaan demikian.
Dan dia mau
menceritakan masalahnya kepada saya.
Dan saya
berkata, “Jangan, saya tidak perlu tahu detailnya, saya bukan imam yang
menerima pengakuan dosa. Tapi mengapa kamu merasa kamu sudah tidak bisa
kembali?”
Dia merasa
dia sudah berbuat terlalu jauh dalam pelanggarannya.
Maka saya
katakan, “Dan kamu merasa menyesal?”
Dia berkata,
“Ya, saya merasa sangat menyesal, dan saya merasa saya sudah sesat.”
“Nah,
faktanya bahwa kamu menyesal itu berarti kamu tidak sesat, karena itu berarti
Roh Kudus masih berbicara padamu. Dan jika Roh Kudus masih bicara padamu, maka
kamu belum melakukan dosa yang melawan Roh Kudus.”
Nah, pada dasarnya dosa
melawan Roh Kudus itu ialah mengatakan apa yang berasal dari Allah itu berasal
dari Iblis. Maka beberapa dari para pemimpin rohani di zaman
Kristus ketika mereka menuduh Dia berasal dari Iblis dan melakukan pekerjaanNya
dengan kuasa Iblis, mereka itu sedang menari sangat dekat di ujung tebing dosa
melawan Roh Kudus. Jadi dengan kata lain, jika kita berkata bahwa apa yang
berasal dari Allah itu berasal dari Iblis, di situlah bahayanya.
Jadi perempuan itu tidak murtad, dia sudah jatuh, tetapi
begitu juga Musa, dan Yakub, dan Simson, dan Daud, dan Salomo, dan Petrus, dll.
So we need to understand what these verses actually mean, because God does
not contradict Himself. With Him there is an abundance of forgiveness.
Psalms 130:3 says, “3 If
thou, LORD, shouldest mark iniquities, O Lord, who shall stand?...” then nobody would be saved. “…4 But there is forgiveness with
Thee, that Thou mayest be feared. 5 I wait for the LORD, my soul
doth wait, and in His Word do I hope. 6 My soul waiteth for the Lord
more than they that watch for the morning: I say, more than they that watch for
the morning. 7 Let Israel hope in the LORD: for with the LORD there
is mercy, and with Him is plenteous redemption….”
So we must balance the Word of God with the promises; the warnings and the
promises.
Jadi kita perlu mengerti apa yang dimaksud ayat-ayat ini,
karena Allah tidak mengkontradiksi DiriNya Sendiri. PadaNya adalah pengampunan
yang berlimpah.
Mazmur 130:3 mengatakan, “3 Jika Engkau, TUHAN,
mengingat-ingat kesalahan-kesalahan, ya Tuhan, siapakah yang dapat
bertahan?…” maka tidak ada manusia yang akan selamat. “…4 Tetapi pada-Mu ada pengampunan,
supaya Engkau boleh ditakuti orang. 5 Aku
menanti-nantikan TUHAN, jiwaku menanti-nanti, dan dalam FirmanNya aku berharap. 6
Jiwaku menantikan Tuhan lebih daripada mereka yang berjaga menantikan datangnya pagi; aku katakan, lebih daripada mereka yang berjaga menantikan datangnya pagi, 7
Biarlah Israel berharap dalam TUHAN, sebab pada TUHAN ada belas
kasihan, dan padaNya ada banyak penebusan.”
Jadi kita harus menyeimbangkan antara Firman Allah dengan
janji-janji; peringatan-peringatan dan janji-janji.
Now the promise is not an excuse for sin. But if you take the sin of David
for example, I mean that was a pretty drastic sin. Not only did he commit
adultery, he committed murder, and he contemplated on his bed how to commit
this murder, and get away with it. It was a most heinous crime. But he repented
with a real, real, repentance; a sorrow for his sin. And the Lord did not mock
his iniquity. Did He set it with consequences? Yes, He did. It affected his entire reign. But
nevertheless his iniquity was not mocked against him.
Nah, janji itu bukan alasan untuk berbuat dosa. Tetapi
jika kita lihat dosa Daud misalnya, maksud saya itu dosa yang cukup parah.
Bukan saja dia berbuat zinah, dia juga telah membunuh, dan dia merencanakan di
atas ranjangnya bagaimana melakukan pembunuhan itu supaya dia boleh lolos. Itu
adalah kejahatan yang sangat keji. Tetapi dia bertobat dengan pertobatan yang
benar-benar; penyesalan bagi dosanya. Dan Tuhan tidak mengejek dosanya. Apakah Tuhan
menatanya dengan konsekuensi? Ya, benar. Itu mempengaruhi seluruh
pemerintahannya. Namun demikian dosanya tidak dicemoohkan di hadapannya.
So John Bunyan was once perplexed by these verses in the book of Hebrews
and he writes in his book Grace Abounding to
the Chief of Sinners, “Now began my heart again to ache and fear
I might meet with disappointment at last. Wherefore I began with all
seriousness to examine my former comfort…”
because
he had become relaxed in his Christianity, “…and
to consider whether one that had sinned as I had done might with confidence
trust upon the faithfulness of God, laid down in those words by which I had
been comforted, and on which I had leaned myself. But now were brought those
sayings to my mind for ‘it is impossible
for those who were once enlightened, who have tasted the Heavenly gift, and
were made partakers of the Holy Ghost, and have tasted the good Word of God,
and the powers of the world to come, if they shall fall away, to renew them
again unto repentance…” quoting here
Hebrews 6:4-6. So these great reformers they all went through the same
situations as any Christian following in their footsteps. He continues, “…‘For
if we sin willfully after we have received the knowledge of the truth, there
remains no more sacrifice for sin, but a certain fearful looking for a judgment
and a fiery indignation which shall devour the adversaries…” quoting Hebrews 10:26-27. “…As
Esau who for one morsel of meat sold his
birthright ~ for you know how that
afterwards, when he would have inherited the blessing, he was rejected; for he
found no place of repentance though he sought it carefully with tears…” and he's quoting Hebrews 12:16-17. So he's
mulling these verses over in his mind. And then came the thought. “Will the Lord cast off
forever? And will He be favorable no more? Is His mercy clean gone forever?
Doth His promise fail for ever more? Hath God forgotten to be gracious? Hath He
in His anger shut up His tender mercies?...” (Excerpt from John Bunyan “Grace Abound to the Chief of Sinners” Apple
Books). So he is quoting the Psalms (77:7-9) we’ve
just read. And everybody goes through these struggles.
Jadi John Bunyan pernah dibuat bingung oleh ayat-ayat ini di kitab Ibrani,
dan dia menulis di bukunya Grace Abounding to the Chief
of Sinners, “…Sekarang hatiku mulai lagi merasa sakit
dan takut bahwa akhirnya aku akan bertemu dengan kekecewaan. Oleh sebab itu aku
mulai dengan sungguh-sungguh memeriksa kenyamananku yang lama…” karena dia telah menjadi
santai dalam Kekristenannya, “…dan mempertimbangkan apakah seseorang yang
telah berbuat dosa seperti aku, bisa dengan yakin percaya pada kesetiaan
Allah, seperti yang dipaparkan oleh
kata-kata itu dengan mana aku telah dihiburkan, dan pada mana aku telah
menyandarkan diriku. Tetapi sekarang kata-kata tersebut muncul di benakku, bahwa
‘bagi mereka yang sudah pernah
dicerahkan, yang sudah pernah mengecap karunia surgawi, dan menjadi yang mendapat
bagian dari Roh Kudus, dan telah mengecap Firman yang baik dari Allah, dan
kuasa dari dunia yang akan datang, jika mereka murtad, mustahil mereka bisa diperbarui ke pertobatan…” di sini mengutip Ibrani 6:4-6. Maka bapak-bapak Reformasi yang besar ini
semuanya melalui situasi yang sama sebagaimana setiap orang Kristen yang mengikuti
jejak mereka. Bunyan melanjutkan, “…‘Karena
jika kita berbuat dosa dengan sengaja setelah mendapat pengetahuan tentang
kebenaran, makan tidak ada lagi kurban untuk dosa, tetapi suatu ketakutan
menantikan penghakiman dan murka yang menyala yang akan membinasakan
musuh-musuh’…” mengutip Ibrani 10:26-27. “…’Sebagaimana
Esau demi sepotong daging menjual hak kesulungannya ~ kalian tahu bagaimana
kisahnya kemudian, padahal seharusnya dia yang menerima berkat itu, dia
ditolak; karena dia tidak menemukan tempat untuk bertobat walaupun dia
mencarinya dengan seksama dengan air mata’…” dan dia mengutip Ibrani
12:16-17. Jadi Bunyan merenungkan ayat-ayat ini di benaknya. Kemudian muncullah
pikiran ini. “…7 Akankah Tuhan
membuang selamanya? dan akankan Dia tidak bermurah hati lagi? 8 Apakah belas
kasihannya sudah lenyap untuk selamanya?
Apakah janjiNya
itu batal selamanya? 9 Apakah Allah sudah lupa bermurah hati? Apakah dalam murkaNya Dia
membendung belas kasihanNya yang lembut?…” (Excerpt
from John Bunyan “Grace Abound to the Chief of Sinners” Apple Books). Jadi Bunyan mengutip Mazmur
77:7-9 yang baru saja kita baca. Dan semua orang melewati pergumulan yang sama.
Are there any more promises in Psalm 77? “7
Will the Lord cast off for ever? And will He be favourable no more? 8
Is His mercy clean gone for ever? Doth His promise fail for ever more? 9
Hath God forgotten to be gracious? Hath He in anger shut up His tender mercies?
10 And I said, ‘This is my infirmity: but I will remember the years
of the right hand of the Most High.’…” contemplate how He led in the past and we will not fail to be able to face
the future. Verse 11 says,“…11 I will remember the works
of the LORD: surely I will remember Thy wonders of old…” we have the same advice in the Spirit of
prophecy, “we have nothing to fear
for the future unless we forget how God led us in the past.” “…12 I will meditate also of all Thy
work, and talk of Thy doings…” don't go and
sit in a bundle of misery. Get up and speak about the things of the Lord, and
the Lord will raise you up. “…13
Thy way, O God, is in the Sanctuary. Who is so great a God as our God? 14
Thou art the God that doest wonders. Thou hast declared Thy strength among the
people. 15 Thou hast with Thine arm redeemed Thy people, the sons of
Jacob and Joseph.”
Apakah masih ada lagi
janji-janji di Mazmur 77? “7Akankah
Tuhan membuang selamanya? dan akankan Dia tidak bermurah hati lagi? 8
Apakah belas kasihannya sudah lenyap untuk selamanya? Apakah
janjiNya itu batal selamanya? 9 Apakah
Allah sudah lupa bermurah hati? Apakah dalam
murkaNya Dia membendung belas kasihanNya yang
lembut? 10 Dan aku berkata,
‘Inilah kelemahanku; tetapi aku akan mengingat
tahun-tahun tuntunan tangan kanan Yang Mahatinggi…” renungkan
bagaimana Tuhan telah menuntun di masa lampau dan kita tidak akan gagal menghadapi masa depan. Ayat 11 berkata, “…11
Aku hendak mengingat perbuatan-perbuatan TUHAN, sungguh
aku akan mengingat mujizat-mujizatMu yang lampau.’…” Kita punya nasihat
yang sama dari Roh Nubuat, “tidak ada
yang kita takutkan di masa depan kecuali jika kita melupakan bagaimana Allah
telah menuntun kita di masa lampau.” “…12
Aku akan merenungkan
juga segala pekerjaan-Mu, dan bicara tentang perbuatan-perbuatan-Mu…” Jangan duduk di atas tumpukan kesedihan. Bangkit dan
berbicaralah tentang hal-hal Tuhan, dan Tuhan akan mengangkatmu. “…13 Ya Allah, jalan-Mu ada di Bait Suci! Allah manakah yang begitu
besar seperti Allah kami? 14 Engkaulah Allah yang melakukan keajaiban;
Engkau telah menyatakan kekuatanMu di antara
bangsa-bangsa. 15 Engkau telah dengan lengan-Mu menebus umat-Mu,
bani Yakub dan bani Yusuf.”
And that we must not forget, God didn't purchase us with the agonies of Gethsemane
and the cross, to give us up.
2 Corinthians 12:9 says, “9 And
He said unto me, ‘My grace is sufficient for thee’; for my strength is made
perfect in weakness…” so we feel
inadequate and weak that's the best position to be in. “…Most gladly therefore will I rather glory
in my infirmities, that the power of Christ may rest upon me.”
Dan itu tidak boleh
kita lupakan, Allah tidak menebus kita dengan kesengsaraan Getsemani dan salib hanya untuk meninggalkan kita.
2 Korintus 12:9
berkata, “9 Dan Dia berkata kepadaku, ‘Kasih karunia-Ku sudah cukup bagimu,’ sebab kuatku menjadi sempurna dalam kelemahan.’…” jadi bila kita
merasa kurang dan lemah, itulah posisi yang terbaik. “…Sebab
itu, dengan senang hati aku lebih suka berbangga dalam kelemahanku, supaya kuasa Kristus boleh diam padaku.”
So if I may sum up
I would say that the fearful passages do not apply to those who wrestle with
God over their shortcomings and failures; for the Holy Spirit has not left them
but is still pleading with them. It is when the voice of conscience is silenced
and good is called evil that the application can be made, for God will not.
And then Matthew 12:20 gives what God will not. “20 A bruised reed shall He not break, and smoking flax shall He
not quench, till He send forth judgment unto victory.”
God will not crush
out that last bit of fire that still smolders. No, He will rekindle it if we
allow Him to do so.
Jadi jika boleh saya simpulkan, akan saya katakan ayat-ayat yang mengerikan itu
tidak berlaku bagi mereka yang masih bergumul dengan Allah mengenai kekurangan-kekurangan
dan kegagalan-kegagalan mereka, karena Roh Kudus belum meninggalkan mereka
tetapi masih memohon dengan mereka. Hanyalah bila suara hati nurani sudah
dibungkam dan yang baik disebut jahat maka ini bisa diaplikasikan, karena Allah
tidak akan.
Kemudian Matius 12:20 menerangkan apa yang tidak akan
dilakukan Allah. “20 Buluh yang terkulai tidak akan dipatahkanNya, dan sumbu yang masih membara tidak akan dipadamkan-Nya, sampai
Ia mengutus penghakiman ke kemenangan.” Allah tidak akan
mematikan api redup yang terakhir yang masih membara. Tidak, Dia akan
menyalakannya lagi jika kita mengizinkan Dia berbuat demikian.
So it is by the fruits that we must judge. If somebody is depressed, if
somebody is in a state of turmoil, that person needs a helping hand. We must be
able to distinguish between the fruits.
Maka dari buahnyalah kita menilai. Jika seseorang sedang
depresi, jika seseorang dalam kondisi kacau, orang tersebut membutuhkan
pertolongan. Kita harus bisa membedakan antara buah-buahnya.
Hebrews 6:7-11
So if we carry on with chapter 6:7 in the book of Hebrews we read, “7 For
the earth which drinketh in the rain that cometh oft upon it, and bringeth
forth herbs meet for them by whom it is dressed, receiveth blessing from God…” So have a look how the plants grow, and
look at the growth of those that we wish to criticize or correct. “…8 But that which beareth thorns
and briers is rejected, and is nigh unto cursing; whose end is to be burned….” So is this herb that is growing, this
plant, is it useful? Is it struggling? Does it bear fruit or does it bear
thorns and briars? “…9
But, beloved, we are persuaded better things of you, and things that accompany
salvation, though we thus speak…” even though he admonishes them, he also encourages them. So he says, “I’m
persuaded that there are better things than what I have been complaining about,
but you know just shape up. “…10
For God is not unrighteous to forget your work and labour of love, which ye
have shewed toward His name, in that ye have ministered to the saints, and do
minister…” Yes, many of us minister and do good
works. But good works are not going to get us to Heaven alone. I’m not saying,
“Don't do the good works.” Of course, do the good works. But that should not
be the entire focus of your religion. If it doesn't transcend to a
higher level of gratitude towards God, and your good works are a consequence of that gratitude
towards God, then they stay with works and will lead to nothing. That's
where the
philanthropists in this world are, that believe that they can continue to sin,
even publicly sin, and then make good with philanthropy. That
means nothing. Verse 11 says, “…11
And we desire that every one of you do shew the same diligence to the full
assurance of hope unto the end…” So don't stop
doing good works, don't stop ministering to the saints, do what is right, but
grow in your Christian experience. So faith and patience can alone inherit the
promises. Only when Abraham had patiently endured did he receive the promise
(verse 15).
Ibrani 6:7-11
Nah, jika kita lanjut ke pasal
6:7 kitab Ibrani, kita baca, “7 Sebab tanah yang minum air hujan yang sering turun ke atasnya, dan menghasilkan
tumbuh-tumbuhan yang berguna bagi mereka yang mengerjakannya, menerima berkat
dari Allah…” Jadi lihatlah bagaimana tanaman itu
tumbuh, dan lihatlah ke pertumbuhan mereka yang ingin kita kritik atau koreksi. “…8 Tetapi tanaman yang menghasilkan
duri dan onak, itu ditolak, dan tak lama lagi akan dikutuk, yang akhirnya
akan dibakar habis…” Jadi apakah tanaman yang sedang tumbuh ini, apakah dia
bermanfaat? Apakah dia sedang bergumul? Apakah dia menghasilkan buah atau
apakah dia menghasilkan duri dan onak? “…9 Tetapi, hai saudara-saudaraku
yang terkasih, sekalipun kami berkata demikian, kami percaya
hal-hal yang lebih baiklah bagianmu, dan hal-hal yang menyertai keselamatan…” sekalipun Paulus menegur mereka, dia juga memberikan
semangat kepada mereka. Jadi dia berkata, “Saya percaya ada hal-hal yang lebih
baik daripada apa yang saya keluhkan, tetapi kalian harus rajin berbenah. “…10 Sebab Allah bukannya tidak
adil, sehingga Ia melupakan pekerjaanmu dan jerih payah kasihmu yang telah kamu tunjukkan demi nama-Nya,
karena kamu
telah memberikan pelayanan kepada orang-orang kudus, dan masih kamu layani…” Ya, banyak dari
kita melayani dan melakukan perbuatan-perbuatan baik. Tetapi
perbuatan-perbuatan baik saja tidak akan membawa kita ke Surga. Saya tidak
mengatakan, “Jangan berbuat baik.” Tentu saja, lakukan perbuatan-perbuatan baik, tetapi itu jangan menjadi seluruh fokus
agama kita. Jika itu tidak naik ke tingkat yang lebih tinggi,
karena rasa syukur kepada Allah, dan perbuatan
baik kita adalah akibat rasa syukur kita kepada Allah, maka
mereka hanya perbuatan dan tidak akan bermanfaat apa-apa. Itulah yang dilakukan
para filantrofis dunia ini,
mereka percaya mereka bisa terus
berbuat dosa, bahkan berbuat dosa secara terbuka, kemudian mereka mengimbanginya dengan
filantrofi. Itu tidak ada artinya. Ayat 11 berkata, “…11 Dan
kami ingin, kamu masing-masing menunjukkan kesungguhan yang sama untuk jaminan penuh dari pengharapanmu hingga akhir…”
Jadi jangan berhenti melakukan
perbuatan baik, jangan berhenti memberikan pelayanan kepada orang-orang kudus,
lakukan apa yang benar, tetapi bertumbuhlah dalam pengalaman Kekristenan kita.
Jadi iman dan keuletan saja yang bisa mewarisi janji-janji itu. Hanya ketika
Abraham sudah menanggung dengan sabar barulah dia menerima janji itu. (ayat 15)
Hebrews 6:12-17
So if we continue with verse 12, “12
That ye be not slothful, but followers of them who through faith and patience
inherit the promises…” Don't give up!
If you fall, get up, keep on, do the good works, which do not bring you
salvation but are a consequence of salvation. Even if Rome says that that is an
anathema. Verse 13 says, “…13
For when God made promise to Abraham, because He could swear by no greater, He
sware by Himself, 14 saying, ‘Surely blessing I will bless thee, and
multiplying I will multiply thee.’ 15 And so, after he had patiently
endured, he obtained the promise…” Now if you think about it, how long did he have to wait for that promise?
Did he get discouraged when there was no son born to Sarah? Yes, he did get
discouraged. Did he try to solve the problem himself? Absolutely! Did he get
into trouble because of it? Absolutely! But eventually the promise did come,
even though he believed it was way too late, because she was past childbearing. “…16
For men verily swear by the greater: and an oath for confirmation is to them an
end of all strife…” so when people
on earth make an oath and say, “I swear that this is so and so” or “this and
this will be done”, then that is the
greatest affirmation that they can give. But God swore by Himself and there can
be nothing greater than that. “…17 Wherein God, willing more
abundantly to shew unto the heirs of promise the immutability of His counsel,
confirmed it by an oath…” So who is this
promise for? Is it only to Abraham? No! It says “to heirs of the
promise”. Now who are the heirs of the promise? Those who
have the faith of Abraham are heirs according to the promise. So this
promise stretches all the way to spiritual Israel, it stretches to you,
and it stretches to me.
Ibrani 6:12-17
Jadi kalau kita lanjutkan ke
ayat 12, “12 agar
kamu jangan menjadi malas, tetapi menjadi pengikut-pengikut mereka yang melalui iman dan kesabaran, mewarisi
janji-janji itu…” Jangan menyerah! Kalau jatuh, bangkit kembali, lanjutkan,
kerjakan perbuatan-perbuatan baik yang tidak membawa kamu ke keselamatan namun
adalah konsekuensi keselamatan. Walaupun Roma mengatakan itu adalah suatu
anathema (yang dikutuk gereja Katolik). Ayat 13 berkata, “…13
Sebab ketika Allah membuat janji kepada
Abraham, Ia bersumpah demi Diri-Nya Sendiri, karena Dia
tidak bisa bersumpah demi yang lebih besar, 14 kata-Nya, ‘Sesungguhnya dengan
berkat Aku akan memberkati engkau, dan
dengan melipatgandakan Aku akan melipatgandakan
engkau.’ 15 Maka setelah Abraham
menanggung dengan sabar, ia memperoleh janji itu…”
Nah, jika kita pikirkan ini, berapa
lama Abraham harus menunggu untuk janji tersebut? Apakah dia menjadi kecil hati
ketika Sarah tidak melahirkan putra? Ya, dia menjadi kecil hati. Apakah dia
berusaha menyelesaikan masalah itu sendiri? Betul sekali. Apakah dia kena masalah
karena itu? Tepat sekali. Tetapi akhirnya janji itu datang, walaupun Abraham
menganggapnya sudah terlambat karena istrinya sudah lama lewat usia melahirkan. “…16 Sebab manusia jelas bersumpah demi yang lebih tinggi, dan suatu sumpah
sebagai konfirmasi bagi mereka adalah akhir
dari segala perselisihan…” Jadi ketika manusia di bumi membuat
sumpah dan berkata, “Saya bersumpah bahwa ini adalah demikian” atau “bahwa ini
dan ini akan dilakukan”, maka itu adalah afirmasi yang tertinggi yang bisa
mereka berikan. Tetapi Allah bersumpah demi DiriNya Sendiri dan tidak ada yang
lebih besar daripada itu. “…17 Di mana Allah,
yang rela lebih banyak menunjukkan kepada ahliwaris-ahliwaris perjanjian
tentang kekekalan nasihatNya, menguatkannya melalui sebuah sumpah…” Jadi sumpah ini untuk siapa? Apakah hanya kepada Abraham?
Tidak! Dikatakan “kepada ahliwaris-ahliwaris perjanjian…” Nah, siapakah ahliwaris-ahliwaris perjanjian ini? Mereka yang memiliki
iman Abraham adalah
ahliwaris-ahliwaris menurut janji itu. Jadi janji ini merentang hingga ke Israel spiritual,
hingga mencapai kalian, dan hingga mencapai saya.
So those that are rich and increased in goods, and have need of nothing,
cannot comprehend the value of the promises. In fact if the kingdom of God is not our great
desire, then our connection with God is tenuous to say the least. And
if you think about that, how many people when you say, “I believe Jesus is
coming soon”, will immediately answer, “No, no, no! That's not going to happen.
It's still a long way off.” But remember
it is the wicked servant who says the Lord delays His coming.
Jadi mereka yang kaya dan berkelimpahan harta, dan tidak
butuh apa-apa, tidak bisa memahami nilai janji-janji itu. Sesungguhnya jika kerajaan Allah bukanlah
dambaan kita yang terbesar, sedikitnya hubungan kita
dengan Allah itu lemah. Dan jika
kita pikir-pikir, berapa orang yang bila kita berkata “Saya percaya Yesus akan
segera datang” akan langsung menjawab, “Tidak, tidak, tidak! Itu tidak akan
terjadi. Itu masih lama.” Tetapi ingat, hamba yang jahatlah yang berkata bahwa
tuannya menunda kedatangannya.
In the Spirit of Prophecy we read, “If we rely upon the promises
God has given in His Word, we may with assurance
go forward in spite of discouraging
appearances. The Lord will raise us up helpers in men whom He will move upon by His Spirit to impart to us in our necessity. Every lawful
scheme for advancing the work of saving perishing souls will be a success…” isn't that an amazing
promise? We find it in the Word as well. “My Word will
not return to Me empty”. “…We are to see and acknowledge
the working of God’s special
providence. The Lord authorizes us to pray, declaring
that He will hear the prayers
of those who trust, not in their finite wisdom, but in His infinite power…”
He will answer the prayer even if it seems
as if He's not answering the prayer, that is answering the prayer. “…He will be honored by those
who draw nigh to Him, who faithfully do His service. ‘Thou wilt keep him in perfect peace, whose mind is stayed on Thee, because
he trusted in Thee’
(Isa. 26:3)…” (Daughters of God pg. 107)
This is why I believe the book of Hebrews is so important for the time in
which we live. It has warnings but it has tremendous encouragement as well.
Di Roh Nubuat kita membaca, “…Jika kita bersandar pada janji-janji yang
diberikan Allah dalam FirmanNya, kita boleh terus maju dengan kepastian
walaupun yang tampak itu mengecewakan. Tuhan akan membangkitkan bagi kita penolong-penolong
dari manusia-manusia yang akan digerakkanNya dengan RohNya untuk memberikan
kepada kita kebutuhan kita. Setiap upaya yang sesuai Hukum untuk memajukan
pekerjaan menyelamatkan jiwa-jiwa yang sedang binasa, akan mencapai sukses…” bukankah itu janji yang mengagumkan?
Kita menemukannya juga dalam Firman Allah. “Firman-Ku
tidak akan kembali kepada-Ku dengan sia-sia” (Yes. 55:11) “…Kita akan menyaksikan dan mengakui cara
kerja pemeliharaan Allah yang istimewa. Tuhan memberi kita izin untuk berdoa,
menyatakan bahwa Dia mendengar doa-doa mereka yang bersandar bukan pada hikmat
mereka sendiri yang terbatas, melainkan pada kuasaNya yang tidak
terbatas…” Allah akan menjawab doa walaupun seolah-olah Dia tidak menjawab doa itu,
itulah jawaban doa tersebut. “…Dia akan dihormati oleh mereka yang datang
mendekat padaNya, yang dengan setia melakukan pelayananNya. ‘3 Engkau akan memeliharanya dalam damai sejahtera, yang pikirannya tidak beranjak dariMu, sebab ia
mempercayai Engkau.’ (Yes. 26:3).” (Daughters of
God pg. 107)
Inilah mengapa saya meyakini bahwa kitab Ibrani itu
begitu penting bagi masa di mana kita hidup sekarang. Isinya
peringatan-peringatan, tetapi juga dorongan yang besar.
Hebrews 11:16 ~ if we can jump ahead a little bit ~ says, “16 But
now they desire a better country that is, an Heavenly: wherefore God is not
ashamed to be called their God: for He hath prepared for them a City.”
Now I know this is Hebrews chapter 11, but it fits in here with the
thoughts of Hebrews chapter 6. And I’m
always astounded by this verse because it says “God is not
ashamed to be called their God”, why? “…for He has prepared for them a City”. That's amazing!
In other words, if you long with all your heart for this world, and you
cannot wait for the coming of the Lord, you want to be there and no longer
here, if you have that mindset, then God is not ashamed to be called your God.
That's quite an interesting one. In other words, it is trials and difficulties and rejection
and sickness that is often the incentive to long for a better country. So God
sometimes allows rejection, He allows sickness, He allows all of these
incentives, so that there is a longing for a better country.
And if we look at the world today, anybody who looks at this world today
surely they must long for a better country. And why is it that they want to change this
one into the country of their dreams, when we can see it going to perdition.
But love for God
and His righteousness is a better motive. So in other words, do you long for a better country because this one is
just so miserable? Or do you long for a better country because you want to be
with God? Nevertheless, to be stripped of worldly anchors is often what it
takes to bring us to the better path. So basically we can say, “Oh,
blessed loss that teaches us the value of true wealth.” Sometimes we don't
realize the value of true wealth until we lose wealth.
Ibrani 11:16 ~ jika kita bisa meloncat ke depan sedikit ~
mengatakan, “16 Tetapi
sekarang mereka merindukan negeri yang lebih
baik, yang sorgawi. Sebab itu Allah tidak
malu disebut Allah mereka, karena Ia telah mempersiapkan sebuah Kota bagi
mereka.”
Nah, saya tahu ini
Ibrani pasal 11, tetapi dia cocok dengan konsep-konsep Ibrani di pasal 6 di
sini. Dan saya selalu kagum dengan ayat ini karena dikatakan bahwa “Allah tidak malu disebut Allah mereka”, mengapa? “karena Ia telah mempersiapkan sebuah Kota
bagi mereka.”
Itu mengagumkan. Dengan kata lain, jika kita merindukan dunia itu dengan
segenap hati, dan kita tidak sabar menunggu kedatangan Tuhan, kita ingin berada
di sana dan tidak berada di sini lagi, jika kita memiliki pola berpikir
demikian, maka Allah tidak malu disebut Allah kita. Ayat yang cukup menarik.
Dengan kata lain, ujian dan kesulitan
dan penolakan dan penyakitlah yang biasanya menjadi insentif merindukan negeri
yang lebih baik. Maka Allah terkadang mengizinkan penolakan, Dia mengizinkan
penyakit, Dia mengizinkan semua insentif tersebut supaya ada kerinduan untuk
negeri yang lebih baik.
Dan bila kita
memandang dunia hari ini, siapa pun yang memandang dunia ini hari ini, pasti
dia merindukan suatu negeri yang lebih baik. Lalu kenapa mereka mau mengubah dunia ini menjadi negeri
impian mereka, padahal kita bisa melihat bahwa dunia ini menuju kebinasaan?
Tetapi kasih untuk
Allah dan kebenaranNya adalah motivasi yang lebih baik. Jadi dengan kata lain,
apakah kalian merindukan negeri yang lebih baik karena dunia yang kita
diami ini begitu menyedihkan? Atau apakah kita merindukan negeri yang lebih
baik karena kita ingin ada bersama Allah? Namun demikian, seringkali diperlukan untuk melucuti semua jangkar
duniawi untuk membawa kita ke jalur yang lebih baik. Jadi pada
dasarnya kita bisa berkata, “Oh, kehilangan itu berkat, yang mengajar kita
nilai kekayaan yang sebenarnya.” Terkadang kita tidak menyadari nilai harta
yang sebenarnya sampai harta itu hilang dari kita.
God's promises
are immutable. God cannot lie, He confirmed the
promise with an oath to the highest authority in the universe, namely Himself, and
by three promises He bound Himself.
1. The promise of the land,
2. the Seed,
3. and the blessing to all who had the faith
of Abraham. We who are the spiritual
seed of Abraham are blessed with him.
So this
promise of the Seed is very important, because Paul in other places
says it is singular, it refers to Jesus Christ. So Romans 4:16 says, “16
Therefore it is of faith, that it might be by grace; to the end the promise
might be sure to all the seed; not to that only which is of the Law, but to
that also which is of the faith of Abraham; who is the father of us all.”
So God's promises are reliable, they are immutable, we must cling to these
promises, we must hold on for dear life, they are solid, they are unchanging,
they are a sure anchor. And if we would exercise our faith then we would
discover that all of these words are absolutely true.
Janji-janji Allah
itu kekal. Allah tidak bisa berbohong. Dia mengikat janji itu
dengan sumpah demi kekuasaan yang tertinggi di alam semesta, yaitu DiriNya
Sendiri, dan Dia mengikat DiriNya kepada tiga janji:
1.
tanah yang dijanjikan,
2.
Benih,
3.
berkat kepada semua yang memiliki iman Abraham. Kita yang
adalah benih spiritual Abraham mendapat berkat bersama dengannya.
Jadi janji
Benih ini sangat penting, karena Paulus di ayat lain mengatakan
kata itu tunggal, itu mengacu
kepada Yesus Krisitus.
Jadi Roma 4:16 berkata, “16
Karena itulah, janji itu diterima dengan iman, supaya itu bisa dari kasih
karunia; agar
akhirnya janji itu boleh
pasti bagi semua benih, bukan hanya bagi mereka yang dari Hukum Taurat,
tetapi juga bagi mereka yang dari iman Abraham; yang
adalah bapa kita semua.”
Jadi janji-janji
Allah bisa dipercaya, mereka kekal, kita harus memegang erat-erat janji-janji
ini, kita harus memegangnya erat-erat supanya nyawa kita selamat, mereka bisa diandalkan, mereka tidak berubah, mereka
adalah jangkar yang pasti. Dan jika kita melatih iman kita, maka kita akan
menemukan bahwa semua perkataan ini mutlak benar.
2 Corinthians 6:10 says, “10 As
sorrowful, yet alway rejoicing…” seems like a
contradiction in terms, but it is absolutely true. Sorrowful about the
situation in the world, sorrowful about our own situation, but still having
this hope, rejoicing,
“…as poor, yet making many rich; as having nothing, and yet possessing
all things.”
2 Korintus 6:10 mengatakan, “10 Berduka, namun senantiasa bersukacita…” seperti suatu
kontradiksi, tetapi itu sangat benar. Berduka dengan situasi di dunia, berduka
dengan situasi kita sendiri, tetapi masih memiliki harapan ini, bersukacita,
“…miskin, namun memperkaya banyak orang; tak punya apa-apa, namun memiliki
segala sesuatu.”
Hebrews 6:17-18
“17 Wherein God, willing more
abundantly to shew unto the heirs of promise the immutability of His counsel,
confirmed it by an oath: 18 That by two immutable things, in which
it was impossible for God to lie, we might have a strong consolation, who have
fled for refuge to lay hold upon the hope set before us.”
Ibrani 6:17-18
“17
Di mana Allah, yang rela lebih banyak menunjukkan
kepada ahliwaris-ahliwaris perjanjian tentang kekekalan nasihatNya,
menguatkannya melalui sebuah sumpah.
18 supaya oleh dua hal yang
tidak dapat diubah,
di mana Allah tidak mungkin berdusta, kita boleh mendapatkan penghiburan yang kuat, yang telah lari berlindung untuk berpegang pada pengharapan
yang dletakkan di depan kita.”
“two immutable
things”
1. there was the promise and
2. there was the oath
Now if God makes a promise that is immutable; if God confirms it with an oath, it's even more immutable if that were
possible.
“dua hal yang tidak dapat
diubah”
1.
yaitu perjanjianNya, dan
2.
sumpahNya.
Nah, jika Allah membuat suatu janji, itu tidak dapat
diubah; jika Allah menguatkannya dengan sebuah sumpah, itu bahkan semakin lebih
tidak dapat diubah lagi, sekiranya itu mungkin.
So hope
is linked to faith. Faith accepts as fact that which is not seen; but
hope anticipates that it will accrue to you.
ü So the Bible is full of promises,
ü and the Bible tells you to appropriate the
promises by faith,
ü and if you have hope then you believe that
those promises actually are for you.
I’m always interested when people say “Please pray for me, because you know
I don't have that connection with God.”
If you feel that way, then you should read the text where God says that He
knows even the sparrow that falls and the faintest cry of the weakest of His
saints is the one that rings loudest in His ears. It's not the proud Pharisee
who gets His attention, it's that other one that gets the attention. So,
however, relationship stands above the material.
So your relationship is the priority. Develop a relationship.
How do you develop a relationship? By walking with that person, by
communing with that person, by experiencing that what that person is saying
actually has substance. That's how you
develop faith and trust. If you don't put your foot in the Jordan, you'll never
know that the waters can recede.
Jadi harapan
itu terkait kepada iman. Iman menerima sebagai fakta apa yang
tidak tampak; tetapi harapan mengantisipasi bahwa itu akan kita peroleh.
ü Jadi Alkitab itu penuh dengan
janji-janji,
ü dan Alkitab memberitahu kita
supaya mengambil janji itu dengan iman,
ü dan jika kita punya iman, maka
kita percaya bahwa janji-janji tersebut sungguh-sungguh untuk kita.
Bagi saya selalu menarik ketika ada orang
berkata, “Tolong doakan saya, karena saya tidak punya hubungan itu dengan
Allah.”
Jika kalian merasa begitu, maka kalian harus membaca ayat
di mana Allah berkata bahwa Dia tahu bahkan burung pipit yang jatuh dan
tangisan yang paling sayup dari orang-orang kudusNya yang paling lemah adalah
yang terdengar paling nyaring di telingaNya. Bukanlah orang Farisi yang sombong
yang mendapatkan perhatianNya, justru orang yang satunya yang mendapatkan
perhatian. Jadi bagaimana pun, hubungan itu ada di atas yang materi. Jadi
hubungan kita itulah prioritasnya. Jalinlah hubungan itu.
Bagaimana kita menjalin suatu hubungan? Dengan berjalan
bersama orang itu, dengan berkomunikasi dengan orang itu, dengan mengalami
bahwa apa yang dikatakan orang itu sungguh-sungguh punya bobot. Itulah caranya
menjalin iman dan kepercayaan. Jika kita tidak memasukkan kaki kita ke sungai
Yordan, kita tidak akan tahu bahwa airnya bisa surut.
So let me put it this way. Longing for a house is subordinate to longing
for a home. If your situation here is bad and you want a better situation; or
your wealth is gone and you want to live in a world where there is no problem
in terms of wealth; that's not a good enough motive. It's like wanting a house.
But it's better to long for a home. A house
without a relationship to fill it can never be a home. So our ultimate home
comes from our relationship with God, and we have to practice that here on this
earth, so that when we get to Heaven we already have a relationship. So coming
face to face with Jesus is the ultimate hope.
Jadi saya akan memberikan contoh begini. Menginginkan
sebuah rumah itu tidak sebaik menginginkan sebuah keluarga. Jika situasi kita
buruk dan kita menginginkan situasi yang lebih baik; atau jika harta kita
lenyap dan kita ingin hidup di dunia di mana tidak ada masalah sehubungan
dengan harta; itu bukanlah motif yang cukup baik. Itu seperti menginginkan
sebuah rumah. Tetapi lebih baik merindukan punya keluarga. Sebuah rumah
tanpa adanya hubungan yang mengisinya, tidak pernah akan menjadi suatu
keluarga. Maka keluarga tertinggi kita datang dari hubungan kita dengan Allah,
dan kita harus mempraktekkan itu di sini di dunia ini, supaya ketika kita tiba
di Surga, kita sudah punya hubungan. Jadi bertemu muka dengan muka dengan Yesus adalah harapan yang tertinggi.
Now we always have a chiasm that we discuss in each chapter. So let's have
a look at the chiastic structure in chapter 6. And again it has a structure A,
B, C, and the reverse.
Nah, selalu ada suatu kiasma yang kita bahas dalam setiap
pasal. Jadi mari kita simak struktur kiastik di pasal 6. Lagi-lagi ini punya
struktur A, B, C, dan kebalikannya.
A: Hebrews 6:12, “12 That ye be not slothful, but followers of them who through faith and patience inherit the promises.”
A’: and if we go to the antithesis of that Hebrews 6:17, “17
Wherein God, willing more abundantly to shew unto the heirs of promise…” in other words, those who inherit the
promise. So in A: you have
“inherit the promises” and in verse 17
you have “heirs of promise”, “…the immutability of His counsel, confirmed
it by an oath.”
So we have the sandwich
structure.
B: then we go to B, Hebrews 6:13, “13 For when God made promise to Abraham,
because He could swear by no greater, He sware by Himself.”
B’: So if we drop down to verse 15 and 16 the counterpart, “15 And
so, after he had patiently endured, he obtained the promise. 16 For
men verily swear by the greater…” So here you have the same wording, you have “the promise”, you
have “the swearing”; you have “the greater”, “…and an oath for confirmation is to them an
end of all strife.”
C: So now the sandwich brings us to the meat
in the sandwich. C: saying, “14
Saying, Surely blessing I will bless thee, and multiplying I will multiply
thee.”
So the promise is the center and what surrounds it is “the promise” and “the
oath”, and the substance of the promise is in the center.
A chiasm is a is a marvelous literary style, and it's such a pity that
humanity has lost this kind of writing style.
A: Ibrani 6:12, “12 agar
kamu jangan menjadi malas, tetapi menjadi pengikut-pengikut mereka yang melalui iman dan kesabaran mewarisi janji-janji itu.”
A’: dan bila kita ke
antithesisnya dari Ibrani 6:17, “17 Di mana Allah, yang rela lebih banyak menunjukkan
kepada ahliwaris-ahliwaris perjanjian…” dengan kata lain, mereka yang mewarisi perjanjian itu.
Jadi di A: ada “mewarisi
janji-janji itu” dan di ayat 17 ada “ahliwaris-ahliwaris perjanjian”. “…tentang kekekalan nasihatNya, menguatkannya melalui
sebuah sumpah.”
Jadi ada struktur roti sandwich (3 lapis).
B: kemudian kita ke B, Ibrani 6:13, “13
Sebab ketika Allah membuat janji kepada
Abraham, Ia bersumpah demi Diri-Nya Sendiri, karena Dia
tidak bisa bersumpah demi yang lebih besar.”
B’: Maka jika kita turun ke ayat
15 dan 16 pasangannya, “15 Maka setelah Abraham menanggung dengan sabar, ia memperoleh janji
itu. 16 Sebab manusia jelas bersumpah
demi yang lebih tinggi…” Jadi di sini ada kata yang
sama, ada “janji itu”, ada “sumpah”nya, ada “yang
lebih tinggi”. “…dan suatu sumpah
sebagai konfirmasi bagi mereka adalah akhir
dari segala perselisihan.”
C: Jadi sekarang roti sandwich itu membawa kita ke bagian
tengahnya, ke bagian isi dari roti sandwich itu, C: yang mengatakan, “14
kata-Nya, ‘Sesungguhnya dengan berkat Aku
akan memberkati engkau, dan dengan
melipatgandakan Aku akan melipatgandakan engkau.’…”
Jadi yang dijanjikan itu di tengahnya, dan apa yang
mengapitnya ialah “janji itu” dan “sumpah”nya, dan substansi dari janji itu
yang ada di tengah.
Kiasma adalah bentuk sastra yang sangat indah, sayang
kemanusiaan sudah kehilangan cara menulis seperti ini.
So concerning the promise and the oath to Abraham, Wesley comments on
Hebrews 6:18 and he says, “That by two unchangeable
things: His promise and His oath ~ in either,
much more in both, of which it was impossible for God to lie, we might have
strong consolation. Swallowing up all doubt and fear, who have fled ~ after
having been tossed by many storms ~ to lay hold on the hope set before us…” and what is that hope? “…on Christ, the object of our hope, and
the glory we hope through Him.”
Jadi mengenai janji
dan sumpah kepada Abraham, Wesley mengomentari Ibrani 6:18, dan dia berkata, “…Bahwa dengan
dua hal yang tidak berubah: janjiNya dan sumpahNya ~ dalam satu, apalagi dalam
keduanya, di mana mustahil bagi Allah untuk berbohong, kita boleh memiliki
penghiburan yang kuat. Menelan semua keraguan dan rasa takut, yang telah lari ~
setelah diombang-ambingkan banyak topan badai ~ untuk memegang pada harapan
yang diletakkan di depan kita…” dan harapan itu apa? “…pada Kristus, objek harapan kita, dan
kemuliaan yang kita harapkan melalui Dia.”
We often hear these stories of children that are in a predicament and their
fathers or their parents have promised to bring aid, and they patiently wait for
that parent to come and help them. And that's the kind of relationship we must
have. That's why God gave us this
family relationship, so that we can learn to trust. Such a pity that so
many people usurp this privilege. So that there's a relationship between the
husband and the wife, and between the children and the parents. And that must
be a relationship of trust, absolute trust, the same trust that we must have in
Christ.
Kita sering mendengar cerita-cerita tentang anak-anak
yang sedang dalam kesulitan dan ayah-ayah atau orangtua-orangtua mereka
berjanji datang membawa bantuan, dan mereka menunggu kedatangan orangtua mereka
dengan sabar untuk menolong mereka. Dan itulah bentuk hubungan yang harus kita
miliki. Itulah mengapa Allah memberi kita hubungan kekeluargaan ini, supaya
kita bisa belajar mempercayai. Betapa disayangkan banyak
orang hari ini merampas hak istimewa ini. Jadi ada suatu hubungan antara suami
dan istri, antara anak-anak dengan orangtua mereka. Dan itu haruslah suatu
hubungan berdasarkan kepercayaan, percaya yang tanpa reserve, percaya yang sama
itu yang harus kita miliki dalam Kristus.
1 Timothy 1:1, “1
Paul, an apostle of Jesus Christ by the commandment of God our Saviour, and
Lord Jesus Christ, which is our hope.”
Our hope lies in a Person not in a thing.
1 Timotius 1:1, “1 Paulus,
seorang rasul Kristus Yesus menurut perintah
Allah, Juruselamat kita, dan Tuhan Yesus Kristus, yang adalah harapan kita.”
Harapan kita terletak dalam satu Pribadi, bukan pada
sebuah benda.
Abraham was longing for a City whose builder and maker was God, but is it
the City that he wanted? What if there was no one in the City? It would be a
pretty lonely place.
Now our hope is with a Person, and the whole object of the book of Hebrews is
Substance, and that Substance is always Christ.
Abraham merindukan sebuah Kota yang pembangunnya dan
pembuatnya adalah Allah, tetapi apakah Kota itu yang dia inginkan? Bagaimana
kalau tidak ada siapa-siapa di dalam Kota itu? Itu tentunya akan menjadi sebuah
tempat yang sunyi.
Nah, harapan kita ada pada satu Pribadi, dan seluruh
objek dari kitab Ibrani ialah substansi, dan Substansi itu selalu Kristus.
v 1 John 3:3,
“3 And
every man that hath this hope in Him purifieth himself, even as He…” Christ
“…is pure.”
v Revelation 1:9,
“9 I
John, who also am your brother, and companion in tribulation, and in the
kingdom and patience of Jesus Christ, was in the isle that is called Patmos…” why was he there? Listen carefully, “…for the Word of God, and for the testimony
of Jesus Christ.”
“To the Law and
to the testimony”.
It will be
exactly the same at the end. We will be banished to the anti-typical Patmos,
because we stand for the Law and the testimony.
v James
5:8 says,
“8 Be
ye also patient; stablish your hearts: for the coming of the Lord draweth
nigh.”
v 1 Yohanes 3:3,
“3 Dan setiap orang yang memiliki
pengharapan ini di dalam Dia menyucikan dirinya,
sama seperti Dia…” Kristus “…itu suci.”
v Wahyu 1:9,
“9
Aku, Yohanes, yang juga adalah saudara dan rekanmu dalam kesusahan, dan di Kerajaan, dan dalam ketekunan Yesus Kristus, ada di pulau yang bernama Patmos…” mengapa dia di
sana? Dengarkan baik-baik,
“…karena Firman Allah dan kesaksian Yesus Kristus.”
“Bandingkan dengan Hukum dan dengan kesaksian” (Yes.
8:20). Pada akhir zaman keadaan akan persis
sama. Kita akan dibuang ke Patmos anti-tipikal karena kita berdiri teguh untuk
Hukum dan kesaksian.
v Yakobus 5:8
mengatakan,
“8
Hendaklah kamu juga bersabar, teguhkan
hatimu, karena kedatangan Tuhan sudah dekat!”
Hebrews 6:19-20
So we continue with Hebrews 6:19, “19
Which hope we have as an anchor of the soul, both sure and stedfast, and which
entereth into that within the veil…” in other words, you have direct access to
the Mercy Seat of God. In the veil, come to the Mercy Seat of God, come to the
throne of grace, confess your sins, do those things which are the foundation of
Christianity, but grow beyond them, and don't fall back into formalism and make
your religion a ritual. “…20 Whither the forerunner is
for us entered, even Jesus, made an High Priest for ever after the order of
Melchisedec.”
And we said we will say more about Melchizedek in chapter 7.
So our hope must be based on the promises of God, and only then can they be
an anchor for the soul. God's promises are reliable and they are immutable.
Ibrani 6:19-20
Jadi kita lanjut dengan Ibrani
6:19, “19 Pengharapan yang kita miliki bagaikan sauh bagi jiwa, yang
pasti dan kokoh, dan yang telah masuk sampai
ke belakang tabir…” dengan kata lain, kita punya akses langsung ke takhta
belas kasihan Allah. Ke balik tabir, datang ke Tutup Pendamaian Allah, datang
ke takhta belas kasihan, akui dosa-dosa kita, lakukan hal-hal yang adalah dasar
Kekristenan, tetapi bertumbuhlah melampaui mereka, dan jangan mundur lagi ke
formalisme dan menjadikan agama suatu ritual. “…20
ke mana Sang
Perintis telah masuk bagi kita, yaitu Yesus,
yang dijadikan Imam Besar untuk selama-lamanya menurut tata sistem Melkisedek.”
Dan saya sudah mengatakan kita akan
membahas lebih banyak tentang Melkisedek di pasal 7.
Jadi harapan kita haruslah berdasarkan
janji-janji Allah, dan hanya saat itu mereka bisa menjadi jangkar bagi jiwa.
Janji-janji Allah bisa dipercaya dan mereka tidak akan berubah.
If we go to John chapter 14 which is one of my favorite verses in the Bible,
“1 Let
not your heart be troubled: ye believe in God, believe also in Me. 2
In My Father's house are many mansions: if it were not so, I would have told
you. I go to prepare a place for you. 3 And if I go and prepare a
place for you, I will come again, and receive you unto myself; that where I am,
there ye may be also…” this is what
Abraham longed for. He longed to be with those mansions not because there was a
building there, but because there was an Occupant that he could commune with. “…4
And whither I go ye know, and the way ye know…”
‘I am the way, the truth, and the life’, in other words, if you have this relationship, if you internalize that
Bread, that manna, then you know the way. “… 5
Thomas saith unto him, ‘Lord, we know not whither Thou goest; and how can we
know the way’? 6 Jesus saith unto him, ‘I am the way, the truth, and
the life: no man cometh unto the Father, but by Me.’…”
Jika
kita ke Yohanes pasal 14, yang adalah salah satu ayat-ayat favorit saya di Alkitab, “1
Janganlah biarkan hatimu kacau; kamu percaya kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku. 2 Di rumah Bapa-Ku ada banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian,
tentu Aku mengatakannya kepadamu. Aku pergi untuk menyediakan tempat bagimu. 3
Dan apabila Aku pergi dan menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali
dan menerima kamu kepada Diriku Sendiri,
supaya di mana Aku berada, kamu pun boleh berada.
…” inilah yang
didambakan Abraham, dia rindu ada di tempat-tempat tinggal itu bukan karena
bangunannya di sana tetapi karena ada Penghuninya di sana yang ingin diajaknya
berkomunikasi. “…4 Dan ke
mana Aku pergi, kamu tahu, dan jalannya kamu tahu…”
“Akulah jalan, kebenaran, dan
hidup” dengan kata lain, jika kita memiliki hubungan ini, jika kita sudah
mencerna Roti itu, manna itu, maka kita tahu jalannya. “…5 Kata Tomas
kepada-Nya, ‘Tuhan, kami tidak tahu ke mana Engkau pergi; jadi bagaimana kami
tahu jalannya? 6 Kata Yesus kepadanya, ‘Akulah jalan dan kebenaran
dan hidup. Tidak ada seorang pun yang sampai
kepada Bapa, selain melalui Aku.’…”
So what in chapter 6 seems to be daunting to many a soul, is actually
the greatest promise in the entire Scriptures, so let us not be
discouraged, let us work while there is a day to work, let us preach, let us
remember the promises of God, let us internalize the promises of God, let us
appropriate them to ourselves, and let us with longing wait for that City which
God has promised will be the abode of those that love Him.
Let's pray.
Jadi apa yang di pasal 6
mengerikan bagi banyak orang, sesungguhnya
adalah janji terbesar di seluruh Kitab Suci. Karena itu marilah
jangan kita berkecil jati, marilah kita bekerja sementara hari masih siang
untuk bisa bekerja. Marilah kita berkhotbah, marilah kita mengingt janji-janji
Allah, marilah kita cernakan janj-janji Allah, marilah kita mengambil mereka
bagi diri kita sendiri, dan marilah kita menantikan dengan kerinduan Kota itu yang telah dijanjikan Allah akan
menjadi tempat tinggal mereka yang mengasihi Dia.
Mari kita berdoa.
02 06 22
No comments:
Post a Comment